Segenggam kisah terbalut pemisah

“Sayangku…Dapatkah kau merasakan….”
“Betapa besarnya…Rasanya cintaku padamu…”
Potongan reff dari band ternama membuyarkan genggaman tanganku yang sedang asyik menikmati lekuk bulatan setir pacuanku. Sekilas ku arahkan pandanganku​
tertuju pada dashboard yang didalamnya penuh sesak oleh uang kertas lusuh dan kepingan logam, secepat kilat ku tangkap cermin spion atas, lalu melirik ke kiri dan ke kanan. “Sip” pikirku.
ku ayunkan ujung jari-jariku menuju pertapaan hp kesayanganku yg setia menanti di balik kerimbunan kertas alat pembayaran. Tak berapa lama, sudah dapat kupeluk​
si hitam dengan telapak tanganku. “Halo..Aku lagi nyetir”. ucapku.
Seraya aku menekan tombol bergambar merah dengan seksama.​
“Dilarang menggunakan Hand phone saat berkendara” pikirku.
Sudah hampir satu 60 kali putaran jarum panjang jam tangan ini, tapi naas, roda empat ini hanya mampu merangkak sejauh 10 meter. Jalanan terlalu sempit​
menerima penetrasi ratusan mobil yang berlomba-lomba melewati warna hijau sebuah tiang berlampu. kewajiban jalanan Ibukota yang sangat lazim terjadi di hari kerja. “clinggg”
Panggilan mesra dari hp ku yang memberitahukan kehadiran pesan mesengger membuyarkan sedikit kesalku. Sekali lagi aku menoleh kiri kanan, berusaha​
menemukan sang penguasa lalu lintas, setelah kupikir 86, ku ambil hp ku. 1 pesan mesengger tertera di layar hp. “PING!!!” “clinggg” “Masih dmana ?” “clingg” “Jadi k Jas*nga ga ?”
Jas*nga, 1 kota yang dahulu enggan ku sambangi. Alasannya, jalanan yang terlalu asyik diajak menari serta kewajiban meliuk-liuk diantara lubang-lubang yang​
menganga. Terlebih, aku tak memiliki siapapun disana meskipun banyak bidadari jas*nga yang berserakan di sekitar kampungku dan ironisnya, Jas*nga cukup mempunyai nama dalam hal kemulusan dan kemolekan para gadisnya. Sempat aku berpikir, “apakah aku terlalu rendah untuk mereka ?”. Oh ya, namaku Udin dan umurku 27 tahun. Penampilanku terbilang sederhana dengan postur tubuh 165/50. warna kulitku coklat kehitam-hitaman dengan rambut ikal agak keriting. Itulah mengapa aku menyebut diriku sederhana, sederhana untuk dibilang keren tapi sederhana pula untuk dicap hancur. Yang dapat aku banggakan hanya satu, yaitu aku mempunyai seorang pacar berumur 19 tahun yang menurutku terlalu amat sempurna. Bayangkan, mulai dari rambut berjenis ombak laut yang selalu memancing hasrat dari jari-jari tanganku untuk membelainya, tumbuh selaras dengan wajah berbentuk agak bulat serta pipi yang mengembang layaknya bolu hangat yang siap dihidangkan. Bulu mata lentik yang sungguh eksotik mendampingi kelopak yang berpenghuni bola mata berwarna coklat,berpadu dengan bibir mungil berwujud manis. Bentuk tubuhnya terhitung irit dengan tinggi hanya 160/55,tapi ada satu kelebihan darinya yang paling aku idam-idamkan. Surprise, buah dadanya yang berukuran big size 40c selalu menghipnotis lidahku untuk menggigit puting mungilnya yang berwarna pink. Bekerja sama dengan jari-jemari yang tak pernah puas untuk menggenggam dan menelusuri setiap inchi demi inci gumpalan bukitnya. Pinggang yang ramping 28 beraksesoris pinggul dan bokong yang terlalu sesak bila terbungkus celana. Ditambah vagina berdinding tebal menjepit klitoris yang selalu menjerit meminta kehangatan.
Hampir 3 jam lamanya aku berkelahi dengan jalanan Ibukota hingga akhirnya gigi netral mobilku tercipta di depan sebuah rumah. Rumah kecil yang di depannya​
telah berdiri peri kecilku, meski asamnya cuka tak dapat menandingi kecut wajahnya, tapi sungguh, ia masih terlihat anggun dengan dengan kemeja berwarna ungu serta jeans super ketat yang menampilkan keindahan pantat, paha , serta betis bunting padinya. “Maaf ya de, macet parah tadi…!” aku membuka pembicaraan dan dede adalah panggilan sayangku untuknya. “Helllooooo, elo, gw diem-dieman !!!” ketusnya. Dengan raut wajah bak penjaga neraka. “Jangan gitu atuh, aa kan udah berusaha. Sorry banget” balasku. “Bodo….” timpalnya. Mendengar ucapannya, akhirnya aku memutuskan untuk diam karena bila di teruskan aku takut terjadi ketidak harmonisan. Setelah hampir 30 menit lamanya berdiam ria, akhirnya ia mengalah dalam pertempuran. “Kenapa sih a ? kalo dede marah, a pasti diemin dede ? seharusnya kan aa merayu biar dede bisa maafin..” ucapnya dengan intonasi sedikit tinggi. dengan santai aku menjawab “kalo api ketemu api, apa jadinya ?” tanyaku. “hehehehe…kebakaran..” jawabnya dengan ekspresi cengengesan. Akhirnya, lega hatiku melihat kelunakan sikapnya. “Aa…” “ya dede..” “dede kangen sama aa..” manjanya. “masa ? kalo kangen kenapa dari tadi aa di diemin ? hayooo…..” “habisnya aa tega…dede nunggu di depan rumah dah hampir 3 jam..” dengan nada manjanya yang cukup khas. “bagus itu,itung-itung latihan jadi patung selamat datang..hahaha” jawabku sekenanya. “iiiiikh..aa jahat !!” dengan raut wajah cemberut dan bibir manyun nya.. “sekarang kan aa udah ada di samping dede ?” “iya..tapi kan aa lagi nyetir,mana bisa manjain dede..” “mang dede pengen di manjain kayak apa ?” Dengan nada memelas dia menjawab “dede lagi mau !!!”. ouw ouw ouw ouw..Kaget juga aku mendengar ucapannya, maklum, biasanya aku yang meminta duluan. “beneran.???” tanyaku.
Hanya anggukan kepala yang dapat kulihat sebagai jawabannya. Akhirnya, otakku pun berpikir 1000 kali lipat agar bisa mendapatkan cara yang cukup jitu​
dalam memuaskan nafsunya yang tergolong jaelangkung, datang tak di undang, pulang setelah keluar. Jalanan yang kulalui memang tergolong kasta sepi, intensitas kendaraan hanya samapai terhitung jari yang, itupun kemungkinan hanya para pribumi. Hanya barisan pohon dan semak belukar yang berdiri di pinggir jalanan tanpa hotel, motel ataupun penginapan. Dalam kondisi seperti ini, hanya “OTC” yang mungkin bisa. you know OTC = On The Car. Yupzz,tapi apa mungkin cara ini bisa mengusir kehausan birahinya ? pikirku.
Dalam situasi yang NJELIMET ini, akhirnya ilham menepuk kebuntuan otakku. Samar-samar kulihat dari kejauhan, ada sebuah bangunan minim biaya yang​
beralaskan tanah dengan tiang bambu berwarna kuning alami serta dinding dari bilik bambu bermotif dan atap rumbia. Bangunan yang ku taksir di gunakan untuk berjualan buah manggis ini,terlihat sepi dari tanda-tanda kehidupan. Ku perlambat laju mobilku ketika mendekatinya, dan…dan..dan.. yes. kont*lku bersorak gembira menyanyikan lagu kemenangan. Ternyata benar, gubug ini memang kosong dan kuparkir mobilku sedemikian cantik untuk memperkecil ruang penglihatan bagi kendaraan yang melintasinya. Seakan mendukung, di dalam gubug itu terdapat meja berbentuk segi panjang serta kursi dari sebuah papan dengan 4 kaki penyangga yg seukuran dengan mejanya. Setelah dirasa cukup aman, tanpa ba bi bu aku langsung menariknya ke dalam gubug dan mendorongnya hingga tubuhnya terhempas menempel di dinding bilik.. Dengan ganas bagai harimau, ku terkam bibir ranumnya. memagut bibirnnya dengan sesekali bergantian antara bibir atas dan bawah. Tak berapa lama akhirnya lidah kami saling beradu dan bertukar tempat, menerawang ke dalam rongga mulut sang empunya, sesekali terdengar lenguhan dari mulut pacarku, di sertai nafas berat yang kian memburu “mmhhhhh…mmhhhh”. Tanpa di komando, tangan kananku mulai menelusup di balik kemejanya, menyusuri kulit punggungnya dengan belaian. Seakan tak mau kalah, tangan kiriku pun mulai bergerilya di balik kemeja menelusuri perutnya yang ramping. Tak berapa lama, kutemukan bra tanpa spon yang membungkus buah dadanya. Telapak tanganku mulai melangkah menaiki gumpalan bukit kehangatan yang masih terbungkus itu, hingga akhirnya berhenti karena menemukan sedikit tonjolan yang tak lain adalah puting. Kugesek-gesekan telunjukku dengan lembut dan terkadang kasar, sehingga menciptakan kenikmatan yang di tandai dengan rintihan tertahan pacarku. “Ehmmmmmmmhhh…..emmmmmmmmhhh..”erangnya. Setelah puas dari luar bra, akhirnya kuputuskan melepaskan kancing kemeja atasnya tanpa melepaskan ciumanku yang kini mulai menghampri daun telinganya. Erangan kenikmatan makin menjadi “aahhhh…emmh….aaaahhh”. Kulanjutkan ciumanku turun menapaki lehernya dan sesekali lidahku pun ikut bermain dengan menjilati setiap titik spot pada lehernya, gigitan kecil mulai mewarnai pertempuran birahi pada bagian leher ini. 4 buah kancing mulai bebas dari lubangnya sehingga menampakan belahan dada yang mirip sungai di tengah gunung. “Aaaa….giii..gii..ttt a” pintanya dengan nafas kian memburu. Dengan sigap tanganku menelusuri punggungnya, mencari kunci menuju surgawi. Setelah ku lepaskan pengait bra, terlepas pula buah dada yang kini semakin kenyal dan membesar seakan dihidangkan untuk di puaskan. Buah dada yang sedari tadi mulai tak muat, mencuat seakan melompat bebas bergelantungan tanpa penghalang. To be continue..