Tanpa Tenda Biru
SEJAK papa jatuh dari sepeda motor 4 bulan yang lalu, kesehatan papa terus menurun. Terpaksa papa minta keluar dari pekerjaannya dan dari uang pesangon papa, kemudian mama membuka usaha warung nasi di depan rumah untuk menyambung hidup.
Aku tau diri melihat kondisi keluargaku sehingga aku tidak minta dikuliahkan meskipun mama mau menguliahkan aku dan pada saat yang sama aku sungguh beruntung. Idris temanku memasukkan aku bekerja di bengkel mobil ayahnya karena aku memang hobby dengan mesin.
Melihat pekerjaanku baik dan aku juga rajin tidak sampai 2 bulan aku bekerja gajiku langsung dinaikkan oleh Pak Dadang, pemilik bengkel mobil yang juga ayah dari Idris.
Mengetahui akan hal ini, kasir Pak Dadang, yaitu Ibu Siti Marifah, yang sudah punya suami dan sudah punya anak 2 ini suka mencuri-curi pandang padaku mungkin aku dianggapnya akan menjadi ‘bintang masa depan’ bengkel mobil Pak Dadang.
Pada suatu hari aku sudah mau pulang, Pak Dadang datang menyodorkan aku selembar cek sebesar 25 juta rupiah untuk aku bawa ke rumah Ibu Siti supaya ditandatangani oleh Ibu Siti, karena cek tersebut harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu Pak Dadang sendiri dan Ibu Siti.
“Sekalian kamu cairkan besok ya Dhis,” kata Pak Dadang padaku. ” Lalu setor ke rekening ini…”
Setelah mendapat petunjuk dari Pak Dadang, aku segera memacu sepeda motorku membelah keramaian jalan raya di sore hari itu pergi ke rumah Ibu Siti.
Aku harus menelusuri gang sempit dan sumpek untuk mencapai rumah Ibu Siti yang terselip di antara rumah-rumah kontrakan. Aku bertemu dengan suami Ibu Siti yang kebetulan mau pergi ke balai warga di dekat rumahnya untuk rapat.
Aku memperkenalkan diriku pada beliau dan maksud kedatanganku. Beliau langsung ngobrol akrab denganku mungkin aku dianggapnya orang kepercayaan Pak Dadang. Kalau bukan orang kepercayaan masa diberi pegang cek 25 juta tunai? Istrinya sendiri sebagai kasir saja belum tentu bisa pegang cek sebesar itu.
“Ibu lagi mandi, tunggu sebentar ya Dek, Bapak mau ke rapat. Bapak tinggal ya, Dek.” kata pria bertubuh besar dan brewokan itu, khas tampang preman.
Tapi belum Pak Brewok melangkah keluar dari pintu rumahnya, Ibu Siti sudah datang dari kamar mandi dengan rambut basah dan tubuh berbalut handuk. “E… e… e… ada Dik Adhis.” kata Ibu Siti buru-buru masuk ke kamar.
“Ya Bu, mau tandatangani cek…” jawabku.
Sebentar kemudian Ibu Siti sudah keluar dari kamar dengan rambut masih basah, tetapi tidak memakai jilbab dan juga bukan memakai rok panjang seperti yang dikenakannya setiap hari kerja, melainkan hanya memakai celana pendek yang kelihatan pahanya yang tidak mulus karena banyak noda-noda hitam seperti bekas luka sampai ke kaki-kakinya dan teteknya yang besar juga bergentayangan di dalam kaos tanpa lengannya yang tipis.
Mungkin ia ingin menjamu aku, batinku tetapi aku tidak pernah nafsu melihat wajah Ibu Siti apalagi sekarang kuketahui paha dan kakinya bertaburan bekas luka, matanya seperti mau melotot dan bibirnya tebal maju ke depan, pipinya juga banyak bintik-bintik hitam, kecuali teteknya itu saja yang bikin aku napsu.
Ngobrol-ngobrol sebentar Ibu Siti lalu menandatangani cek yang kutaruh di atas meja beserta ballpoint.
Setelah ditandatangani aku langsung memasukkan ke dalam map dan ingin segera pergi dari rumah Ibu Siti karena hari sudah malam. Duduk kelamaan juga nggak enak, karena takut suaminya yang bertampang preman itu cemburu.
“Jangan pulang dulu.” kata Ibu Siti menahanku. “Anakku lagi beli mie, selesai makan mie baru pulang.”
Benar saja, tidak sampai 5 menit Ibu Siti berbicara, anak laki-laki Ibu Siti yang berusia sekitar 15-an tahun membawa 2 bungkus mie goreng masuk ke rumah, kemudian ia pergi lagi.
Tentu saja aku tidak makan sebungkus, aku ambil di piring kurang dari separuh. Sambil makan, aku yang duduk di sebelah Ibu Siti, tiba-tiba Ibu Siti memegang pahaku, “Sudah tau rumah aku kan?” katanya. “Sering-sering ke sini ya, kalau malam suamiku jarang di rumah, anak-anak juga suka pergi…”
“Kesepian?” tanyaku.
“He.. he..” ia tertawa, lalu pergi menutup pintu tidak sampai rapat. “Banyak nyamuk.” katanya. Nyamuk dipakai buat alasan.
“Pindah ngobrol di kamar dong,” jawabku.
Ibu Siti mencubit pahaku. Di ruang tamunya yang sempit itu kemudian kedua bibir kami bersatu saling melumat. Mie goreng yang belum selesai dimakan kami tinggalkan di meja. Dan teteknya menjadi sasaran utama remasanku tanpa aku pikirkan lagi Ibu Siti punya suami dan punya anak.
Ia membuka ritsleting celanaku mengeluarkan kontolku yang tegang dari celana panjangku lalu dikocok-kocoknya kontolku. “Hufff… akkhh… akkhh.. akkhh…” desahnya penuh nafsu sambil saling melumat bibir.
Ibu Siti lalu menghisap kontolku. Aku sudah kehilangan kesadaran karena Ibu Siti membawaku terbang ke awang-awang merasakan nikmatnya hisapan mulutnya pada kontolku yang besar dan panjang.
Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku segera menarik lepas celana pendek Ibu Siti. Ternyata Ibu Siti tidak memakai celana dalam. Kukangkang lebar pahanya di kursi yang didudukinya dan kulihat memeknya yang keriput berwarna coklat belepotan dengan lendir birahinya.
Kemudian segera kontolku menyerobot masuk ke lubang memeknya yang kelihatan terbuka berwarna kemerah-merahan.
Blussss…
“Awwwwhh…!!” jerit Ibu Siti ketika batang kontolku menembus lubang memeknya. “Hi… kontolmu besar…”
“Itu kan yang kamu cari?” jawabku melumat bibirnya sambil kupacu kontolku di lubang memeknya yang basah dan licin.
Dasar aku belum bisa menguasai emosi dan lagi pula memek Ibu Siti yang berjembut hitam legam itu juga sangat nikmat, sehingga tubuhku segera mengejang, zakar dan kontolku diisi dengan penuh kenikmatan, akhirnya… sherrr… croottt…. croottt… croottt…. huuhh… memekmu… nikmatnya bikin aku gila padamu, kataku pada Ibu Siti.
Ibu Siti memeluk aku erat-erat membiarkan air maniku terus menyembur-nyembur di depan mulut rahimnya, croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt….
“Aku cinta padamu.” kata Ibu Siti padaku.
Aku segera sadar, mama sedang menunggu aku di rumah sementara aku selingkuh dengan bini orang di sini.
Segera kucabut kontolku dan membereskan pakaianku. Di depan gang sebelum aku menghidupkan sepeda motorku, aku berhenti menyapa Pak Brewok yang pulang dengan beberapa teman sebayanya.
Justru aku tidak merasa bersalah dengan Pak Brewok karena keinginan istrinyalah sehingga terjadi persetubuhan itu.
Sesampai di rumah mama yang membukakan pintu rumah untukku dengan rambut kusut. Aku tidak memasukkan sepeda motorku lagi ke dalam rumah, aku tinggalkan saja di halaman karena melihat wajah mama membuat aku ingin menangis.
“Kenapa sih kamu, pulang-pulang lemes gitu…” kata mama duduk di sampingku.
“Adhis malu mengatakannya pada Mama, Ma… karena Adhis telah berdosa terhadap Mama…”
“Katakan yang jelas Dhis, jangan berbelit-belit dengan kata-kata yang bersayap-sayap… dosa apa yang kamu lakukan terhadap Mama…” tegur mama.
“Adhis… Adhis… Adhis ma…main perempuan Ma, maka itu Adhis terlambat pulang…”
“Mmmm…” mama malah tersenyum mencubit pipiku. “Kamu sudah bisa?” tanya mama.
“Karena dipikat ya dibisa-bisain, Ma…”
“Siapa perempuannya, masih gadis?” tanya mama.
“Justru itu Ma, bini orang, kasirnya Pak Dadang. Kalau aku nggak disuruh Pak Dadang antar cek ke rumah Ibu Siti nggak akan terjadi begini, Ma…”
“Jangan salahkan Pak Dadang, kamu yang salah, kamu yang napsu dengan perempuan itu… Mama jadi cemburu deh… sudah malam, mandi sana…” suruh mama.
Aku malas bangun dari kursi yang kududuki. “Sini, Mama lepaskan pakaianmu…” mama bangun dari duduknya melepaskan kaosku.
Mama menyuruh aku bangun, mama melepaskan celana panjangku. Mungkin aku sedang bingung, sehingga aku pasrahkan saja mama melepaskan celana dalamku juga. Sebelum aku berjalan ke kamar mandi, mama menyentil penisku dengan jarinya. “Ngg… gagah sih… pantesan Ibu Siti suka…”
Entah dari mana mama mendapatkan jamu malam-malam begini, selesai mandi mama memberikan aku segelas jamu. “Ini diminum, biar nggak lesuh loyo… terutama ‘itu’mu.” kata mama.
Jamu mama bener-bener cespleng, belum diminum 1 jam kontolku langsung berdiri tegang, rasanya ingin aku segera mencari ‘lubang’ Ibu Siti lagi.
Pagi-pagi aku pergi ke bank dulu mencairkan cek Pak Dadang. Pulang dari bank aku segera ke bengkel dan Ibu Siti sudah menyediakan aku sarapan yang dibawanya dari rumah berupa nasi goreng yang ditaruhnya dalam kotak makan.
Bagaimana aku tidak jatuh ke dalam pelukan Ibu Siti?
Selesai aku makan, Ibu Siti meletakkan segelas air minum di depanku. Ia tidak langsung pergi. Ia menunduk dengan bibir merah bergincu menuju ke bibirku.
Kutangkap bibir Ibu Siti, karena teman-temanku yang asyik bekerja tidak mungkin masuk ke ruangan Ibu Siti kalau bukan ingin minjem duit atau gajian. Bibir kami segera saling melumat penuh dengan napsu sampai berbunyi cpott… cpott… cpott…
Aku membuka kancing di depan baju panjang Ibu Siti, lalu Ibu Siti menaikkan BH-nya memberikan teteknya yang kenyal montok itu kuremas. Kutarik-tarik dan kuplintir pentilnya hingga Ibu Siti menggigit bibir bawahku dengan kuat.
“Ohh… keluar semua lendir memekku, sayang… tetekku digituin enak banget…” kata Ibu Siti. Tidak kusangka jilbaber ini buas. Baru-baru kukenal dia alim. Salaman dengan dia cuma tempelin dikit ujung jarinya ke ujung jariku, sekarang…
Kuhisap pentilnya, kugigit kecil-kecil sambil 2 jariku mencolok-colok lubang memeknya yang basah sehingga membuat desahan dan rintihannya memenuhi ruangan. Memeknya bau terasi saat kukeluarkan jariku yang basah dari lubang memeknya. Ihh…
Tanpa melepaskan baju panjangnya dan hanya diangkat tinggi-tinggi kuentot lubang memek Ibu Siti dari belakang sementara Ibu Siti nungging di samping meja kerjanya sambil kedua tangannya berpegangan kuat pada pinggir meja.
Kugenjot lubang memek Ibu Siti dengan gencar, cplokk… cplokk… cplokk… cplokk… sampai meja tulis yang sedang dipegang Ibu Siti bergetar dan ikut bergoyang-goyang. “Akhhh… akkhh… akkhh… kontolmu besar, enak sayang… masuk yang lebih dalam…” jerit Ibu Siti.
“Aku ingin menghamili kamu…” kataku.
“Yaa…” jawab Ibu Siti.
Dari lubang memeknya aku pindahkan kontolku ke lubang anusnya. “Sakittt… shiittt… ahhh…” jerit Ibu Siti saat kutekan kontolku masuk ke lubang sempit itu.
“Hudahhh…” katanya dengan napas terengah.
“Trusss…” kataku.
Sampai mentok kudorong kontolku masuk ke lubang Ibu Siti yang menjepit itu. Rasanya begitu nikmat saat dinding anusnya itu berkedut-kedut meremas batang kontolku.
Kukocok… kocok… kocok… kocok… ahhh… ahhh… ahhh… rintih Ibu Siti.
Sewaktu air maniku terasa mau keluar segera kucabut kontolku dan kupindahkan ke lubang memeknya.
Croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt…. croottt…. croottt… croottt….
Tidak disangka dari lubang anus Ibu Siti juga keluar cairan kuning, prett.. phett… phettt.. prettt… phett… phett…
Aku cabut kontolku, Ibu Siti membalik tubuhnya memeluk aku. “Sayanggg…” ucapnya manja.
Sejak pagi itu menu sarapanku selain nasi goreng atau mie goreng, ya itu… pengetoanku dengan Ibu Siti. Aku juga sudah tidak merasa berdosa lagi pada mama karena sudah kebiasaan setor air mani ke lubang memek Ibu Siti.
Sampai suatu hari, papa memanggil aku dan mama….
“Dhis… mulai hari ini Mama menjadi tanggungjawabmu…” kata papa dengan suara serak sambil duduk di kursi roda.
“Kalau Mama setuju ya sudah…”
“Termasuk kebutuhan batin Mama ya Dish… Papa sudah semakin lemah seperti sudah mau menjelang ajal, maka itu Papa panggil kamu dengan Mama untuk menyerahkan tugas ini padamu…”
Papa menjulurkan tangan kanannya memegang tanganku dan memegang juga tangan mama, papa lalu mempersatukan tanganku dengan tangan tangan mama. Setelah itu papa memejamkan matanya seperti ngorok, lalu kepalanya terkulai.
Mama menjerit histeris karena papa sudah pergi untuk selama-lamanya, tinggal aku dan mama yang akan menata kehidupan kami yang baru…
Lewat satu minggu papa meninggalkan kami mama berulang tahun yang ke-40. Aku sudah menyiapkan hadiah untuk mama.
“Selamat ulang tahun, Ma…” ucapku pagi-pagi sewaktu mama sedang membuat sarapan di dapur.
Mata mama berbinar-binar saat ia melihat tanganku. Kepegang tangan kanan mama lalu kusematkan cincin di jari manisnya. Mama juga menyematkan cincin ke jari manisku. Setelah itu kami berpelukan dan berciuman bibir.
Aku memapah mama ke kamar. Entah dari mana aku mendapatkan tenaga untuk memapah mama. Mama merangkul leherku dan mencium bibirku. “Kamar pengantin kita berantakan, sayang.” kata mama.
Kulemparkan mama ke tempat tidur dan aku menghambur melumat bibirnya. Aku begitu bernapsu karena mama berbeda dengan Ibu Siti. Mama cantik, mama bersih.
Kami bertukar ludah. Lidah kami saling bertaut dan melilit sehingga tidak lama tubuhku dan tubuh mama sudah telanjang bulat.
Aku mengulum payudaranya yang mungil dan kencang. “Shittt… ahh… saa… sayang… Mamm…maa keluar…”
“Cepat banget Ma…”
“Kamu merangsang, sayang…”
Aku jilat perut mama yang langsing. Aku hisap pusernya sementara tanganku meraba selangkangannya. Bulu jembut mama hanya sedikit, tapi vaginanya basah kuyup. Entah sudah berapa lama mama menahan birahinya, kasihan…
Aku segera menjilat vagina Mama yang wangi kewanitaannya. Lidahku baru kali ini kupakai untuk menjilat kelamin wanita, dengan Ibu Siti belum pernah, aku jijik dengan nonok Ibu Siti yang bau terasi. Aku sangka wanita berjilbab itu nonoknya bersih, ternyata..
Itu tidak penting. Yang penting aku sudah ngentot Ibu Siti hampir 20 kali. Aku membentuk posisi 69 dengan mama untuk menjilat vagina mama, sedangkan mama menghisap penisku. Aku merasa bersalah karena penisku sudah bekas Ibu Siti. Ibu Siti pula yang menikmati perjakaku di ruang tamu rumahnya.
Sekali lagi mama orgasme. Aku melesatkan penisku ke lubang vagina mama untuk pertama kalinya. “Ohh… penismu besar, enak suamiku…” kata mama.
“Ya Ma, memek Mama juga sangat lezat…” balasku sambil memompa liang vaginanya.
Aku tidak memikirkan Ibu Siti. Di hadapanku mama adalah seorang bidadari yang turun dari kahyangan untukku. Mama sudah menjadi milikku seutuhnya, tubuh dan jiwa raganya.
Kupeluk mama erat-erat, Mama juga memeluk aku erat-erat sambil kakinya menekan pantatku saat aku menebarkan benih cintaku ke rahimnya.
Sheeerrrr…. croooottttt… crooottttt…. crootttt…. rasanya beda saat air maniku menyemprot rahim mama dengan menyemprot rahim Ibu Siti… begitu nikmat rasa, saaa…ngat sangat nikmat.
Croooottttt… crooottttt…. crootttt…. croooottttt… crooottttt…. crootttt…. terus… croooottttt… crooottttt…. crootttt…. croooottttt… crooottttt…. crootttt…. terus… croooottttt… crooottttt…. crootttt….
“Mmm…” mama mencium bibirku. “Nikmat banget, sayang…”
“Karena cintaku pada Mama…” kataku membalik mama ke atas.
Mama berteriak, “Awwwwhhhh…”
Aku masuk ke ruang Ibu Siti. Ibu Neneng kaget, aku juga kaget melihat Ibu Neneng duduk di kursi Ibu Siti.
“Kok Ibu yang jaga?” kataku.
“Kamu terlambat. Kemana aja kamu selama seminggu?”
“Nikah Bu, aku sudah bilang dengan Pak Dadang…” jawabku.
“Siti sudah keluar. Ia hamil, katanya mau pulang kampung melahirkan di kampung…”
Handphone Ibu Siti tidak menjawab. Tidak masalah bagiku. Aku sudah punya mama. Indahnya cintaku dengan mama, walaupun usia kami berbeda 21 tahun.
Mama selalu menjaga vaginanya, menyuruh orang datang mengurut seminggu sekali sehingga vagina mama tetap kenyal, seret dan legit saat melayani penisku yang besar dan panjang.