Tercemarnya Diriku

Tidak pernah sekalipun terbesit dalam pikiranku, kalau aku akan menghianati suamiku kelak suatu hari nanti. Sedari awal aku menikah, aku sudah bertekad untuk membangun rumah tangga yang harmonis seperti yang kudambakan.

Segenap perasaan kulimpahkan hanya untuk suamiku tercinta, aku membiarkan rahimku diisi benih-benih cinta darinya sebagai bukti komitmenku terhadap pernikahan kita.

Betapa perasaan bahagia merasuk ke dalam sanuk bari, ketika aku melihat buah hatiku yang pertama hasil dari perkawinanku bersama suami terlahir ke dunia ini. Ia lah Karina, putri kecilku. Senyum lemah kuukir ketika tangan mungilnya mencengkram salah satu jariku. Darisana aku membulatkan tekadku untuk semakin mengokohkan pilar-pilar pernikahanku.

Dengan hadirnya Karina menyongsong hidupku. Mimpi-mimpiku selama ini bagai telah terkabulkan seluruhnya. Hidupku terasa begitu syahdu.

Suamiku, Mas Hari adalah pria dengan paras rupawan yang shaleh. Ketika ibu mertuaku bercerita tentang masa kecilnya, aku bisa mengerti kalau Mas Hari adalah sosok yang sangat manut dengan orang tuanya. Ia tak pernah meninggalkan shalat serta amalan-amalan lainnya. Selain shaleh dan rupawan. Tubuhnya pun dihiasi otot-otot kekar. Setiap akhir pekan ia rutin mengajakku berolah raga baik di Gym ataupun sekedar belari-lari di sekitar komplek.

Suamiku pun melimpahkan cintanya yang sama padaku, ia begitu mencintaiku hingga ia terus menanyakan kabarku baik pagi, siang, dan malam. Aku benar-benar beruntung memiliki suami sepertinya.

Suamiku, Mas Hari bekerja sebagai Branch Manager di salah satu bank terkemuka di negeri ini. Sedangkan aku sendiri bekerja menjadi Sekretaris leasing mobil di kotaku.

Sebenarnya suamiku sudah berulang kali melarangku bekerja. Gaji pokok Mas Hari saja sudah lebih dari cukup untuk menopang kebutuhan hidup keluarga. Tapi aku yang sudah dibekali ijazah S1 tentu tak mau ijazahku menganggur begitu saja.

Setidaknya untuk uang perawatan kecantikanku, aku tak mau membebankan suamiku. Niat awal yang semula begitu mulia, tanpa kusadari membawa petaka terbesar dalam lika-liku rumah tanggaku. Jika saja suamiku tidak diberi kebesaran hati yang begitu besar oleh Tuhan, jika suamiku bukan Mas Hari, aku yakin pernikahanku tidak akan bertahan.

Meskipun tetap ada ganjaran yang kuterima, tapi itu lebih baik daripada harus mengakhirinya, aku tak mau putriku Karina hidup dengan kasih sayang orang tua yang setengah-setengah.

Tanganku bergerak membasuh kaki suamiku. Air mata penyesalan tak mampu kubendung lagi, mengalir jatuh lewat pipiku dan membasahi jilbab putih berkain satin yang kukenakan. Ibu yang berdiri menyaksikanku pecah tangisnya, suasana haru yang menyesakkan tergaung mengisi ruangan.

Setelah beres mencuci kedua kaki suamiku, aku menengadahkan wajah sembabku, kusempatkan melirik suamiku. Rahangnya mengeras pertanda ia masih belum bisa menerima semua kenyataan ini, bahunya menegang, sementara mata sekelam malamnya membulat tanpa arti.

Aku menegakkan tubuhku, kuseka air mata yang berlinang di kedua pipiku. Suamiku pun ikut beranjak dari posisi duduknya. Kami saling bersitatap muka.

“Mas maafin aku ya…” Ucapan lara itu meluncur dengan sendirinya dari mulut bibirku. Aku mengigit bibir bawahku, menahan tangisku yang sudah berada di pangkal tenggorokanku.

Kendati amarahnya masih memuncak, perasaan terhianati masih menyelimuti hatinya. Suamiku memilih merengkuh tubuhku. Mengecup dahiku pelan dihadapan kedua orang tua kami. Perlakuan yang ia berikan untuk meredakan rasa sedih yang berkecamuk dalam diriku. Terus terang aku pun ikut marah terhadap diriku sendiri.

Bagaimana aku bisa melakukan tindakan keji macam itu? Menodai pernikahan yang kuelukan sejak masih kecil. Menghianati tekad yang kubuat saat aku melahirkan Karina. Menikam suamiku dari belakang.

Jika kuingat-ingat, bodoh sekali diriku dahulu. Bisa-bisanya aku jatuh ke perangkap pimpinan kantorku dan seluruh tetek bengek jajarannya.

Terlepas dari perangkap itu, aku benar-benar tak habis akal. Mengapa aku bisa membiarkan diriku berlarut-larut menjadi pemuas nafsu seks mereka? Aku tertohok geli mengingat saat-saat aku sempat menikmati perlakuan mereka.

Seakan-akan memupus semua tekad dan ambisiku dalam mempertahankan hubungan rumah tanggaku. Seakan aku buta jikalau perihal tersebut dapat meruntuhkan seluruh pondasi pernikahanku yang sudah selama lima tahun ini kubangun.

Aku biarkan setiap inci aurat di tubuhku menjadi bahan pemuas hasrat bagi pimpinan kantorku. Aku biarkan seluruh iman dan kemantapan hatiku meluruh saat mereka menyetubuhiku. Enam bulan yang dulu menurutku adalah surga duniawiku.

Mual perutku kala aku mengingat betapa antusiasnya diriku menyambut hari baru saat datang ke kantorku. Seolah semakin hari semakin bersemangat aku disetubuhi oleh penis-penis yang bukan menjadi muhrimku. Kesucianku sebagai seorang istri dan seorang ibu telah direnggut oleh mereka. Dan tidak sekalipun aku berjuang melawan penindasan mereka.

Hilang akal sehatku memang lebih memilih rela disetubuhi para pria tua itu ketimbang menjalin hubungan yang lebih erat dengan suamiku.

Sekali lagi aku mengangkat kepalaku dari dinginnya pelukan suamiku. Dari bahu suamiku, aku bisa melihat kilat amarah di bola mata ibu mertuaku.

Inilah ganjaran yang akan kuterima mulai hari ini dan hari-hari berikutnya. Mungkin suamiku juga tak akan sudi lagi menjamah tubuh kotorku, toh rahimku sendiri sudah dihuni oleh calon bayi yang aku sendiri tak tahu siapa ayahnya.

Dengan kejadian ini, aku, Ratu Elvia, akan mengabdikan sisa hidupku untuk suamiku seorang. Menebus seluruh dosaku dulu..


Maafkan newbie yang menggunakan alur cerita klasik yang banyak digunakan para penulis lain, ane harap cerita karya newbie ini masih mungkin dinikmatin para suhu dimari