Si Pemanah Gadis

Permisi suhu penggemar setia
Izinkan nubi menshare sebuah cerita silat karya GILANG SATRIA yang nubi copy paste dari website tetangga tapi sungguh disayangkan cersil ini blm tamat, tidak diketahui alasan apa sehingga sipengarang cersil ini tdk melanjutkan karyanya yang menurut nubi sangat bagus ceritanya mungkin sudah banyak suhu – suhu di forum Semprot ini yang telah membaca cersil ini, tapi untuk yang belum mambacanya monggo dinikmati cerita ini

Mengisahkan seorang pendekar yang dianggap buta (karena memang sejak lahir ia 100% buta) bernama Jalu Samudra, yang karena suatu musibah justru berubah menjadi anugerah karena tanpa sengaja menemukan liang ular bawah tanah yang membuatnya mengalami suatu perubahan drastis pada luar dalam tubuhnya. Di dalam gua bawah tanah inilah ia diangkat sebagai murid sepasang suami istri yang pada lima ratus tahun silam yang dianggap sebagai Dedengkot Persilatan Tanah Jawa, dimana jurus-jurus silat aneh gubahan dari ilmu-ilmu sakti Tanah Jawa dan Daratan Tiongkok dilebur menjadi satu ilmu sakti tanpa tanding, bahkan didalamnya dilengkapi dengan jurus-jurus bercinta yang luar biasa. (Mungkin bisa dikategorikan untuk 17 tahun ke atas dech … !) Jilid I
Si Pemanah Gadis – Bab 1​
Mata Malaikat! Siapa orang persilatan yang tidak kenal dengan dua kata ajaib ini? Siapa saja pasti kenal! Beberapa pendekar persilatan begitu teramat sangat tertarik dengan yang namanya ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi, apalagi yang namanya ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’, jangan ditanya berapa jumlah peminatnya. Banyak, cing! Beberapa argumentasi seputar ilmu ini pun berhembus kencang. Ada yang mengatakan bahwa dengan menguasai ilmu sakti ini bisa menembus ruang dan waktu, bisa menembus alam gaib, bisa menembus ke dalam mimpi seseorang yang dikehendaki, bahkan pandangan mata bisa menembus tebalnya tembok dan besi meski berlapis-lapis sekali pun. Bahkan para hidung belang menambahkan bahwa ilmu ini bisa menembus baju seseorang sehingga bisa melihat ‘jeroan’ tanpa perlu menggunakan alat bantu. (Gile … Sinar X aja kalah meeenn!?) Ada pula yang mengatakan bahwa dengan ilmu ini bisa menghilang dari pandangan, bahkan lebih hebat dari ilmu menghilang yang sejenis, misalnya ‘Ilmu Panglimunan’ atau pun ‘Ilmu Wedar Sukma’ kalah sakti dari ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’! Pernah tersebut seorang tokoh mengatakan bahwa ia memiliki ilmu sakti tersebut, sehingga berbondong-bondonglah jago-jago persilatan mengunjungi tempat kediaman si tokoh dan pada akhirnya … si tokoh dijadikan bulan-bulanan karena dianggap menipu. Bahkan ada beberapa perguruan silat yang mengklaim memiliki ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’, hingga membuat beberapa perguruan silat lain mendatangi perguruan tersebut dan buntutnya … lagi-lagi mereka tertipu mentah-mentah oleh orang tidak waras yang tersesat jalur tenaga dalamnya sehingga ia berhalusinasi. Lalu … bagaimana sebenarnya Mata Malaikat itu? Tidak ada satu pun yang tahu! -o0o- Seorang bocah dengan pakaian biru kumal, berjalan tertatih-tatih dengan sebatang tongkat hitam diketuk-ketukkan di tanah, berjalan seorang diri pada pinggiran sawah yang mengering akibat musim kemarau panjang. Rambut panjang awut-awutan melengkapi tubuh kurus kering yang sudah hampir satu minggu tidak pernah menyentuh makanan, dimana terlihat dari perut si bocah yang terlihat tipis serta bernafas pelan satu-satu. Dengan kaki telanjang, ia menapaki jalan tanah yang retak-retak terpanggang matahari. Namun yang mengherankan, justru badan si bocah berkulit kurus tapi terlihat bersih, seakan baru saja mandi di sungai atau di danau. Tidak ada bau busuk menyengat yang biasa dimiliki bocah-bocah gelandangan umumnya. Bocah dengan usia kisaran sepuluh tahunan terus berjalan dengan meraba-raba lewat tongkat hitam yang tergenggam di tangan kanan. Wussh!! Ketika angin siang hari sedikit kencang, rambut awut-awutan sedikit tersibak sehingga memperlihatkan roman ketampanan yang tidak begitu kentara, sebab debu-debu halus seakan bersicepat untuk menempel di wajah bocah yang berkeringat. Saat mengejap-ngejapkan matanya, sebentuk hal yang luar biasa terlihat. Mata si bocah berwarna putih! Rupanya si bocah bertongkat hitam tersebut adalah bocah buta, dimana bola mata hitam tidak terlihat sama sekali. Tentu saja kebutaan itu tidak dibuat-buat dengan tujuan agar dikasihani oleh setiap orang yang melihatnya. Ia buta sejak dilahirkan ke dunia, dan saat bersamaan dengan tangisan pertamanya di dunia, ia langsung hidup sebatang kara. Saat itu, masa sepuluh tahun silam Desa Pesisir Wetan yang letaknya di tepi sebuah pantai tempat dimana ia dilahirkan mengalami bencana besar. Ombak setinggi bukit meluluh-lantakkan desa beserta isinya, bahkan beberapa desa tetangga pun turut menjadi korban. Beruntunglah bahwa Yang Kuasa masih melindunginya. Saat bencana terjadi, ia baru saja dilahirkan dan sesuai dengan kebiasaan penduduk Desa Pesisir Wetan, bahwa setiap bayi yang baru lahir, harus diletakkan diatas kapal kecil atau sampan dengan harapan ia menjadi seorang nelayan tangguh beserta sebuah kalung dengan bandul taji ayam jago melingkar di leher. Baru saja diletakkan di atas sampan, saat itulah ombak setinggi bukit diikuti dengan amukan badai laut datang bergelombang, menerjang apa saja yang ada didepannya tanpa pandang bulu! Sehari semalam ia terombang-ambing diatas permukaan air laut. Dan sehari semalam itu pula bayi mungil tanpa daya itu dalam keadaan tertidur lelap, lengkap dengan usus dan ari-ari yang masih menempel di pusar karena belum sempat dipotong. Hingga pada akhirnya, sampan kecil itu terdampar di antara rekahan batu karang yang menjorok ke dalam laut, dimana diatasnya terdapat dinding-dinding gua tempat bernaung ribuan burung walet lengkap dengan sarangnya. Disaat terdampar itulah, ia terbangun dari tidur lelapnya, kemudian menangis keras. Suara tangisan itu didengar oleh sepasang kakek nenek nelayan yang kala itu sedang melepas lelah akibat bekerja seharian mengambil sarang burung walet yang ada di gua itu. Pada mulanya kakek nenek nelayan itu tidak peduli terhadap tangisan itu, dikiranya suara deburan ombak yang ada dibawah dimana jarak antara gua itu sejauh tujuh delapan tombak. Tapi, lama kelamaan suara itu semakin melengking tinggi. “Nyi, kau dengar suara tangis itu?” tanya si kakek. “Sedari tadi aku juga mendengar, Ki! Cuma aku ragu … itu suara bayi apa memang suara ombak yang membentur batu karang?” “Coba kau dengarkan lagi, itu benar suara bayi khan?” Si nenek sedikit memiringkan kepalanya untuk mempertegas pendengarannya, sebentar kemudian ia berseru, “Benar, Ki! Itu suara bayi!” “Tapi … bayi siapa yang sampai ke tempat tinggal kita ini, Nyi?” “Apa Aki tidak mendengar, bahwa kemarin ada bencana hebat yang melanda beberapa pesisir pantai ini, mungkin saja bayi itu salah satu korban bencana dan tersasar sampai kemari.” tutur si nenek. “Benar juga.” “Cepat kau ambil bayi itu, dia ada di tenggara dari tempat kita.” “Baiklah!” Dengan si kakek menuruni dinding-dinding terjal yang tegak lurus seperti cicak merayap di dinding. Tidak ada tali atau pun alat bantu yang bisa digunakan si kakek nelayan, semuanya murni menggunakan kekuatan tangan dan kaki. Jelas sudah bahwa pasangan tua renta itu bukanlah orang biasa, sebab tidak mungkin orang biasa mau melakukan gerakan yang sifatnya membahayakan nyawa sendiri, setidaknya mereka berdua sepasang tokoh sakti yang mengasingkan diri di tempat terpencil untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan damai. Beberapa saat kemudian, muncullah si kakek dengan menggendong sesosok benda bergerak-gerak yang terbungkus jarik kembang-kembang. Begitu sampai diatas, si kakek segera bergegas menghampiri si nenek sambil berkata nyaring, “Nyi! Ternyata pendengaran kita tidak salah! Aku menemukan bayi di bawah sana.” “Benarkah? Mana bayi itu?” “Ini!” Si kakek segera mengangsurkan bungkusan jarik kembang-kembang pada si nenek. Begitu di buka, terlihatlah sebentuk wajah mungil dan imut seorang bayi laki-laki yang langsung dengan tangan-tangan kecil berusaha menggapai-gapai untuk meraih wajah si nenek. “Bayi yang lucu, Ki!” Pada akhirnya kehidupan pasangan tua renta itu menjadi ramai dengan hadirnya sosok bayi laki-laki mungil yang diberi nama … Jalu Samudra! Nama depan ‘Jalu’ disebabkan di leher si bocah melingkar kalung berbandul taji (bahasa jawanya -Jalu-) ayam jago, sedang kata ‘Samudra’ dikarenakan si bayi ditemukan di laut. Jalu Samudra dianggap sebagai cucu sendiri oleh pasangan kakek nenek nelayan itu, bahkan saat mengetahui bahwa bayi itu cacat kedua bola matanya atau buta, tidak memupuskan rasa bahagia mengasuh si bocah mungil. Seiring dengan berjalannya waktu, si bocah mulai bisa beradaptasi dengan kegelapan yang menyelimuti dirinya, bahkan saat Jalu berusia empat tahun, si kakek mengajarkan beberapa gerakan silat pada bocah untuk menjaga diri. Gerakan-gerakan silat tersebut bisa dibilang aneh dan bisa juga dikatakan unik, karena posisi badan yang miring-miring ke kiri dan ke kanan, bahkan gerakan tangan dan kaki seperti menggapai-gapai ke depan seperti capit kepiting. Memang yang diajarkan pasangan kakek nenek sakti itu adalah sejenis ilmu silat langka yang bernama Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’. Ilmu ini tidak ada duanya di dunia persilatan dan satu-satunya orang yang mengetahui serta mempelajari Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ selain pasangan tua renta itu hanya Jalu Samudra seorang, si bocah buta yang ditemukan di laut. Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ merupakan gabungan ilmu-ilmu tingkat tinggi milik si kakek nenek nelayan yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Tombak Utara Tongkat Selatan. Gerakan tombak dan tongkat digabung menjadi satu bentuk jurus silat baru, dimana tombak yang lentur bisa menyusup ke setiap celah dipadu dengan gerakan tongkat yang kokoh menggebrak. Jika dilihat sekilas memang seperti gerakan ketam atau kepiting yang sedang berjalan dengan langkah kaki miring-miring. Jika pada pagi hingga siang hari Jalu Samudra berlatih silat dibawah asuhan kakek nenek sakti itu, maka pada malam harinya ia berlatih hawa tenaga dalam justru di bawah asuhan si nenek Tombak Utara, sebab hawa tenaga dalam yang dimiliki si kakek Tongkat Selatan kalah jauh dengan si nenek Tombak Utara, sedang dalam jurus-jurus silat mereka bisa dikatakan seimbang, namun dalam ilmu peringan tubuh atau lari cepat, si kakek jagonya. Meski adakalanya si kakek Tongkat Selatan juga mengawasi latihan si bocah buta dengan memberikan beberapa petunjuk demi kemajuan cucu angkatnya terutama dengan indera pendengaran sebagai ganti indera penglihatan yang tidak sempurna. Sampai-sampai ilmu baca tulis pun diajarkan oleh sepasang kakek nenek itu dengan cara unik, membuat huruf-huruf di atas pasir laut sehingga memudahkan bocah buta belajar membaca dan menulis (kalau sekarang namanya huruf Braille). Saat menginjak usia delapan tahun, seluruh rangkaian Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’ yang terdiri dari lima belas jurus beserta hawa tenaga dalam penunjang ilmu silat langka itu selesai dipelajari oleh Jalu Samudra, termasuk juga didalamnya ilmu baca tulis yang aneh itu. Walau sudah dikuasai dengan baik, namun kekuatan ilmu silat dan tenaga yang ada pada diri si bocah masih jauh dari harapan. Untunglah Jalu Samudra memiliki bakat baik, tulang kokoh, darah bersih serta otak cemerlang, sehingga apa yang berikan oleh kedua kakek neneknya bisa diserap dengan baik. Tinggal bagaimana ia melatihnya saja. Enam bulan kemudian, si kakek mangkat! Selang lima bulan kemudian, si nenek yang sering sakit-sakitan sejak ditinggal pergi sang suami, akhirnya juga menghembuskan nafas terakhir setelah sehari sebelumnya memberikan petuah-petuah serta menceritakan siapa diri mereka berdua dan bagaimana pasangan tua renta itu menemukan dirinya di laut dan diasuh hingga sekarang. Tentu saja Jalu Samudra sedih ditinggal oleh kakek nenek baik hati yang telah mengasuhnya hingga hampir sembilan tahun lamanya. Setelah ia menguburkan si nenek bersebelahan dengan makam si kakek, Jalu Samudra pergi dari tempat itu dengan membekal sebuah tongkat warna hitam legam warisan si nenek, dimana tongkat itu cukup aneh karena bagian atas bawah terdapat lubang kecil seperti untuk mengaitkan tali atau benang serta ditengahnya agar sedikit menebal dengan beberapa bagian di buat sedikit berlekuk-lekuk mirip badan ular. -o0o-

Si Pemanah Gadis – Bab 2​

“Panas sekali disini,” gumam si bocah sambil menyusut peluh di dahi. “Kalau berada di tempat kakek dan nenek pasti sejuk. Apalagi udara yang sedikit bergaram … hemm … pasti nyaman sekali buat tidur siang. Kangen juga aku dengan Gua Walet.” Si bocah yang ternyata adalah Jalu Samudra kembali berjalan dengan meraba-rabakan tongkat hitamnya. Sesaat kemudian, saat angin bertiup semilir, terdengar suara keresekan daun-daun di sebelah utara dan bersamaan itu pula dari jarak dua tiga tombak di belakangnya berjalan dua petani yang memegang sabit serta setumpuk rumput di atas pundak. “Bocah! Jangan menghalangi jalan,” kata yang sebelah kiri dengan sedikit membentak. “Oh … maaf paman, saya tidak tahu,” jawab Jalu mundur ke belakang dua tindak lalu menoleh ke sumber suara dengan kepala sedikit digoyang-goyangkan. “Tidak tahu? Apa matamu bu … “ yang sebelah kanan gantian berkata, namun tidak jadi dilanjutkan setelah melihat sepasang mata putih si bocah. Sebab ia tahu, bahwa orang bermata putih tanpa titik hitam ditengahnya pastilah orang buta. “Iya paman, saya memang buta kok.” “Maaf … paman tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, bocah muda.” “Tidak apa-apa, paman,” sahut Jalu Samudra dengan senyum tulus. “Oh ya, paman … apa jarak pohon dengan tempat saya berdiri masih jauh?” Dua orang itu saling pandang. “Kasihan benar anak ini,” pikir mereka berdua. “Tidak jauh, nak. Berjalanlah ke kiri kira-kira lima belas langkah, kau akan menemukan pohon trembesi yang cukup rindang. Meski ini musim kemarau, pohon itu tetap berdaun cukup lebat, karena dibawahnya ada mata air,” kata paman yang kanan. “Apa perlu paman tunjukkan?” “Ohh … tidak perlu. Terima kasih atas pemberitahuan paman berdua.” “Sama-sama bocah muda.” Dua orang itu mengawasi Jalu dengan sorot mata kasihan. “Kasihan benar tuh anak. Sekecil itu sudah menderita, tidak bisa melihat indahnya dunia.” kata laki-laki sebelah kanan. “Heh, gelandangan seperti itu buat apa dikasihani?” “****** benar kau! Apa matamu buta?” “Enak saja kau mengatakan aku ****** dan buta?” tantang si laki-laki sebelah kiri. “Tunjukkan kalau aku memang benar-benar buta!” “Jika ia memang gelandangan asli, coba perhatikan kulitnya … terlalu bersih untuk ukuran bocah gembel sekalipun.” tuturnya meNilai si bocah buta, “ … dan lagian, apa kau mencium bau tak sedap pada diri anak itu? Tidak bukan!?” Laki-laki yang sebelah kiri mengangguk-anggukkan kepala setelah mengamat-amati si Jalu, lalu ia menjawab, “Benar juga apa katamu! Aku yakin ia bukan anak sembarangan.” “Sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan pulang. Perutku sudah keroncongan dari tadi.” “Baiklah,” jawab si laki-laki kiri, lalu ia berseru pada bocah buta yang kini sedang duduk bersandar pada pohon trembesi, “Bocah muda! Kami mau pulang ke desa, apa kau mau ikut dengan kami?” “Terima kasih, paman! Maaf tidak bisa mengabulkan kebaikanmu.” kata si bocah dari kejauhan. Lalu sambil berjalan beriringan, laki-laki yang kanan pun ikut berseru, “Baiklah kalau begitu! Jika kau ingin mampir, berjalan saya ke arah kananmu sejauh dua belas tombak, maka kau akan sampai di desaku. Cari saja Suro Keong, semua orang pasti kenal!” “Baik, paman Suro! Mungkin saja akan bermalam disini, hawanya lebih sejuk,” sahut si bocah. Dengan kepala sedikit dimiringkan ke kanan kiri, ia mendengar langkah kaki dua orang itu yang berjalan menjauh. “Hemm, lebih baik aku tiduran saja dibawah pohon ini, anginnya sepoi-sepoi bikin ngantuk saja,” gumam si bocah sambil menyandarkan kepalanya di batang pohon yang agak menonjol keluar. “ … di mata air ini ada pasti ada ikannya, kudengar suara kecipakan di sudut sana. Nanti sore bisa makan ikan bakar nih.” Pendengaran Jalu memang lain dari pada yang lain, sebab suara kecipak ikan yang jaraknya sekitar enam tujuh tombak jauhnya bisa ditangkap dengan baik oleh sepasang telinganya, mungkin karena ia pernah hidup berdampingan dengan laut sehingga bisa membedakan suara kecipak air, jatuhnya daun di atas air, sentuhan angin yang saling bergesekan dengan air sehingga menimbulkan suara alam yang unik. Bahkan dengungan lebah yang ada di atas pohon trembesi pun bisa ia tangkap dengan jelas. Sebentar saja ia sudah tidur terlelap dibuai mimpi! Bagi orang buta, siang dan malam tidak ada bedanya, semua serba gelap. Hanya kepekaan indera perasa yang bisa membedakan pergantian siang dan malam. Seperti halnya yang dialami Jalu Samudra, saat sore menjelangi terbangun dari tidurnya. Dengan sedikit menggeliat, ia melemaskan otot-otot tubuhnya. “Emmm … nyaman sekali tidur di bawah pohon ini,” katanya dengan sedikit menguap. Hidungnya mengendus-endus perlahan, “sudah sore rupanya, pantas perutku sudah keruyukan sedari tadi.” -o0o- Dari arah kejauhan terlihat dua orang gadis berjalan lenggang kangkung. Gadis sebelah kiri yang berusia sekitar lima belas tahunan dengan kulit berjalan lambat-lambat agar gadis sebelahnya yang sedikit lebih muda usianya sekitar tiga tahunan dibawahnya, pun berusaha mensejajari langkah orang di sebelahnya. meski masih terlihat muda, tapi roman cantik manis ke dua gadis itu sudah bisa terlihat dengan jelas meski dengan kulit sedikit menghitam akibat terpanggang sinar matahari. sorot mata mereka terlihat menderita beban batin yang berat. “Kangmbok, memangnya kita mau kemana?” tanya si gadis sebelah kiri. “Kumala Rani, kita harus lari sejauh-jauhnya untuk menghindari pengejaran orang-orang Gagak Cemani!” “Iya, Rani tahu, Kangmbok Nila! Tapi kaki Rani sudah pegal-pegal akibat berlari seharian,” rengek si gadis kecil yang disebut Kumala Rani. “Bagaimana kalau kita istirahat dulu di dekat pohon sana … ” usul Kumala Rani sambil menunjuk pada pohon trembesi. Si gadis yang bernama lengkap Nila Sawitri sedikit meragu, “Tapi … ” “Lagian sebentar lagi malam. Ayolah … sebentar saja … ” “Huh … kau ini memang menjengkelkan, Rani!” sungut Nila Sawitri, karena tangan kanan di tarik paksa ke arah pohon trembesi. Sesampainya di dekat pohon, Kumala Rani melihat seorang bocah laki-laki berusia sepantaran dirinya duduk santai menikmati sepoinya angin dan rindangnya dedaunan. Gadis kecil itu langsung memasang muka masam, setelah mengetahui bahwa bocah laki-laki ternyata seorang gembel! “Gembel jelek! Aku mau istirahat, cepat kau minggir sana!” bentak si gadis kecil, sambil kakinya menendang ke arah si bocah. Dukkk! “Rani! Jangan keterlaluan!” bentak kakaknya, namun terlambat! Kaki kecil Kumala Rani dengan telak mendarat di pinggang si bocah Jalu Samudra. Jalu Samudra yang sempat mendengar desiran angin mengarah ke pinggang kanan, sebisa mungkin mengalirkan hawa tenaga dalam. Meski sedikit terlambat tapi ia tidak terluka, namun tendangan si gadis kecil cukup membuatnya terguling-guling dan hampir menabrak batu yang ada didepan. “Gadis edan! Datang-datang main tendang saja!” bentak Jalu Samudra sambil mengusap-usap pinggang yang terasa nyeri. “Apa kau tidak pernah diajari sopan santun sama orang tuamu, hah?” “Apa kau bilang?” seru Rani dengan meradang. “Rani, hentikan perbuatan burukmu itu!” bentak Nila Sawitri sambil menarik adiknya menjauhi si bocah laki-laki, lalu berkata lembut, “Maafkan perbuatan adikku, sobat kecil!” “Buat apa minta maaf sama gem … ” “Diam!” bentak Nila Sawitri dengan mata melotot. Si gadis kecil Kumala Rani segera saja meruncingkan mulut sambil membanting pantat ke bawah, lalu duduk bersender di pohon. Ngambek dia! Jalu Samudra segera beringsut ke depan dengan tangan meraba-raba tanah, apalagi yang ia lakukan jika tidak mencari tongkat hitamnya? Tentu saja perbuatan Jalu membuat Nila Sawitri terperangah kaget dan terlebih lagi Kumala Rani, sampai ia terlonjak ke atas. “Kau … buta?” tanya Kumala Rani dengan muka serba salah. “Kalau iya, kenapa?” kata Jalu dengan ketus dengan tangan masih meraba-raba di tanah. “Ditanya baik-baik … jawabnya pedas amat!” gantian Kumala Rani membentak. “Memangnya tadi kau bertanya waktu menendangku?” bentak si bocah dengan tangan masih meraba-raba. “Brengsek! Dimana sih tongkatku?” Nila Sawitri kasihan melihat si bocah buta mencari-cari tongkatnya, ia melihat tongkat hitam itu sejarak dua tindak di samping kanan si bocah, segera berkata, “Tongkatmu ada di sebelah kananmu. Ya … ke kiri dikit.” Begitu mendapatkan tongkatnya kembali, Jalu Samudra segera berdiri. “Sobat kecil, maafkan adikku yang tadi telah lancang menendang pinggangmu.” tanya Nila Sawitri. “Apa pinggangmu masih sakit?” “Sudah tidak apa-apa, kok! Tendangan tadi seperti gigitan semut saja,” kata Jalu Samudra dengan angkuh, padahal dalam hatinya ia memaki panjang pendek, “Sialan, sakitnya sampai menembus tulang!” Lalu berjalan menjauh dengan mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah. Setelah empat lima tombak, ia berhenti berjalan dan duduk manis sambil memasukkan dua kakinya ke dalam air. “Apa kau bilang? Jadi kau mau ditendang lagi?” kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri, lalu pasang kuda-kuda kokoh. “Huh, untung saja kakakmu sudah memintakan maaf untukmu, kalau tidak … gadis tengil macammu sudah pasti kulempar ke tengah danau,” jengek si Jalu Samudra dari kejauhan. “Rani! Hentikan tingkah ugal-ugalanmu!” kata Nila Sawitri dengan sedikit keras. “Jika kau tidak mau diam, aku tinggal kau disini seorang diri!” lanjutnya dengan sedikit ancaman. Gadis cantik itu tahu seberapa bengalnya sang adik, semakin dicegah akan semakin menjadi-jadi. “Jangan Kangmbok Nila, jangan!” sahut si gadis dengan muka memelas. -o0o-

Si Pemanah Gadis – Bab 3


Malam pun kini kembali meraja … Jalu Samudra yang biasa hidup dalam kegelapan, tentu saja tenang-tenang saja. Pendengaran super tajam yang dimilikinya sudah lebih dari cukup sebagai pengganti mata. Suara dengingan nyamuk serta keresekan badan ular diantara daun-daun yang bertebaran tertangkap jelas di indera pendengarnya. Sambil duduk di tepi danau, beberapa kali ia mencelupkan tongkat hitamnya ke dalam air, entah apa yang dilakukannya. Sedang si gadis galak Kumala Rani dan Nila Sawitri duduk melingkari api unggun, selain untuk mengusir hawa dingin juga mengantisipasi datangnya binatang liar, seperti ular misalnya. “Jalu, lebih baik kau bergabung saja dengan kami,” ucap Nila Sawitri melihat si bocah buta hanya duduk manis sedari tadi. “Tunggulah sebentar! Aku sedang mencari makan malam di tempat ini.” seru Jalu dari kejauhan. “Huh, bocah buta macam dia paling-paling bisanya cuma mengemis,” gerutu Kumala Rani. Rupanya gadis kecil itu masih merasa sebal karena tidak bisa menyalurkan kemarahannya pada Jalu Samudra. Jika tidak ada kakaknya, mungkin si Jalu sudah diembatnya habis-habisan! “Rani, kau tidak perlu mengejek dia terus-terusan. Kasihan dia!” bisik Nila Sawitri,” … aku yakin ia buta sejak kecil.” “Dari mana Kangmbok tahu ia buta sejak kecil?” “Bola matanya putih semua, kemungkinan besar ia telah buta sejak dilahirkan.” “Buta sejak lahir atau tidak … memangnya apa peduliku?” sahut Kumala Rani dengan ketus. Nila Sawitri hanya menghela napas dalam-dalam. “Adikku ini benar-benar keras kepala!” kata Nila, ” … coba kalau tidak ada si Jalu! Mungkin saat ini aku sudah berderai air mata karena menangisi kematianmu, tahu!” Kumala Rani diam seribu bahasa. Memang tadi sore, disaat ia mandi di pinggir danau, dibalik rimbunnya ilalang yang lebat. Berenang kesana kemari tanpa menyadari bahwa seekor ular sebesar paha orang dewasa bersarang di tempat itu. Kumala Rani kaget saat ia mengetahui bahwa sepasang mata kuning kehijauan memandang buas tubuh telanjangnya disertai juluran lidah merah bercabang. Ular! Sshhh! Seeehhh!! Baru saja sang ular mengangkat kepala dengan mulut terpentang lebar, itu pun sudah membuat Kumala Rani gemetar diam tanpa gerak di dalam air. Tiba-tiba saja … Wutt! Prakk!! Sebuah tongkat hitam dengan tepat menghantam kepala ular hingga pecah berantakan. Suara pecahnya kepala ular membuat Nila Sawitri terkejut. Dari kejauhan ia melihat bocah buta berdiri dengan posisi badan miring ke kanan, sedang tongkat hitamnya terlihat berlumuran darah. Dan ia mengetahui dengan pasti, bahwa di tempat itulah adiknya mandi. “Kurang ajar! Dia membunuh adikku!” pikir Nila Sawitri sambil melesat ke arah si bocah. Hampir saja ia melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi jika tidak melihat bangkai ular sebesar paha orang dewasa mengambang di air, sejarak setengah tombak dari tempat Kumala Rani mandi dan Jalu Samudra berdiri. Tanpa banyak kata karena panik, Nila Sawitri langsung menarik keluar adiknya dari dalam air, tapi ia lupa bahwa adiknya mandi dalam keadaan telanjang bulat. “Aaahhh … ” Kumala Rani memekik kecil, dan … Byurr!! Ia kembali masuk ke dalam air! “Apa yang kau lakukan, Rani?” “Bocah brengsek! Buat apa kau masih disitu? Cepat pergi!” bentak Kumala Rani dari dalam air dengan mata melotot. “Tolol benar kau ini! Bukankah dia ini buta? Kau telanjang bulat di depannya pun tidak bakalan ia bisa melihatmu!” kata Nila Sawitri pada adiknya, diikuti senyuman kecil. “Meski pun ia buta … tapi ia kan tetap laki-laki! Aku tidak mau telanjang bulat dihadapannya!” seru Kumala Rani dari dalam air. Dengan tanpa bersuara, Jalu Samudra berjalan menjauh, memberi kesempatan pada gadis bawel itu berpakaian. “Gadis sinting! Di tolong bukannya bilang terima kasih … eh … malah dibentak-bentak. Aku kerjain aja dia,” pikir si Jalu, nakal. Baru saja Rani selesai memakai celana, si Jalu berseru keras, “Awas … ! Ada ular! Ada ular!” Begitu mendengar kata ‘ada ular’, kakak beradik itu langsung pucat, dan tanpa dikomando lagi mereka berdua lari tunggang langgang meninggalkan tepi danau. “Ha-ha-ha!” Si Jalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut saking gelinya, sebab dari dengusan napas yang ia tangkap, nyata sekali bahwa si gadis bawel teramat sangat ketakutan! Nila Sawitri yang menyadari bahwa ia dan adiknya dikerjain si bocah buta, hanya menghela napas untuk melepaskan rasa dongkol di hati, sedangkan adiknya Kumala Rani harus malu untuk kedua kalinya, sebab ia lari dalam keadaan setengah telanjang! Itulah sebab kemarahannya pada si Jalu, yang setelah itu mereka bertiga saling bertegur sapa dengan mengenalkan diri masing-masing. Jalu Samudra berjalan dengan pelan-pelan. Beberapa kali ia miring-miringkan kepala untuk mencari tempat keberadaan Nila Sawitri dan Kumala Rani. Tangan kiri menenteng sesuatu, setelah dekat dengan dua gadis itu, ia mengacungkan tangannya. “Nih … silahkan bagian para gadis yang memasak! Aku sudah capek seharian memancing disana,” kata si Jalu sambil menyodorkan ikan tangkapannya. Entah disodorkan pada siapa ikan itu! Kumala Rani dan Nila Sawitri saling pandang. Mereka tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang buta bisa memancing dan mendapatkan hasil tangkapan yang begitu banyak? Benar-benar kejadian luar biasa! Tentu saja mereka tidak tahu, bahwa dalam kesehariannya Jalu Samudra hidup berdekatan dengan laut selama sembilan tahun, bahkan ia pun dilahirkan di pesisir laut. Tanpa berucap sepatah kata pun, Nila Sawitri menerima ikan dari tangan si bocah buta. “Hemm … lumayan besar! Cukup untuk mengganjal perut,” ucap Nila. Kumala Rani mencabut pisau pendek dari pinggang, lalu diserahkan pada kakaknya. Ia sendiri mempersiapkan tempat pembakaran ikan, cukup untuk memanggang sebelas ekor sekaligus. Sebentar kemudian, tercium aroma gurih dan harumnya ikan bakar. Begitu selesai dibakar seluruhnya, enam tangan dan tiga mulut bagai beradu cepat menyikat habis sepuluh ikan bakar ukuran besar dan satu ekor ukuran sedang. Mereka bertiga makan dengan lahap sekali, mungkin karena kondisi yang benar-benar kelaparan atau memang rakus, siapa yang tahu? Setelah mencuci tangan dan membasuh muka dengan air danau, mereka bertiga duduk mengitari api unggun. Mungkin karena perut kenyang membuat kemarahan Kumala Rani pada Jalu Samudra lenyap tak berbekas. -o0o- ” … saat ini kami sedang menghindari pengejaran orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, bahkan dari kabar yang kudengar bahwa perguruan kami telah hancur rata dengan tanah.” ucap Kumala Rani sendu, menceritakan apa sebabnya mereka berdua bisa berada di tempat ini. “Perguruan kalian hancur? Lalu … apa yang menyebabkan perguruan kalian sampai diserang oleh Perkumpulan Gagak Cemani?” tanya Jalu Samudra, sekalian saja ia menimba pengetahuan baru tentang keadaan rimba persilatan. “Ini semua gara-gara Mata Malaikat, Perguruan Gunung Putri harus hancur!” kata Kumala Rani geram. “Mata Malaikat? Siapa itu? Apa ia adalah Ketua Perkumpulan Gagak Cemani?” “Bukan! Kami sendiri tidak tahu apa yang dimaksud Mata Malaikat itu.” sahut Nila Sawitri, lalu sambungnya, ” … entah nama orang sakti, sejenis ilmu kesaktian tingkat tinggi, kitab pusaka bahkan benda pusaka pun kami tidak tahu! Intinya semua itu hanya kabar angin yang dihembuskan oleh orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dengan maksud agar Perguruan Gunung Putri menghilang selamanya dari kancah rimba persilatan Tanah Jawa ini!” “Orang-orang Gagak Cemani benar-benar keterlaluan!” kata Jalu Samudra dengan lirih. “Hanya karena berita yang belum tentu kebenarannya sudah bisa mencelakakan orang lain.” “Itulah sifat asli dari golongan hitam, Jalu!” kata Nila Sawitri, ” … bagi mereka, perbuatan jahat sama seperti orang makan, tidak perlu memikirkan apakah merugikan orang lain atau tidak! Pokoknya asal senang tentu mereka kerjakan!” Tiba-tiba saja, Jalu Samudra mengangkat telunjuk kanan dan diletakkan di depan bibir, sambil tangan kirinya menyambar air terus disiramkan air ke api unggun. Bresshh! “Ada orang mendatangi tempat ini. Mungkin saja mereka musuh-musuh kalian,” lirih sekali suara si Jalu. ” … sekitar sembilan orang.” Kumala Rani dan Nila Sawitri paham apa maksud bocah buta itu, segera saja mereka diam tanpa melakukan gerakan apapun. Sebagai orang buta, tentu telinga si Jalu lebih tajam dari pada telinga dua gadis kakak beradik itu. Belum lagi mereka bertiga beranjak dari duduknya, sembilan sosok bayangan telah mengepung tempat itu! “Mau lari kemana kau, gadis manis?” seru salah seorang yang sebelah kiri. “Lari ke neraka pun tetap akan kami kejar, ha-ha-ha!” ucap kawan disebelahnya sambil mengelus-elus golok yang terselip di pinggang. “Apalagi jika mengejar gadis cantik, tidak bakalan kami lelah meski sudah dua hari dua malam lari kencang!” sahut yang paling kanan bermata juling. “Apa kehancuran perguruan kami belum membuat kalian puas hingga masih mengejar-ngejar kami berdua?” kata Nila Sawitri sambil melolos sepasang trisula dari balik punggung, demikian juga dengan Kumala Rani melolos pula sebilah pedang pendek dan pisau. Srett! Srakk! “Wah … wah … kalian tidak perlu mencabut senjata anak manis. Kami tidak akan mengganggu kalian, asal … ” si lelaki sebelah kanan berbicara dengan di potong-potong. “Asal apa?” “Asal kalian mengatakan dimana beradanya Mata Malaikat pada kami!” kata serak lelaki yang tengah. “Sudah kukatakan berulang kali kami tidak berdua tidak tahu dengan keberadaan Mata Malaikat yang kalian cari. Melihatnya saja belum pernah!” seru Kumala Rani dengan keras. “Kalau begitu … dengan senang hati kami akan mengganggu kalian, hua-ha-ha!” “Rani … buat apa bicara panjang lebar dengan orang-orang budek ini? Bikin capek mulut saja!” seru Jalu sambil melintangkan tongkat di belakang punggung. “Benar katamu, Jalu! Mungkin kuping mereka di sumpal tahi kambing hingga tidak bisa mendengar dengan baik,” seru Kumala Rani dengan nada mengejek. Gadis kecil itu muak sekali mendengar perkataan yang tidak karuan itu. Tanpa menanti kata balasan dari lawan yang sudah mengepungnya, gadis kecil berkelebat cepat. Sepasang pedang dan pisau saling berputaran susul menyusul mengarah ke orang terdekat, yaitu orang bermata juling di sebelah kanan. Sett! Wizz!! Kelebatan pisau dan pedang lewat jurus ‘Pisau Pedang Membedah Gunung’ mengurung salah satu dari sembilan orang pengepung dengan rapat. Si mata juling kaget mendapat serangan mendadak, dengan gugup ia berusaha mundur satu dua langkah. Namun terlambat. Ujung pedang tanpa bisa dicegah lagi berhasil menyambar jakun di leher. Crasss! Si mata juling tidak menduga bahwa serangan kilat ditujukan pada leher, sebab sekilas jurus pedang pendek dan pisau mengarah ke paha dan perut, namun ternyata serangan itu berbelok tajam ke atas membentuk sudut siku hingga berubah sasaran ke leher. “Kkheek … kehhhh … prharr … ratthh!” Si mata juling mendekap leher yang berdarah-darah sambil menuding Kumala Rani yang baru saja selesai mengerahkan jurusnya, dan bersamaan dengan suara mengorok si mata juling terdengar sumbang, sebuah bayangan biru berkelebat cepat. Wutt! Prakk! Si mata juling tewas dengan kepala pecah berhamburan dimana cairan putih bercampur merah semburat dari kepala yang pecah. Tewasnya si mata juling hanya berlangsung dalam satu helaan napas. Sebuah serangan gerak cepat telah dilancarkan Kumala Rani dan Jalu Samudra untuk mengurangi jumlah lawan. Tentu saja yang paling kaget adalah delapan orang kawan si mata juling. Mereka tahu bagaimana kehebatan si mata juling dalam pertarungan. Dua orang dari mereka saja butuh waktu lama untuk menjatuhkannya, namun serangan gabungan dari si gadis kecil dan bocah bertongkat hitam berhasil menewaskan si mata juling dalam sekali serang. “Mata juling!” “Keparat! Kalian telah membunuh sahabat kami! Terimalah kematian kalian!” “Cincang saja!” “Bunuh tanpa ampun!” Delapan orang langsung mancabut golok dan pedang masing-masing, kemudian diikuti teriakan kemarahan langsung menyergap ke tiga orang yang ada dalam kepungan. Trang! Tiing! Triiing! Trakk! Suara dentingan senjata membuncah membelah malam. Tanpa perlu diragukan lagi, pertarungan hidup mati terjadi di tempat itu. Nila Sawitri, Kumala Rani dan Jalu Samudra saling berdiri membelakangi satu sama lain. Jika Nila Sawitri dan Kumala Rani terlihat kompak mengerahkan ilmu silat khas Perguruan Gunung Putri yang sebagian besar telah diketahui oleh orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, lain halnya dengan Jalu Samudra, bocah didikan Tombak Utara Tongkat Selatan bergerak dengan langkah-langkah aneh. Gerakan tongkat hitam yang acap kali menebas dan menusuk dari samping disertai gerak kaki yang kadang miring ke kiri ke kanan tak tentu arah membuat orang-orang itu menjadi sedikit kebingungan. Sett! Sett! Trakk!! Beberapa pukulan tongkat si bocah buta berhasil mengenai tangan kanan orang ke lima dari kiri. Meski hanya menyerempet saja, namun sudah membuat tangan yang memegang pedang kesemutan, dan akhirnya pedang itu jatuh ke tanah. Sambil menggerakkan telinga ke kiri kanan, Jalu bisa mendeteksi tempat keberadaan lawan. Dan setelah bisa memastikan posisi keberadaan lawan tanpa bisa dicegah lagi, Jalu membuat gerakan tongkat setengah lingkaran ke arah lawan disertai hawa tenaga dalam penuh. Wuuung! Bukk! Jurus ‘kepiting Keluar Laut’ kembali tepat sasaran. Orang itu langsung jatuh kelenger karena pundaknya terhantam remuk. Pingsan seketika!