S e l i n g a n

S e l i n g a n

Entahlah mengapa tanpa topan dan badai aku bisa tertarik dengan seorang wanita yang berusia sekitar 40 tahun. Ia selisih umur denganku sekitar 10 tahun. Aku berusia 30 tahun.

Wanita tersebut adalah pemilik sebuah kantin di sekolah anakku. Ketertarikanku padanya bukan terjadi dalam sekejap mata, tetapi memakan waktu yang cukup panjang ketika pagi-pagi aku sering mengantar anakku yang baru duduk di kelas 2 SD ke sekolah dan sering mampir ke kantinnya membeli makanan.

Di kantinnya ia menjual es kacang merah, empek-empek Palembang, gado-gado dan mie ayam. Karena makanan yang dijualnya lumayan enak, jadi saya sering membeli dan lama-lama kami menjadi akrab.

Namanya Ira Kusumah, atau nama Chinesenya The Ling Hoa, kemudian aku memanggilnya Cik Ira. Tubuhnya putih tapi tidak mulus. Wajahnya sudah timbul flek-flek hitam mungkin dimakan usia dan bisa jadi juga tidak pernah dirawat.

Kalau mau dirunut lagi, ia tidak cantik. Tubuhnya agak pendek setinggi sekitar 165 sentimeter dan sebagian tubuhnya sudah berlemak terutama pinggangnya yang sudah rata. Sedangkan yang membuat aku jatuh hati padanya mungkin ini, yang tidak dimiliki oleh istriku.

Pantatnya bahenol dan payudaranya bulat menantang kalau ia memakai kaos yang ketat. Terkadang BH-nya tercetak apa adanya di kaosnya dan aku pernah mengajaknya berfoto di depan kantinnya pada suatu kali memakai kamera hapeku.

Foto itu kemudian suka aku pakai untuk beronani kalau aku rindu padanya. Dan kalau mau dihitung-hitung lagi, sudah berapa lama vagina Cik Ira dipakai jika dibandingkan dengan vagina istriku.

Aku menikah dengan pacarku yang sekarang menjadi istriku baru 9 tahun, berarti vaginanya baru dipakai selama 9 tahun sebab aku menikah dengan pacarku pada waktu itu ia masih gadis. Vaginanya masih keluar darah segar pada waktu pertama kali aku menyetubuhinya.

Sementara itu Cik Ira sudah mempunyai anak yang berusia mau tamat SMU, dan anaknya sebanyak 3 orang. Berarti vaginanya sudah dipakai hampir selama 20 tahun kurang lebih begitu kalau waktu menikah ia masih gadis.

Belum lagi dipakai untuk melahirkan ketiga orang anaknya, sedangkan vagina istriku belum pernah dipakai untuk melahirkan anak, sebab anak kami lahir dengan operasi caesar.

Karena saking dekatnya aku dengan Cik Ira, kami seperti tidak punya jarak. Ia berani menepuk atau mencubit aku kalau ada kata-kataku yang lucu, apalagi kalau aku ngomong yang nyerempet-nyerempet, ia paling suka.

“Si Engkoh sudah gak semangat, Rinto. Kasih tau dong sama Cicik obat apa yang bikin ia semangat lagi.”

“Sekali-sekali ngajak si Engkoh main di dapur Cik, sambil Cicik bikin empek-empek…” godaku.

“Hi.. hi..”

“Cicik pakai alat KB apa?”

“Tadinya sewaktu si kecil lahir, Cicik sudah ditawarin sama dokter untuk pasang spiral, tapi si Engkoh nggak mau, takut mainnya terganggu, katanya… lalu Cicik minum pil sesudah main.”

“Seminggu mainnya berapa kali, Cik?”

“Ahh… sekarang…. boro-boro setiap minggu, kadang-kadang sebulan gak sekali… makanya tadi Cicik minta kamu cariin obat penambah stamina buat si Engkoh…” jawabnya.

Mendengarnya, sepulang dari warung Cik Ira, aku semakin bersemangat beronani ria entah di kamar tidur atau di kamar mandi seolah-olah istriku tidak mampu memuaskan aku.

Kadang-kadang kalau Cik Ira mau ngomong sesuatu yang rahasia denganku, ia mendekatkan mulutnya sampai nempel di kupingku sedangkan ujung payudaranya nempel di lenganku. Saat itu aku suka dorong-dorong lenganku ke belakang merasakan kekenyalan payudaranya, Cik Ira diam saja.

Begitu pula pada saat aku mau membayar makanan yang kubeli. Jika Cik Ira lagi sibuk melayani anak-anak sekolah atau ibu-ibu yang mengantar anaknya ke sekolah, ia menyuruh aku buka saja laci uangnya untuk menaruh uangku dan kalau ada kembaliannya, ia menyuruh aku ambil sendiri kembaliannya.

Begitu percayanya ia padaku. Kadang-kadang aku sengaja tidak mau mengambil kembaliannya, supaya besok pagi aku bisa datang lagi ke kantinnya untuk mendekatinya dan mencium bau tubuhnya yang asli tanpa dibumbui dengan parfum.

Pada hari Kamis pagi Cik Ira ngomong dengan aku begini, “Rinto, anak Cicik ngomong sama Cicik, hotel yang baru di deket pasar itu lagi diskon, dari 1 juta rupiah nginap semalam jadi 250 ribu. Boleh tuh ya kalau ada duit yang nganggur,”

“Ah… Cik Ira, zaman sekarang mana ada duit yang nganggur, Cik?” jawabku. “Apa Cik Ira punya rencana mau nginep di hotel? Bagaimana kalau aku yang bayarin, tapi Cik Ira harus tidur sekamar dengan aku, ya?”

“Nggak ah, kamu buas! He..he..he… nggak… nggak… Cicik cuma becanda. Memang boleh kalau bukan suami istri tidur sekamar gitu?” tanya Cik Ira.

“Ya boleh aja, siapa yang mau melarang? Yang penting hotelnya laku. Ayo Cik, kalau Cik Ira mau nginep, hari Sabtu ini aja kita nginap semalam.” jawabku.

“Nggak ah, kasihan sama si Engkoh…”

“Cik Ira ngomong aja sama si Engkoh, mau nginep di rumah temen gitu,” ajarku.

“Wah, nggak deh, Rinto. Cicik nggak berani…, Cicik nggak tega bohongin si Engkoh. Cicik menikah sudah 20 tahun dengan si Engkoh, Cicik belum pernah bohong sama si Engkoh.” jawab Cik Ira.

“Nggak apa-apa kalau Cik Ira nggak berani, tapi kalau Cicik mau, cepat ngomong sama aku ya Cik, paling lambat hari Jumat siang.” ujarku.

“Iya To, nanti kalau Cicik jadi, Cicik WA sama kamu ya. Dua ratus lima puluh ribu, murah kan? He..he.. hotelnya bagus lho, baru lagi…” jawab Cik Ira.

Pulang dari warung Cik Ira aku langsung pergi mencari informasi ke hotel yang dimaksud Cik Ira. Ternyata benar, hotel yang baru selesai dibangun beberapa waktu yang lalu itu lagi promosi, nginap 1 malam 250 ribu rupiah sudah termasuk sarapan pagi.

Kamarnya kamar standard, tapi hanya sampai hari Sabtu dan Minggu besok, setelah itu harga normal kembali 1 juta rupiah/malam karena mereka sudah 2 bulan promosi.

Aku langsung mengabarkan pada Cik Ira melalui telepon genggamnya. “O… iya? Kita belum terlambat dong.” jawabnya senang. “Tapi Cicik pikir-pikir dulu ya To, besok siang Cicik kasih kabar sama kamu.” kata Cik Ira.

Menunggu adalah sebuah pekerjaan yang membosankan. Untung istriku buka orang yang curiga mencurigai melihat aku gelisah sepanjang hari. Duduk dibangku seperti bangku ada durinya, berbaring di kamar, kamar yang ber-AC dingin ranjangnya seperti keluar asap.

Belum sampai besok, baru jam 5 petang, hapeku sudah berbunyi, tititt… titittt… titt..

“To, hari Sabtu jam berapa? Cicik tunggu dimana?” demikian isi WA dari Cik Ira.

Cik Ira yang semangat, ganti aku yang ragu-ragu menerima WA-nya. Tidur di hotel dengan Cik Ira? Bercinta dengan Cik Ira di hotel? Apakah bukan hanya berupa sebuah cerita sex?

Aku mencoba berpikir yang realnya saja, membawa istri orang yang tidak berdosa ngentot di hotel, walaupun Cik Ira tidak tahu tujuanku.

Akhirnya tibalah hari esok. Semalam aku sengaja bertahan tidak mau bersetubuh dengan istriku. Sengaja kusimpan air maniku banyak-banyak untuk kusebarkan ke vagina Cik Ira. He..hee..

Sebelum berangkat ke hotel dengan sepeda motor, aku ngomong dulu dengan istriku bahwa malam ini aku akan nginap di rumah teman. Teman mana tidak aku beritahukan dan istriku bukan istri yang suka iseng, sampai-sampai suaminya mau selingkuh ia tidak bisa membaca gelagatnya.

Jam 4 petang teng aku sudah berangkat ke hotel dengan sepeda motor, karena aku berjanji dengan Cik Ira bertemu di lobi hotel jan 6 petang. Sekitar 45 menit aku sudah sampai di hotel, lalu aku chek-in duluan. Belboy mengantar aku ke kamar yang terletak di lantai 5.

Ternyata kamarnya tidak begitu luas, sempit malahan menurutku, makanya murah. Kalau nantinya selesai promosi dijual 1 juta rupiah per malam belum tentu ada orang yang mau nginap. Kamar model seperti itu paling-paling hanya sekitar 400 atau 500 ribu rupiah/malam menurutku.

Jarak antara tempat tidur dengan jendela tidak sampai 50 sentimeter. Tempat duduk juga hanya sebuah bangku kayu yang kecil, bukan sofa. Meja dipakai untuk menaruh minuman 2 botol air minenal, pemanas air, kopi, teh gula dan perlengkapannya.

Kamar mandi juga kecil dan tersedia shampo, sabun mandi, handuk dan sikat gigi. Sebuah televisi berukuran kecil Slim LED menempel di dinding di depan tempat tidur. Jadi nontonnya bisa sambil baring atau duduk di tempat tidur.

Setelah periksa kamar sebentar, aku turun ke lantai dasar lalu duduk di sebuah coffee shop yang terletak di sudut hotel untuk minum kopi sambil menunggu Cik Ira datang. Jantungku berdebar-debar, rasa kopi yang manispun jadi hambar dan waktu menunggu rasanya begitu panjang.

Kurang 20 menit jam 6 petang, aku melihat Cik Ira turun dari sebuah sepeda motor ojek online. Ia hanya membawa sebuah tas kecil. Pakaiannya kaos ketat merah dan celana panjang hitam. Jantungku tambah berdebar ketika aku ke depan hotel menemui Cik Ira, lalu aku mengajaknya ke coffee shop.

“Perut Cicik kenyang To, sebelum kesini Cicik makan dulu, Cicik minum air putih saja, Cicik bawa sendiri.” kata Cik Ira mengeluarkan botol minuman dari tasnya.

“Bagaimana perasaaan Cik Ira?” tanyaku.

“Ya gaklah enak To, Cicik bohong sama si Engkoh ngomong mau nginep di rumah temen. Untung dia gak nanya temen yang mana. Kamu sih…”

“Kok aku sih, Cik?”

“He.. he.. nggak To, nggak…” jawab Cik Ira mengelus-elus tanganku. Kupegang tangannya, ia tidak menolak. “Cicik belum mandi, ada handuk gak sih, To?” Cik Ira bertanya padaku.

“Ada Cik,” jawabku, lalu selanjutnya aku mengajak Cik Ira ke lantai 7 sambil aku bertanya padanya apakah ia mau makan malam atau tidak. Jawabnya tidak usah.

Di dalam kamar, Cik Ira melihat-lihat kamar sebentar, tapi ia tidak komentar. Setelah itu ia membuka tas yang di bawanya. Dari tasnya kulihat ia keluarkan sepotong celana pendek motif bunga-bunga dan sepotong kaos berwarna krem, lalu tanpa memakai sandal ia pergi ke kamar mandi yang terletak di sebelah tempat tidur.

Sebentar kemudian aku mendengar air berbunyi, aku menyalakan televisi, ternyata televisi kabel. Aku duduk di tepi tempat tidur nonton televisi sambil kubayangkan apa yang akan kukatakan pada Cik Ira nanti.

Jantungku masih terus berdebar-debar. Apalagi sekitar 15-an menit kemudian Cik Ira keluar dari kamar mandi, aku melihat puting payudaranya menonjol di kaosnya.

Berbeda sekali payudara Cik Ira yang biasa kulihat di kantin ketika sekarang ia tidak memakai BH, payudaranya menggantung, putingnya menunduk. Dan supaya aku tidak dibilang bau keringat oleh Cik Ira, kemudian aku segera masuk ke kamar mandi untuk mandi.

Ternyata Cik Ira juga tidak memakai celana dalam. Kulihat celana dalamnya menggantung di belakang pintu kamar mandi bersama BH dan pakaian yang tadi dipakainya.

Penisku langsung tegang ketika sudah kubuka semua pakaianku. Kuturunkan BH Cik Ira yang berwarna abu-abu dari gantungan, lalu kucium. Baunya benar-benar asli bau badan Cik Ira. Penisku semakin tegang.

Rasanya ingin aku keluarkan air maniku dengan celana dalam Cik Ira yang bau kencing dan disitu menempel 2 lembar bulu kemaluannya yang berwarna hitam dan panjang sekitar 4 sentimeter. Bentuknya keriting runcing. Tapi kutahan air maniku supaya tidak keluar dulu, karena semakin aku birahi dengan Cik Ira, air maniku akan terkumpul semakin banyak di kantong zakarku.

Aku keluar dari kamar mandi memakai celana boxer dan kaos yang kupakai dari rumah. Cik Ira sedang duduk di tempat tidur nonton televisi. Kami ngobrol apa yang bisa kami obrolkan supaya tidak canggung, sehingga langit di luar jendela tampak mulai gelap.

“Cicik nggak mau makan, nih?” tanyaku.

“Nggak, To…”

“Aku beliin roti atau cemilan apa, ya?”

“Nggak usah To, nggak usah… sebentar lagi Cicik sudah mau tidur,” jawabnya.

Aku ganti celana panjang di kamar mandi, lalu pergi makan di warung yang banyak terdapat di pinggir jalan.

Pikiranku sudah tidak pada makanan, tapi pada sex, sehingga makanpun aku menjadi tidak lahap. Sepiring nasi goreng, aku baru habiskan ¾-nya.

Kembali ke kamar, Cik Ira benar-benar sudah tidur berselubung selimut padahal belum jam 8 malam. Selesai ganti celana di kamar mandi, aku duduk bengong sendirian di bangku sambil kedua kakiku kuselonjorkan ke pinggir tempat tidur. Sekali-sekali kulihat hape dan membayangkan istriku lagi ngapain di rumah dengan Raska.

“To, Rinto…” tiba-tiba terdengar suara Cik Ira. “Tidur disini aja, jangan tidur di bangku gitu, kayak menjaga orang sakit di rumah sakit aja kamu…” kata Cik Ira.

Sebelum naik ke tempat tidur berbaring di samping Cik Ira kekasihku malam ini, aku membasahi kerongkonganku yang kering dengan air mineral terlebih dahulu. Kemudian aku naik ke tempat tidur. “Nih, baring sini To…” suruh Cik Ira menyerahkan sebagian selimutnya untukku.

Aku masuk ke dalam selimut langsung memeluk Cik Ira. “To, Rinto… kamu mau ngapain, To… Cicik nggak mau ah kalau gitu…” tolak Cik Ira saat aku mau mencium bibirnya.

“Aku cinta sama Cik Ira, sudah lama…” jawabku dengan jantung berdebar-debar.

“Gila kamu, To… kamu punya istri yang cantik dan masih muda, masa cinta sama Cicik yang sudah tua begini, apa gak salah kamu? Gila kali kamu… ternyata kamu ngajak Cicik ke sini ada maksudnya ya…” kata Cik Ira tidak menolak pelukanku di dalam selimut.

“Mungkin aku dianggap gila oleh Cicik, tapi aku gak main-main Cik, aku cinta sama Cicik, maka itu hampir setiap hari aku ke kantin untuk mencium bau badan Cicik…”

“Jangan Tok, jangan… Cicik nggak mau diperlakukan seperti itu…” tolak Cik Ira ketika aku mau menciumi bibirnya lagi. “Lebih baik Cicik pulang aja!” katanya.

“Jangan pulang Cik, aku mohon. Aku kebelet sama Cicik… aku mencintai Cicik….” kataku tidak bisa menciumi bibirnya, lalu kuciumi lengannya, ketiaknya, pinggangnya dan Cik Ira menggeliat-geliat sambil berkata, jangan To, jangan… jangan… jangann… dan entah kenapa Cik Ira tiba-tiba melepaskan payudaranya untuk kucium dan ia langsung berhenti menggeliat. “Nakal kamu!” katanya.

He.. hee.. aku tertawa menyeringai.

“Awas, kalau ketahuan di luar!” kata Cik Ira. “Ayo cepetan, mau ngapain kamu?” ia bertanya sambil bangun membuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu ia melepaskan celana pendeknya.

Melihatnya, aku langsung melepaskan kaosku dan celana boxerku. “He..he.. gila To, panjang dan gede gitu, masuk nggak ke memek Cicik?” kata Cik Ira tertawa melihat penisku yang panjang berdiri mengangguk-angguk.

“Mau diapain, sayang?” tanyaku menarik tangan Cik Ira ke penisku.

“Ihhh… hii… hii…” Cik Ira memegang penisku dan dibelai-belainya.

Maka sewaktu aku melepaskan kaosnya dibiarkannya saja, sehingga ia telanjang bulat bersamaku. Aku segera menyerbu ke payudaranya yang telanjang. Sebelah aku remas-remas dan sebelah lagi kuhisap putingnya yang besar, keras dan berwarna coklat tua. Aerolanya juga besar.

Payudara Cik Ira sudah tidak kenyal, tapi sudah agak lembek. “Ooohh… hhhmmm… aaahkk… Too… Rintooohhh… ooohh… aahh…” desah Cik Ira.

Aku jadi tahu bagaimana gaya bermain sex Cik Ira dengan suaminya. Cik Ira langsung meraih penisku dengan tangannya dan berusaha ia memasukkan ke lubang vaginanya.

Untuk pertama kali, aku ikuti saja cara Cik Ira, aku tidak mau melawan. Aku dorong penisku yang sudah disiapkan Cik Ira di depan lubang vaginanya.

“Hmm… ooohh…” rintih Cik Ira memejamkan matanya dengan wajah meringis ketika penisku yang besar dan gagah itu menguak lubang rahasianya yang terasa sempit karena seret. “Hmm… rasanya sampai penuh To memek Cicik…” katanya.

“Enak, ya?” tanyaku.

“Enak apa, ngilu… sudah 2 bulan lebih nggak dimasukin, sekarang dimasukin kontol besar gitu…” jawabnya.

“Kalo gitu nggak salah dong aku mengajak Cicik ke sini…” kataku.

Cik Ira mencubit pinggangku. “Ayo cepetan!” suruhnya manja.

Lalu mulai kugoyang penisku maju-mundur di dalam lubang vagina Cik Ira sembari kukulum bibirnya. “Mmhhaah… ooohh… Tooo… ooohh… hhmm…” desah Cik Ira melayani ciumanku sembari sekali-sekali ia menggoyang pantatnya.

Tidak begitu lama, lubang vagina Cik Ira pun terasa mulai keluar air. “Enak ya, sayang…” tanyaku.

“Enak, To…. ayo, trusss… Too… oohh… mmhh… ssshhtt… enak sekali kontolmu, Toooo…” racau Cik Ira.

Semakin cepat kuhajar lubang vagina Cik Ira sampai keluar bunyi, plokkk… plokkk… plokkk… ooohhhh…. ooohhhh…. berhenti dulu, To… memek Cicik ngilu, nih… perlahan saja… aaah… kata Cik Ira meringis.

Tapi aku tidak menghiraukan Cik Ira. Kugojlok terus lubang vaginanya yang semakin basah bahkan terasa licin. Payudaranya kuremas-remas, kadang-kadang kuhisap dan lehernya kubuat cupang sampai merah di beberapa tempat.

“Toooo….!” jerit Cik Ira.

“Ya sayang, aku sudah gak tahan nih…” kataku.

“Jangan keluarkan di dalam, Too…”

“Oohhhh….”

Aku malah sengaja membenamkan penisku sedalam-dalamnya ke lubang vagina Cik Ira sampai kepala penisku menyentuh depan rahimnya, lalu kugempur rahim Cik Ira dengan air maniku. Crrooottt… crretttt… crrooottt…

“Ahhhhh… Toooo… Toooo… uuuhhhh… uuuhhh… nakal kamuuuu… suruh jangan keluarkan di dalam, sengaja ya kamu?”

“Sangat nikmat memekmu sayang, sampai aku lupa…” jawabku.

Cik Ira tampak berbaring pasrah membiarkan penisku masih terbenam di dalam lubang vaginanya. Setelah beberapa saat, ia baru mendorong aku pergi dan secepatnya ia meraih kaosnya menutupi vaginanya yang penuh dengan cairan maniku.

Sementara itu aku merasa menyesal dan kecewa. Rasanya ingin aku pulang saja. Tapi melihat Cik Ira bertelanjang bulat ke kamar mandi, membuat napsuku kembali berkibar.

Di dalam kamar mandi, aku melihat Cik Ira berjongkok mengorek-ngorek lubang vaginanya dengan jari untuk mengeluarkan sisa air maniku yang masih terpendam di dalam vaginanya sembari ia mengguyur air sedikit demi sedikit ke permukaan vaginanya.

Aku tertawa dalam hati. Mau dikorek sampai kapanpun air maniku tidak akan bersih dari vaginanya.

*****​

“Pengen lagikah, sayang?” tanyaku setelah Cik Ira berbaring kembali di tempat tidur dengan telanjang bulat.

 

“Kapok aku…” jawabnya. “Memekku rasanya sampai perih, mungkin luka kali, coba kamu lihat…” suruhnya membuka lebar pahanya.

Kulihat vagina Cik Ira yang basah memerah dan lubangnya menganga dan sengaja kubuka lebar belahannya dengan kedua jariku. Setelah itu, “Oohhh… Toooo…. mmmhhahh… ooohhh… Toooo…. masa dijilat, Tooo.. aakkhhhh…. geliii… shhhttt… aaahhh….” rintih Cik Ira sewaktu kujilat vaginanya yang wangi sabun mandi.

Rasanya juga keset sampai ke lubangnya sewaktu kumasukkan lidahku kesana. “Ooohh… Tooo, sayanggg… aaahhhh… geli tapi enak, Tooo…” rintih Cik Ira.

Tidak hanya kujilat vaginanya, tapi kujilat anusnya juga. “Aiihhhh… Tooo…. anus Cicik masa dijilat… ahh kamu… mainnya buas dan kasar…”

Tapi ketika kuhisap kelentitnya, ia menarik kuat-kuat rambutku. “Ooohhhh… Toooooo…. pengen pipisssss…. Toooooo…. Tooooo…. aaahhhh….” tubuhnya mengejang. “Tooooohhhaaahhh… aaaohhhhh…. aaargghhhhhhhh….” jeritnya keras. Tubuhnya selonjotkan di tempat tidur seperti mau pingsan dan napasnya terengah-engah.

“Belum pernah merasakan, ya?” tanyaku.

Cik Ira menggeleng. “Enak To, tapi ooohhh… harus punya tenaga ekstra…” katanya.

“Namanya orgasme…” jawabku.

“O… gitu, ya?”

“Aku masukin kontolku lagi, ya?”

Sejenak kemudian, penisku kembali menggoncang lubang vagina Cik Ira. Kali ini lubang vagina Cik Ira sudah mulai melonggar dan aku merasa sudah bosan juga sebab sudah kunikmati seluruh tubuhnya secara utuh.

Kugoyang penisku dengan terpaksa supaya air maniku bisa keluar, tapi pikiranku tidak ada pada Cik Ira, melainkan pada istriku di rumah.

Mungkin istriku akan menangis kalau ia tahu penisku sedang menghujam vagina wanita lain di hotel.

Akhirnya sesudah sekitar 10 menitan kugoyang, kubenamkan dalam-dalam penisku ke liang vagina Cik Ira. Kali ini Cik Ira malah memeluk pantatku dengan kedua kakinya. Sroouuttt…. crroootttt…

“Ahhhh…” rintih Cik Ira. “Hangat… nikmat air manimu, Toooooo…..”

“Biar Cicik cepat hamil ya?” kataku.

Cik Ira mencubit pipiku. Kali ini setelah kucabut penisku, Cik Ira hanya membersihkan vaginanya dengan kaosnya, tidak berlari ke kamar mandi lagi. Setelah itu, kami berpelukan dengan telanjang di dalam selimut.

Sekitar jam 1 aku terbangun dari tidurku lalu mengajak Cik Ira bermain lagi. Total sampai jam 6 pagi, aku menyetubuhi Cik Ira sampai 5 kali. Kami mandi bersama. Cik Ira memandikan aku seperti anak kecil.

Jam 7:30 kami turun ke kantin untuk sarapan pagi. Kami was-was juga takut ketemu orang yang kenal dengan kami, khususnya Cik Ira yang punya kantin, pergaulannya lebih luas dariku, ternyata tidak ada yang kami kenal.

Secepatnya kami sarapan. Hanya kira-kira 30 menit kami sudah telanjang bulat di tempat tidur untuk melanjutnya pertempuran kami yaitu babak yang keenam.

Kali ini lubang anus Cik Ira yang kuhajar. Cik Ira hanya pasrah, mau apalagi, sudah terlanjur basah ya mandi sekalian, kan begitu?

Jam 11 siang, kami keluar dari kamar dengan pikiran masing-masing, tapi Cik Ira minta aku berjanji tidak akan mengganggunya lagi, hanya cukup di hotel itu saja.

Kapok dia, katanya sepulang dari sini ia harus ke dokter kandungan memeriksakan vaginanya, mungkin kuhajar sampai koyak.

Haa.. haa… kami berpisah di lobi. Untuk selanjutnya menunggu Cik Ira hamil dari hasil pembenihkanku di vaginanya sampai 8 kali, sekali di dubur….