Melepas Perjaka

Melepas Perjaka

SUDAH jamak kalau kami yang sudah lulus dari SMA sibuk mencari tempat untuk kuliah. Demikian juga dengan aku. Aku akan ikut test di sebuah perguruan tinggi favoritku di luar kota.

Pada suatu siang, tiba-tiba mama dari salah satu teman sekelasku datang ke rumahku. “Handa, Tante mau tanya. Tante dengar dari Sanny, kamu mau ikut test perguruan tinggi ya minggu depan?”

“Iya, Tante.” jawabku.

“Sudah pesan tiket kereta belum, atau rencana mau menginap di mana nanti di sana?”

“Sudah sih Tante,”

“Tante nitip Sanny ya? Masih bisa pesen tiket kereta sama tempat menginap nggak?”

“Nanti aku telepon Sanny, Tante.”

“Tolong Tante ya, Han…. Sanny itu belum pernah pergi kemana-mana…”

Mungkin nasib Sanny lagi mujur. Aku masih bisa memesan tiket kereta api dan hotel menginap untuknya.

Kami berangkat naik kereta api kelas ekonomi, dan sampai di tempat tujuan kami akan menginap di hotel yang murahan, supaya kalau kami nggak lulus test, nggak rugi. Sudah bayar mahal, tetapi nggak lulus test.

Dan untungnya lagi, di dalam kereta, aku dan Sanny mendapat tempat duduk berdua, sehingga tidak duduk berdempet-dempetan seperti penumpang yang lain yang mendapat kursi untuk 3 orang.

Sanny dibawakan oleh mamanya banyak makanan. Tentu saja untukku juga, ha… ha…

Tetapi kulihat Sanny tidak bisa tidur. Kepalanya bersandar di jendela, sebentar kemudian miring ke kanan, sedangkan 3 penumpang yang duduk di depan kami tidurnya sudah ngorok.

Lalu perlahan-lahan aku bertanya pada Sanny. “San, kamu gak bisa tidur ya? Mau nggak aku peluk kamu?”

Ternyata Sanny mau bersandar di bahuku. Aku memeluk erat pundak Sanny yang saat itu ia hanya memakai kaos lengan panjang, sedangkan aku memakai jaket. Akhirnya aku menawarkan Sanny berbaring di pahaku.

Ia mau juga. Ia berbaring meringkuk di kursi. Aku melepaskan jaketku menutupi kedua kakinya yang putih telanjang. “Terima kasih, Han.” ucap Sanny menarik tanganku.

Ahh…..

Desahku dalam hati dengan jantung berdebar-debar. Bagaimana kalau penumpang yang duduk di depan kami itu bangun, sementara tanganku berada di payudara Sanny. Nggak besar sekali sih payudara Sanny, hanya kecil saja, karena tubuhnya juga langsing.

Aku tidak tahu kereta api yang kami tumpangi rodanya menggelinding sudah sampai kota mana. Rodanya berbunyi gradak-gruduk menggilas rel besi yang berada di bawahnya, sedangkan gerbongnya bergoyang naik-turun.

Tiba-tiba Sanny membalik tubuhnya yang meringkuk di kursi dengan wajah menghadap ke selangkanganku dan kemudian tangannya menempel di’anu’ku.

Aduhhh….

Semua mata pelajaran yang akan di test dan telah kupelajari baik-baik terbang keluar semuanya dari pikiranku.

Untung Sanny hanya memegang dari luar celana jeans yang kukenakan, tetapi itu pun sudah membuat jantungku berdetak-detak kencang seperti mau meledak!

Pagi-pagi kami sudah sampai di kota tujuan. Aku mengajak Sanny naik becak mencari hotel bakal kami menginap berbekal map yang ada di handphoneku, tukang becak tidak bisa mengakali aku dengan mengajak aku keliling-keliling kota dulu.

Memang ini siasatnya tukang becak kalau penumpangnya tidak tahu jalan, bakal diarak keliling kota dan sesampai di tempat tujuan ia minta tambahan ongkos.

Di hotel, Sanny mendapat kamar di lantai 2, sedangkan aku di lantai dasar. Kami akan menginap di hotel ini selama 2 malam.

Hari pertama kami belum mengikuti test, tetapi besok pagi dan lusa. Setelah itu pada sore harinya kami akan pulang ke rumah naik kereta api lagi.

Siang hari aku dan Sanny mencari makan di luar hotel. Sore hari juga demikian. Kami bayar masing-masing. Soalnya Sanny, aku bayarin ia nggak mau.

Selesai makan, Sanny mengajak aku nonton televisi di kamarnya, karena hanya fasilitas itu yang kami dapatkan dari hotel, selain AC. Hotel murah, tapi lumayan bersih.

Kami nonton duduk di tempat tidur. Inilah masalahnya, apalagi di kereta api semalam Sanny sudah membuat jantungku deg-degan. Sekarang ia bersandar manja di bahuku. Aku memeluk bahu Sanny dan kemudian terjadilah ini…

Bibir kami saling berciuman. Hilanglah konsentrasiku untuk nonton televisi.

Ciuman yang begitu nikmat. Lidah kami saling menghisap seperti tak ada lagi perbedaan antara ludahku dengan ludah Sanny.

Kasur empuk bersarung seprei putih itu membuat tubuh kami berdua semakin menggeliat di atasnya. Desah napas dan degup jantung kami yang menggelora membuat kami lupa akan tujuan kami yang sebenarnya datang ke kota ini.

Aku tidak tahu kenapa Sanny bisa membuat aku seperti ini. Selama 3 tahun di SMA kami tidak pernah saling tertarik, apalagi saling melirik. Tetapi sekarang Sanny sudah bertelanjang dada dan aku hanya memakai celana dalam, tangan kananku meremas payudara Sanny yang sebelah kiri, sedangkan tangan kiriku meremas payudara yang sebelah kanan untuk mengeluarkan putingnya yang kecil itu supaya gampang kuhisap.

Sanny keenakan, dia menggelinjang. Aku juga menggelinjang ketika tangan Sanny yang mulus dan hangat itu merogoh celana dalamku. Tak lama kemudian penisku sudah berada di dalam mulut Sanny.

Aku tidak tinggal diam lagi saat Sanny mengocok penisku dengan mulutnya yang hangat dan basah. Aku melepaskan celana panjang jeansnya dan mencopot celana dalamnya yang berwarna merah.

Sanny menghadapkan belahan pantatnya di mukaku. Adalah laki-laki tol*l kalau sudah disediakan, tidak mau dinikmati meskipun saat itu belahan pantat Sanny tidak sewangi bunga melati. Kujilat juga anus Sanny.

Hmmm… Sanny mendorong selangkangannya ke mulutku. Melihat vaginanya dan rambut hitam yang menghiasi bagian atas vaginanya membuat penisku di mulut Sanny semakin keras saja.

Kujilat belahan vagina Sanny. Tubuh Sanny bergetar. “Oohhh… Handaaa…. oooohhhh…” rintihnya. “Aku gak tahan lagi, Handaa….”

Sanny tersenyum manis saat aku menindihnya. “Ternyata cinta kita bersemi di sini, say…” kataku.

“Cepetan…” suruhnya. “Bukan saatnya kita ngobrol, sewaktu-waktu kita bisa digeruduk polisi….”

O… iya, ya…. jawabku dalam hati.

Lebih baik aku selesaikan tugasku, baru ngobrol dengan Sanny.

Sanny yang sudah terkangkang lebar di tempat tidur itu memegang penisku, lalu kepala penisku disumbatkannya ke lubang vaginanya yang basah.

Segera kudorong pantatku ke depan. Srett… srettt…

“Oohh… Handaa…” desah Sanny.

“Sakit?”

“Nggak, punyamu besar….”

Berarti vagina Sanny sudah pernah dimasuki oleh penis yang kecil. Haa… haa… aku tidak ragu kalau Sanny sudah tidak perawan, tapi bodoh amat Sanny mau perawan atau tidak. Pacarku bukan, kekasihku bukan.

Aku dorong lagi pantatku lebih kuat. “Ohhhh…. Handaaa… pelan-pelan dongggg…. kasar amat sih kamu mainnyaaaa….”

“Maaf, aku baru pertama kali, belum tahu caranya…” jawabku.

Sanny mengecup bibirku. “Maafkan aku juga ya, say… aku terlalu egois…” balasnya.

Aku mencium bibir Sanny sambil kudorong sisa penisku yang masih berada di luar vagina Sanny masuk perlahan-lahan. Sanny merangkul pantatku dengan kedua kakinya, lalu diayunkannya pantatku maju-mundur.

Sedap dan nikmat nian penisku yang tergesek-gesek dinding vagina Sanny. Lalu aku mulai ikut menggoyang. Sanny menggulingkan tubuhku ke samping, lalu kutarik Sanny menaiki tubuhku dengan penisku masih tertanam di dalam vaginanya, Sanny duduk di pahaku.

Dengan kedua tangan bertumpu di dadaku, Sanny menaik-turunkan pantatnya. Ia bukan seperti anak yang baru lulus SMA dan berusia 19 tahun, tapi lebih mirip cewek bayaran.

Tapi apa gunanya aku mengurusi pribadi Sanny? Kusodok penisku dari bawah. Per ranjang yang bergoyang-goyang menambah kenikmatan goyangan kelamin kami berdua.

Akhirnya aku menyetubuhi Sanny dengan posisi nungging. Seprei yang tadi rapi, kini acak-acakan. Kamar Sanny jadi berbau dengan aroma vaginanya.

Semakin kukocok, vagina Sanny semakin basah sampai berbunyi ceprett… ceprettt…. ceprettt…

Kira-kira 15 menit kemudian selesai juga tugasku. Aku menindih Sanny yang ambruk di tempat tidur dengan lubang vaginanya basah dibanjiri oleh air maniku.

Untung aku masih bisa menyelesaikan testku pagi itu. Demikian juga Sanny. Ia memeluk aku tidak segan-segan dan mencium pipiku di aula kampus.

Malamnya kami kembali bercinta. Demikian juga malam berikutnya, kami bercinta seperti tidak puas-puasnya sampai 3 kali, soalnya besok siang kami akan pergi dari hotel meninggalkan segala kenangan manis kami di ranjang hotel yang tidak pernah bersalah dan mengkomplain kami.

Sanny tidak pernah menjadi istriku yang sebenarnya aku mengharapkannya. Aku mencintainya. Ketika kami kuliah aku sering mengajak Sanny ke kostku melanjutkan cinta kami yang kami lakukan di hotel dulu itu.

Tapi belum selesai kuliah Sanny menikah dengan seorang duda juragan sapi di kampung halamannya.