The Royal Masseur
Tapi sial! Di hari pertama menginjakan kaki di Ibu kota nasib baik sudah tidak berpihak padanya.
Seorang pencuri yang tengah dikejar masa menubruknya, lalu menjadikan dirinya tersangka.
Bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga, seorang wanita cantik yang awalnya menyelamatkan Elang dari amukan masa kini berbalik menuntutnya. Elang harus membayar ganti rugi atas kerusakan tas milik si gadis yang bernilai ratusan juta rupiah.
Elang yang tidak mampu membayar kemudian terpaksa menerima tawaran gadis cantik yang baru ditemuinya untuk menjadi seorang terapis pijat khusus wanita di sebuah Penthouse mewah.
Dan kisah Elang bersama wanita-wanita
cantik yang hanya bisa dibayangkannya kini dimulai dari sekarang. Bersama ke empat pangeran lain yang tinggal di istana itu.
PART 1 : BAGINDA RAJA ELANG
***
Klakson, desis rem angin, deru mesin bus, teriakan pedagang asongan yang saling bersahutan, dan lalu-lalang ratusan penumpang dengan tas-tas besar, berbaur menjadi satu di tengah terik dan udara berdebu terminal Lebak bulus Jakarta.
Di tengah kesibukan di sana, pemuda bernama Elang baru saja turun dari bus jurusan Malang-Jakarta, menginjakan kaki beralas sneakers putihnya di atas paving panas bak lempengan besi. Matanya menyipit, terbias sinar menyengat matahari yang tak wajar bagi seorang yang tumbuh di daerah bersuhu rendah seperti dia. Wajah polos dengan sebagian rambut menutupi keningnya tampak lelah, tenggorokannya terasa kering setelah kehabisan air mineral beberapa saat lalu.
Sambil menggendong ransel di punggung, Elang menjauh dari hiruk-pikuk terminal yang membuatnya seperti singgah di neraka. Orang-orang dengan tatapan tak peduli serta wajah tak ramah banyak ia jumpai. Suasana yang sangat berbeda dari tempat asalnya, Malang.
Dia melangkahkan tungkainya menuju deretan stand makanan yang ia lihat dari kejauhan. Di sana Elang sempat memilih minuman isotonik pengganti ion dalam kaleng berwarna biru, yang dibintangi artis Jepang favoritnya. Setelah membayar Elang segera menenggak rakus cairan rasa jeruk ringan di tangannya, lalu menghela napas lega sambil mengedarkan pandangannya di sekitar.
Baru saja mengamati ia sudah menemukan kejadian-kejadian yang tak biasa untuknya. Elang mengernyit melihat sepasang kekasih sedang bertengkar hebat, persis seperti ftv yang tidak sengaja ia tonton.
Di sisi lain dua Ibu-ibu pedagang asongan saling menjambak, entah apa yang sedang mereka perebutkan. Dan di depan sana kuli angkut saling dorong, beringas berebut penumpang yang baru saja turun dari bus. Melihatnya Elang menghela napas lelah, menenggak kembali sisa isotoniknya dan mulai merasa asing berada di sini. Jakarta memang begitu besar, namun terasa tidak ramah untuknya. Dari sini Elang bisa melihat secuil kerumitan yang mungkin saja akan ia alami di alam liar bernama Jakarta ini.
Ketidakramahan Jakarta terlihat bukan hanya sampai di situ, bahkan sekarang saat kembali melihat ke samping Elang melihat pencopet mencuri dompet dari saku seorang pria berpakaian necis. Sebagai pria berhati baik ia reflek membuka mulut untuk berteriak memberi tahu, tapi seseorang lebih dulu menahan lengannya.
Elang melirik melihat siapa yang memghentikannya, dan mendapati lelaki berjaket kulit kusam, berwajah seram dengan bau badan tidak sedap, sedang menempelkan pisau buterfly di perutnya sambil memberi Elang tatapan mengancam.
Jantung Elang berdegup keras, tanpa perintah verbal ia mengerti pria ini mengancamnya. Demi Tuhan ini adalah hari pertamanya menginjakan kaki di Jakarta, dan Elang tidak mau mati konyol di sini hanya karena ingin menjadi orang baik.
Dengan berat hati Elang mengangguk, ia mengerti, dan beruntung lelaki itu pergi begitu saja tanpa menyakiti Elang setelah membiarkan rekannya pergi berbaur di keramaian. Dan pemuda asal Malang itu hanya mematung bodoh seperti baru saja kehilangan jantung.
Elang menghela napas lega sekali lagi dan mengusap wajah, ada perasaan ragu untuk melanjutkan hidup di Jakarta. Tapi ia ingat perjuangan untuk sampai ke sini tidaklah mudah. Dia pergi diam-diam dari rumah, meninggalkan Ibu dan menolak meneruskan usaha keluarga sebagai petani buah. Elang beralasan bertani bukan passionnya, ia ingin membuktikan bahwa ia bisa sukses dengan usahanya sendiri di Jakarta.
‘PIP…PIP…PIP…’
Ponsel di saku jeans belelnya berbunyi, Elang sedikit tersentak. Namun ia cepat-cepat ambil dan mengangkatnya, “Ha-halo om? A-aku baru aja nyampe.“ jawabnya bersemangat. Tapi tiba-tiba wajah itu sedikit berubah setelah om Erwin di seberang sana mengatakan sesuatu. “Ah, jadi ga bisa jemput?” tanyanya memastikan. Setelah terdiam beberapa saat ia mengangguk “Ya aku ngerti.” Dengan berat hati Elang menerima alasan Om Erwin yang tidak bisa menjemput, motor tunggal yang ia miliki tiba-tiba saja dipakai Zayn anaknya. Sebenarnya bukan masalah besar jika ia harus pulang sendiri, hanya saja Elang merasa tidak percaya diri setelah kejadian barusan.
Elang mengangkat kepala yang terasa amat berat, dengan malas ia mengedarkan pandangan mencari pintu keluar. Saat menemukan pintu itu ia merasa begitu ragu, tapi dalam hati Elang terus menyemangati dirinya sendiri, bukankah ia hanya perlu pergi dengan cepat dari sini untuk menghindari masalah yang lebih besar? Iya itu benar.
Setelah memantapkan hati ia pun menghela napas, mengencangkan pegangan tasnya lalu bergegas pergi keluar dari terminal.
Di luar Elang berdiri di tepi jalan menunggu taksi, dengan wajah cemas sesekali ia menghentikan taksi yang lewat, tapi semua selalu terisi penumpang. Ia pun melihat ponsel yang sudah menunjukan pukul 13.05, udara menjadi semakin panas dan membuatnya benar-benar tersiksa, belum lagi polusi yang tidak ramah untuk paru-parunya.
Beberapa saat menunggu dari kejauhan Elang melihat taksi baru saja menurunkan penumpang, ia melambaikan tangan memberi tanda untuk menaiki taksi itu. Diam-diam Elang merasa lega karena sebentar lagi akan berada di tempat yang aman.
Tapi siapa sangka dari sisi kanan ia berdiri ada keributan di mana seorang pemuda berkupluk abu-abu sedang di kejar beberapa orang. Pemuda itu berlari ke arahnya membawa tas wanita. Elang sempat menoleh tapi kemudian tidak peduli, karna taksi yang akan ditumpanginya semakin dekat, lagi pula ia tidak mau terlibat. Setelah kejadian di dalam terminal tadi, Elang percaya ia akan baik-baik saja di Jakarta jika tidak ikut campur dalam hal apapun. Namun siapa sangka sang pemuda yang Elang lihat semakin dekat, saat ia kembali menoleh matanya melebar.
‘BRUKH!!’ pemuda itu menerjang tubuhnyakasar. Elang terjatuh. Ia tersungkur, ponselnya terlempar ke aspal, bahkan Elang bisa mendengar alat komunikasinya itu terlindas mobil di jalan raya. Detik berikutnya Elang merasa matanya ditutup kain, di tangannya diletakan sesuatu yang ia sendiri tidak bisa menebak, ransel miliknya ditarik lepas begitu saja. Dalam kepanikan luar biasa Elang refleks membuka penutup mata, berniat menyerang kembali. Tapi kejadiannya begitu cepat, bahkan ia tidak bisa lagi menemukan ke arah mana si pencuri membawa ranselnya pergi. Di tengah kebingungan tiba-tiba sekelompok orang berteriak dan menatapnya dengan garang.
“INI DIA MALINGNYA!!”
Elang terkejut mendengar tuduhan yang jelas dilayangkan padanya, ia berusaha berdiri untuk menjelaskan, tapi belum sempat ia lakukan sebuah tendangan kuat sudah lebih dulu menghantam perutnya.
‘BUAGH!’ pemuda polos itu berguling kembali tersungkur di tanah. Sambil meringis kesakitan ia mencoba bangkit, tapi cengkraman tangan kuat terlebih dulu membalik tubuhnya dengan kasar. “SINI KAMU MALING!!”
‘BUAGH!!’ wajah Elang memaling kasar setelah satu bogem kuat mengenai tulang pipinya. Seketika rasa nyeri dan perih menjalar mengisi kepalanya.
“HAJAR!! HAJAR!” teriak yang lain memprovokasi.
‘BUAGH!’ Kali ini sebuah tinju mengenai mata Elang, rasa sakit yang teramat menjalar ke seluruh sel kehidupannya. Pengelihatannya menjadi kabur berkunang-kunang.
“Tu-tunggu bu-bukan saya!” belanya menyilangkan tangan menahan pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan. Namun mereka yang sudah terbakar amarah tidak ada yang peduli.
‘BUAGH!’
‘BUAGH!’
‘BUAGH!’ Pukulan-pukulan menyakitkan itu terus mengenai wajahnya, matanya dan hidungnya. Darah pun mulai mengalir dari hidung dan kulit yang lecet. Tanpa sadar Elang menghindari pukulan-pukulan itu dengan sesuatu yang ditinggalkan pencuri ranselnya, itu adalah tas wanita yang ia lihat dibawa lelaki pencuri tadi.
Elang memohon, ia terus mencoba menjelaskan. “Be-berhenti, bu-bukan sa-ya, ah!”
‘BUAGH!’
Tapi seolah tuli mereka tetap meluapkan amarah yang sepertinya bukan hanya luapan dari rasa kesal terhadap pencuri, melainkan emosi lain dari kehidupan pribadi mereka dan menjadikan Elang samsak hidup yang seolah tak kenal rasa sakit.
Pukulan masih terus dilayangkan beberapa kali sampai tubuh itu melemah, pandangannya menggelap dan sendi-sendinya terasa mati. “PUKUL SAMPE MAMPUS!”
Dan ketika suara itu terdengar Elang sudah memasrahkan diri sambil mengaduh kesakitan, membiarkan tubuhnya menjadi bulan-bulanan. Di tengah perjuangannya melawan rasa sakit dipukuli, wajah ibunya terlintas, ‘Kamu ndak boleh ke Jakarta le. Kalau kamu ndak denger Ibuk nanti kualat!’. Dan sekarang Elang merasa sangat bersalah mengabaikan peringatan seorang ibu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, Elang tidak melawan, karena percuma saja ia tidak akan bisa menghentikan orang-orang itu. Mungkin memang sudah takdirnya mati sebagai anak durhaka dengan tuduhan pencuri.
“Berhenti!!!” Tapi saat ia benar-benar tak punya kekuatan melawan, sebuah suara merdu berhasil menghentikan siksaan menyakitkan padanya. Seperti perintah sihir pria-pria beringas itu menghentikan segala pukulan kejinya pada Elang. Sorot penuh dendam yang ditujukan pada pemuda tak berdaya itu seketika berubah menjadi tatapan dengan sorot memuja, pada sosok pemilik suara yang ternyata adalah seorang wanita.
Untuk sesaat Elang merasa begitu lega, dengan napas tersengal, terbatuk-batuk, dan tubuh lemah penuh luka, ia menggerakan kepalanya, menoleh ke asal suara yang membuat pasukan kurawa bengis menjadi rubah manis penurut.
Dari posisinya terlentang, meski dengan pandangan kabur Elang bisa melihat pemilik suara itu. Ia bisa melihat kaki jenjang beralas heels merah yang berwarna kontras dengan kulit seputih porcelain, paha mulus tanpa cela yang terekspose bebas dibalik rok mini berwarna merah.
Elang menaikan tatapannya pada tubuh ramping berbalut white floral blouse dengan detil petals rose yang elegan di sana. Leher jenjang dengan choker neck melingkar membentuk pita manis, dagu runcing kemerahan, bibir berwarna peach segar, mata sebiru lautan, dan rambut yang pirang panjang, menari lembut mengikuti arah angin berhembus.
Jakun Elang bergerak menelan ludah melihat betapa sempurna wanita di depanya ini, gesture wanita itu begitu anggun dan berkelas. Satu kata tercekat di leher Elang, ‘CANTIK’.
Melihat kesempurnaan itu, tiba-tiba saja angin berhembus halus, waktu seakan berhenti, dan semua orang tidak pernah ada di sana. Hanya Elang dan gadis itu, latar belakang pun menjadi sebuah taman yang bersinar terang, semilir angin sejuk menyisir lembut rambut halus si gadis. Peri-peri kecil menari sambil memainkan biola. Yang ia lihat saat ini mungkin adalah putri raja dari negeri di mana para malaikat berasal.
“Ma-malaikat…” bisik Elang dengan jantung yang sempat melemah beberapa saat lalu. Semakin melemah saat gadis itu tersenyum untuknya, sambil mengibaskan ekor rambut ke belakang, kemudian berkata.
“Aku sudah menghubungi polisi.”
Seketika Elang pulang ke kenyataan, hayalan surga berhamburan kembali menjadi orang-orang yang menatapnya seram seakan siap menyerang kapan saja. Dan yang lebih penting apa yang barusan gadis itu katakan? Polisi? Gadis itu memanggil polisi untuknya? Elang sama sekali tidak menyangka kalimat itu akan muncul dari bibir tipis menggemaskan di sana. Ia baru saja berbisik dalam hati bahwa ia jatuh cinta pada gadis yang membuat mimisannya semakin deras, dan gadis itu memanggil polisi untuknya?
“Apa yang kamu lihat?!” pertanyaan ketus itu meluncur dari bibir berkilau si gadis yang mendapati pemuda tak berdaya itu sedang menatapnya. Elang cepat-cepat mengatupkan mulut, menelan ludah lalu bersusah payah kembali duduk.
“Ja-jangan panggil polisi, aku gak salah.” Kali ini ia berhasil mengeluarkan pembelaannya di sela napas yang hampir habis.
Si gadis sedikit memiringkan kepala, “Oh ya???” ia tersenyum tak percaya. Lalu dengan heels seksinya ia berjalan menghampiri Elang. Ia tatapi Elang sebentar, lalu tatapannya jatuh pada tas bertabur permata di tangan Elang, yang sebagian permatanya telah lepas berhamburan. Dan dengan kasar si gadis merebut paksa tas itu dari Elang.
“Ini tas milikku.” katanya dengan wajah jutek.
Elang cengo di tempatnya. “Ta-tapi aku gak ngambil tas itu!” dan gadis cantik di depannya masih tampak tak percaya dengan pembelaan Elang.
“Dan ini bunny hat pencuri yang mengambil tasku.” ia juga menarik kupluk yang entah sejak kapan berada di kepala Elang.
Sekarang Elang tampak semakin terkejut, “Ta-tapi itu juga bukan milikku!”
“MALING MANA ADA YANG MAU NGAKU!!” Sahut salah seorang pria yang masih di sana.
“SUDAH HABISI SAJA!!” sahut yang lain mulai tersulut emosi. Elang membuka mulutnya untuk kembali membuat pembelaan tapi itu tidak pernah terjadi karena mereka semua masih bernafsu menghajarnya.
“Ayo habisi saja!!!”
“Stop! Stop!” dengan ayunan kedua telapaknya, si gadis kembali menghentikan tindakan yang hampir anarki. “Bapak-bapak sekalian, sebenarnya memang bukan dia yang ngambil tas saya.” penjelasan yang baru saja keluar dari mulut gadis itu jelas saja membuat semua orang tampak kebingungan.
“Gimana bisa? Kami lihat itu kupluknya dan itu tasnya mbak!” bantah salah seorang.
Gadis itu mengangguk. “Iya memang betul, tapi saya sempat ditodong dan melihat wajah pria itu, memang bukan dia. Kemungkinan orang ini sengaja dijebak.”
“Ya bener, kamu bener, aku kehilangan ranselku dan diberi benda-benda itu.” jelas Elang bersemangat.
“Lalu untuk apa anda memanggil polisi?” tanya salah satu dari orang-orang itu.
“Tentu saja untuk membawa pemuda ini ke kantor polisi, kami akan menjadi saksi untuk kejadian ini.” Jelas gadis itu dengan santai. “Lagipula aku punya urusan pribadi dengan pemuda ini.” lanjutnya melirik Elang yang masih terduduk sambil menahan segala nyeri di sekujur tubuhnya. Mendengarnya Elang menatap gadis itu penuh tanya.
BY : SHIBUYA
WARNING : ALUR LAMBAT!! Bertele-tele.
Cerita ini dibuat hanya untuk bersenang-senang, tanpa plot yg jelas, jadi mungkin berisi hal-hal yang kurang masuk akal. Mohon untuk tidak terlalu mempermasalahkannya.
****
“Makasih ya mbak udah nyelametin saya dari masa, untungnya mbak tau kalau aku gak salah.” Elang berdiri sembari meringis, memegangi perut yang terasa seperti diaduk. Darah dan luka di wajahnya sudah dibersihkan, beberapa bola kapas penuh darah tergeletak di sekitar tempatnya berdiri. Sementara gadis di depannya masih berdiri menatapnya angkuh.
“Siapa bilang kamu gak salah?”
“Ha? Eh? La-lalu?” tanya Elang seperti orang bodoh.
Si gadis memejamkan mata sebentar dan berkata, “Kamu tau berapa harga tas ini dan apa yang ada di dalamnya?” tanyanya, mengangkat tas mewah yang sebagian taburan permatanya terlepas.
Elang menggeleng. “Gak tau saya gak lihat isinya.”
Si gadis tersenyum sinis. “Tas ini harganya 1 milyar! Dan di dalam sini ada kacamata yang baru aja aku beli seharga 30 juta, dan sekarang kaca mata itu pecah!”
“La-lalu apa urusannya sama aku?” Elang semakin tampak bodoh.
Gadis itu mendengus kesal. “Kamu memakainya untuk melindungi mukamu kan. Jadi kamu harus ganti!”
Elang terbelalak “Loh ya aku gak mau lah. Itu bukan salahku!” kilahnya.
Gadis menggemaskan itu masih sinis. “Oh! kalau gitu aku bisa aja bilang ke polisi kalau kamu yang nyuri tas ini!” ancamnya.
“Ja-jangan dong….” cegah Elang panik.
“Kalau gitu bayar!”
“Ta-tapi mbak…” desah Elang gelisah, tapi melihat wajah serius wanita itu sepertinya hal ini tidak akan mudah. Elang menghela napas dan mengusap-usap wajahnya frustasi. Ini benar-benar hari sial, mungkin ini yang dinamakan karma karena telah menentang Ibu yang telah melahirkannya. Karma karna diam-diam pergi dari rumah dan hanya meninggalkan note kecil di tempat tidur.
Sekarang Elang tau apa itu menyesal, seperti apa kata ibunya, Jakarta tidak cocok untuknya, Jakarta penuh dengan benci, penuh derita. Andai saja ia menurut mungkin mimpi buruk ini tidak akan pernah terjadi.
Namun sekarang kayu sudah menjadi abu, Ibunya mungkin akan sedih berkepanjangan, lalu jatuh sakit jika mendengar Elang dipenjara, dan ia tidak mau hal itu terjadi. Padahal dalam surat kecilnya ia berjanji akan menjadi orang sukses di Jakarta.
“Jadi gimana? Kamu mau ganti kan?” tanya si gadis membangunkan Elang dari lamunan.
Elang menatap gadis itu dengan wajah ragu dan pasrah, ia tidak punya pilihan lain. Lagi-lagi Elang menghela napas berat, “Aku akan bayar Mbak.” katanya lemas. “Tapi aku gak tau kapan bisa lunasinnya, aku kehilangan dompet dan ijazahku dibawa kabur jambret tadi, bahkan hapeku hancur kelindes mobil. Dan di Jakarta ini sebenarnya aku baru mau cari kerja.”
Si gadis yang lebih mirip barbie hidup itu melipat tangan di dada, membalas tatapan Elang dengan tatapan hopeless.! “Aku gak tau sih apa skillmu, tapi biasanya pemuda kampung kayak kamu tuh datang ke Jakarta cuma bakal jadi kuli pabrik atau jadi OB. Itu kalo kamu beruntung.” Hati Elang mencelos mendengar pernyataan skeptis itu, tapi perkataan gadis cantik di depannya tidak seutuhnya salah. Omnya memanggilnya ke Jakarta memang untuk mencoba melamar lowongan OB sambil mencari pekerjaan yang sesuai dengan ijazah sarjana Ekonominya. Yang kini ijazahnya pun raib entah ke mana.
“Mungkin butuh seratus tahun untuk bisa melunasi semuanya ya?” tambah si gadis dengan remeh, membuat Elang ingin menjerit-jerit menangis, tapi hanya bisa ia lakukan dalam hati.
Untuk sesaat mereka hanya terdiam saling berhadapan, gadis berambut pirang itu tampak berpikir sambil mengigiti telunjuk berkuteks pinknya. Ia amati penampilan Elang yang lusuh dengan sisa darah di wajah yang mengering, kemejanya kotor dan sedikit robek sana-sini. Dari bawah ke atas ia amati fisik Elang, sama sekali tidak buruk, Elang memiliki tubuh proporsional dengan tinggi sekitar 185cm, wajahnya tidak jelek, mungkin saja ia bisa berubah menjadi pemuda tampan jika dirawat dengan baik.
Sampai pada suatu ketika si gadis tersenyum penuh banyak arti, “Gimana kalau kamu kerja sama aku?”
“Eh? A-aku?” tanya Elang memastikan ia sedang tidak salah dengar.
“Iya, kamu bisa lunasi semua hutangmu. Mungkin bisa lah dengan waktu satu tahun.” lanjut sang gadis, santai sambil memainkan helaian pirangnya dililitkan di jari.
Alis Elang tertaut, “Ngg… kerja macam apa itu?”
“Kamu mau apa gak?! Kalau gak mau sih gak papa.” gertak gadis itu jutek.
Elang yang tidak mau kehilangan kesempatan menjawab cepat. “I-Iya-iya aku mau!”
Gadis itu tersenyum menang, “Bagus. Ngomong-ngomong siapa namamu?” tanyanya tanpa mengulurkan tangan.
“Elang.”
“Huh?” gadis itu menautkan alis.
“Iya, Baginda Raja Elang, teman-temanku memanggilku Elang.”
Si gadis mendengus, “Woah! Bagus, aku harap saat petugas kebun binatang lewat mereka gak nangkap kita.” Jawab gadis itu, membuat Elang makin tampak bodoh. “Kamu bisa panggil aku Naga.” dan saat gadis jelmaan barbie itu menyebut namanya Elang baru paham apa maksudnya, lalu mereka tertawa bersama.