Sang Lelembut
Terdapat sebuah legenda di pelosok Gunung Salak mengenai kutukan Sang Lelembut yang menyatakan bahwa segala keinginan yang bersifat sundal dan kesenangan duniawi akan dikabulkan. Sang Lelembut, begitu orang sekitar menyebutnya, merupakan seorang pelacur sekaligus penasihat spiritual Raja Mahadeva dari Kerajaan Parahyangan; sebelum ia mati dirajam di kolam air mancur istana karena ketahuan memuaskan dirinya kepada patung-patung dewa-dewi di depan pintu singgasana.
Wanita tua itu berkata bahwa tidak ada yang melebihi jangkauan Sang Lelembut. Beliau juga berkata bahwa jika kau melakukan apa yang berkenan kepadanya, maka engkau akan dihadiahi secara manis.
Yang harus kau lakukan hanyalah membawakannya hadiah (atau lebih dikenal dengan kata “sesajen”) dengan sedikit upacara ritual berupa pemuasan diri sambil mengucapkan kata-kata mantra. Namun Ratna tidak mempunyai uang, dan di samping itu, sukar sekali untuk mengetahui apa yang seseorang inginkan sebagai hadiah, apalagi…. Sesuatu…. Yang hidup di rawa-rawa. Sejenis rawa-rawa. Lebih seperti kolam. Sebuah kolam becek, berlumut, di tengah-tengah hutan, yang mungkin sudah 300 tahun tidak dipakai, yang sekarang dipenuhi oleh babi hutan yang kehausan.
Untungnya wanita tua itu, Mbah Sri -begitu ia dipanggil-, mengatakan kepada Ratna apa saja yang harus dipersembahkan, dan kapan… Pada malam bulan Purnama pertama, ia harus membawa sebuah benda yang mengiaskan kata ‘INDAH’. Kemudian, pada purnama berikutnya, sesuatu yang BERHARGA. Dan berikutnya, yang terakhir, ia harus membawa sesuatu yang MURNI.
Ratna tidak begitu menyukai ide ini. Alasan utama ia melakukannya, bertanya kepada Mbah Sri yang merupakan wanita tua yang tidak pernah meninggalkan gubuk tuanya sejak jaman Orde Baru, ialah untuk MENDAPATKAN apa yang ia inginkan, bukan memberikannya! “Apalagi ditambah dengan masturbasi,” gerutu Ratna.
Ratna termenung. Untuk hadiah pertamanya, ia harus membawa sesuatu yang secara teknis tidak berharga, tetapi juga layak untuk dijadikan hadiah yang indah. Sekumpulan botol selai bekas yang telah dibersihkan terlihat begitu menarik untuk dijadikan perhiasan lemari. Label kemasannya, terukir mengkilap dengan glitter warna warni yang tergrafir manis di sisi samping botol. Awalnya Ratna diminta untuk membuangnya ke tempat sampah, tetapi ia malah membawanya ke tengah-tengah hutan.
Dengan dibungkus tas kresek hitam besar, ia mulai menanggalkan bajunya dan meletakannya sebagai alas. Setelah memastikan bahwa ia telah bugil seutuhnya, Ratna merebahkan dirinya menghadap Sang Bulan. Ia dapat merasakan darahnya mulai memanas, mungkin dikarenakan ia sedang telanjang bulat di tengah-tengah hutan. Matanya terpejam. Tangan kirinya mulai meraba perutnya, untuk memberi stimulasi awal rangsangan; sementara tangan kanannya mulai memijat-mijat kecil pangkal pahanya, memberikan sensasi langsung ke selangkangan. Tak dirasa suara lenguhan mulai keluar dari mulutnya. Sambil membayangkan bagaimana Pak Bondan majikannya biasa menggagahinya dulu, Ratna mulai memasukkan jari telunjuknya ke liang kewanitaannya itu. Birahinya meninggi, dan teringatlah ia akan tujuan utamanya datang kemari. Dengan tangan kanan menggapai tas kresek berisi sesajen pertama Sang Lelembut, Ratna melemparkannya ke tengah-tengah kolam, Plung! Ratna mengucapkan mantra yang diajarkan sembari melihat sesajennya tenggelam ke dasar kolam:
“Oh, Sang Lelembut, Sang Lelembut, yang Mengetahui nafsu setiap manusia! Yang telah berjanji akan menghidupi barangsiapa yang berbuat cabul… Pemberi kenikmatan, pemuas syahwat, siang maupun malam! Jadilah penolongku, terimalah sesajenku. Hatiku, jiwaku, untuk keinginanku ini…!”
Ratnapun mengucapkan keinginan terpendamnya. Yang mana, sejatinya, untuk terhindar dari segala hal yang tidak disukainya, dan supaya memiliki semua yang ia dambakan. Untuk dapat hidup di rumah mewah! Itu yang pertama. Yang kedua yakni supaya ia dapat memiliki harta berlimpah, dan tidak perlu berbagi. Artinya, tidak peduli orang tua sekalipun, ia akan meninggalkan mereka dan berharap mereka “sudah tidak perlu dibagi”. Dan di atas segalanya, supaya selalu…. Selalu bisa mendapatkan orgasme setiap kali berhubungan intim!
Memiliki paras seperti dewi bukanlah sebuah hikmah jika didampingi dengan kehidupan yang serba berkekurangan. Karena paras itulah Ratna harus kehilangan keperawanannya, dan diperkosa oleh kawanan pemuda yang “kebetulan sedang camping”. Belum lagi sebagai objek domestikasi kebejatan para majikan kurang isteri yang mengharuskan Ratna bekerja lebih dari sekedar pembantu rumah tangga. Atau setidaknya sebagai pembantu yang dicap suka merebut suami majikan perempuannya. Dan dari sekian banyak kasus pemerkosaan itu, hanya Pak Bondanlah yang mampu memuaskannya -yang sekarang telah tiada-. Oleh karena itu Ratna memohon kemampuan untuk orgasme di setiap hubungan seks yang akan ia jalani. Tidak ada yang jahat bukan dari keinginanku? Gumamnya.
#########################
Ratna kembali ke rumah ibunya segera setelah menyelesaikan ritualnya
#########################
Hadiah kedua terasa lebih susah. Hal yang harus bersifat “berharga”. Ia tidak begitu mengerti makna katanya, jadi Ratna membuka kamus kecil Bahasa Indonesia yang ia simpan sejak jaman SD:
Berharga [ber-har-ga]
Kata sifat
1. Mahal, memiliki nilai uang yang tinggi.
Ratna terbelak penuh kata-kata kasar. Kalau ia memang memiliki sesuatu yang ‘memiliki nilai uang yang tinggi’, ia tidak akan repot-repot datang ke sebuah kolam ajaib, bukan?
2. Tidak dapat digantikan: foto-fotoku dengan nenek sangat berharga bagiku.
Ratna termenung lama memikirkan apa yang cocok untuk dibawa sebagai sesajen kedua. Ratna punya banyak barang yang berharga baginya, kebanyakan sejak ia masih kecil. Boneka untuk tidur, bando, mainan lainnya. Tetapi satu, secara spesifik. Boneka kuda poni berwarna pink dengan tanduk ungu dan ekor dari bahan halus seperti sutra. Yang dilengkapi dengan satu set baju ganti. Berapa jam ia habiskan untuk merias boneka itu… Lalu ia teringat akhir-akhir ini ia gunakan untuk bermasturbasi supaya bisa cepat tidur. Ratna kembali termenung. Pegi, nama kuda poni itu. Pikirnya.
Malam Bulan Purnama kedua, Pegi dibawa ke antara pohon-pohon di depan kolam yang menyerupai rawa-rawa itu. Ratna memandangi boneka laknat itu beberapa saat sebelum memuaskan dirinya. “Jadi ini saat terakhirmu menjadi pemuas nafsuku,” ujarnya dalam hati. “Tolong puaskan aku, ya,” katanya kagi. Lima menit kemudian lenguhan telah menggema dan menggaung di antara pepohonan hutan Gunung Salak. Tak akan mengejutkan bila nanti muncul cerita mengenai tangisan kuntilanak di daerah itu, yang sejatinya merupakan lenguhan kepuasan seorang gadis remaja.
Ratna membuka kakinya lebar-lebar, seakan bersiap menerima serangan dari Pak Bondan. Sambil memejamkan matanya, ia mengarahkan tanduk boneka kuda poni itu ke liang senggamanya. “Aahh… Pak… Kemaluanmu besar sekali…” “…Pak, jangan di sini. Nanti kalau Ibu pulang akan… Ahhh….” Ratna memutar kembali ingatannya ketika Pak Bondan menyetubuhinya di ruang tamu sesaat setelah isterinya pergi arisan. Ratna terbangun dan kini meletakkan Pegi di bawah, mengingatkannya ketika sedang menaiki pusaka besar milik suami majikannya itu. “Ughh… Pagkhh… Sudah… Jam.. Dlaphh…an.. Ibu….” tubuhnya kini menggeliat maju mundur ke samping. Ratna dapat merasakan Pegi sudah basah dibanjiri cairan kenikmatan yang keluar darinya. Mulutnya meracau tidak jelas, yang jelas hanyalah ia sedang menghidupkan kenangan malam terakhir bersama Pak Bondan.
“Ooohh… Nikmat sekali tubuh kamu, Ratna.. Oohh…ooohh..” Kata-kata itu hanya direspon dengan goyangan yang semakin liar, memutuskan hubungan profesional antara pembantu dan majikan. “Ratna, turun sebentar, Bapak mau menggendong kamu,” 30 detik kemudian kedua tangan Pak Bondan sudah mengangkat pangkal paha Ratna, dengan tangan kanan memeluk wajahnya dengan mata terpejam; berusaha menikmati setiap hujaman pusaka tumpul milik majikannya.
“Pak…. Janghhan.. Di sini… Nanti ketauan…” Ratna sudah tak mampu mengingat apakah kalimat itu bermakna keluhan atau kepuasan. “Diam kau! Sedikit lagi aku selesai,” tusukan demi tusukan berlalu dan….
“BAPAK! APA-APAAN…!!!” Suara Ibu Bondan bergema di kepala Ratna sembari cairan kenikmatannya mengucur deras bagai air mancur kerajaan. Pikirannya mendadak tersadar akan kondisi sekitar yang sudah bukan ruang tamu rumah Keluarga Bondan. Segera pula ia mengucapkan mantra yang sama dengan purnama sebelumnya. Namun pikirannya tak lupa kembali ke saat ia mencapai puncak kenikmatan bersama Pak Bondan.
“APA YANG BAPAK LAKUKAN DENGAN PEMBANTU KITA?!!” Akan tetapi bukan kata-katalah yang menghampiri wanita paro baya itu, melainkan campuran cairan mani dan kewanitaan yang mengenai sebagian wajah dan bajunya. “KURANG AJAR!! Laki-laki jahanam!!” Seakan setan merasuki raga Bu Bondan, ia maju mendorong pasangan yang baru saja saling memuaskan itu.
Pak Bondan kehilangan keseimbangan. Ditambah beban Ratna yang sedang digendongnya, ia terjatuh ke belakang. Untungnya punggungnya hanya menyentuh lantai, tetapi getaran yang dihasilkan menggerakkan guci rumah dan… Brakk! Guci tersebut pecah mengenai wajah Pak Bondan. Ratna yang juga terhempas ke depan mengenai kepala Pak Bondan yang dipenuhi pecahan guci.
Air mata Ratna mengalir sedikit membasahi wajah ayunya. Ia sudah tak mampu mengingat peristiwa memilukan itu. Faktanya, tidak banyak yang dapat ia ingat setelah punggungnya terhempas ke kepala Pak Bondan. Jeritan tangis, suara ambulans, semuanya kabur. Yang tersisa hanyalah kenyataan bahwa ia harus kembali ke rumah ibunya karena “tidak kuat bekerja”. Bu Bondan juga tidak ingin kasus itu sampai bocor ke kantor polisi, tempat para wartawan berkumpul. Jadi, kasus itu dilaporkan sebagai kasus kecelakaan.
Ratna kembali mengenakan pakaiannya. Sebelum beranjak meninggalkan hutan, ia sempat berjongkok untuk buang air kecil. Malam itu ia merasa lelah sekali. Cairan keluar dari seluruh tubuhnya, baik itu air mata, keringat, air seni, maupun air kenikmatan semuanya keluar. Sesampai di rumah ia hanya dapat membaringkan badannya di kasur dan memejamkan matanya, berharap apa yang ia lakukan tidak sia-sia. Kata-kata Sang Ibu tidak digubrisnya. Ia hanya berharap Sang Lelembut benar-benar menghadiahinya dengan keinginan-keinginannya.
################################
Sesajen yang terakhir bahkan jauh lebih susah dibanding dua sebelumnya. Kemurnian. Apa artinya? Ratna mengetahui arti katanya, tentu saja; ia tidak perlu mencarinya di kamus. Tetapi adakah contoh benda murni? Ratna mempunyai satu bulan untuk memikirkannya, dan dengan seiring berjalannya waktu, Ratna masih tidak memiliki petunjuk apa yang harus dipersembahkan kepada Sang Lelembut. Ia juga tahu, Mbah Sri yang mengatakannya, bahwa jika ia tidak membawa hadiahnya tepat waktu, kedua sesajen yang telah diberikan sebelumnya tidak akan dihitung; seluruh prosesi upcara harus dilakukan lagi dari awal.
Ratna tentu tidak pernah berpikir untuk mengulanginya lagi. Ia tidak ingin melihat barang berharganya hilang demi kepuasan sesaat.
Akhirnya Ratna mendapat pencerahannya ketika melihat anak laki-laki tetangga sebelah rumahnya, Hoki, bermain di taman di belakang rumah. Hoki berusia delapan delapan tahun, lebih muda 11 tahun dibanding Ratna. Karena jeda umur yang terlalu jauh itulah, Ratna tidak sempat memperhatikannya. Namun sekarang… BAGAIMANA melakukannya? Hoki merupakan bocah gemuk, yang selalu disuruh untuk bermain di luar rumah oleh ibunya yang janda. “Carilah teman, Nak..” katanya.
Cukup mudah untuk berteman dengan Hoki; yang harus ia lakukan hanya menawarkannya makanan. Suatu ketika, Ratna membelikannya permen gulali. Bagian terbaiknya ialah, Hoki tidak boleh terlalu banyak makan, karena berat badannya yang gemuk, jadi mereka membuat janji untuk tidak melapor kepada ibu mereka, atau siapapun, tentang rahasia makan bersama di taman di belakang rumah.
Membujuknya untuk menyelinap malam-malam terasa lebih susah. Purnamapun akhirnya muncul, terpampang tinggi di ujung langit seperti perut bundar Pak Bondan. Pepohonan tetap berdiri tegak, dengan sayup-sayup goyangan ranting-ranting kecil, seperti merayu untuk mendatangi mereka. Suara burung hantu dan sesekali kelelawar menambah perasaaan sunyi di hutan itu.
https://ekilwen.files.*************/2013/06/img_2258.jpg
“Ya ampun, Kak, apa yang Kakak pikirkan, menyembunyikan permen jumbo di tempat seperti ini?” protes Hoki, sambil mengikuti Ratna dari belakang, menendang ranting yang menghalangi jalan.
“Harus kulakukan,” jawabnya. “Kakak tidak tahu tentang ibuMU, tetapi ibuku menemukan SEMUA yang kucoba sembunyikan darinya. Kakak bahkan tidak akan kaget kalau ibu menemukan tempat persembunyiannya lebih dulu,” tambahnya meyakinkan.
Hoki berkata, “Aku harap tidak. Aku tidak ingin datang jauh-jauh ke hutan untuk dikecewakan. Tempat ini juga membuatku takut. Apa kita sudah sampai?”
“Hampir,” jawab Ratna.
Pepohonan itu akhirnya berhenti terlihat, dan sekarang terlihatlah pantulan bulan purnama di tengah-tengah kolam Sang Lelembut, yang terlihat siap untuk menelan siapa saja dalam satu celupan. Mereka berjalan ke tepi kolam yang mengeluarkan bau lumut yang khas. Ada akar pohon yang tumbuh di dekat tepi kolam itu, yang biasa Ratna gunakan sebagai tempat untuk bersandar ketika melakukan ritual. Ia membuka bajunya di depan Hoki. Ratna tidak perlu kuatir Hoki akan merasa malu dan terangasang, sebab ia belum mencapai usia akil balik.
Ratnapun memulai ritualnya. Sang Bocah menginterupsinya. “Apa yang kau lakukan?”
“Shh!” perintahnya. “Ini bagaimana aku biasanya melakukannya,”
“Oh,” jawabnya, tanpa mempertanyakan mengapa harus melepaskan pakaiannya.
Ratna berkata:
“Sang Lelembut, Sang Lelembut, yang mengetahui nafsu tersembunyi setiap manusia! Yang telah berjanji akan menghidupi barangsiapa yang berbuat cabul… Pemberi kenikmatan, pemuas syahwat, siang maupun malam! Jadilah penolongku, terimalah sesajenku. Hatiku, jiwaku, untuk keinginanku ini…!”
Ia kembali mengucapkan keinginannya, dan membalikkan wajahnya ke arah Hoki. Hoki sedang menggaruk sikunya, sambil melihat sekeliling, terlihat tak sabar.
“Baiklah Hoki, mari ke sini.”
Hoki berjalan ke arah Ratna, dan jarinya menunjuk ke tepi kolam.
“Berada di sana, diikat di dekat tepi kolam. Semuanya terbungkus dalam tas kresek putih,” katanya. Hoki terlihat skeptis.
“Ya ampun, Kakak serius sekali dalam menyembunyikan sesuatu,” katanya, dan ia merangkak ke tepi kolam. Agak menungging, Hoki memasukkan kepalanya ke tepi kolam.
“Aku tak menemukan apapun. Benar-benar menjijikkan di sini. Kakak yakin kita berada di…?”
Tetapi Hoki tidak sempat menyelesaikan pertanyaannya, karena Ratna terlanjur mengangkat batu terbesar yang dapat ia raih, dan melemparkannya ke arah kepala Hoki.
Batu itu terpantul dan selang beberapa detik terdengar bunyi “plung”. Ratna merasakan kram menjalar ke tangannya, karena batu itu benar-benar berat baginya. Ia beraharap sudah melakukan apa yang perlu dilakukan.
Tubuh bocah malang itu terkulai di rerumputan, dengan kepalanya menggantung di sisi tepi kolam. Ratna bergerak ke arahnya, dan menariknya sedikit ke samping, ke tempat dimana ia selalu memulai ritualnya.
Ratna menelanjangi tubuh bocah tak berdaya itu, dan melemparkan pakaiannya. Kemaluan Hoki yang bahkan tak lebih besar dari jari jempol Ratna membuatnya tertawa geli. Ratna menanggalkan pakaiannya satu per satu. Ia menaiki tubuh Hoki dan sesuai dugaannya, kemaluannya bahkan tidak bisa sampai masuk karena terlalu kecil. Jangankan masuk, berdiri saja tidak bisa karena pemiliknya sedang pingsan.
Namun hal itu tidak membuat nafsunya menurun, justru birahinya semakin memuncak, karena baru pertama kali ini Ratna memerkosa seorang bocah pingsan. Cairan mulai membasahi kemaluannya, dan kemaluan Hoki. Ia terangsang, namun tak mampu berbuat apa-apa.
Ratna mundur perlahan. Ia menggesekkan kemaluannya ke kemaluan Hoki. Sekarang kemaluan Hoki sliding di antara liang kenikmatan Ratna. Terasa lebih nikmat dibandingkan memaksa kemaluan Hoki masuk dengan posisi perempuan di atas.
“Hmmmppphhh… hmmmmppphhh… rrrgghhhhhh” nafas Ratna mulai meracau, tetapi mulutnya terkunci. Gerakannya kini dipercepat, bahkan cenderung kasar. Ia memandang wajah lucu bocah lugu gemuk dengan darah yang mulai mengering di keningnya. Ratna membayangkan masa depan dimana Hoki tidak perlu mati diperkosa dan dilempar dan ditenggelamkan ke dasar rawa-rawa akibat keserakahannya.
Nafsunya menjadi. Ratna bangkit dan maju mendekati kepala Hoki. Ia berlutut dengan kedua lututnya menyentuh tanah. Wajah Hoki berada di antara lubang kenikmatannya. “Oke Nak, mari kita lihat apakah mukamu lebih baik dari ulat kecilmu itu,” gumam Ratna dalam hati. Kedua tangannya bertumpu pada tanah. Ia mengarahkan liang vaginanya ke arah mulut mungil Hoki dan secara perlahan menciumkannya. Ratna memajukan pinggulnya perlahan. Rambut kewanitaannya mengerumuni dagu, mulut, dan cuping hidung Hoki. Ratna ingin menikmati momen sekali-seumur-hidupnya ini. Ia tak ingin terburu-buru. Jantungnya berdetak lebih kencang, tubuhnya mulai berpeluh; lenguhan kini terdengar dari mulutnya. “Eeuuuhhh…. aaahhhh….”
Ratna memejamkan matanya. Ia menikmati gosokan mulut anak tetangga di vaginanya sambil membayangkan wajah Hoki Kecil. Imajinasinya menjadi liar. Ia membayangkan bagaimana jika Hoki benar-benar menjilat liang senggamanya dengan dermen Relaxa di dalam klitorisnya. “Iiiaaahhh… siniiihh hookkhh, permennya di dalam siniihhh…. ahhh” racaunya tak jelas. “Jilat, hokhh.. jhilat, iyahh gigit situhhh…. aaawwww!! Itu itil Kakak Bukan Permen Relaxa!” Sensasi listrik seakan menyambar tubuh dan kepalanya. Perempuan muda itu seperti kesurupan.
Matanya terbelalak dan melotot. Ekspresi wajahnya marah. Ia memandang tajam wajah Hoki yang terkulai pingsan dengan dendam membara. Tangan kirinya mencekik leher Hoki dan tangan kanannya menampar pipi gemuknya. “SUDAH DIBILANG ITU ITIL KENAPAH KAMU GIGIT!!!!!!” Ratna tak mampu lagi membedakan mana realita-mana fana. Nafsu dan amarah menjadi satu. Ia menampar wajah Hoki berkali-kali. “Plak! Plak! Plak! Plak!” “DASAR ANAK KURANG AJAR!!!”
Ratna berjongkok seakan mau membuang hajat di wajah Hoki. Kedua tangannya menjambak rambut Hoki dan dengan kasar menariknya ke dalam daerah segitiga miring itu. “DASAR ANAK LONTE!! SHINIII MAKAN ITILKU!! ANAK BRENGSEK!!” Kini teriakan yang keluar dari mulutnya dan bukan racauan. Entah apa yang terjadi kalau orang sekotar hutan bisa mendengarnya, yang jelas bukan hal itu yang ada di pikiran Ratna sekarang. Ia menggosok-gosokkan wajah Hoki secara kasar di liang senggamanya, jembutnya, bahkan mulut dan hidung Hoki menjadi lecet karena gosokkan yang kasar dengan lubang silitnya. Sesekali kentut keluar dari situ.
“AAARRGGHHH!!! ARRRGGGHHHH!!! AAARRGGHHH!! SANG LELEMBUT!! TERIMALAH PERSEMBAHAN MURNI KUUUUU!!!!!!”
“EEUUUUHHHHHH” lenguhan keras diteriakkannya bersamaan dengan kejutan listrik yang membanjiri tubuh dan vaginanya. Ia mengalami orgasme terhebat sepanjang hidupnya. Cairan kenikmatan dan squirt mengucur begitu deras hingga menggesek itilnya. Mulutnya komat-kamit membacakan mantra Sang Lelembut entah benar atau tidak.
Akhirnya prosesi ritualnya selesai. Tubuh Ratna melemah dan terkulai di atas tubuh Hoki. Perbedaan tinggi badan kedua insan manusia itu membuat kepala Ratna harus menyentuh tanah. Hanya punggung bawahnya yang bersentuhan dengan kaki Hoki, sementara dubur Ratna menindih dada Hoki. Jarak wajah Hoki dan vagina Ratna hanya terpaut beberapa centi. Jika ia belum orgasme, tentulah mulut lecet itu dipaksa memuaskan mulut kewanitaan Ratna.
Ia berbaring cukup lama di atas tubuh Hoki. Pikirannya kosong, tubuhnya lemas, dan deruan angin malam menyentuh tubuh sensualnya yang tak berbusana.
Hempasan dingin angin malam membuat Ratna sakit perut dan berhasrat untuk berbuang hajat. Tanpa pikir panjang ia jongkok di atas perut Hoki dan mulai mengeluarkan tinja dari lubang anusnya yang masih perawan.
“Eeeekkkkhhhhhhgggghhh…” aku rasa kalian semua pasti dapat membayangkan bagaimana lenguhan seseorang yang sedang buang air besar.
“Jplekk… croottt… crooottt… brooottt…” tinja yang keluar awalnya padat, disusul dengan yang agak cair dan padat lagi. Pikiran Ratna kosong. Apa yang mungkin dipikirkannya? Ia (mungkin) baru saja membunuh seorang anak kecil yang sering ia ajak main dan mengorbankannya kepada setan. Ia (mungkin) memperkosa mayat anak kecil itu dan kini sedang *benar-benar* membuang kotoran di atas perutnya.
Aroma di situ sungguh memabukkan. Kalian dapat membayangkan bau tanah seperti mau hujan, bau amis cairan kewanitaan, darah, dan sekarang ditambah bau tahik tinja; semuanya dipadu dengan kesunyian malam dan suara angin. Menjijikkan. Pasti. Namun juga merangsang dan membuat ketagihan. Jika kalian pernah mencium bau lem aibon atau bensin, itu semua tidak apa-apanya dengan bau di sini.
Ratna yang sudah mulai waras meratakan tinja itu di sekujur tubuh Hoki. Sekarang ia mulai kebingungan bagaimana melempar tubuh itu ke dalam rawa-rawa. Bagaimanapun juga, ia tetap seorang perempuan lemah yang jarang sekali mengangkat beban berat. Ia mencoba mendorong kaki Hoki supaya tercebur ke dalam rawa, namun tubuh gemuk itu tidak bergeming.
“Fiuhh…” Ratna mengeluh.
Itulah saat ketika Ratna melihat permukaan air rawa mulai berombak. Seutas akar gantung basah berwarna hitam dengan sinar putih di sekitarnya muncul dari dalam rawa dan bergerak merambat ke permukaan tanah. Akar itu menjalar perlahan-lahan melewati bebatuan dan dedaunan mendekat menuju tubuh Hoki, seakan hendak melilit dan menariknya ke dasar rawa … Sang Lelembut, pikirnya. Sang Lelembut hendak mengambil persembahan terakhirnya, dan hendak menghadiahi Ratna atas ketulusannya.
“Tahan sedikit lagi, Hoki,” ujarnya bergumam ke arah tubuh Hoki, sambil melihat bagaimana akar-akar itu mulai menggerayangi tubuh hoki, seakan-akan kumpulan ular …
Sedikit terkejut, ternyata akar-akar itu melewati tubuh hoki dan melilit pergelangan kakinya. Ratna mencoba menarik kakinya, namun kalah cepat dengan lilitan akar itu. Sebuah bayangan menggerayangi tubuhnya dan Ratna terperanjat melihat ke atasnya. Semakin tinggi, semakin naik, bayangan itu mulai berbentuk sesuatu.
Awalnya ia menyangka itu adalah bayangan pohon, tetapi, jika ia mencoba berusaha lebih fokus, ternyata merupakan bayangan tak berbentuk. Alih-alih monster seperti Buto Ijo, bayangan itu ternyata merupakan kumpulan ranting-ranting dan akar-akar, berlapis lumut, dan diselimuti oleh dedaunan layu. Air tersirat dari bentukan itu, seakan sedang gerimis, dan Ratna menyadari bentukan itu sedang keluar dari dalam rawa.
Sang Lelembut.
Bersamaan dengan itu, Ratna melihat benda-benda tersangkut di antara akar-akar Sang Lelembut -benda-benda yang umumnya tidak ditemukan di alam bebas. Roda depan sepeda yang bengkok lengjap dengan pegangannya yang berjarat, gergaji usang tukang kayu, ban traktor dengan tulisan yang sudah terhapus dan tak terbaca, besi usang berwarna kromatik. Kebanyakan dari benda-benda itu sudah sangat tua. Beberapa dapat ia kenali, seperti kendi antik lengkap dengan peralatan minumnya, gagang senapan di era kemerdekaan dengan tombak di ujungnya, tetapi lainnya tidak begitu terlihat jelas.
Cahya bulan purnama juga menerangi benda-benda kecil di antara ranting-ranting itu. Ia melihat kumpulan gelas yang sudah terisi lumpur dan lumut. Ia juga melihat boneka poni usang yang kini berwarna kehitaman dengan robekan di sana-sini. Itu persembahanku, pikirnya.
Ratna hanya bisa memandang, dengan mulut sedikit menganga. Ingin rasanya ia berteriak, ia harus berteriak, tapi pita suaranya telah menutup dengan sendirinya, dan tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Raat-naaa ..,” terdengar suara menggema memanggil namanya. Matanya terbelalak kaget, ia mulai memandangi ke atas ranting-ranting yang berselimutkan lumut itu. “Rat-naa … Kami senang dengan persembahan mu … ”
Ratna masih tak mampu berbicara, hanya memandang ke arah akar-ranting berwarna gelap itu.
“Kami senaaaaannnggg dan hendak memberimu apapun yang kau inginkaaannn … ”
Ratna merasakan lilitan di pergelangan kakinya mengencang, dan mulai menariknya. Ia melihat ke bawah—akar itu sudah melilit kedua kakinya, sampai ke atas lututnya, seperti tanaman jalar. Akar itu menariknya ke arah rawa …
“Lepaskan aku! Anak itu yang kau inginkant!” Ia berteriak ke arah akar-ranting hitam itu, mencoba membebaskan dirinya. Itu hanya membuat lilitannya semakin ketat.
“Kau telah memenangkan hadiahmu, Raat-naaa,” suara itu semakin terdengar berat, sedikit serak, seperti orang tua dengan mulut penuh nasi jagung. Akar itu menarik dan menarik, perlahan, tak terburu-buru, memaksa Ratna untuk semakin mendekat. “Kau memintaaaaa harta berlimpah dan kehidupan mewah … seperti yang kau lihat, kami memiliki segalanya—segala hal yang orang lain inginkan!!”
Sang Lelembut itu mengibas-ngibaskan akar-ranting dan daunnya, untuk memperlihatkan benda-benda yang mungkin dulu merupakan benda berharga, tapi sekarang tak lebih dari rongsokan berkarat.
“Tapi aku—”
“Dan istana kami,” suara itu menginterupsi. “ … punya banyak, banyak sekali kamar, semua kemewahan yang kau dambakan!”
“Istana apa?” Ujar Ratna mengonfrontasi, dengan suara ketakutan dan bergetar. “Dimana?”
“Di dalam… sini…” ucap Sang Lelembut, dengan akarnya menunjuk ke permukaan rawa. “Semua yang kau impikan ada di dalam sini, Daat-naaa … dan kami berjanji, kamu tidak akan pernah perlu untuk melihat ibumu lagi. Tidak… akan… pernah…”
Sepotong akar basah keluar dari dalam permukaan air. Ia menuju ke arah rambut kewanitaan Ratna dan mulai menusuknya perlahan. “Matanya kembali terbelalak kaget – ada akar yang masuk ke dalam pepekku, pikirnya.
“Tunggu!” Perempuan itu teriak, namun akar Sang Lelembut itu menarik kakinya sekali lagi. Ia terjerumus, kakinya menyentuh air sekarang. Rasanya dingin dan basah. Ia merasakan air itu mulai naik ke arah lututnya…. “Tunggu! Aku tak menginginkan semua itu lagi, Sang Lelembut mendengarku? Aku tak menginginkan—APAPUN dari ith semua! Lepaskan aku—!”
“Tentu saja kau menginginkannya, Raat-naaa,” ucap Sang Lelembut dengan nada bergetar dan bergaung. “Kau begitu menginginkannya, kau mempersembahkan darah anak yang tak bersalah … tidak ada yang pernah bertindak sejauh ini, Raat-naaa. Tidak ada yang seteguh dirimu…. tentu saja, kau berhak menjadi salah satu dari kamiiii, Raat naaa… masuklah ke dalam sini. masuk….”
Ia berteriak dan terus melawan, tetapi tidak menghentikan Sang Lelembut untuk menariknya ke dasar rawa. Air mulai membasahi lututnya, kemudian pinggulnya, kemudian panggulnya, hingga perutnya. Tangannya berusaha mencengkram tanah di sekelilingnya, bahkan sampai terluka. Ia sudah berada di air seutuhnya sekarang, yang mana terasa sangat dingin, dengan lendir-lendir seperti lumut mulai menyelimuti badannya.
“Haauupppp… haahggkkhhh….” air mulai memasuki hidung dan mulutnya, sementara ia tidak sempat mengambil nafas.
Tinggal rambutnya yang mengambang di permukaan air, tangannya masih meronta-ronta hingga menimbulkan bunyi berisik. Namun, tak butuh waktu lama hingga permukaan air itu kembali tenang dengan tidak ada perempuan telanjang terlihat di dalamnya.
……………………..
Hoki perlahan-lahan terbangun. Rasa nyeri terasa di kepalanya. Ia memegangi kepala dan wajahnya, yang berlumur lendir lengket. Sementara badannya telanjang, ia tak mampu mengenali gambaran tinja yang berada di permukaan tubuhnya. Ia hanya merasa bau dan pusing. Kemudian bocah kecil itu teringat —Kak Ratna. Kak Ratna dan trik kotornya. Ia pasti memukulku ketika aku berpaling darinya, pikirnya. Menyuruhku untuk mencari permen besar, dan pow! Ia terduduk dan melihat sekelilingnya, mencari dimana bajunya. Tidak apapun selain Sang Rembulan, sekarang berada lebih rendah di ufuk barat, pertanda telah lewat tengah malam. Hoki mencoba memanggil nama Ratna, namun hanya dijawab oleh bunyi suara jangkrik dan semak-semak belukar yang bergoyang oleh deruan angin malam. Kepalanya pusing. Kak Ratna mungkin sudah pulang sekarang, sambil mentertawakanku, pikirnya kesal. Bahkan mungkin tidak pernah benar-benar menyimpan permen besar. Dasar perempuan licik.
Hoki memakai bajunya, dan dengan kondisi berlumuran tinja, kembali ke rumah dengan selamat. TAMAT.