TestPack Di Tas Sekolah Anak Lelakiku
Tentang
Konten
Mayra dan Ardi kecewa saat mengetahui Nathan–anak mereka yang lugu–telah menghamili seorang perempuan saat masih berada di bangku sekolah menengah atas. Mayra dan Ardi merasa menjadi orangtua yang gagal untuk Nathan.
Bab 1 Testpack Di Tas Nathan
TEST PACK DI TAS SEKOLAH ANAK LELAKIKU
POV MAYRA
Jantungku berpacu dua kali lipat saat mendapati benda pipih terjatuh dari tas sekolah anak lelakiku. Dengan tangan yang gemetar aku mengambil benda yang memiliki garis dua itu, bau air seni masih tercium dari benda itu. Jelas jika test pack yang ku pegang itu bekas pakai.
“May, mana sarapannya?” Suara Mas Ardi berteriak dari dapur. Aku menyimpan benda itu di saku daster, belum saatnya mengatakan pada suamiku. Bahkan aku masih berharap jika apa yang ada dalam benak ini hanya kesalahpahaman saja.
“Aku tadi beresin dulu kamar Nathan, Mas,” jelasku. Tangan ini dengan cekatan menyiapkan makanan untuk suami dan anakku. Nathan masih berada di kamar mandi.
“May, bonus lembur bulan ini mau Mas kasih buat ibu semuanya, Ibu lagi sakit. Nggak apa-apa ‘kan?” tanyanya sambil menyantap sarapan.
Mas Ardi selalu mengatakan padaku untuk apa saja uangnya dipakai. Biasanya Mas Ardi akan memberikan setengah dari bonus lembur untuk ibu mertua, sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan soal itu, karena Mas Ardi tetap mengutamakan kebutuhanku dan Nathan.
“Iya, Mas.” Aku hanya menjawab singkat.
“Kamu sakit? kok wajahnya pucet gitu,” tanya Mas Ardi.
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala sambil tersenyum. Mungkin efek tadi aku terlalu kaget dengan apa yang kulihat. Nathan datang dengan seragam sekolahnya, ia hanya berdiri mematung.
“Duduk, Nak. Sarapan dulu,” seruku.
“Nathan belum laper, Bu. Nanti makan di kantin aja,” jawabnya.
“Ayah bangga sama kamu, Nak. Kamu bisa mempertahankan juara umum pertama di sekolah selama dua tahun berturut-turut,” tutur Mas Ardi sambil menepuk pelan pundak Nathan.
Anakku memang sangat ulet dan tidak neko-neko. Ia juga tidak seperti anak-anak pada umumnya yang suka jalan-jalan bersama temannya saat weekend. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah, kadang aku yang memaksanya untuk pergi bersama teman-temannya yang lain. Tidak ingin anakku menjadi orang yang punya jiwa introvert.
“Ya udah, yok berangkat!” ajak Mas Ardi, ia merangkul pundak Nathan sambil berjalan ke depan.
Aku merasa menjadi wanita beruntung karena memiliki suami pengertian seperti Mas Ardi dan anak penurut seperti Nathan. Aku menatap mobil yang membawa suami dan anakku berjalan menjauh. Tempat kerja Mas Ardi dan sekolah Nathan satu arah, makanya mereka selalu berangkat bersama.
Aku menepuk jidat saat mengingat jika tadi aku di buat cemas dengan testpeck bergaris dua itu. Saat Nathan pulang sekolah akan kutanyakan padanya mengenai benda ini.
***
Aku menunggu dengan cemas Nathan yang belum pulang, sudah jam lima sore tapi anak itu belum terlihat batang hidungnya. Tidak biasanya Nathan pulang telat, jikapun telat ia akan mengatakannya padaku. Mencoba menghubunginya tapi tidak diangkat.
Deru suara mobil membuatku langsung melangkah ke arah pintu dan menyambut kepulangan Mas Ardi. Mencium tangannya dan membawakan tas kerjanya. Mas Ardi bekerja sebagai staff HRD di salah satu perusahaan swasta.
“Mana Nathan? Aku udah beliin kado buat dia.” Mas Ardi terlihat antusias. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag dan memperlihatkannya padaku. Sebuah ponsel dengan logo apel tergigit itu adalah ponsel impian Nathan.
“Nathan belum pulang, Mas. Mungkin ada kelas tambahan,” jawabku asal. Aku saja tidak tahu dimana Nathan saat ini.
Mas Ardi memilih untuk mandi dulu sebelum Nathan datang, ia juga mengatakan akan mengajakku dan Nathan untuk makan malam di luar. Jika sudha seperti ini suasana hati Mas Ardi pastilah sedang senang.
“May ….”
Suara teriakan Mas Ardi membuatku berlari menghampirinya. Mataku erbelalak saat melihat ia memegang test pack di tangannya, test pack yang aku temukan di tas Nathan tadi pagi.
“Ka–kamu hamil, May?” tanyanya. Senyum merekah di wajahnya, mungkin ia mengira jika aku hamil. Memang aku dan Mas Ardi sedang program untuk memiliki anak kedua.
“Ma–mas … a–ku.” Lidah ini rasanya kelu, tidak sanggup untuk berkata-kata.
“Aku seneng banget.” Mas Ardi berkata sambil memeluk tubuh ini dengan erat.
Suara Nathan yang mengucapkan salam membuatku melepaskan diri dari dekapan Mas Ardi dan menemui anakku itu.
“Kena–” perkataanku terhenti saat melihat wajah Nathan yang lebam dan darah segar terlihat di sudut bibirnya.
“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku cemas sambil memegang wajah anakku itu.
Nathan tidak berbicara, ia menunduk. Setetes air mata terjun bebas membuatku semakin cemas. Aku langsung memanggil Mas Ardi.
“Ma–maafin, Nathan ….”
Aku dan Mas Ardi terdiam, menunggu Nathan menyelesaikan ucapannya.
“Nathan di pukuli sama Papanya Kayra,” uangkapnya.
“Kamu ada salah apa sampai di pukuli kayak gini?” tanya Mas Ardi.
“Kayra ha–hamil,” jelasnya.
Aku menggeleng pelan sambil mengguncang pundak Nathan.
“Katakan, bukan kamu yang melakukannya ‘kan? Ayahnya Kayra cuman salah paham?” tanyaku bertubi-tubi. Aku menarik nafas dalam sebelum mendengar apa yang akan dikatakan oleh putraku itu.
“Maaf ….”
Lutut langsung lemas seketika, tubuhku roboh ke lantai. Netra ini memanas diiringi buliran bening yang berlomba keluar dari pelupuk mata. Kata maaf yang dikatakan Nathan mewakili pertanyaan yang sedari pagi bersarang di benakku.
“Hahaha … Ternyata kamu juga bisa ikutan kaya orang-orang, ya. Masa orangtua sendiri di prank kayak gini?” seru Mas Ardi sambil tertawa, ia berjalan mendekat pada Nathan dan menepuk pundak anak itu. Aku menggelengkan kepala dan mencoba berdiri menghampiri suamiku.
“Mana mungkin ‘kan kamu melakukan hal bejat itu, kamu itu kebanggan Ayah!” lanjutnya.
“Maaf, Yah. Tapi anak kebanggaan Ayah ini memang melakukan hal bejat itu,” tutur Nathan pelan.
Aku tidak sanggup untuk berkata-kata, dada ini rasanya sesak. Duniaku rasanya runtuh saat mengetahui putra yang selalu kubanggakan bisa melakukan hal sekeji itu. Aku merasa menjadi orangtua yang gagal untuk Nathan.
“Apa? coba katakan sekali lagi! Yakinkan Ayahmu ini kalau semua yang kamu katakan itu cuman omong kosong!” seru Mas Ardi, tangannya mengguncang pundak Nathan dan mencengkramnya.
“Ma–maaf, Yah. Nathan yang melakukannya, Nathan yang bertanggung jawab atas kehamilan Kayra,” akunya.
Bisa kulihat kemarahan dari sorot mata Mas Ardi, tangannya mengepal. Bahkan netranya kini memerah dan setitik air mata lolos membasahi pipinya yang langsung dihapus dengan kasar.
“May, apa dia putra kita? putra kita yang polos dan penurut? atau ini cuman mimpi?” tanya Mas Ardi padaku, aku semakin tergugu. Air mata sudah tidak bisa lagi dibendung. Mulut ini seperti terkunci, tidak bisa mengatakan apapun.
“May … katakan padaku kalau semua ini tidak benar!” sentaknya.
“Maafin Nathan, Yah, Bu. Nathan salah,” seru Nathan. Ia berlutut di depanku dan Mas Ardi sambil menangis.
“Maaf? Kau bilang maaf … setelah mendapatkan akibatnya baru kau menyadari betapa hinanya perbuatanmu itu!? Kasih sayang yang kami berikan kau balas dengan melemparkan kotoran ke wajahku dan Ibumu! Apa masih kurang segala yang kuberikan? Apa aku terlalu keras padamu atau kasih sayang yang kuberikan kurang hingga kau menghadiahi ini sebagai balasan atas ketidak puasan itu!” seru Mas Ardi dengan berapi-api.
“Nathan khilaf, Yah,” sesalnya sambil mencoba memeluk kaki ayahnya itu tapi langsung ditepis dengan keras oleh Mas Ardi. Mas Ardi pergi ke kamar Nathan, entah apa yang dilakukannya. Ku akui, diri ini memang terluka tapi seorang ibu tidak akan pernah tega mengabaikan anaknya dalam keadaan seperti ini.
Bersambung ….