The Dark Room

Aku membuka perlahan kedua mataku, menyesuaikan pandangan sembari melihat sekeliling. Di tengah pandanganku yang masih kabur, aku mengetahui diriku berada di suatu ruangan yang nyaris kosong. Satu lampu 15 watt yang menggantung ditengah ruangan menjadi sumber cahaya disini. Terdapat satu kursi dan meja yang terletak di sudut kiri ruangan ini, diatas meja itu terdapat beberapa benda, aku hanya bisa melihat segulung lakban dan tali putih yang menggantung. Di dekatnya terdapat pintu yang tertutup rapat. Di sudut kanan terdapat satu buah kasur yang disandarkan ke dinding.

Kepalaku terasa pusing, aku mencoba bangkit, namun dengan cepat aku menatap kearah tubuhku setelah aku merasakan kaku. Kesadaranku langsung kembali saat tahu kedua tanganku diikat dibelakang punggung, ada ikatan juga di sikuku, dipererat juga dengan ikatan diatas dan bawah payudaraku yang kini hanya terbungkus bra warna merah muda. T-tunggu, dimana pakaianku?! Hanya bra dan celana dalam yang tersisa ditubuhku. Pergelangan kaki, lutut, dan pahaku juga diikat erat dan melipat ke sisi kanan. Aku tidak bisa bergerak bebas, aku tertahan di posisi yang menyiksa ini.

Aku yang panik sontak berteriak. Namun hanya erangan kasar yang bisa aku hasilkan. Sial! mulutku telah disumpal oleh suatu benda seperti kain. Bibirku juga dibekap kuat oleh lakban, sehingga sumpalan ini tidak bisa aku keluarkan.

“Mmmph! Mmppgh! Mmppghh!” Aku terus meracau dan meronta diatas karpet ini. Jantungku berdebar kencang, keringat dingin mulai mengalir. Aku takut, bingung, panik. Pelupuk mataku mulai basah. Kepalaku masih belum bisa mengingat apapun.

Kreekk…

Rontaan dan racauanku terhenti setelah pintu itu terbuka. Aku membulatkan kedua mataku saat seorang laki-laki yang aku kenal muncul dari balik pintu itu.

“Oh, udah bangun lo? Gimana tidurnya? Nyenyak?” Dia menutup dan mengunci pintu itu.

Aku terdiam, mataku masih saja membulat. Perkataannya barusan semakin membungkamku.

“Hmm? Kok gak dijawab? Oh iya, mulut lo disumpel ya, haha!” Dia mendekatiku, tertawa dengan nada mengejek. Aku perlahan mundur dengan pantat dan kakiku yang terikat, hingga aku tertahan di dinding. Aku semakin bingung dengan situasi ini. Entah kenapa, laki-laki itu… bukan seperti laki-laki yang aku kenal…

“Gila, lo seksi banget kalo diiket kayak gitu.”

Aku bergeming.

Dia sampai dihadapanku, berjongkok agar pandagannya setara denganku. Ia tersenyum dan menatapku puas. Tangan kasarnya itu mengelus-elus pipiku dan merapikan rambut yang menghalangi mataku. Aku berusaha menghindarinya namun semua ikatan ini menahanku. Jantungku serasa berhenti berdetak, bulu kudukku merinding ketika dia berbisik setelah menyeka air mataku yang jatuh.

“Shani Indira Natio… lo bakal gue habisin…”

To be continued…