Sore Yang Indah

AKU TIDAK masuk kantor sebab badanku rasanya tidak enak. Seluruh badanku rasanya pegal-pegal semua. Mungkin mau flu atau masuk angin, aku memutuskan tidak perlu ke dokter. Setelah minum obat yang dibeli di warung, aku tiduran sambil membaca koran. Nanti siang pasti sudah sehat, batinku.

Tetapi ketika siang tiba, pegel-pegel itu tidak pergi juga dari badanku. Waktu aku makan siang di warteg langgananku, aku bertanya pada ibu pemilik warteg dimana ada tukang urut, tukang urut tuna netra juga bolehlah.

“Nooo.. di perumahan seberang jalan sana ada, tapi ibu-ibu, bukan tuna netra.” tunjuk seorang abang becak yang lagi makan dengan mulut penuh dan kakinya diangkat satu ke atas bangku. “Namanya Bu Mul. Tapi apa dia mo ngurut laki-laki, saya gak tau dah. Soalnya kebanyakan yang saya ngantar ke sana ibu-ibu.” katanya.

Sore harinya, selesai membersihkan badan, aku mencoba mencari rumah tukang urut yang bernama Bu Mul di perumahan seberang jalan dengan dibonceng sepeda motor oleh tetangga yang tinggal di sebelah kontrakan aku. Kebetulan ia mau ke rumah saudaranya yang tinggal di perumahan seberang jalan itu.

Setiba di rumah saudaranya, tetanggaku bertanya pada saudaranya. “Tuh, Pak Mul-nya yang berdiri di pintu pagar.” tunjuk saudara tetanggaku. Ternyata hanya selisih 4 rumah dari rumah saudara tetanggaku.

“Biasanya berapa sih biayanya Mbak?” tanyaku pada saudara tetanggaku.

“Saya sih belum pernah ngurut, tapi kata orang yang sudah pernah, bayarnya 50 ribu. Biasanya ibu-ibu yang suka ngurut, laki-laki, saya belum pernah lihat kesitu! Coba aja tanya sama Pak Mul-nya.” ujar saudara tetanggaku.

Tetanggaku lalu mengajak aku menemui Pak Mul yang sedang berdiri di dalam pagar rumahnya dan lagi ngobrol dengan seorang laki-laki yang duduk di sepeda motor. Asap rokok mengepul dari mulut kedua laki-laki itu.

“Masuk, masuk,” suruh Pak Mul yang berkumis tebal memakai kaos oblong hitam dan celana pendek itu setelah tetanggaku bertanya padanya. “Duduk dulu di dalam, Ibu lagi ke warung.” katanya sambil melebarkan pintu pagar.

Aku dengan tetanggaku melangkah masuk ke halaman rumah Pak Mul, sedangkan laki-laki yang duduk di sepeda motor ngobrol dengan Pak Mul itu pergi.

Rumah Pak Mul sangat sederhana. Dinding batakonya tidak di plester, dan langit-langit rumahnya juga tidak di plafon. Televisi tabung berukuran 19 inci terpajang di dalam sebuah lemari berukuran tinggi sekitar 170 senti yang cat vernis-nya sudah ngelotok. Lemari itu berfungsi juga sebagai pembatas ruangan.

Aku dengan tetanggaku saling memandang saat duduk di sofa yang busanya sudah kempes dan berbau apek. Saat itu televisi sedang menyiarkan berita pesawat terbang hilang.

“Sakit apa, Dik?” tanya Pak Mul duduk di sofa menghadap ke televisi.

“Badan pegel-pegel, Pak!”

“Coba Bapak periksa,” kata Pak Mul yang duduk dekat aku menyandarkan rokok kreteknya di pinggir asbak yang asapnya sedang mengepul-ngepul tertiup angin.

Lalu ia bangun dari tempat duduknya memijit pundak dan punggungku. “Wah, ini sih masuk angin, Dik!” kata Pak Mul.

Terdengar pintu pagar besi berderit di luar. “Ini Ibu!” kata Pak Mul ketika seorang wanita gemuk tinggi berperut besar memakai kemeja putih tidak di kancing dan celana ketat selutut warna coklat melepaskan sandalnya di depan pintu. “Si adik ini mau ngurut, Bu! Masuk angin!” kata Pak Mul pada istrinya yang berambut hitam keriting diikat dengan karet gelang saat istrinya meletakkan sebungkus rokok kretek di meja.

Bu Mul memandang aku dan tersenyum tipis di bibirnya yang tebal dan coklat. Aku membalas tersenyum dan menganggukkan kepala. “Sana, ikut Ibu masuk ke dalam.” suruh Pak Mul saat Bu Mul melangkah pergi membawa belanjaannya yang ditaruh dalam kantong plastik kresek warna hitam.

“Ngurut di sini saja sambil nonton televisi,” kataku.

“Kalau mau nonton televisi, nggak usah diurut!” jawab Bu Mul kasar dari dalam.

Waduh!

Aku cepat-cepat bangun dari tempat dudukku melangkah mengikuti Bu Mul. Aku melihat di belakang lemari yang memajang pesawat televisi tersebut, terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya disekat dengan kain putih, tapi kain putihnya sudah kotor. Setelah itu adalah dapur keluarga Pak Mul.

Seorang anak remaja laki-laki yang masih berpakaian sekolah putih abu-abu sedang duduk makan di depan meja. Ia tersenyum padaku. “Makan, Kak!” tawarnya.

“Terima kasih,” jawabku membalas senyumnya. “Baru pulang sekolah? Sekolah di mana?” tanyaku.

“Iya, Kak. Sekolah di SMA Negeri 34. Kakak mau urut, ya? Sebentar ya, Ibu lagi kencing. Masuk aja dulu ke kamar. Tuh, kamarnya..”

“Iya… ya..” jawabku.

Aku masuk ke ruangan yang disekat kain putih. Di lantai ada sebuah kasur busa yang dilapisi dengan kain batik kumal. Kamarnya juga berbau minyak sereh. Kemudian Bu Mul masuk dengan telanjang kaki.

“Lha, mau diurut kok masih pakai pakaian?” kata Bu Mul memandang aku dengan galak. Aku jadi takut. Memang, wajah Bu Mul wajah galak!

Kemeja putihnya sudah dilepas. Ternyata kemeja putihnya itu untuk menutupi kaos tank top-nya. Bu Mul tidak memakai BH. Tampak jelas tetek Bu Mul dengan putingnya yang tercetak di kaos tank top-nya.

Buru-buru aku melepaskan kaos oblong dan celana panjangku, lalu meletakkannya di atas meja kecil. “Itu, kenapa nggak sekalian?” mulut Bu Mul menunjuk celana dalam yang masih melekat di pinggangku.

Setelah aku melepaskan celana dalam, Bu Mul memberikan aku selembar handuk. Setelah memakai handuk di pinggang, aku berbaring tengkurap di kasur. Sementara itu tetangga aku tidak pergi. Terdengar ia berbicara dengan Pak Mul. Bau asap rokok ikut masuk ke ruangan tempat aku berbaring tengkurap dan tangan Bu Mul mulai mengurut punggungku dengan minyak sambil berlutut di samping aku.

Begitu enak yang kurasakan. Bu Mul tahu persis susunan otot-otot di punggungku yang pegal-pegal. “Masuk angin nih, Dik!” kata Mul sambil mulutnya mengeluarkan angin.. eekk… eekkk… “Siapa yang kasih tahu kamu ke sini?”

“Tukang becak!”

“Ooo… Bang Sabri?”

Lalu hening sejenak. Aku menikmati pijatannya. Kini Bu Mul sudah mengurut pinggangku.

“Suka ngurut?”

“Nggak Bu, baru ini!”

“Pantesan badan kamu kaku begitu. Yang santai aja, apa terlalu keras Ibu ngurutnya?”

“Cukup, Bu! Enak!” jawabku bercampur dengan suara tetanggaku yang masih berbicara dengan Pak Mul.

“Ayo, ini dilepas saja!” suruh Bu Mul memegang handuk yang melilit di pinggangku.

Aku memberikan Bu Mul menelanjangi aku dengan melepaskan handukku. Pasti penisku kelihatan oleh Bu Mul saat ia mengurut pantatku dan pahaku, tapi aku tidak berpikir macam-macam.

Setelah selesai mengurut pantatku dan pahaku, tubuhku rasanya sudah agak ringan, tidak sepegal tadi sebelum diurut. Kemudian jari kakiku ditarik-tarik satu persatu dengan handuk kecil putih oleh Bu Mul sampai berbunyi kletekk… kletekk…

“Belakang sudah, sekarang balik,” suruh Bu Mul.

Aku membalik tubuh telanjangku terlentang. Bu Mul menyuruh aku duduk. Bu Mul menyandarkan kepalaku di dadanya, lalu ia mengurut keningku dan kepalaku. Setelah itu, ia menyuruh aku berbaring kembali.

“Sudah punya istri?” tanya Bu Mul.

“Belum,”

Lalu Bu Mul menjulurkan tangannya memegang penisku. “Hee.. hee.. “ tawanya pelan memandang aku. Wajah garangnya lenyap. “Orangnya kurus, tapi ininya gemuk. Suka main cewek, ya?”

“Oo, nggak Bu.”

“Tapi.. kalau begini, suka?” tanya Bu Mul memperagakan mengocok penis dengan tangannya yang digenggam.

“Kadang-kadang,” jawabku.

“Selesai diurut nanti, minum jamu buatan Ibu, biar ini kamu kuat dan main cewek tahan lama. Ayo, sekarang Ibu ngurut dada kamu,”

“Pegel-pegelnya sudah mendingan, Bu. Sudah, dada nggak usah diurut Bu, aku takut temanku tunggu kelamaan,”

“Kalau begitu, ini ya Ibu beresin. Mau?” Bu Mul memegang penisku kembali.
Mau, tidak… mau, tidak… jantungku berdebar-debar. “Terserah Ibu saja!” jawabku kemudian.

“Tapi, nanti ditambah, ya?” katanya. Aku tahu maksudnya, yaitu supaya aku memberikan padanya uang jasa tambahan.

“Berapa, Bu?” tanyaku.

“Lima puluh, jadi genap seratus.”

“Boleh, Bu.” jawabku.

Bu Mul membalur minyak dengan tangannya ke seluruh penisku dan buah pelirku. Setelah itu, tangannya menggenggam penisku yang loyo, lalu dikocok-kocoknya dengan pelan.

“Sestthh… oogghh… bangunn… bangunn…” desahnya pelan. “Mau ini?” tanya Bu Mul menunjuk teteknya.

Belum sempat aku menjawab, Bu Mul sudah mengangkat ke atas kaos tank-topnya. Bu Mul melepaskan kaos tank-topnya. Kedua teteknya yang menggelantung sudah kendor, lalu Bu Mul menyodorkan puting teteknya ke mulutku.

Dalam hati aku berkata, di rumahnya sendiri dan ada suaminya di rumah, ia sudah berani begini dengan laki-laki lain, bagaimana di luar rumah?

Tapi aku isap juga puting tetek kiri Bu Mul sedangkan tetek kanannya kuremas-remas penuh napsu dengan tangan. Setelah itu, Bu Mul pindah berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka lebar. Ia membungkuk, lalu menjepit penisku dengan kedua teteknya. Kemudian penisku dikocok-kocok pakai teteknya.

Uugghh.. baru kali ini kurasakan. Penisku dikocok pakai tetek. Uugghh…

Pada saat yang sama, aku sudah tidak ingat dengan tetanggaku yang masih duduk di ruang tamu ngobrol dengan Pak Mul. Sebelum air maniku muncrat di sela tetek Bu Mul, aku menarik tangan Bu Mul biar ia melepaskan penisku dari jepitan teteknya. Bu Mul berpindah menindih aku.

Melihat bibir Bu Mul yang tebal kering berwarna coklat, aku tidak merasa jijik. Aku mencium bibirnya, sedangkan tangan Bu Mul sibuk melepaskan celana ketatnya.

“Mau pakai kondom? Ibu punya. Punya suami.” tambahnya. “Sebenarnya Ibu nggak ngurut laki-laki. Kamu boleh tanya ke tetangga kalau kamu curiga sama Ibu,”

“Kok Ibu mau ngurut aku?”

“Hee.. hee… sudah, Ibu nggak perlu jawab. Ibu masukin langsung, ya?” ujarnya.

Aku mengecup bibirnya. Bu Mul bangun berlutut mengangkang di atas penisku yang berdiri tegang. Penisku dipegang dan ketika Bu Mul menurunkan pantatnya, penisku terasa menyelusup masuk ke lubang yang basah. Pelan-pelan Bu Mul menurunkan pantatnya, hingga penisku masuk semua ke dalam lubang memeknya, lalu pantatnyapun mulai menggoyang penisku.

“Sestth… oogghh.. kontolmu enak banget, Diikkk… ssetthh… oooo…” ngeracau Bu Mul dengan suara pelan. “Sessttt… ooouughhh…”

Kedua tanganku meremas-remas kedua tetek Bu Mul dan dari bawah penisku ikut menggenjot lubang memeknya yang basah. “Bu!” terdengar suara anaknya yang tadi berbicara denganku memanggil.

“I..iya, a..ada apa Kak?” jawab Bu Mul dengan napas tersengal-sengal. Aku tidak peduli. Aku terus menggenjot memek Bu Mul dari bawah.

“Minta duit 10 ribu mau foto kopi buku pelajaran.”

“Ibu lagi kerja. Minta dulu sama Ayah ya, Kak?” jawab Bu Mul. “Oooo… Ibu mau keluar, Dikkk…!” rintih Bu Mul setelah anaknya pergi dari depan kamar, lalu Bu Mul menurunkan tubuhnya menindih tubuhku. Aku memeluknya.

Aku menempelkan bibirku ke bibir Bu Mul seraya melumat, dan pada saat yang sama, air manikupun ikut keluar dari penisku, croott… crroott… crroott… air maniku keluar di dalam lubang memek Bu Mul.

“Wahh, ngomong dong Dik kalau mau keluar. Ibu masih bisa hamil nih!” omel Bu Mul.

Sebodoh amat, bukan urusanku, kataku dalam hati.

Aku medorong Bu Mul bangun dari tubuhku, tapi Bu Mul mau juga membersihkan penisku dengan handuk setelah ia bangun dari tubuhku. Kemudian dengan rela aku mengeluarkan 2 lembar uang seratus ribu dari dompetku. Bu Mul memeluk aku. “Besok sore datang lagi, ya? Ini sudah kebanyakan. Lain kali nggak usah kasih Ibu banyak-banyak,” katanya.

Aku tersenyum melepaskan Bu Mul dari pelukanku, lalu keluar dari kamar ikut duduk bergabung dengan Pak Mul dan tetanggaku seperti tidak terjadi apa-apa tadi di bilik urut. Bu Mul membawa segelas jamu hangat untukku. Selesai aku minum jamu, tetanggaku mengajak aku ke rumah saudaranya.

Sambil berjalan pulang, tetanggaku bercerita bahwa wanita yang tadi ngobrol dengan aku di rumah saudaranya, adalah kakak kandungnya. Ia sudah janda belum ada ½ tahun. Suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas di jalan tol.

Aku duduk di ruang tamu kakak kandung tetanggaku, sementara tetanggaku pergi menjemput keponakannya di tempat les bahasa Inggris. Tak lama kemudian kakak kandung tetanggaku berjalan masuk ke ruang tempat aku duduk dari arah dapur. Tubuhnya hanya tertutup handuk kecil.

“Ee… sudah pulang ngurut?” tanyanya kaget. “Mana Saiful?”

“Katanya pergi ke tempat les,” jawabku juga kaget melihat pahanya yang tampak tidak tertutup handuk separuh dan bagian atas teteknya juga kelihatan.

“Ooo…? Selesai diurut, apa pegel-pegelnya sudah hilang sekarang?”

“Lumayanlah daripada tadi,”

“Coba kalau tadi Mbak yang ngurut, Dik…” katanya memperlihatkan senyuman genitnya.

Darah mudaku langsung mendidih, meskipun belum lama bersetubuh dengan Bu Mul. Aku bangun dari dudukku mendekatinya. “Awas, Dik! Itu pintu terbuka…” ujarnya.

“Mbak sih, mancing!” jawabku. “Pengen ya?”

“Lain kali. Kamu sekarang sakit kan?” jawabnya, lalu ia melangkah masuk sedikit ke kamar tidur.

Aku mengikuti dan menjulurkan tanganku memegang handuknya. Ia tidak menahan dan membiarkan aku membuka handuknya. Tubuhnya yang wangi sabun mandi itu langsung telanjang bulat di depan aku. Tentunya lebih mulus dan lebih seksi dari Bu Mul.

Teteknya kencang, tapi kecil dan bulu kemaluannya hitam. Aku menunduk mencium teteknya yang paling-paling berukuran 34 itu. “Sudah ya, Dik! Nanti Saiful pulang kita nggak tau!” katanya, tapi ia memberikan teteknya untuk aku isap juga, lalu tanganku meraba bulu kemaluannya.

“Ooo… Dikk, Mbak mau keluar! Uggg… mana kontolku, keluarkan!” desahnya.

Buru-buru aku menurunkan ritsleting celana panjangku. Sementara kakak dari Saiful pergi mengunci pintu rumah. Setelah itu, ia masuk ke kamar berbaring di kasur dengan kaki berjuntai.

Aku segera memasang penisku di belahan memeknya yang basah, lalu menusuk lubang memeknya dengan penisku yang sudah tegang sambil berdiri di pinggir tempat tidur. Kakak dari Saiful membalas dengan menekan pantatku dari belakang pakai kedua kakinya.

Penisku menyelusup masuk ke lubang memek kakak Saiful. Rasanya lebih kencang dari lubang memek Bu Mul. Terus aku memompa dengan cepat lubang memeknya sampai bunyi ceplokk… ceplokkk… karena lubang memeknya sangat basah.

Ia juga menggoyang-goyang pinggulnya yang ramping dari bawah. “Oooo…. Diikk…. oooo…. mari kita keluarkan sama-sama, Dikk…” rintihnya.

Pas aku sudah mau keluar. Kemudian aku seprotkan air maniku di dalam lubang memek kakak Saiful. “Oooouuggg… nikmat banget, Dikkk…” erangnya.

Aku mencium bibirnya dan kuelus rambutnya. “Puas, apa pengen diulang lagi?” tanyaku.

Ia mencubit pinggangku manja. Lalu bibir kami saling melumat. Sore yang indah.

Tapi aku berjanji pada diriku sendiri, tidak mau mengganggu kakak Saiful lagi yang sudah janda itu. Cukup sekali ini saja. Aku tidak mau memberikan harapan padanya. Rugilah kalau aku menikah dengan janda yang sudah beranak 2 meski memeknya masih enak di setubuhi.

Aku juga tidak mau balik ke rumah Bu Mul. Tapi pada suatu sore kira-kira lewat seminggu kemudian sewaktu aku mau mengangkat jemuran di depan rumah, aku melihat di jalan, Pak Mul dan Bu Mul sedang duduk di becak yang dikayuh oleh Bang Sabri.

Aku tidak bisa menghindar karena Pak Mul sudah melihat aku. “Berhenti sebentar Bang Sabri.” suruh Pak Mul. “Rumah kamu di sini?”

“Ya, Pak! Dari mana Bapak dan Ibu?”

“Dari kondangan.” Bu Mul yang menjawab. Bibirnya bergincu merah dan alis matanya hitam tebal, sedangkan rambutnya dikonde besar dan ia memakai dress yang ketat dari bahan broklat berwarna biru tua. “Kenapa nggak ke rumah? Apa sudah sembuh?”

“Sudah, Bu.”

“Tapi muka kamu masih kelihatan pucat lho, Dik.” sambung Pak Mul yang memakai kemeja batik lengan panjang. “Sudah Bu, kamu turun aja. Coba urut sekali lagi si Adik ini.” kata Pak Mul.

Entah mengapa aku tidak bisa mencegah Bu Mul yang memakai sandal hak tinggi itu turun dari becak dan membiarkan Bang Sobri membawa Pak Mul pergi dengan becaknya.

Bu Mul melangkah masuk ke halaman rumahku. Tubuhnya wangi parfum yang menusuk hidung. “Mari masuk, Bu,” ajakku membuka pintu rumahku.

Bu Mul melepaskan sandalnya di depan pintu, tapi aku membawa masuk sandal Bu Mul ke dalam rumah. “Pintu aku tutup ya, Bu? Sudah sore, aku takut nyamuk masuk. Aku nggak biasa pakai obat nyamuk,” kataku.

“Ya, tutup aja!”

“Beginilah rumahku, Bu.” kataku.

“Memangnya mau rumah yang bagaimana? Yang penting bisa berteduh. Coba kamu lihat suami Ibu,” kata Bu Mul. “Makan dimasakin, rokok Ibu yang belikan. Bapak nggak bekerja. Coba, kalau Ibu nggak ngurut, dapat duit dari mana kasih makan 4 orang makan? Ibu makan duit halal dari mengurut, Dik!”

“Ya Bu. Ibu termasuk wanita yang hebat!” pujiku.

“Aku ambilkan minum ya, Bu?”

“Kalau Ibu mau minum, Ibu bisa ambil sendiri. Mana kamar mandinya Dik, Ibu mau cuci muka dan kencing.”

“Mau handuk, Bu?”

“Boleh, kalau ada,” jawab Bu Mul sambil membuka konde palsu di kepalanya.

“Ibu berberes di sini, apa nanti nggak ditanya Bapak?”

“Bapak orangnya cuek, Dik. Kalau Ibu mau nakal melayani laki-laki, gampang Dik. Ibu nggak usah repot-repot ngurut dengan upah 50 ribu. Ada laki-laki yang mau bayar Ibu 500 sampai 1 juta sekali main di hotel,”

“Aku percaya, Bu. Mari, aku antar ke kamar mandi,”

Bu Mul mengikuti aku ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. “Maaf Dik. Tolong Ibu buka ritsleting di belakang baju Ibu,”

Ritsleting di baju Bu Mul panjang, dari punggung hingga mendekati pantatnya yang gembul. Aku cepat-cepat menarik turun ritsleting baju Bu Mul tidak tahan dengan bau parfumnya. Ia memakai BH hitam. Lalu ia masuk ke kamar mandi.

Aku yang masih berdiri di pinggir pintu kamar mandi, melihat Bu Mul melepaskan bajunya tanpa menutup pintu. Di tubuhnya hanya melekat BH hitam dan celana dalam besar berwarna merah. Jantungku mulai berdebar-debar melihat Bu Mul melepaskan BH-nya. Celana dalamnya juga ikut dilepaskannya.

Sewaktu ia menyendok air dan mau berjongkok, aku berdehem. Bu Mul tidak jadi berjongkok melihat aku berdiri di depan pintu kamar mandi. “Aku masuk ya, Bu?” kataku.

Lalu aku masuk ke kamar mandi. “Boleh aku buka pakaian seperti Ibu?”

Bu Mul memeluk aku. Napsu telah membuat hidungku tersumbat dan mataku buta, Segera kucium bibir Bu Mul yang masih bergincu merah. Sewaktu kulumat bibirnya, Bu Mul menjulurkan lidahnya masuk ke mulutku. Lidahnya bergerak-gerak menggelitik lidahku. Kami juga saling bertukar ludah, sementara itu tanganku meremas teteknya yang menggelantung di dadanya.

Sewaktu jariku memelintir puting teteknya, Bu Mul menggelinjang dan segera dilepaskan bibirnya dari bibirku dengan napas tersengal-sengal. Tapi ia membantu melepaskan kaosku, dan ketika aku melepaskan celana pendekku, ia berjongkok mau kencing.

Aku menarik Bu Mul berdiri sebelum air kencing keluar dari memeknya, sementara itu aku berjongkok mencium bulu kemaluannya yang lebat dan hitam. Meski baunya amis, mulutku masuk juga ke selangkangannya. Saat mulutku mengisap memeknya, air kencing Bu Mul keluar.

Aku membiarkan air kencing Bu Mul yang hangat mengucur masuk ke dalam mulutku dan kutelan air kencing Bu Mul. Bu Mul tidak sempat mencuci muka. aku menyeretnya ke tempat tidur dan segera menindih tubuhnya yang berbaring terlentang.

Bu Mul mengambil penisku, lalu dicucukkannya ke lubang memeknya. Segera aku menekan penisku dan blusss… penisku meluncur masuk semua ke dalam memek Bu Mul.

Aku mulai tarik-dorong penisku, sementara dari bawah pantat Bu Mul ikut bergoyang sambil bibir kami saling melumat dengan rakus dan penuh napsu. Kemudian aku mencabut penisku dan minta Bu Mul berlutut membungkuk. Aku memasukkan kembali penisku ke dalam lubang memek Bu Mul dari arah belakang.

“Huhh… enak sekalii, Dik… keluarkan di dalam. Ibu pengen hamil anakmu, Dik…” rintihnya.

Akupun mengeluarkan air maniku di dalam memek Bu Mul sambil kutekan penisku kuat-kuat biar air maniku menyembur ke rahimnya. Setelah itu, aku mencabut peniku dengan kelelahan dan Bu Mul membersihkan memeknya dengan tissu, kemudian berbaring.

Aku memeluknya dengan hangat. “Seandainya kamu jadi suami Ibu, Dik..” kata Bu Mul.

Kucium keningnya. Kucium hidungnya. Kemudian sekali lagi kusemburkan air maniku ke rahim Bu Mul. Sampai menjelang magrib, 3 kali aku menyemburkan air maniku ke rahim Bu Mul.

Selesai mandi, Bu Mul baru keluar dari rumahku. Aku membiarkan ia pulang sendirian.

Setelah 2 bulan, Bu Mul bilang sama aku bahwa ia sudah hamil 2 minggu!