Sembilan Mawar Dari Esa
War Mawar! teriak pemuda di belakangku. Dia, atau yang kupanggil Esa sedang berusaha mengejar langkahku. Sayang, dengerin dulu penjelasanku! katanya lagi. Namun aku tak peduli. Aku tak sudi mendengar penjelasan cowok yang suka melanggar janjinya sendiri. Kuputuskan untuk terus berjalan tanpa menghiraukan panggilannya, berjalan menuju pintu rumahku kemudian membukanya, walau akhirnya kudapati dia yang menahan pintu itu dengan kakinya sebelum pintunya tertutup. Keras kepala. Minggir ga? bentakku. Gak mau! Sebelum kamu denger penjelasanku. Gue gak mau denger penjelasan tukang bohong kayak Lo! panggilan gue dan elo itu terlontar. Tanda kalau aku sudah marah pada Esa. Ay jangan gini dong, Dia mendorong pintu yang tentu saja kutahan dengan tubuhku. Pergi! sekuat tenaga aku mendorong pintu itu hingga tertutup. Peduli amat kalau kakinya buntung karena terjepit. Namun realita berkata lain, tenaga lelaki memang tak bisa dikalahkan oleh seorang wanita. Apalagi Esa, si pemegang sabuk hitam dalam olahraga karate, dan ya aku kalah. Tubuhku terdorong karena pintu yang terbuka. Pinggulku mendarat di lantai dengan kerasnya. Aargh! Sayang gapapa? Esa masih dengan gaya sok perhatiannya segera menghampiriku. Sementara aku menatapnya tajam sambil setengah meringis menahan sakit. Ini gara-gara elo tahu! mendapati jawabanku seperti itu dia hanya tersenyum lalu melingkarkan tangannya di sekitar bahu dan kakiku. Aku digendong sampai ke sofa. Tuh kan, makanya jangan suka marah-marah. Jadi jatuh kan? Wajah tak berdosa lelaki ini sungguh menyebalkan. Pergi! Males tau liat muka lo! Sekali lagi, dia tersenyum menanggapi semua emosiku. Membuat matanya yang sipit tinggal segaris bila tersenyum, lalu tanpa aba-aba dia mengecup keningku cukup dalam hingga membuat jantungku bertalu. Aku sadar, debar itu masih ada, bahkan setelah setahun aku mengenalnya. Aku menatap wajah itu, hidungnya yang besar namun cukup proporsional untuk mengimbangi wajahnya yang agak kotak, alis yang juga tebal melengkung membingkai matanya, dan bibirnya yang kalau tersenyum membuatku terpesona. Tak pernah aku mengerti kenapa harus jatuh cinta pada lelaki seperti dia. Esa yang sepertinya sadar telah dari tadi kuperhatikan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Aku menjauh, ingat kalau dia pasti mencuri ciuman lagi bila aku membiarkannya mendekat seperti itu. Kok menjauh sih ay? Katanya tadi minta cium, gimana sih? Lelaki itu bersungut mendapati tanganku yang mendarat pada wajahnya, membuat jarak pada wajah kami. Siapa yang minta cium? Wajahnya bilang gitu ay, Dia tertawa tanpa beban. Aku lupa kalau kami sedang bertengkar. Namun sejenak kemudian menghela nafas, aku tahu dia masih berusaha menjelaskan perihal dia yang membatalkan kencan kami. Sekaligus perayaan hari ulang tahunku. Tetapi dengan teganya dia membuatku menunggu tiga jam lebih malam itu, tanpa kabar. “Bima kecelakaan. aku membeku. Be benarkah? dia mengangguk, gimana keadaannya? Kok kamu ga kasih tahu aku? Kalau aku tahu kan pasti akuuuhhppppp, dia membekap mulutku yang berbicara panjang hingga lupa bernafas. Dia gapapa. Kemarin aku gabisa hubungin kamu, baterei ponselku habis. Tapi Bima gapapa dia Cuma memar di kaki ma punggung aja, kesenggol mobil, dia juga udah pulang dari rs. Saat aku dateng ke tempat janjian kita kamu udah pergi, aku telepon, kamu gak mau ngangkat. Oh ya? Aku tak mampu bicara, menyadari keegoisanku yang sudah marah dari kemarin malam tanpa mau mendengar penjelasannya. Maafin aku, kepalaku menunduk, aku sangat malu. Kalau tahu Bima sahabat Esa kecelakaan, aku ga akan marah-marah begini. Yaudah, kita tengok Bima yuk? ucapku kemudian, yang dihadiahi sebuah cubitan besar di kedua pipiku. Nanti sayang. Ini udah malem. Kita juga belum selesai. Apa lagi? Aku belum nebus hutang kemarin. Aku tersenyum, lalu mengecup pipinya pelan, Lain waktu kita rayain lagi. Tapi aku belum kasih hadiah buat kamu. Aku menghela nafas, Kamu mau kasih hadiah apa memang? Seketika dia tersenyum, membuat mata sipitnya semakin sipit, lalu berkata, Aku mau kasih diri aku. My Heart, My body. PLETAK. Adawww Kok dipukul sih? Otak kamu tuh perlu diperbaiki. Kesana terus pikirannya! Ah bilang aja kamu suka. Orang minggu kemarin aja kamu mint ARGH! SAKIT MAWAR! Rasakan. Iya sih minggu lalu aku minta. Itu kan karena aku ga sengaja nonton film dewasa sama teman-temanku. Wajar kan kalau kemudian aku memintanya. Dia terus menggodaku dengan senangnya kemudian dia terbahak. Memangnya aku badut ditertawakan seperti itu. Namun sedetik setelah itu dia melingkarkan tangannya di perutku. Membuat jantungku kembali berdetak maksimal. Sayang, bisik Esa kemudian, suaranya begitu rendah di telingaku, aku dapat merasakan leherku yang sedikit merinding merasakan sapuan nafasnya. Apa? aku berusaha tetap tenang, walau dalam hatiku sudah meleleh, tubuhku layaknya jelly, pasrah saat dia akan melakukan apa saja padaku. Kamu inget ga pertama kali kita ketemu? Ingatanku melayang saat aku masih duduk di bangku semester kedua kuliah. Dia yang playboy, mencuri ciuman pertamaku hanya karena aku tak terpesona olehnya. Tentu aja inget. Bulan Januari. Kamu lelaki paling kurang ajar yang pernah aku temuin! Kamu nyuri ciuman pertamaku di depan banyak orang! kataku nyaring, setengah berteriak. Aku kesal dengan cara kami bertemu, walau kuakui aku suka ciumannya itu. Tapi tetap saja, aku malu kalau ingat. Ciuman pertama, di depan banyak orang, oleh lelaki playboy yang baru pertama kutemui. Idih, bilang aja suka. Siapa suruh jual mahal gitu. Lagipula aku kan habis sakit waktu itu, sudah lama tak merasakan kehangatan wanita, KRAUKK Aku menggigit tangannya yang melingkari tubuhku. Membuat dia meringis. Kamu ga berubah ya. Bisa ga sih sedikit lembut. Gahar amat jadi cewe, gerutunya, dan aku hanya memasang wajah acuh. Siapa suruh, ngingetin masalah memalukan itu. Dia menatapku tajam, dan aku masih berwajah datar sampai akhirnya dia menempelkan bibirnya ada bibirku. Menciumnya tanpa ampun, aku yang kaget hanya bisa diam walau akhirnya bisa membalas sapuan lidahnya di mulutku. Dia memang ahli berciuman. Walau ada jeda saat kami mengambil nafas, ciuman itu tetap berlanjut sama liarnya, hingga aku berakhir dengan berbaring di sofa. Aku bisa melihat wajahnya yang memerah karena gairah. Kupikir itu akan berakhir dengan aktivitas kami seperti biasanya, bermain di ranjang. Tapi dia malah duduk, dan kembali mengajakku bicara. Terus, kamu inget ga kapan kita jadian? Aku memutar bola mataku. 22 Maret 2014 jam sepuluh pagi. Haha. Wah kamu cinta banget ya sama aku? Hafal banget sampe jamnya. Tentu saja ingat. Dia yang memaksaku untuk menulis tanggal jadian kami di setiap buku yang kupakai. Waktu itu kamu yang seenaknya bilang kita pacaran ke semua orang. Dasar cowok gak tahu malu. Sekali lagi dia terbahak. Lalu mengecup bibirku sekilas. Kan aku cemburu yang. Gumamnya manja. Lelaki yang bila di luar dingin, playboy dan terkesan galak ini memasang muka manja? Cih, gak pantes. Iya. Tapi aku juga inget, waktu itu kamu meluk aku. Sekali lagi ngelakuin sesuatu yang gak pernah kulakukan dengan pria lain selain keluargaku. Kamu juga ngomentarin ukuran dadaku. Terus nganter aku pulang dan pegang-pegang payudaraku! Ngeseliiiiin. Kupukul dadanya bertubi-tubi. Argh, dia cowok menyebalkan, walau aku menyayanginya. Dia menahan pukulanku dengan kedua tangannya, menghentikan pergerakanku. Lalu memegang payudaraku dengan sebelah tangannya. Aku menahan nafas. Tapi ukurannya ga berubah ya, pas banget di tanganku. Katanya. Aku bermaksud memukulnya lagi tapi dia malah mengunci tanganku ke atas dengan tangan kirinya dan membuatku berbaring, kemudian membuka kemejaku, payudaraku terpampang dengan bra putih yang membungkusnya. Seksi, gumamnya pelan dan menenggelamkan wajahnya ke dadaku. Menggesekan hidungnya. Uh. Geli… Esa hhh, rangsangan itu menaikan libidoku kembali dia mengeluarkan payudaraku dari wadahnya dan meremasnya pelan. Ugh, aku melenguh, menggeliatkan tubuhku yang berada di bawah tubuhnya. Sesuatu yang keras itu terasa di pahaku. Dadaku basah oleh mulutnya, putingku dikulum habis-habisan. Dia membuka bajunya, juga celana jeansnya, menyisakan boxer hitam dan tubuh atletisnya. Pakaian ku pun sudah berantakan dibuatnya, bra yang hanya menempel tapi tak menutupi payudaraku, celana dalam yang sudah terlempar entah kemana, dan rok yang terangkat tinggi. Kembali dia menindihku, mencium leherku dan menjamah payudaraku. Aku meremas kepalanya lembut, menyelipkan jari-jariku di sela rambutnya, sesekali mengusap punggungnya. Di bawah sana, kejantanannya sudah sangat siap untuk menerobos kewanitaanku. Menggeseknya. Membuatku merintih nikmat. Yang . panggilnya. Hmhhh?? jawabku disela desahan yang merupakan ekspresi kenikmatan saat dia menjamah tubuhku. Kamu inget ga pertama kali aku masukin kamu? Aku yang sudah terpengaruh gairah tak mampu lagi berpikir. Tanganku mencari-cari miliknya untuk dimasukan ke dalam milikku. Namun dia menahannya. Jawab dulu yang, ucapnya. Kilat geli terpancar di wajahnya seperti menikmati ekspresiku yang sudah tak bisa menahan hasrat. Iyahh aku inget.. aahh, yang aku ga tahan rengekku. Waktu itu aku ga bisa mengendalikan diri karena melihatmu yang tiduran di kasurku sambil memakai kaosku yang kebesaran. Dan aku baru tahu kalau kamu masih perawan saat aku memasuk ki mu ahh. Penetrasi itu terjadi, aku hanya bisa terpejam menikmati dia yang masuk ke tubuhku. Kami menyatu dan bergerak. Ya, waktu itu aku masih perawan, tapi aku tak menyesal memberikannya pada Esa. Karena kini dia adalah milikku. Perasaanku maupun tubuhku sudah kuserahkan padanya sejak saat itu. Juli. Ucapnya sambil mendesah. Aku mengerti, saat itu bulan juli, saat dimana aku memberikan semuanya pada Esa. Dia berhenti bergerak dan melepasku. e Doggy Style sayang. Aku pun paham. Ku benahi posisiku dan dia masuk dari belakang. Lenguhan, rintihan dan suara decakan saat tubuh kami beradu menjadi irama harmoni antara aku dan Esa. Woman on Top. Posisi kami berubah lagi. Aku yang memimpin. Posisi yang paling Esa sukai. Katanya dia suka melihatku yang bergoyang di atasnya, melihat payudaraku berguncang, lalu menghentikan pergerakannya dengan memegang payudaraku, dan melepasnya lagi. Aku mencintainya dengan segenap perasaanku. Melihat dia yang menikmati tubuhku, menjadikanku pusat perhatiannya membuatku semakin semangat memutar pinggulku, hingga kejantanannya berputar mengikuti gerakanku. Untuk ke sekian kalinya kami membenahi posisi, tubuhnya duduk, dengan aku yang masih bergoyang, punggungnya bersandar di sofa, di posisi ini dia bebas menjamah payudaraku. Wajahnya dia daratkan di payudara kananku dan menghisapnya, memainkan lembut dengan giginya. Menjilat dengan lidahnya. Aku sendiri terus bergoyang dengan genjotan yang semakin menggila. Hhh ahh engahku seiring gerakan yang kubuat, satu desahan satu gerakan. Hingga tak lama kemudian otot kewanitaanku berkontraksi cepat, tubuhku menggelinjang, aku mendapatkan orgasme ku yang pertama. Melihat hal itu, dia membalikkan tubuhku dengan cepat. Kembali. Man on Top. Ia memacu tubuhnya, menenggelamkan dengan kuat, lalu menariknya secara terus menerut, sampai dia pun merasakan hal yang sama denganku. Sperma itu menyembur di tubuhku. Terengah, kita berusaha mengatur nafas, makasih sayang, Esa bilang. Kamu gak pakai kondom, aku baru ingat. Oh ya? Gapapa, kita nikah besok. PLETAKKK Emang nikah itu beli gorengan? Enak banget ngomongnya! Loh. Emang enak yang, barusan kamu aja desahannya keras banget, bikin akuuu ugh Bukan itu maksudnyaaaaaaa! Dia menggodaku lagi. Tapi tak apa. Aku percaya pada lelaki ini. Kembali kutatap wajahnya, dan kusandarkan kepalaku di dadanya, tempat yang selalu membuatku nyaman. Sayang, Hm? bisikku. Udah setahun kita saling mengenal. Sepertinya semakin hari aku semakin mencintaimu. Gombal. Terserah. Tapi happy anniversary ya sayang aku sangat bersyukur bisa mengenalmu hingga sekarang. Loh.. kan masih dua bulan lagi? bukannya kita jadian Maret? Engga. Sejak awal aku jatuh cinta padamu, bagiku kita udah jadian. Kamu adalah pacarku. Satu-satunya. Dasar aneh. Padahal dia bukan tipeku sama sekali. Aku tak habis pikir dengan hatiku yang malah berlabuh di sosok pria yang jauh sekali dari kriteria idamanku. Bentar yang, ucapnya melepas pelukanku. lalu memakai boxer kembali dan kaosnya. Dia keluar rumah. Saat kutanya, dia bilang mau mengambil hadiah. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Tiga menit kemudian dia datang membawa seikat mawar merah. Sembilan tangkai mawar untuk kekasih hatiku. Mawar. Aku melongo. Sejak kapan dia bisa seromantis itu? Mawar? Mawar untuk Mawar? Gak kreatif banget sih ngasih mawar. Udah jelas namaku Mawar. Ngasih bunga yang lain kek. Gerutuku, namun tetap kuterima, kucium wanginya. Mawarnya bakal layu tahu. Aku gak pinter ngurus mawar. Dia mengecup keningku. Yang pentingkan maknanya yang. Maknanya? Apa? Cinta? Basi ah. Loh engga basi kan diangetin, hehe. Aku hanya menjulurkan lidahku. Mawar, lambang cinta. Sembilan mawar, artinya kita akan selalu bersama selamanya. Mainstream sih, tapi sejak awal bertemu, aku selalu ingin memberikan mawar untukmu. Yakin kita akan bersama selamanya? kataku menguji. Aku akan berusaha. Ga akan segila Majnun atau Romeo. Yah, anggap saja aku Romeo versi realistis. Aku akan berusaha. Bukan untuk tetap mencintaimu, tapi untuk tetap menjaga dan menumbuhkan cinta ini untukmu, dan bila suatu saat perasaan ini memudar, aku akan mengingat ini. Kamu bisa pegang janjiku. Saat ini aku tak tahu harus bicara apa, yang jelas. Aku mencintai pria ini. Setulus hati. Hehe. Makasih sayang dan met tahun baru. Kataku. Aku pun memeluknya.