TAMAT Vanquish
Pesta malam itu berlangsung cukup meriah. Sebuah pesta pernikahan berkonsep garden party, lokasinya di halaman belakang sebuah gedung pemerintahan di daerah utara Yogyakarta, suasana terasa hangat dan romantis dengan iringan musik jazz. Kedua mempelai terlihat membaur bersama para tamu, mencoba menampakan keakraban mereka. Halaman gedung ini cukup luas, bagian belakang berbatasan dengan lahan persawahan yang dipisahkan oleh pagar bambu setinggi pinggang yang cukup terawat dengan baik. Kalau hari-hari biasa selalu sepi, cuma beberapa lampu taman yang dinyalakan, tapi malam ini terlihat berbeda, terang benderang. Tri Budi Septianto (Budi, 26), sang mempelai pria sebenarnya ingin pesta yang sederhana saja untuk resepsinya ini, tapi orang tua sang mempelai wanita, Tiara Dharma Saraswati (Ara, 24) jelas tidak setuju. Di keluarga Budi ini adalah pernikahan ketiga setelah kedua kakak perempuannya, tapi di keluarga Ara ini adalah pesta pernikahan pertama dan satu-satunya karena Ara adalah anak tunggal, jadi keluarga itu menginginkan pesta yang meriah. Ayah Ara, Pak Wijaya adalah seorang perwira tinggi di lingkungan kepolisian daerah provinsi itu, tentu dia memiliki kolega yang tidak sedikit untuk diundang ke pesta pernikahan anak semata wayangnya. Pak Wijaya begitu gampang dekat dengan Budi sejak pertama kali dikenalkan Ara 2 tahun yang lalu. Pria tampan yang sering dipanggil Cacing oleh teman-temannya di kampus ini memberikan kesan yang sangat baik bagi keluarga Wijaya. Pria bersahaja yang mempunyai selera humor tinggi, diimbangi dengan wawasan dan kecerdasan diatas rata-rata membuat siapa saja akan merasa nyaman bila berbincang dengannya. Ditambah lagi kesamaan hobby dengan Pak Wijaya membuat mereka nyambung kalo ngobrolin masalah sepak bola, terutama klub favorit mereka yang kebetulan sama, si setan merah dari Inggris. Budi sekarang bekerja di salah satu bank BUMN. Agak kurang nyambung dengan latar belakang pendidikannya yang banyak mempelajari bidang programming dan informatika, tapi tak jadi soal, karena sekarang dia sudah di posisi yang nyaman. Dia memiliki rumah serta kendaraan dari hasil pekerjaannya itu. Awal bekerja memang dia kesulitan dengan bidang yang sama sekali baru buat dia, tapi semangatnya serta dukungan rekan kerja dan atasannya membuat dia cepat menguasai bidang barunya itu. Ditambah saat dia pacaran dengan Ara yang basic pendidikannya berkutat di keuangan dan pembukuan banyak sekali membantu Budi. Setelah 2 tahun berpacaran, Budi berniat untuk melamar pujaan hatinya itu. Dengan berani dia datang ke rumah keluarga Wijaya dan menyampaikan niat baiknya. Keluarga Wijaya yang memang sudah menunggu Budi untuk melamar anaknya langsung saja menyetujuinya karena melihat Budi adalah sosok yang tepat untuk anaknya. Dan akhirnya digelarlah pesta meriah malam hari ini setelah tadi pagi dilakukan upacara sacral ijab qabul di sebuah masjid di dekat rumah Ara. Pak Wijaya dan istrinya yang kini sudah berkepala 5 terlihat begitu bahagia menyapa tamu dan koleganya. Tak lupa mereka mengajak dan memperkenalkan besannya kepada setiap tamu yang datang. Orang tua Budi yang telah 4 hari berada di Jogja juga begitu bahagia melihat anak bungsunya kini telah berkeluarga. Terlibat perbincangan hangat dengan tamunya, orang tua Budi nampak takjub dengan banyaknya tamu yang datang yang mayoritas adalah kolega dari keluarga Wijaya. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, hampir 15 menit Budi menghampiri dan ngobrol dengan tamunya yang tak lain adalah kawan akrabnya semasa kuliah. Ihsan, Dimas dan Sakti bersama Budi adalah 4 sekawan saat itu. Meskipun tidak ada yang satu jurusan, tapi mereka dekat dan akrab karena selama 4 tahun lebih di Jogja tinggal di 1 tempat kost. Tempat yang menjadi saksi bisu suka duka yang mereka alami bersama, hingga sama-sama tahu sifat dan rahasia masing-masing, meskipun tidak semuanya. Budi, Ihsan dan Dimas memang tidak pernah tau sebuah rahasia yang disimpan rapat oleh Sakti, sebuah rahasia yang penuh dengan gairah dan pengkhianatan. “Wah, gagah kowe saiki Cing, ora koyok mbiyen (wah, gagah kamu sekarang Cing, nggak kayak dulu),” canda Dimas. “Lha iyo tho Dim, wes makmur makane gagah, hahahaa (Lha iya lah Dim, udah makmur makanya gagah),” jawab Budi. “Udah nggak bisa dipanggil Cacing lagi dia sekarang Dim, hahaha,” sambung Sakti. “Halah, sekali Cacing yaa tetep Cacing, hahaha,” Dimas tak mau kalah. “Tapi makasih banget lho Cing, candaan kita kemarin malah kamu kabulin beneran,” ucap Ihsan mengalihkan pembicaraan mereka. “Ya buat sahabat yang jauh-jauh datang lagi ke Jogja, itu sih nggak masalah San,” Jawab Budi sambil tersenyum ke mereka bertiga. Budi memang menyediakan hotel khusus buat teman-temannya itu. Ihsan kini telah bekerja dan tinggal bersama istrinya di Aceh, Dimas juga telah bekerja di sebuah perusahaan tambang di Kalimantan, sedangkan Sakti kembali ke Jakarta untuk meneruskan usaha orang tuanya. Budi sendiri, yang sebenarnya orang Jawa Timur kini telah bekerja dan menetap di Jogja “Lha mana istrimu Cing? Kamu kok malah nyamperin kita-kita sendirian aja?” Tanya Dimas. “Nggak tau ya, tadi sih sama temen kantornya, paling lagi nyapa temen-temennya. Lha istrimu sendiri mana?” jawab Budi sambil celingukan mencari istrinya. “Tadi sih sama istriku Cing. Biasalah emak-emak kalo udah ketemu kayak gimana, hahaha” ucap Ihsan yang kami sambut dengan tawa “Hahaha, gitu yaa kalo emak-emak?” tanya Sakti. “Nah kamu ini kapan Sak mau nyusul kita-kita? Biar tau kalo punya istri tu gimana,” todong Ihsan. Yang ditanya cuma cengar-cengir aja. “Hehehe, ntar lah kalo udah bosen main-mainnya, hahaha,” jawab Sakti sambil tertawa. “Wooo dasar PK,” sambut ketiga temannya yang sekilas mengundang perhatian orang di sekitar mereka. Mereka memang mengetahui kalo Sakti suka gonta-ganti cewek, entah sudah berapa cewek yang pernah dibawanya ke kost, sampai tidak tau lagi mana pacar Sakti yang sebenarnya. Sakti sekali lagi hanya nyengir kuda mendengar seloroh ketiga temannya itu, dia teringat kembali saat masa kuliah dulu entah berapa banyak cewek yang sudah dia gagahi di kamar kostnya, termasuk pacar ketiga temannya itu. *** POV Ara Tiara Dharma Saraswati
on wedding dress Waah senang banget aku malam ini, bahagia, haru, pokoknya campur-campur deh, benar-benar jadi ratu semalam. Banyak sekali teman-temanku yang datang, ditambah lagi kolega-kolega ayah dan teman-teman dari mas Budi suamiku. Kulihat suamiku sedang berbincang dengan gengnya yang dia bilang sahabat-sahabatnya waktu kuliah dulu, terlihat dia sedang asyik disana. Aku sendiri juga sedang nemuin tamu-tamu yang tak lain adalah rekan kerja dan teman semasa kuliah dulu. Pesta malam ini memang konsepnya garden party, jadi setelah acara salam-salaman dan foto bersama selesai kamipun membaur dengan para tamu, diiringi musik jazz kesukaan suamiku menjadikan suasana malam ini begitu hangat. Suamiku awalnya cuma kepingin pesta yang sederhana aja, tapi ayahku nolak karena ini adalah pesta pernikahan anak satu-satunya jadi mau dibuat semeriah mungkin. Kalo aku sih jelas setuju-setuju aja lah, hehehe. Kami sempat kesulitan buat nyari gedung, karena coba menghubungi kesana kemari sudah full booking semua, untung saja aku dapat ijin dari Pak Dede, kepala dinas tempat aku bekerja untuk menggunakan halaman belakang kantor kami sebagai tempat pestanya. Yaa lumayan bisa irit budget, hehehe. “Eh teman-teman, permisi dulu yaa, aku mau ke toilet bentar.” “Woalah lha piye iki pengantinnya kebelet pipis, hahaha,” jawab Lia teman kantorku. “Haduuh lha piye namanya kebelet, hehehe,” jawabku. “Mau ditemenin nggak sayang, tikusnya banyak lho kalo malam,” goda Lia. “Iya lho Ra, mau ditemenin nggak nih? Ntar diculik loh,” ihh si Tika teman kantorku lainnya ikutan nggodain deh. “Ihh siapa yang mau nyulik coba, aku berani sendiri kok udah gede ini, weeek,” jawabku sambil memeletkan lidah, “Yaudah aku permisi dulu yaa.” “Oke non, jangan lama-lama, cepet balik, ntar masmu disamber orang lho, hahaha,” ledek Tika. Sambil tertawa dengar candaan dari temanku itu, akupun segera menuju toilet yang letaknya ada di dalam gedung. Karena ini adalah kantorku sendiri aku sudah hapal dengan ruangan-ruangan disini. Sambil tetap membalas sapa dan memberi senyum ke tamu-tamu yang menyapaku aku berjalan agak cepat karena udah kebelet banget, hihihi. Sesampainya di depan toilet, aku dengar suara aneh dari toilet pria yang letaknya persis bersebelahan. Seperti suara desahan tapi nggak begitu jelas, aku malah merinding sendiri jadinya. Segera aku masuk ke toilet dan menuntaskan hajatku. Setelah membersihkan area kewanitaanku, yang sebentar lagi menjadi milik mas Budi, akupun keluar dari toilet ini. Dan masih saja terdengar suara desahan di toilet pria. Karena penasaran aku coba mendekat untuk memastikan. “Uhhh aahh paakhh pelaan paaaakkkhh.” “Ough, memekmu memang mantap sayang, masih sempit saja, padahal udah pernah dipake ngelahirin.” Astaga, ternyata di dalam toilet pria ini ada yang sedang bercinta. Aku emang masih lugu kalo urusan seperti ini, tapi yaa sekali dua kali pernah lah nonton film-film itu, untuk sekedar pengetahuan aja, biar nantinya bisa muasin suamiku,hihi. Tapi aku nggak bisa mengenali suara itu karena mereka cuma berbisik-bisik aja. Penasaran, aku coba tempelkan telingaku ke daun pintu, siapa tau bisa kedengaran lebih jelas. ” Aaahh ahhh paaak pelaan jangan ahh kencang-kencang, memek saya bisa lecet pak aaakkh.” “Gimana mau pelan kalo memek kamu senikmat ini sayang.” “Ampuunh paak pliss jangan kasar pak.” “Aaakh aku mau keluar sayang, terima pejuhku ini yaa.” “Paakh jangan didalam pak, saya aaah ahhh lagi suburr.” “Kalo gitu kasih mulut kamu sayang, aku mau kamu telen pejuhku, aah.” “Eehmmpp eeeeemmmmpphhh.” ” terima pejuhku sayang, telan semuaanyaa.” “……………………” Hening, entah apa yang terjadi di dalam, tapi sesaat suasana menjadi hening. Aku yang mendengarpun hanya bisa menahan nafas membayangkan apa yang terjadi di dalam sana, dan rasanya dibawah sana ada sesuatu yang berkedut-kedut, haduuh apa ini. “Ihhh bapak pejuhnya kok banyak banget pak, sampe nggak muat ni mulut saya, mana kena kerudung saya lagi kan, ntar kalo ada yang tau gimana pak.” “Hahaha, nggak papa sayang, nggak akan ada yang tau. Bapak horny banget tadi, ngentotin memek sempit kamu sambil ngebayangin si Ara, cantik banget dia malam ini pake gaun pengantin itu, hahaha.” “Ah bapak, yang dientot saya yang dibayangin orang lain.” DEGH..! namaku disebut, apa maksudnya? Ngebayangin aku? Apa yang dia bayangin? Siapa orang yang ada di dalam sana? mereka masih saja berbisik-bisik, meskipun tadi aku sempat mendengar sedikit suara si wanita yang sepertinya tidak asing buatku. Tapi pria itu menyetubuhi wanitanya sambil membayangkan aku, yaa Tuhan siapa dia sebenarnya? Berbagai pertanyaan muncul berseliweran di benakku, detak jantungku makin nggak karuan, kaki dan tanganku tiba-tiba gemetaran. Tidak, tidak, aku harus segera pergi dari sini. Akupun kembali ke tempat pesta dimana teman-temanku berkumpul. Mereka masih terlihat asyik ngobrol entah apa yang dibahas. Saat tiba-tiba ayahku memanggilku. “Ara, kemari sebentar nak,” panggil ayahku. “Iyaa ayah, ada apa yah?” “Ini kenalin, sahabat ayah sejak di akademi dulu, sekarang beliau tugas di Semarang,” oh rupanya ayah mau ngenalin aku sama temannya. “Selamat malam pak, saya Tiara.” “Malam juga Ara, saya Fuadi, pasti nggak inget saya ya?” tanya Pak Fuadi. “Hmmm, aduh maaf pak, saya kok nggak inget yaa,” aku coba ingat-ingat, siapa yaa orang ini. “Haha, jelas kamu tidak ingat nak, orang saya dulu disini kamu masih kecil kok, umur berapa dulu ya mas? Setahun mungkin ya?” tanya Pak Fuadi ke ayahku. “Yaa setahun lebih lah kayaknya,” jawab ayahku. “Hehe, maaf yaa pak kalo saya nggak inget, tapi terima kasih lho pak sudah berkenan hadir di nikahan Ara.” “Iya sama-sama, sekalian saya reunian sama ayah kamu, hehehe,” jawab Pak Fuadi, “Kamu terlihat cantik sekali malam ini nduk, sekali lagi selamat yaa,” tambahnya sambil menyalami tanganku lagi. Pandangan matanya tajam sekali dari bawah ke atas, aku jadi risih sendiri dilihatin seperti itu. “Ah terima kasih pak, kalo begitu saya permisi mau nemuin tamu yang lain pak.” “Oh iya silahkan.” Aku segera meninggalkan mereka, namun sekali aku menengok ke belakang, ternyata tatapan Pak Fuadi masih terus ngikutin langkahku, sementara ayahku ngobrol dengan temennya yang lain. Pak Fuadi ini seusia ayahku kayaknya, namun badannya sudah melar, perutnya buncit, rambutnya mulai memutih, beda dengan ayah yang masih kelihatan muda. Aku merasa kurang nyaman dengan teman ayahku tadi, tatapan matanya kok rasanya aneh yaa, dia ngelihatnya kayak tajam banget gitu, rasanya jadi risih sendiri. Aku langsung menuju ke teman-temanku untuk melanjutkan obrolan tadi. “Darimana aja non lama bener ke toiletnya?hahaha,” tiba-tiba Lia nyeletuk begitu aku datang “Haduuh, aku tadi dipanggil ayahku itu lho, dikenalin sama temannya.” Nggak lama kami ngobrol, muncullah Nadya, teman sekantorku juga, “Eh pada kumpul disini ya?” “Loh Nad, darimana aja? Kita kan emang dari tadi disini,” jawab Lia. “Iya lho Nad kamu dari mana sih emang?” “Hehe, nggak tadi aku ketemu sama temanku, trus abis itu ke toilet dulu baru kesini,” jawab Nadya. “Nah kamu dari toilet ngapain aja Nad? Kok kerudung kamu semrawut gitu? Hayoo aneh-aneh yaa?” tanya Tika. “Iyaa Nad, abis dimesumin oom oom ya?haha,” tawa Lia membuat beberapa orang menoleh ke kami. “Hah, iya gitu Nad?” “Ihh apaan sih kalian, nggak kok, orang kerudungku masih rapi gini kok,” jawab Nadya sambil bibirya manyun. Lucu banget liat dia kayak gitu, hihi. Eh bentar, Nadya abis dari toilet, kerudungnya agak nggak rapi, aku perhatiin lebih teliti lagi, eh kok kayak ada bercak-bercak apa gitu di kerudungnya. Nggak terlalu jelas sih, tapi kelihatan kalo dipelototin bener. Apa jangan-jangan yang aku denger bisik-bisik di toilet tadi Nadya? Terus, siapa lelaki yang bersama Nadya tadi? Laki-laki yang menyetubuhi temanku Nadya di toilet tadi? Laki-laki yang menyebut namaku, yang membayangkan aku waktu menyetubuhi Nadya? Kalo yang di toilet tadi benar Nadya, berarti dia tau hal ini? Apa aku harus nanya ke dia? Iya kalo tadi emang bener Nadya, lha kalo bukan? Haduh gimana ya? apa aku tetep diam aja? Aku kok malah jadi bingung galau nggak jelas gini sih?? >.< *** POV Budi Huuffh, akhirnya kelar juga ni pesta. Udah jam 11 malem, dan kami masih harus balik ke rumahku. Tapi untungnya ayah mertuaku udah nyiapin semua buat kami, termasuk supir yang akan mengantar kami balik ke rumah. Setelah para tamu pulang, aku dan istriku langsung pamit sama keluarga kami yang masih ditempat pesta ini untuk membereskan urusan-urusan disini. Dengan diantar Pak Sarbini, kami langsung menuju ke rumahku yang terletak di sebuah perumahan elite di kawasan ring road utara. Selama dalam perjalanan aku terus memandang wajah ayu istriku. Luar biasa ciptaan Tuhan yang satu ini, sangat cantik, ayu, manis sekali, nggak akan pernah bosan rasanya ngelihat wajahnya terus. Betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan seorang bidadari yang Tuhan lupa menyuruhnya pulang ke surga. Wajah oval dihiasi sepasang mata yang indah, begitu cerah dan jernih, menandakan jernihnya hati sang bidadari. Hidung mancung serta bibir tipisnya melengkapi keindahan wajah perempuan ayu yang kini resmi menyandang status Nyonya Budi ini. Badan istriku ini ramping, tingginya sekitar 155 cm, beratnya entah berapa aku belum tanya, tapi mungkin sekitar 45 kg. Dadanya tidak terlalu besar, tidak sebesar punya mantan-mantanku maupun perempuan selingkuhanku yang lain, namun terasa bulat dan padat (pernah beberapa kali grepe lah waktu pacaran,hehe). Pantatnya pun tidak terlalu besar namun sangat proporsional dengan ukuran tubuhnya, dan yang pastinya padat juga, hasil dari dia rutin ikut senam dan yoga bersama teman-temannya. Kulitnya putih mulus bak pualam. Kalo memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, yaa buatku istriku ini sudah 99% lah sempurnanya. Sadar aku pandangi, istriku senyum-senyum aja, malah terlihat mukanya merona merah, malu mungkin dia ya. Meskipun selama 2 tahun berpacaran aku biasa ngeliatin wajah ayunya, tapi malam ini terasa beda, aku memandangnya dengan kasih sayang dan cinta yang berlipat-lipat, sampai nggak bisa ngomong apa-apa. Akhirnya setelah 20 menit, sampailah kami di rumah, yang sekarang bukan lagi rumahku tapi rumah kami. Setelah kami turun Pak Sarbini ijin untuk kembali ke tempat acaraku tadi, masih ada urusan dan kerjaan yang harus dibereskan katanya. Selepas kepergian Pak Sarbini aku lalu membuka pintu rumah, dan ternyata rumah ini sudah dihias sedemikian rupa, indah sekali, aku tidak tahu siapa yang menghiasnya karena terakhir aku pergi kemarin sore rasanya masih agak berantakan, tapi ini, berantakannya beda. Ada pita-pita, bunga-bunga dimana-mana, bahkan dari pintu masuk diberi karpet merah dan ditaruh lilin di kanan-kirinya, mengarah ke kamar pengantin kami. Sepanjang karpet ini ditaburi bunga mawar putih, dan hiasan-hiasan lain disekitar yang aku nggak paham apa aja nama-nama hiasan ini, tapi biarlah, karena rumah ini jadi terlihat begitu indah, nggak pernah seindah ini selama aku menempatinya. Langsung kututup dan kukunci pintu utama, segera aku gendong istriku tercinta ini menuju ke kamar pengantin kami. “Ah mas bikin kaget aja ihh,” ucap istriku manja. Haduuh nggemenis banget, “lha kaget kenapa adek sayang?” “Kalo mau gendong bilang dong biar aku siap,hihi.” “Emang biar kamu nggak siap dek jadinya kan melukin aku kayak gini,haha.” “Halah mas ini, bisa aja ya cari kesempatan.” Sesampainya di depan kamar, istriku membuka handle pintu perlahan, begitu pintu terbuka kami terkejut lagi, kamar yang biasa aku tempatin sendiri, yang sehari-hari menurutku sudah cukup rapi, walau kata istriku ini masih berantakan, sekarang begitu indah disulap menjadi kamar pengantin. Hampir semuanya serba putih. Jendela kamarku kini tertutup kain kelambu putih di bagian luar dan kain berwarna krem di bagian dalam. Di ranjang kami sudah ada hiasan berbentuk angsa yang saling bertautan. Di lantai lagi-lagi ditaburi bunga mawar putih, sedangkan di ranjang ditaburi mawar merah. Haduh, ini ranjang mau dipakai malah ditaburi bunga, masak ya harus bersih-bersih ranjang dulu. Segera aku turunkan istriku dari gendonganku. Kami bertatapan erat sebelum akhirnya aku cium keningnya penuh rasa cinta. Cukup lama aku mengecup kening istriku ini, kemudian memeluknya dengan erat, dan dibalas dengan pelukan yang erat juga dari istriku. “Aku mencintaimu sayang, sangat mencintaimu.” “Aku juga mas, aku juga sangat mencintaimu.” “Akhirnya kita dipersatukan, kamu adalah wanita pilihanku sejak aku mengenalmu, dan aku bersyukur bisa memilikimu sekarang, hari ini rasanya aku jadi pria paling bahagia di dunia.” “Kamu juga adalah lelaki pilihanku mas, aku juga bahagia sekali hari ini, sangaaaat bahagia.” Kamipun saling menatap dalam pelukan, tersenyum penuh cinta, penuh rasa syukur dimana hari ini kami resmi dipersatukan. Aku bahagia, dan begitu bangga bisa memiliki bidadari yang lupa pulang ke surga ini. Dari pancaran mata indah istriku, terlihat pula betapa bahagianya dia hari ini, meskipun mungkin sudah letih seharian ini banyak acara yang harus kami lewati, namun malam ini dia masih terlihat begitu mempesona, sekali lagi kukecup dia, kali ini kepalanya yang masih tertutup kerudung itu. Dia hanya terpejam meresapi hangatnya kecupanku. “Aku cuci muka dulu ya dek, mukaku rasanya tebel banget ini.” “Haha, kan make up nya tipis aja mas.” “Ya sama aja dek, wong aku ga pernah di make up gini,hehe.” “Yaudah sana, nanti gentian aku.” Akupun menuju kamar mandi yang juga lantainya sudah bertabur bunga. Yaa ampun, kok semuanya ditaburi bunga, ini jangan-jangan closetnya juga dikasih bunga lagi. Setelah aku buka closetnya, “Ah amaan.” Istriku menyahut dari dalam kamar, “apanya mas yang aman?” “hehe, nggak dek, ini semua kan ditaburi bunga, aku lagi ngecek siapa tau di closet juga ada bunganya, ternyata nggak ada,” jawabku sambil tertawa. “Hahaha, haduuh mas ini ada-ada aja.” Setelah mencuci muka dan membersihkan make up tipis di mukaku yang memang tidak pernah dikasih barang-barang begituan, aku segera kembali ke kamar. Ternyata istriku sedang mencopoti aksesoris-aksesoris yang menempel di kebayanya. Kerudungnya sudah dilepas, namun ikatan dirambutnya masih terpasang. Selesai dia membersihkan aksesoris yang menempel dikebayanya, dia segera menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dari make up yang sebenarnya tak perlu harus repot-repot memoles wajah ayu istriku karena tanpa make up sekalipun dia masih begitu cantiknya. “Kamu cantik sekali sayang, bener-bener bidadari yang nyata,” ucapku kagum. “Ah mas ini istri sendiri masih aja digombalin,” wajahnya makin bersemu merah. “Kalo itu tadi beneran dek, lagian buat nggombalin wanita secantik kamu, aku nggak bisa nemuin kata yang cukup pantas e.” “Tuh kan makin jadi gombalannya, hihi,” makin bersemu merah wajahnya, “udah ah, aku mau cuci muka dulu mas, itu tolong bunga-bunga di kasur dibersihin yaa mas, hehe.” Nah kan bener, harus kerja bakti dulu sebelum ‘kerja bakti’. Lagian ini siapa sih naburin bunga banyak bener di ranjang ini, haduuh niatnya baik sih tapi malah jadi ngrepotin orang kan kalo kayak gini. Tapi it’s ok lah, demi bidadariku, apa sih yang nggak, hehe. Selesai aku membereskan bunga-bunga itu (cuma diserak jatuh aja sih, yang penting ranjang bersih udah,hehe), tak lama istriku keluar dari kamar mandi. Kulihat wajahnya masih basah oleh basuhan air tadi, tetap saja buatku terlihat begitu mempesona. “Hihi, kamu ini ya mas, ngebersihin ranjang tapi ngotorin lantai malah.” “Hehe, ndak papa kan dek, yang penting kan ranjang kita bersih.. sini sayang.” Bidadariku pun mendekat. Nampak terlihat di wajah ayunya dia sedikit gugup. Wajar karena ini adalah malam pertama kami. Aku yang sudah banyak makan asam garam masalah beginian aja masih terasa gugupnya. Mungkin karena ini benar-benar momen yang sacral, jadi sepengalaman apapun aku terasa deg-degannya luar biasa. Istriku sudah berdiri di samping ranjang, lalu akupun berdiri di depannya. Beberapa detik kami tidak bergerak sama sekali, hanya saling memandangi dengan ketakjuban, terutama aku, takjub menatap bidadari di hadapanku. Perlahan tanganku bergerak kearah belakang kepalanya, meloloskan ikatan rambutnya, dan terurai lah rambut hitam lebatnya. Rambut yang sedikit berombak sepanjang beberapa senti di bawah bahunya, menambah kecantikan alami istriku. Saat berkerudung dia begitu anggun dimataku, saat seperti ini dia begitu mempesonaku, aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan betapa indahnya ciptaan Tuhan ini. Aku bergerak melangkah kearahnya, jarak kami hanya tinggal sekepal, sangat dekat. Bahkan hembusan nafas kamipun terasa satu sama lain. Kedua tanganku kini telah berada di kedua bahunya, tangan istriku telah berada di pinggangku. Tanpa banyak berucap tentang besarnya cinta dan kasih sayang kami, karena kami sama-sama mengetahui dan merasakannya, perlahan, sangat pelan, hingga akhirnya bibir kami bersentuhan. Duh gusti, entah kenapa rasanya itu adalah ciuman ternikmat yang pernah aku rasakan, padahal baru menempel saja bibir kamu. Sebuah kecupan ringan yang terasa lain, sangat lain dengan wanita-wanitaku sebelumnya. Kami ulangi lagi kecupan itu, kali ini lebih lama. Saling menempelkan bibir kami, sambil mata terpejam. Tangan kami berdua belum bergerak dari tempat tadi, hanya bertambah usapan dan remasan yang pelan, sangat lembut. Bibir tipis istriku ini terasa begitu lembut, tak tahan rasanya untuk tak mengulumnya. Lalu perlahan kami mulai saling melumat, saling membasahi bibir masing-masing. Beberapa menit lamanya kami berpagutan hingga nafas kami berdua mulai terasa berat. Permainan ini berlanjut, lidah kami mulai mengambil perannya. Saling membelit untuk berkenalan, saling mengusap rongga mulut masing-masing. Saling membawa air liur untuk ditukarkan. Tangan kamipun sudah tidak pada tempatnya lagi sekarang, sudah mulai bergerak kesana kemari. Tanganku mulai memeluk dan mengusap punggung dan leher belakang istriku. Sesekali tangan kananku membelai mesra pipi halusnya. Tangan Ara tak kalah, bergerak memeluk tubuhku, sambil mengusap bagian punggungku dengan lembutnya. Tubuh kami yang masih berbusana lengkap kini sudah menempel, saling merasakan detak jantung kami yang semakin kencang. Tak banyak suara yang keluar dari mulut kami, hanya kecipak lidah yang semakin liar membelit dan menghisap satu sama lain. Istriku jago juga berciuman, untuk ukuran orang yang baru pertama ciuman. Tanganku mulai bergerak untuk melepas kebaya Ara, dengan sedikit bantuannya maka baju kebaya itu terlepas hingga bagian pinggang, menyisakan baju manset atasannya. Akupun membuka kemeja putihku menyisakan kaos dalam yang warnanya senada. Jemari kekarku mulai menelusuri kedua pundak istriku, memberikan stimulasi di bagian lehernya, membuatnya beberapa kali mendesah dan menggelinjang. Sementara tangan istriku hanya diam memeluk leherku, sambil sesekali meremas rambutku ketika tubuhnya menggelinjang akibat ulah lidahku di bagian telinganya. Selanjutnya, yang cukup membuatku terkejut, tapi juga senang, istriku membalas tindakanku sebelumnya, dia menyusuri bagian telingaku dengan lidahnya, sambil memberi kecupan ringan yang membuatku bergetar, bahkan usapan lidahnya sampai menyusuri leherku dan kembali lagi bibirku, kami berpagutan lagi, kali ini semakin panas, semakin membelit satu sama lain, seperti tak ingin lepas. Ara mampu meladeni permainan bibirku dengan baik, sangat baik untuk seorang pemula. Aku arahkan tanganku dipundaknya, untuk menariknya agar duduk di tepian ranjang. Yaa sedari tadi kami berciuman masih dalam posisi berdiri. Setelah terduduk, tanganku mulai menjalankan tugasnya. Dengan perlahan turun dari pundah menuju bukit sekal di dada istriku. “ssssshhhhh aahh masss,” dia mulai mendesah ketika tangan kananku menangkup utuh payudara kirinya, aku remas lembut bukit sekal itu perlaha, desahan Ara semakin menjadi. Tak puas sampai disitu, tanganku turun untuk meraih pinggiran manset Ara, lalu menariknya keatas, semakin keatas hingga akhirnya terlepas dari tubuh indah itu. Tuhan, indahnya tubuh ini, putih bersih tanpa cacat sedikitpun. Gundukan payudara yang nampak begitu indah, nampak padat, dibalut dengan bra 34B berwarna putih dengan sedikit renda dibagian pinggirnya. Saat mataku sedang terpaku menatap keindahan di tubuh istriku, tanganya pun bergerak untuk melepaskan kaos dalamku, aku membantu mengangkat kedua tanganku agar mudah dia lepaskan. Kutatap wajah istriku, semakin memerah pipinya, semakin menggemaskan. Kuarahkan kedua tanganku ke belakang punggungnya, mencoba meraih pengait bra itu, dan melepaskannya perlahan. Sedikit demi sedikit penutup bukit payudara istriku melorot, hingga akhirnya terbuka semua. Kesekian kalinya aku menyebut kebesaran Gusti, sepasang bukit yang sangat indah, padat membulat, sangat sesuai dengan ukuran badannya. Dengan tonjolan mungil merah muda di bagian tengahnya sebagai penyempurna bukit indah itu. Senada dengan kulitnya yang begitu putih, hingga dapat terlihat benang-benang halus bayangan pembuluh darah yang ada disekitar dada istriku. Sungguh luar biasa, payudara terindah yang pernah kulihat. Istriku hanya menunduk, dan bergetar badannya saat aku membelai tangannya dari bawah hingga ke pundak. Mungkin ini adalah kali pertama kulitnya disentuh oleh seorang pria. Membuatnya semakin menunduk, semakin merah wajahnya. Aku meraih dagunya, mengangkatnya, kemudian mengecup mesra bibir tipis itu, lalu melumatnya perlahan, mencoba memberikan rasa nyaman kepadanya. Dia mulai membalas pagutanku, lidahnya mengikuti tarian lidahku, kembali lidah kami saling membelit. Hingga kurasakan tubuhnya mulai nyaman, mulai rileks, dan siap untuk ke tahap selanjutnya. Tanganku mulai bergerak, membelai lembut pipi istriku, perlahan, turun ke lehernya, sangat pelan, hingga sampai ke payudara Ara, mengusapnya perlahan, agar Ara tetap merasa nyaman, memberikan sedikit remasan yang sangat lembut. Tubuh istriku menggelinjang, dan semakin kuat menghisap lidahku, semakit kuat meremas kepalaku, tanda birahi dalam dirinya mulai terusik. Dan akhirnya sebuah desahan panjang keluar dari bibirnya saat ibu jari dan telunjuk sampai di puting mungil merah muda itu, sedikit menekan dan memelintirnya. “aaaaahhh masssss.” *** Saat yang hampir bersamaan Di sebuah komplek perumahan Nadia Agustina “aah aahhh paah terus paah,, eeehhmmm terus paah,” erangan seorang wanita saat dirinya sedang disodok dari belakang oleh suaminya. Wanita itu masih memakai baju pestanya, kerudung birunya pun masih terpasang meskipun sudah tak rapi lagi. Bawahan gaun itu sudah diangkat hingga ke perutnya, sedangkan celana dalamnya sudah tergeletak sekitar 2 meter dari tempatnya digumuli. Sang suamipun hanya telanjang di bagian bawah, bagian atasnya masih menyisakan kaos dalam warna hitamnya. Sudah sekitar 30 menit dia menggenjot istrinya dengan bergonta-ganti posisi. Kini sang istri dalam posisi menungging, tangannya bertumpu pada kasur. Sudah 2 kali dia dibuat orgasm oleh suaminya, namun sang suami belum juga selesai. Kocokan sang suami mulai semakin cepat, sambil kedua tangannya memegang erat pantat bulat istrinya, semakin kencang dia memompakan penisnya di vagina sang istri, hingga sang istri merasakan sesuatu akan meledak lagi dibawah sana. “paaah, aahh akhuuu maauuuhh aahhh keluar laghiiii paaah,” ceracau sang istri, kemudian, “aaaaaaarrrghhh papaaaah, mamah keluaaaaar, aaaaahh,” “stop dulu paaah, aahh ssssttop bentaarrhhhh papaaaaah.” “dikit lagi maaahh uuugghh nanggung ooogghhh papaah mau keluar maah.” Crok..Crok..Crok..Crok..Crok..Crok.. Suara tumbukan kedua kemaluan ini terdengar cukup keras apalagi vagina sang istri yang telah basah akibat 3 kali orgasme yang sudah didapatnya. Sebenarnya dia sudah begitu letih, karena sebelumnya, di acara pernikahan temannya, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke Line di smartphone miliknya, memintanya untuk menemui sang pengirim di toilet, sesampainya dia di toilet langsung saja ditarik masuk ke toilet pria, disingkap rok panjangnya, digeser sedikit celana dalamnya, dan langsung dimasukan penis pria itu, yang sudah sangat keras, ke vaginanya yang masih kering. Cukup menderita dia selama digarap oleh lelaki itu, dan untungnya di masa suburnya itu, sang pria masih mau untuk mencabut penisnya saat akan ejakulasi, dan menggantinya dengan memasukan ke mulut si wanita. Saking banyaknya sperma yang keluar hingga tak semua mampu ditampung mulut kecil itu, dan akhirnya menetes ke kerudungnya. Segera ia membasuh kerudungnya dengan air agar tak terlalu membekas nantinya. Sampai dia kembali ke acara dan bertemu teman-temannya pun masih terasa sakit di vaginanya. Hingga saat sampai rumah, begitu masuk kamar sang suami langsung saja menerkamnya dengan penuh nafsu. “aaaaagghh sayang, papa keluaaaar maaaaaaaah.” Crot crot crot, sekitar 6 kali semburan ke liang peranakan sang wanita, begitu terasa, hingga membuatnya ikut merasakan klimaksnya kembali, yang keempat, bersama suaminya, dan yang ke 7, hari ini. Tanpa diketahui sang istri, suaminya menggenjotnya dalam posisi menungging sambil melihat sebuah foto yang dipigura cantik di meja riasnya. Pandangan mata suaminya tak lepas dari seseorang yang ada ditengah, seseorang dengan kerudung merah, seseorang yang merupakan sahabat istrinya, seseorang yang dia teriakan namanya dalam hati saat menjemput orgasmenya tadi, sang mempelai wanita yang tadi mereka hadiri pernikahannya. *** Saat yang hampir bersamaan Di lokasi pesta pernikahan yang kini telah sepi Safitri Rahmadianti “eeeehhhmmmm ouuugh aaahhh,” rintihan seorang wanita, yang berpenampilan anggun, dengan rambut pendek sebahu yang mulai berantakan sanggulnya. Gaun pesta terusan selutut warna biru gelapnya pun sudah tak beraturan, tersingkap di bagian atas dan bawah, sementara bra dan celana dalamnya sudah tak lagi menempel di tubuhnya. Tubuh polos sang wanita kini sedang bergerak naik turun mengaduk batang pejal yang sedang keluar masuk liangnya. Sementara pemilik batang hitam dan panjang itu sedang melumat payudara mungil sang wanita. Pria yang lebih pantas menjadi ayahnya ini, yang merupakan atasannya di kantor. “terus goyangin sayang, oouuggh nikmat sekali, sempitnya memekmu Fit,” ceracau sang pria. “hhhmmmpphh ouuh ahhh aaahhh,” tak mampu menjawab, Safitri, wanita muda yang baru beberapa bulan ini menjanda karena suaminya tewas dalam tugasnya, terus saja memberikan servis terbaiknya untuk sang atasan. Dia gerakan pantatnya naik turun, maju mundur, menggoyang ke kanan dan kekiri, apapun yang dia bisa. Sudah hampir setengah jam mereka bergumul, peluh telah membasahi tubuh keduanya. “ooough, terus Fit, bapak mau keluar, aaaaarrgggghh Fit aku keluaaaarr.” “aaaaaaarrgggghhhh, Fitri jugaa paaaaakkh.” Safitri memeluk erat tubuh sang atasan begitu juga sebaliknya, saling menikmati puncak kenikmatan yang baru saja mereka dapatkan. Nafas mereka terengah-engah, meskipun dalam dinasnya selalu mendapat pelatihan fisik untuk menempa stamina, namun bercinta adalah perkara yang beda. Setelah beberapa saat nafas mereka berangsur normal, Safitri mengangkat tubuhnya, mengeluarkan penis yang telah mengecil itu dari vaginanya, kemudian dengan sigap memakai lagi pakainnya. Setelah membenahi penampilannya Safitri berdiri tegak sikap sempurna didepan atasannya yang masih terduduk di kursi menikmati sisa-sisa pertempuran mereka. “Ijin meninggalkan tempat komandan.” “Hmm, baiklah, kamu pulang dulu saja, kasihan anakmu.” “Siap komandan.” “Dan jangan lupa, besok pergilah ke toko buku, belikan anakmu keperluan-keperluan untuk sekolahnya nanti, sekalian ajak dia jalan-jalan.” “Siap, laksanakan komandan.” Dengan langkah gontai Safitri pun berjalan menuju mobilnya. Masih terasa ada sperma yang menetes meluncur di paha mulusnya. Saat melewati pos penjagaan, dia sempatkan membuka kaca mobilnya dan menyapa satpam yang berjaga. “Mari pak, saya duluan.” “Mari silahkan Bu Polisi,” jawab satpam itu. Safitri menutup kaca mobilnya, si satpam melanjutkan kegiatannya, mengocok penis sambil melihat hpnya, dimana di hpnya terlihat foto seorang wanita setengah telanjang sedang mengulum penis seorang pria paruh baya. Foto seorang wanita cantik, wanita yang baru saja lewat dihadapannya. Foto sang polwan bersama atasannya. *** to be continue..