Quint

Chapter 1 : Sibling Love

Hari itu, siang agak sedikit terik. Untunglah di rumah keluarga Ron Suryawan sejuk berkat lingkungannya yang asri, luas serta ditumbuhi pepohonan disekelilingnya. Rumah luas itu terletak di sebuah jalan yang belakangnya merupakan sebuah rumah lain yang merupakan rumah saudaranya. Rumah itu milik Buana Suryawan saudara kembar Ron. Rumah itu pun menghadap langsung ke jalan jadi secara keseluruhan gabungan rumah itu menghadap ke dua jalan sekaligus.
Rumah besar itu kelihatan sepi, walaupun masih ada beberapa pembantu yang bekerja baik di dapur maupun di halaman sekitar rumah. Tetapi penghuni rumahnya belum kelihatan.
Sekitar pukul 12.30 sebuah mobil melambatkan kecepatannya di depan gerbang yang secara otomatis terbuka dan meluncur masuklah kendaraan itu memasuki halaman luas rumah itu. Mobil SUV hijau metalik itu berhenti di depan pintu utama rumah dan hampir secara bersamaan, semua pintu mobil itu kecuali pintu supir terbuka.
Lalu berhamburanlah lima gadis remaja berbalut seragam putih biru. Dari paras mereka nampak sangat mirip satu sama lain. Sangat jelas bahwa mereka ini bersaudara. benar dugaan Anda, mereka kembar. Kembar Lima, hal ini sangat jarang terjadi.
Kelimanya adalah Diva, Athena, Venus, Aphrodite dan Hellen. Kelima gadis remaja itu sangat cantik, hampir sulit menentukan yang mana yang paling cantik diantara mereka. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri atas pesona yang terpancar dari penampilan mereka.
Yang tertua (dalam penentuan soal siapa yang tertua, orang tua mereka memilih cara siapa yang pertama sekali lahir, walaupun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa yang paling tua adalah yang terlahir terakhir kali karena mengalah demi saudaranya yang lain), Diva, nama lengkapnya Evangel Diva Rahmadani, sesuai namanya ia sangat cantik dengan mata yang berbinar dan alis yang melengkung ke atas, hidung bangir dan bibir segar yang selalu basah. Tubuhnya sedang dengan tinggi sekitar 155 cm dan berat 45 kg. Rambutnya diikat dan digulung keatas membentuk konde kecil menunjukkan lehernya yang jenjang.
Yang kedua Athena, Aurell Athena Danaswara. Hampir seperti Diva, ia tak kalah cantik. Rambutnya dibiarkan tergerai menyapu sebagian bahunya dan sebagian punggungnya. Matanya terkadang dikerjab-kerjabkannya seolah ingin menunjukkan kebeningan matanya. Ia agak lebih tinggi dari kakaknya bahkan ia yang paling tinggi diantara semuanya.
Yang ketiga, Venus, Yvone Venus Donaswara. Bibirnya seolah yang paling menarik karena tak pernah lepas dari senyuman. Walaupun sedang tenang, sepertinya ia sedang tersenyum sendiri. Rambutnya agak sedikit bergelombang dan sebagian diikat dengan penjepit rambut warna-warni.
Yang keempat, Aphrodite, lengkapnya Cameron Aphrodite Hardinistara. Ia sedikit lebih santai dan cuek dalam penampilannya. Ia membiarkan rambutnya terjuntai lurus bahkan di wajahnya. Matanya tampak kurang bersemangat tapi tidak mengurangi kemolekan wajahnya yang untungnya merupakan turunan dari keluarganya terutama ibu dan saudarinya. Ia yang terakhir kali masuk kedalam rumah dengan langkah-langkah kecil.
Yang terakhir, Hellen, Diana Hellen Ardinasti untuk lengkapnya. Ia sangat lincah dan bahkan terkesan tomboy. Rambutnya dipotong pendek dan disisir rapi ke belakang. Untunglah wajah cantiknya memudarkan citra kelaki-lakiannya. Alis matanya yang tebal meneduhi matanya yang besar dan keseluruhan wajahnya dapat dikatakan baby face. Bibirnya kecil dan selalu terbuka sedikit.
Hellen mendahului keempat saudarinya memasuki rumah dan langsung disambut oleh seorang wanita dewasa yang mereka panggil mbak Tati. Ia adalah pembantu di rumah itu yang mengurusi kelima anak kembar itu di rumah.
“Hei, giliran kamar siapa hari ini?” tanyanya setengah berteriak kepada yang lainnya. Yang merasa mempunyai kewajiban atas pertanyaan itu mengangkat tangan.
“Ya, ya tau,” Athena mengangkat tangannya. “Hari ini giliran kamarku, tapi jangan diberantakin, ya?… kan capek mberesin kamar sendiri… ” ujarnya sedikit mengeluh.
“Itukan resiko dapet giliran… ” Venus menimpali sambil menaiki tangga yang menuju kamarnya yang berada di ruang atas. “Kemarin… waktu giliran kamarku, kan kamu yang paling ganas ngancurin kamarku,” tambah Venus lagi.
Untuk menuju kamar-kamar mereka, harus melewati tangga tersendiri. Kamar mereka terletak di lantai atas yang berbentuk lingkaran.
“Heh, Then… buat tempat yang bagus, ya.. yang lapang, kemarin di kamar si Hellen terlalu sempit, sulit bergerak. Ok?” ujar Diva sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.
“Ok, ok… , heh Dit, mau bantuin aku, ngga?” tanyanya pada Aphrodite.
“Nggak ah, aku mau tidur dulu. Ngantuk, nih..,” jawabnya sekenanya dan lalu juga menghilang di dalam kamarnya meninggalkan Athena yang masih berdiri di lantai dasar.
“Hu-uh,” keluhnya lagi dan dengan langkah malas menaiki tangga menuju kamarnya.

*****************************************************************************

Sekitar 15 menit kemudian, mereka telah kembali berkumpul di meja makan untuk makan siang. Mereka masing-masing menghadapi hidangan dengan tingkahnya sendiri.
“Mbak Tati, tadi ada kiriman paket, nggak buat kami?” tanya Diva kepada Tati yang menunggui momongannya makan.
“Ada. Ada kiriman paket untuk Diva, kelihatannya order online, ya Diva yang pesan, ya?” tanya Tati balik.
“Iya, tapi nggak ada yang buka, ‘kan? Kalau terbuka sedikit aja… Awas!” peringat Diva. “Eng.. sekarang barangnya dimana, mbak?”
“Ada. Sebentar, ya..mbak ambil dulu,” lalu masuk ke dalam untuk mengambil paket yang dimaksud.
“Eh, paket apaan, sih, Div?” tanya Athena sambil mendekatkan wajahnya ke arah Diva.
“Ah, masak lupa, itu lho, barang yang kita pesan lewat internet minggu lalu itu lho. Sesuai janji mereka, barangnya tiba hari ini,” jelas Diva yang tampaknya mulai dimengerti Athena dan lainnya.
“Kan karena ini kan kita melakukan ini semua. Karena ingin mencoba petualangan yang hebat ini. Aku sudah nggak sabar lagi,” Diva terlihat sangat bersemangat. “Tanganku sudah gatal… ”
“Aku tau yang paling gatal…,” ucap Venus hampir berbisik karena ia sedang menyuapkan sendok terakhirnya. Lalu diantara kunyahannya ia tersenyum penuh arti pada Hellen di seberangnya.
Aphrodite yang dari tadi diam saja tampaknya mulai mengingat-ingat sesuatu. “Tapi, Papa tau gak ya kalau kita pakai kartu kreditnya untuk bayar barang itu?” ia mulai bicara setelah mulai ingat. “Ah jangan takut. Harganya cuma segitu Papa takkan memperhatikan uang segitu dari tagihannya yang segunung,” jelas Diva menenangkan saudarinya itu juga yang lainnya.
“Tapi, Div… siapa yang nyoba dulu?… Kau mau nyoba apa? Kan sakit?” cemas Athena yang sepertinya disetujui yang lainnya. Diva memandangi satu per satu saudari-saudarinya, mengerti kecemasan mereka.
“Kita lihat aja nanti” tepis Diva mencoba berkelit dari tekanan mereka.
Tati muncul dengan sebuah kotak kardus yang berukuran 50 x 60 cm di tangannya dan kelihatan agak berat dan langsung menyerahkannya pada Diva.
“Mbak Tati, bilang sama yang lain agar tidak menceritakan kotak ini pada siapapun terutama Papa dan Mama, Ok?” perintah Diva kepada Tati.
“Baik, Diva,” turutnya.
Diva menimbang-nimbang kotak itu dan berkata, “Kotak ini kita buka nanti di kamar Athena. Ok?” Yang lainnya mengangguk setuju.

*****************************************************************************

“Ah, elo, kamar aja pake dikunci segala,” Diva mengomentari kelakuan adiknya yang menurutnya memperlambat langkah saja.
“Hm, kamu semua belon liat gimana kamarku untuk acara spesial hari ini. Ekstra hebat dan lebih lembut dan nyaman. Liat aja sendiri,” Athena membuka pintu kamarnya lebar-lebar. “Ta-raaaa… Liat?” Athena sangat bangga dengan dekorasi kamar barunya untuk acara itu.
“Wah, hebat! Apa tadi, ekstra lembut dan nyaman? kaya iklan pembalut aja, he-he,” komentar Venus sambil masuk dan mencoba duduk di atas bantal-bantal besar yang disusun disekitar karpet tebal di depan sebuah TV layar besar. Dan yang lain pun ikut mencoba duduk dan hampir bersamaan mereka memuji kenyamanannya.
“Wow, Then… ini hebat, kanapa ini ngga’ kupikirkan dari kemaren ya?” Hellen juga sangat senang.
Setelah semuanya merasa nyaman di posisi mereka, Diva yang memegang kotak itu mulai membuka bungkusnya. “Ok.. Ini dia, ini harus bagus seperti iklan mereka di internet itu,” Diva menyisihkan kertas pembungkusnya dan mulai membuka kardusnya dan mengeluarkan plastik pelindung goncangannya.
Lalu satu persatu, Diva mengeluarkan sebuah kotak kulit besar, kotak yang lebih panjang dan sebuah kotak yang lebih kecil dari yang pertama. “Yang ini pasti berisi paket spesial itu,” ujar Diva sambil tangannya dengan cepat membuka kuncinya. “Wah… hebat!” Serta merta yang lain langsung mengerubungi Diva dan kotak itu.
Kotak itu berisi lima penis karet yang panjangnya sekitar lima belas sentimeter dan berdiameter tiga sentimeter. Di bawah tiap penis karet itu terdapat kabel yang dapat dihubungkan ke motor penggerak yang ditenagai dua batre Alkaline kecil yang terdapat di kotak sedang satunya. Masing-masing mereka mengambil satu penis karet itu dan mengenggamnya dengan berbagai ekspresi yang campur aduk. Di pangkal penis karet berwarna krem tersebut terdapat bintil-bintil sepanjang kira-kira lima sentimeter untuk mendekati penis yang aslinya. Dan kepala yang bulat seperti jamur dibentuk sangat mirip penis lengkap dengan kerutan seperti bekas sunat di bawah kepalanya. Di tiap sisinya tampak urat-urat buatan mengingatkan kita akan penis yang sedang tegang penuh. Sangat real.
Kemudian Hellen membuka kotak panjang yang satunya. Kotak itu berisi dua penis karet berwarna merah dan hijau dan sebuah benda lonjong, terbuat dari perak. Panjangnya juga lima belas sentimeter dengan diameter empat sentimeter. Sedang dua penis karet lainnya tidak mempunyai kabel penghubung tetapi lebih panjang sekitar dua puluh sentimeter dan diameter yang sama dengan penis karet di kotak pertama. Dua penis karet ini lebih kaku dan keras dan juga dapat disambungkan kepasangannya berkat semacam mur dan baut di pangkalnya.
“Eh, ada buku petunjuk dan DVD-nya, lho. Asyik, nih,” seru Aphrodite gembira. Hellen yang dekat dengan set TV layar besar itu lalu menekan tombol Open/Close DVD lalu memasukkan disc ke dalam tray-nya. Segera setelah tombol Play ditekan lewat Remote Control yang dipegang Athena, pemilik kamar, beberapa layar pembuka dan peringatan muncul dan diikuti beberapa potongan film produksi mereka.
“Pasti seperti film-film sebelumnya, main gini—lalu ganti lagi, tukar gaya, tukar lagi, ya gitu-gitu aja. Bosan ah!” keluh Venus memalingkan mukanya dari layar dan mulai berkonsentrasi pada penis karet itu.
“Betul juga, sih… ,” Diva mengiyakan, “Kita disini karena kita pingin tau lebih jelas… enaknya benda ini… pada benda kita. Iya ‘kan?” ia menekankan intonasinya pada kata ‘benda’. Tetapi segera perhatian mereka tertuju pada satu hal.
Aphrodite yang sejak awal sudah tertarik pada DVD di layar TV mempelototi adegan dimana seorang wanita bule pirang berdada besar sedang menghisap penis besar seorang pria dengan rakusnya. Terkadang ia menjilati kepala penis itu dari ujung dan sekitarnya kemudian pada urat besar dibagian bawahnya sementara tangannya meremas-remas lembut kedua pelirnya. Dengan tanpa sadar Aphrodite sudah mengelus-elus terkadang meremas penis karet itu.
Diva memberi tanda kepada yang lainnya untuk segera beraksi. Maka mulailah tangan-tangan mereka memegangi tubuh Aphrodite. Tangan kanan Diva mulai menyentuh dada kanan Aphrodite sementara Venus di sebelah kiri. Athena dengan iseng menghidupkan motor penis karetnya dan benda itu mulai bergerak berputar-putar kecil lalu menyentuhkannya ke leher Aphrodite.
Mendapat serangan dari berbagai arah sekaligus begitu, Aphrodite mulai sedikit terpengaruh dan mulai membimbing dua tangan di dadanya untuk meremas dadanya yang telah berkembang besar itu. Diva mulai menelusupkan tangannya lewat lengan baju dan tangan Venus lewat bagian bawah T-Shirt Aphrodite dan melewati bra kecilnya dan langsung meremas payudaranya.
“Ah… ,” nafasnya mulai berat atas remasan kedua saudaranya. Athena yang memainkan penis karet itu telah sampai di pipi Aphrodite dan kini mulai menyentuhkannya ke bibir atasnya. Sebentar kemudian ia mulai menjilat dan mengulum kepala dildo itu. Athena yang sampai hampir membungkuk untuk melakukan hal itu mendapat sentuhan di bra-nya oleh Hellen yang rupanya mulai terpengaruh adengan langsung itu. Dari belakang Hellen memasukkan kedua tanganya dari bawah baju kaos Athena dan mulai meremas-remas dari luar bra Athena.
“Hmm… ahh… enak banget,” Athena kini malah berusaha membuka bajunya dan dibantu Diva dan Venus dan melemparkannya ke sudut kamar. Venus segera melepas pengait bra Aphrodite dan melemparkannya juga ke sudut kamar. Kini Diva dan Venus dengan bebas mempermainkan puting susu Aphrodite dan meremas payudaranya.
Adegan di layar besar itu tidak lagi terlalu diperhatikan mereka, suara-suara erangan tokoh film kini bercampur dengan desah Aphrodite dan Athena. Baju kaos Athena kini telah naik sampai ke pangkal lengannya dan bra kecilnya kini telah bergabung dengan tumpukan baju dan bra Aphrodite di sudut kamar. Disamping meremas dada Athena, Hellen kini telah menyusuri punggung dan rusuk Athena sambil menciumi dan terkadang mengeserkan lidahnya. Helen memindahkan tangan kirinya dan mulai mengelus paha Athena dan naik hingga menyentuh bagian dalam rok mininya. Dengan beberapa kali sentuhan ia sudah sampai ke kain katun celana dalam Athena.
“Then, lo udah basah, ya?” bisik Hellen. “Hmm … iya, nih hot banget. Banjir deh,” Athena kini mulai menyentuh kemaluannya sendiri lewat kain tipis lembut itu. Hellen kini mengusap-usap bokong Athena dan terkadang meremasnya. Dan kini mereka asyik berdua saja.
Sementara itu, Diva, Venus dan Aphrodite juga semakin bersemangat. Aphrodite yang jadi objek kedua kakaknya kini terbaring di atas karpet sambil mulutnya mengulum penis karet kepunyaannya selagi Venus sedang meremas dan menjilati payudaranya dan Diva dengan penis karetnya yang bergerak disekitar celana dalam Aphrodite yang telah basah oleh campuran cairannya sendiri dan ludah Diva.
Bila anda berada disana yang kini terlihat hanyalah tangan, kaki, payudara dan celana dalam. Pemandangannya sungguh mengesankan melihat gairah dari kelima gadis bersaudara ini. Apakah ini didapat dari pergaulan? Pertanyaan besar karena kebanyakan sumber pengaruh ini adalah lingkungan mereka yang mendukung. Informasi yang didapat dari segala arah membuat gadis-gadis remaja yang baru menginjak umur 14 tahun dan duduk di kelas 2 SLTP ini menemukan surganya sendiri. Baik dari internet, buku-buku, majalah, film ataupun pembicaraan antar teman disamping fantasi yang terlalu jauh tentang seks.
“Arrgh… hhh… Div, aduh… hah… hekkhhh… Ahh!” teriak Aphrodite mendapatkan orgasme pertamanya karena Diva tengah menjilati klit-nya. Diva menyibak kekanan bagian depan celana dalam adiknya dan membenamkan wajahnya diantara paha Aphrodite itu. Bulu-bulu halus yang mulai tumbuh disekitar vagina Aphrodite telah basah oleh cairan dan ludah. Lidah Diva terkonsentrasi pada klentitnya yang sangat bengkak oleh pembuluh darah. Terkadang Diva mengulum dan menghisapnya dengan keras, terkadang menjilat dan menggetarkan lidahnya.
Liang vagina yang tersembunyi didalam bibir kecil labia minora-nya kini makin banjir dengan cairan yang terus dijilati Diva tetapi masih menunjukkan kerapatan perawannya. Venus yang dari tadi meremas dan menghisap payudara Aphrodite kini juga sedang mempermainkan vaginanya sendiri. Jari tengahnya menggosok-gosok gundukan kecil diatas belahan bibir vaginanya. Sesekali ia melepaskan kuluman mulutnya untuk sedikit melepaskan erangan kenikmatannya. Dan ketika Aphrodite mengerang keras sekali lagi untuk orgasme keduanya, Venus juga berteriak lirih oleh orgasmenya sendiri lalu tergulir lemas disamping tubuh Aphrodite yang juga telah lemas.
Diva yang dari tadi asyik kini sendirian, ia mengakhirinya dengan sedotan kuat di liang vagina Aphrodite menghisap semua cairan yang tersisa. Dan kini mengalihkan perhatiannya pada Hellen dan Athena yang kini beciuman dengan gencar. Lidah mereka saling bertemu, berputar-putar saling bertaut di dalam rongga mulut sementara tangan mereka saling meremas dan menggosok alat kelamin masing-masing. Hellen memelintir puting susu Athena sebelah kiri dan tangan kanannya menjelajahi belahan bibir vagina yang terbuka agak lebar karena Athena mengangkat kaki kirinya dan mengaitkannya ke pantat Hellen.
Awalnya gosokan jari tengah Hellen lembut dan seiring dengan semakin cepatnya gosokan Athena di vaginanya juga, ia mengimbangi kecepatannya agar mendapat hasil yang seimbang. Ditambah dengan pergulatan lidah dan remasan di payudara mereka yang sangat sensitif itu memicu orgasme yang mereka tuju bersama.
Hellen yang pertama sekali mencapainya. Tubuhnya bergetar hebat sehingga ia harus memeluk erat Athena. “Arghhh… ahhhh … enakkkk ahh… ohhh… hmm..mmm.. ” Karena saat orgasme itu Hellen seperti hilang kendali, ia melepaskan gosokannya pada klit Athena sehingga Athena yang hampir mencapainya harus melakukannya sendiri menyelesaikannya. Hellen yang kini terkulai lemas, berguling agak menjauhi Athena.
“Aghh… aku koq lama sekali ya?.. ” keluhnya sambil terus menggosok klentitnya dengan gerakan cepat. Bila terlalu kering ia membasahi jarinya dengan ludah. “Oh… oh..ahh.. ” erangnya pelan.
Diva yang melihat kejadian itu tidak jauh dari situ. Ia bekerja sendiri meremas dada kirinya dan meletakkan kepala penis karet yang berputar itu di antara bibir vaginanya. Ia belum berani memasukkannya lebih jauh hanya disekitar liangnya saja dan naik turun dari klit hingga lubang kencingnya. “Ah.. nikmat sekali ..oh.. ” Karena pergerakan penis karet itu, kepala benda itu secara tidak sengaja menyentuh lubang anusnya dan tiba-tiba, “Oggghh… hhh… hhhhhhahhhh… ,” erangan panjangnya memenuhi kamar luas itu. Ia tidak menyangka ia akan orgasme secepat itu. Cairan vaginanya banyak sekali yang keluar, menetes dari liang sempit itu kepahanya dan membekas diatas bantal besar yang ditidurinya.
Tinggal Athena sendiri yang belum selesai mencapai kepuasannya. Gosokannya semakin dipecepat terkadang karena gemas ia menarik klentitnya dan menjepitnya diantara jari tangan.
Tapi mendengar erangan keras Diva, ia semakin bersemangat lalu tak lama ia berteriak lirih. “Agh… hahhhhhh… ” sambil Athena menekan keras vaginanya dan membuka lebar bibirnya yang telah sangat gatal dan banjir. Cairannya juga mengalir keluar dan meleleh di pangkal pahanya.
Kini kamar itu tenang dari erangan dan desis kelima gadis itu walaupun masih ada erangan-erangan dari adegan seks di layar TV. Kelimanya kini terbaring diam ditempatnya mencoba merasakan sisa-sisa orgasme yang baru mereka dapat.
Diva tetap menempelkan penis karet itu berputar di bibir vaginanya dan sesekali menekankannya lembut di liang vaginanya. “Hm… kontol. ”
Walaupun kata itu diucapkannya dengan pelan tetapi cukup jelas didengar oleh adik-adiknya. Hampir serentak mereka membuka mata dan mengangkat kepala mereka ke arah Diva.
“Ih… Diva, ngomong jorok,” ujar Venus. “Apanya jorok, inikan nama lainnya kontol selain penis atau burung menurut si Adit, kata itu cuma kedengaran ngga sopan. Tapi kita untuk apa sopan-sopanan, kita ini sedang masturbasi yang pasti ngga sopan. Iya kan,” Diva membela dirinya. “Iya juga, sih. Tapi aku risih mendengarnya,” lanjut Venus.
“Kontol..,” seru Aphrodite tiba-tiba dan seluruhnya berpaling padanya. “Nah, lihatkan… tidak sulit asal dibiasakan, eh tapi jangan terlalu dibiasain, ding. Coba, lo Ven, ayo coba bilang, kon-tol, ayo..,” bujuk Diva pada Venus. Yang dibujuk agak risih dan melirik pada yang lain.
“Kon-tol,… kontol. Eh, iya ding, nggak terlalu sulit,” girangnya setelah usahanya berhasil. “Nah, sekarang giliran lo, Then,” cobaan kini jatuh pada Athena. “Ah, gampang itu, kontol, kontol. Hi-hi-hi… ” seru Athena tanpa ragu. Hellen pun tanpa kesulitan apalagi ragu mengucapkan kata itu.

“Kalau kita sudah akrab dengan katanya, semoga kita dapat akrab dengan bendanya kalau bisa dengan yang aslinya. Hi-hi… ” tambah Diva lagi tentang pembahasan mereka tentang alat kelamin lelaki itu.

*****************************************************************************

Pada jam 15.00, mereka sudah pergi untuk kegiatan sehari-hari. Diva pergi untuk les matematika, Athena ikut les biola. Venus kembali ke sekolah untuk latihan cheerleader sedang Aphrodite bersama teman-temannya latihan memanjat dinding. Hellen kini sedang berlatih di dojo Tae Kwon-do.
Diva yang biasanya bersemangat di kelas itu kini lebih banyak diam daripada ikut mengomentari persamaan-persamaan yang sedang dibahas di kelas. Dia malah tadinya ingin bolos saja hari itu dan meneruskan permainan tadi dengan adik-adiknya. Tetapi sebagai yang tertua ia terpaksa pergi untuk memberi contoh pada yang lainnya. Selain itu ia tidak ingin orang tuanya curiga atas kelakuan ia dan adik-adiknya selama beberapa hari ini.
Athena juga tidak begitu berkonsentrasi dengan biolanya. Ia dengan sengaja pura-pura memutuskan senar ketiga biolanya dan ia tahu bahwa guru ataupun teman-temannya yang lain tidak punya cadangan senar ketiganya yang khusus itu. Ia pun memilih duduk di sudut pura-pura menyimak pelajaran musik padahal pikirannya melayang-layang entah kemana.
Venus masih asyik latihan cheerleader bersama sembilan anggota tim lainnya. Walaupun ia masih tampak bersemangat, tatapi ia banyak melakukan kesalahan. Satu-satunya hiburannya saat itu adalah seragam yang ia dan yang lainnya pakai. Baju ketat lengan pendek dan rok kembang pendek yang setinggi 20 cm dari lutut. Ia terkadang melirik ke tubuh teman-temannya dan membanding-bandingkan ukuran dada mereka yang kerap terguncang karena kedinamisan gerakan mereka.
Aphrodite lebih banyak duduk di bangku darurat di depan dinding panjat klub yang setinggi 30 meter itu. Ia sedang mengagumi bokong salah seorang temannya yang sedang berlatih di ketinggian 10 meter terbungkus celana ketat hitam.
Di dojo, Hellen terlalu sering terbanting karena kurang konsentrasi dalam latihan berpasangan dengan teknik menjatuhkan lawan. Karena lawannya lelaki dan berpostur lebih besar darinya, ia membiarkan dirinya terjatuh. Terkadang ia menikmati ketika dengan tidak sengaja dadanya tersentuh olehnya atau tangannya sendiri tersentuh kemaluan lelaki itu dibalik rangkaian tendangan itu.

*****************************************************************************

Sebelum Maghrib mereka semua telah tiba kembali ke rumah. Kembali ke rumah membuat mereka bersemangat kembali karena disanalah mereka merasa nyaman dan aman dengan kakak dan adik mereka.
Karena siang tadi adalah giliran kamar Athena, sore itu mereka kembali berkumpul disana. Athena juga belum membereskan karpet tebal dan bantal-bantal itu. Kali ini mereka belum akan meneruskan permainan siang tadi karena sebentar lagi orang tua mereka akan segera kembali dari kantor. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang biasanya mereka lihat dan kadang menjurus ke pembicaraan serius tentang lelaki, seksualitas, politik, ekonomi dan lain-lain.
Jam 17:00, Mama mereka pulang. Wanita itu tampak masih sangat muda untuk mempunyai lima anak remaja. Ia masih pantas dianggap sebagai kakak anak-anaknya. Rambutnya hitam panjang dan dibiarkan tergerai menyapu punggungnya. Pinggangnya ramping dengan kaki panjang dan indah. Ia segera menuju ruang tepat di bawah kamar kelima anaknya dan memanggil mereka, “Div, Athen.., Venus… , Dit, Hellen… , turun semuanya, cepat… ”
Segera setelah mendengar panggilan itu, mereka segera turun dan menemui mamanya di ruang keluarga. “Ada apa, ma?” tanya Venus segera setelah ia duduk disebelah mamanya. Sambil melingkarkan sebelah tanganya kebahunya.
“Ada yang Mama mau bilang, tapi nanti dulu, kita tunggu Papa pulang dulu, ya?” Aphrodite yang menjadi kesayangan ibunya juga duduk disampingnya dan menaikkan kakinya di paha ibunya, “Ada apa, ma? Serius sekali?” Tahu keinginan anaknya untuk bermanja, ia mencium pipinya sekali, lalu.
“Mph.., ya ini memang serius tapi kalau Mama bilang sekarang nanti tidak serius lagi, lagipula Papa ingin menyampaikannya langsung pada kalian. Ok?” Kini ia melingkarkan tangannya di leher Aphrodite.
15 menit kemudian sebuah mobil yang biasanya dipakai oleh Papa mereka kedengaran memasuki halaman rumah. Dan sebentar saja suara langkahnya mendekati ruangan dimana mereka duduk. Ia juga kelihatan masih muda. Mereka menikah pada usia yang masih sangat muda 15 tahun yang lalu. Tubuhnya tegap dan tinggi.
“Mama kalian sudah bilang, kan, kalau ada yang mau Papa bicarakan,” tanyanya pada anak-anak.
“Sudah, pa… ,” jawab Diva mewakili adik-adiknya.
“Begini,… Papa dan Mama kalian sudah lama nggak bersama-sama karena kesibukan kami masing-masing. Tapi sekarang Papa dan Mama mau liburan. Kami mau pergi ke Paris, sudah lama Mama kalian mengajak kesana tetapi belum menemukan waktu yang pas. Sekarang ada waktu yang sangat tepat, perusahaan Papa sedang tenang kantor Mama juga. Disamping itu kalian sudah besar, sudah sangat pantas untuk ditinggal lama-lama. Sekitar… satu bulan, ya ‘kan, ma?” jelasnya sambil menunggu jawaban istrinya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
“Apa ini sejenis… bulan madu.. kedua, pa?” tanya Hellen penasaran. “Ya… bisa dibilang begitu. Bagaimana menurut kalian?” tanyanya meminta pendapat mereka. Kelima anaknya itu saling berpandangan.
“Apa Papa dan Mama mau buat adik baru?” tanya Aphrodite dengan lugunya dan tanpa rasa ragu. Pertanyaannya membuat kedua orang tuanya tersenyum.
“Ya… mungkin. Siapa tau. Lihat aja nanti,” jawab papanya sekenanya. Mamanya sambil mengelus-elus rambut panjang Aphrodite.
“Kenapa, Dit, Adit mau adik baru, ya?” tanya mamanya.
“Iya, ma. Adit mau adik kecil. Adik Adit, kan ini si Hellen, mana bisa dia digendong-gendong, apalagi diajak main-main. Kalau Adit ada adik kecil, kan bisa, ya ma?” Mamanya dengan sabarnya mengiyakan permintaan anaknya yang paling lugu itu sambil mengerdip kepada suaminya. Ianya hanya mengangkat bahu.
“Lalu, ‘gimana jawaban kalian?” tanya sang papa sekali lagi.
“Tunggu sebentar, pa, kami harus berunding dulu. Hei… Ayo kumpul sini semua,” ajak Diva pada yang lain.
Mereka segera berkumpul di sudut ruang, tangan diletakkan di tiap bahu yang lain membentuk lingkaran seperti break time para pemain basket. “Bagaimana menurut kalian?” tanya Diva.
“Aku sih setuju saja walau nggak diajak, kapan-kapan kan bisa ke Paris,” pendapat Hellen.
“Hei, aku sudah lama ingin ke Paris, mereka boleh pergi tapi kita harus ikut,” Venus tidak begitu suka pendapat pertama. “Tunggu, lihat dulu situasinya, OK, Papa dan Mama pergi selama sebulan dan selama itu kita bebas. Bayangkan rumah ini kosong dari pengawasan mereka selama sebulan dan kita bisa melakukan apa saja disini,” Diva menjelaskan pendapatnya dengan panjang lebar.
“Wow, kita bisa buat sirkus di dalam rumah,” kata Aphrodite dengan senangnya.
“Nggak bisa bego’, tapi kita bisa berbuat apa saja. Diva benar, kita bebas,” Hellen sangat setuju dengan ide tersebut.
“Ya, benar. Kita bisa bersenang-senang dengan kontol karet itu dengan bebas, ingat?” Athena mengingatkan mereka tentang penis karet yang mereka beli online itu.
“Ok, Ven, empat lawan satu. Cuma kau sendiri yang ingin ke Paris. Bagaimana?” Diva mencoba mengambil hasil akhir yang mufakat.
Venus sedikit bimbang tapi akhirnya, “Ok, kita bebas. ”
“Bagus,” Diva mengambil hasil akhir dan mereka bubar dari pertemuan kecil itu dan menemui orangtua mereka yang sabar menunggu.
“Well, bagaimana hasil pertemuannya?” tanya Papa mereka setelah kelimanya telah kembali duduk ditempat semula.
“Kami setuju, Pa. Kami setuju Papa dan Mama pergi ke Paris berdua saja tanpa kami,” jawab Diva menerangkan hasil mufakat mereka.
“Tapi?” guman mamanya.
“Tapi apa, Ma?” tanya Diva heran.
“Ayolah, kalian tak mungkin setuju begitu saja tanpa ada tapinya. Iya, kan?” jelasnya lebih lanjut.
“Oh… tapinya… kami hanya mau bebas. Itu saja,” tambah Diva.
“Tentu. Sekarang saja kalian sudah bebas. Sebebas apalagi yang kalian mau?” tanya Mama mereka sekali lagi.
“Ya, kami tahu ada batas-batas bebas itu. Dan kami berjanji tidak akan melanggarnya. benar, kan?” serunya mencari persetujuan adik-adiknya.
“Benar,” jawab mereka serentak.
“OK. kalian sudah setuju. Hal-hal lainnya akan kita bicarakan segera. O-ya, Papa dan Mama akan pergi lusa. cepat, kan?” katanya. Mendengar itu kelimanya berpandangan dengan penuh arti. “Om, Buana nanti akan mengawasi kalian sesekali sebelum ia menyusul ke Paris bersama Tante Tami,” tambahnya menjelaskan.

Setelah persiapan dan wanti-wanti kepada kelima anak-anaknya dan para pembantu di rumah itu, Ron dan istrinya pergi ke Paris menumpangi pesawat terbang diantar anak-anaknya sampai di gerbang Boarding Pass.
Mereka segera pulang segera setelah pesawat yang membawa orangtua mereka meninggalkan landasan dan terbang. Mereka saling tersenyum satu sama lainnya selama diperjalanan pulang. Segera setelah mereka sampai, semuanya berlarian naik ke kamar Diva yang kamarnya jadi giliran tempat saat itu. Segera setelah mereka mulai melucuti pakaian yang mereka kenakan, terdengar ketukan di pintu dan segera dibuka tanpa permisi terlebih dahulu.

Putri
Putri :
Hai, namaku Putri. Aku ini sepupu mereka. Umurku 16, duduk di kelas dua SMA. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahku adalah Buana Suryawan, paman mereka berlima. Saat ini aku sedang menuju kamar Diva setelah dari tadi aku menunggu di kamar Venus karena kudengar dari kamar itu ada suara-suara mereka.
Kuketuk pintu dua kali dan langsung saja kubuka pintu itu dan masuk. “Eh, apa yang kalian lakukan, mencoba baju baru, ya? Kok, pada buka baju segala?” tanyaku karena segera setelah pintu kubuka kulihat mereka semua telah membuka baju bagian atas mereka dan baju-baju itu telah berserakan di atas sofa dan lantai.
Mereka sangat terkejut melihat kehadiranku. “Eh, mbak Putri. Kirain siapa…?” Venus berusaha mengambil baju kaosnya dan memakainya kembali juga yang lain kecuali Diva, ia tetap tidak memakai kembali pakaiannya sehingga ia hanya memakai bra itu untuk menutupi dadanya yang mulai tumbuh besar.
“Ngapain, mbak Putri? Kok, ngeloyor aja masuknya walaupun belum disuruh masuk,” protes Diva karena aku masuk tanpa permisi.
“Ah, Diva… Jangan marah gitu, dong. Gini, Oom Ron kan sudah pergi dan Papaku akan mengawasi kalian sesekali, kan?” tanyaku tanpa menunggu jawaban darinya atau yang lain,” Papaku, Oom Buana, tau tidak karena Papa dan Mamaku juga sibuk, mereka tidak sempat mengawasi kalian dan karena itu tugas pengawasan itu diberikan padaku. Ya, betul padaku. ” jelasku sebaik-baiknya.
“Trus kalau mbak yang ngawasi kenapa, kan nggak ada bedanya,” komentar Hellen. Segera aku mengambil tempat duduk diantara Diva dan Venus.
“Kita bisa adakan pesta di rumah ini, aku akan undang semua teman-temanku dan teman kalian. Kita bisa buat pesta dugem. Hmm, kapan ya waktu yang pas. Ya,… malam minggu. Betul, ya malam minggu. Bagaimana?” ucapku penuh semangat.
“Kenapa nggak dirumah mbak aja, kok mesti disini. Itu kan pesta mbak Putri,” Diva minta penjelasan. “Oh, iya. Ini masalah persiapannya. Papa Buana pergi menyusul ke Paris hari Sabtu sore sekitar jam lima dan pestanya jam tujuh, bagaimana mungkin mempersiapkan semuanya dalam dua jam? Pikirkan itu?” jelasku padanya.
“Tunggu-tunggu kami belum bilang kami setuju dengan pesta itu atau nggak. Kami punya rencana sendiri, mbak. Mbak boleh jadi pengawas kami tapi… ,” aku segera memotong maksud pembicaraannya.
“Tau-tau, maaf ya, ini salah mbak Putri nggak menanyakan persetujuan kalian. Tapi coba kalian pikirkan dulu, ck, apa sih ini…? Ngganggu aja,” seruku sambil mengambil benda yang dari tadi mengganggu dudukku di sofa itu.
“Wah!” seruku kaget. Yang lainnya juga menunjukkan ekspresi yang tak kalah terkejutnya. Benda itu adalah sebuah penis karet berwarna krem, panjangnya lima belas senti meter dan berdiameter tiga senti meter, terdapat kabel dibagian bawahnya.
“O… jadi ini rencana kalian. He he he kalian nakal juga, ya. Aku tau rencana kalian,” ujarku sambil bangkit dari sofa itu dan duduk kembali di pegangan sofa yang diduduki Athena. “Kalian pasti merencanakan sesuatu yang nakal seperti memasukkan benda ini kemari,” sambil kuarahkan dan kutempelkan penis karet itu kepangkal pahaku yang dibalut jeans ketat. “Ya, kan?” kubiarkan benda itu disana dan kulihat mereka kecuali Diva menunduk takut. Diva memang selalu lebih berani dibanding yang lain mungkin karena ia yang tertua dan bertangggung jawab serta melindungi yang lain.
“Aphrodite, mana colokan mesinnya?” seruku pada Aphrodite dan ia langsung meraba kebalik punggungnya dan mencari-cari sesuatu. Segera setelah mendapatkannya, ia segera melemparkan benda itu kepadaku dan langsung saja kusambut. Benda itu berupa kotak kecil berukuran delapan kali lima kali tiga senti meter, berwarna hitam. Ada sebuah lubang jack tempat menyambungkan kabel dari penis karet itu dan sebuah tombol on/off dan pengatur kecepatannya. Pada bagian belakangnya ada tempat penutup baterenya. Segera setelah mesin kecil itu kuhidupkan, penis karet itu mulai bekerja. Ia bergetar dan kepalanya yang sangat mirip dengan penis yang asli berputar-putar searah jarum jam dengan perlahan.
“Kalian tau, aku juga punya kontol mainan seperti ini di kamar. Sangat menyenangkan sekali bukan?” kataku untuk menenangkan ketegangan mereka. Mereka saling menghela nafas.
“Ah, mbak Putri, mbak menakuti kami. Kami kira mbak bakalan marah-marah,” Athena menunjukkan kelegaannya.
“Kenapa musti marah. Aku tau perasaan kalian. Kalian pasti pengen tau bagaimana rasanya, ‘kan?” tanyaku dan mereka semua mengangguk.
“Ok, aku mau ‘nanya, seberapa jauh kalian sudah memakai benda ini? Apa kalian sudah memasukkannya ke pepek kalian?” tanyaku dengan kata-kata yang tembak langsung. Mereka saling memandang penuh arti. “Kenapa? Ada kata-kataku yang aneh?… Oo… ya, pasti kata pepek itu. Untuk apa malu. Ini milik kita sendiri, kita berhak menyebutnya apa saja dan aku menyebutnya pepek,” jelasku lebih terbuka.
“Kami belum lama memiliki kontol karet ini, baru tiga hari jadi kami belum melakukannya lebih jauh dari menyentuhkannya ke pepek kami,” Diva baru angkat bicara menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
“Bagus. Itu bagus. Pertama sekali aku memilikinya, selama sebulan benda ini cuma kupegang-pegang saja,” pujiku pada keberanian mereka.
“Sekarang gimana? Masih begitu juga?” tanya Hellen ingin tau lebih jauh. Aku lalu berdiri dan meletakkan kepala penis karet yang berputar-putar itu dibawah bibirku.
“Kalian pasti nggak menyangka kalau mbak Putri kalian, sudah nggak perawan lagi… Betul,” jelasku lebih jauh.
Mereka semua tertegun mendengarkan ucapanku tadi. “Wow, mbak Putri, gimana rasanya pertama sekali?” tanya Aphrodite dengan lugunya.
“Rasanya sangat nikmat. Aku nggak bisa bilang dengan kata-kata. Kalian harus merasakannya sendiri baru bisa kalian mengerti,” pembicaraan ini telah menaikkan gairahku. Bahkan dibawah sana, di liang vaginaku pun telah basah oleh cairan. Badankupun mulai panas mengingat pengalaman yang pernah aku alami. Karena nggak tahan lagi segera kuloloskan jeans ketatku dan celana dalam katun itu dengan cepat. Mereka mengawasi dengan penuh tanda tanya.
“Mbak Putri, mau ‘ngapain?” tanya Venus heran sambil mendekat. Segera kuraih wajahnya dan kucium bibirnya yang indah itu. Segera setelah kulepaskan dengan nafas memburu ia terperangah takjub.
“Kalian tau… heh..aku sedang hot nih. ” Segera kutempelkan kepala penis karet itu di bibir vaginaku tepat di pintu liangnya dan gerakannya yang berputar membasahi ujung benda itu dengan cairanku yang akan mempermudah jalannya masuk.
Dengan menahan nafas segera kebenamkan penis karet itu seperempatnya. “Ohhhhrgghhh… ” rasanya sudah tak tertahankan lagi. Kudorong sedikit lagi dan gerakan berputar alat ini sangat berpengaruh di liangku masih sangat sempit. Vaginaku sendiri berkontraksi hebat setelah setengahnya telah masuk dan tak lama, “Argghhhhhhhhhhh… ” Teriakan lirihku menggema di kamar itu. Luapan orgasme itu bagai menyapu seluruh tubuhku. Badanku mengejang disertai getaran-getaran kecil ketika gelombang berikutnya menyusul. Segera setelah aku yakin bahwa tidak ada lagi yang datang, aku membuka mata dan tersenyum pada mereka. Mereka berlima ada disekelilingku. Rata-rata mereka menganga takjub melihat aksiku tadi.
“Wah, hebat sekali, mbak Putri. Bisa ajari aku?” tanya Aphrodite antusias. Yang lain juga mengatakan hal yang sama dan menanyakan apa rasanya. Senang rasanya bisa mengajari mereka walaupun ada sedikit rasa ragu.
“Ok, sekarang buka baju kalian semua dan kita akan lihat apa yang kalian punya lalu apa yang kalian tau lalu apa yang perlu kalian tau,” lanjutku memberi arahan. Secara serentak mereka mengikuti permintaanku dan menanggalkan semua pakaian yang dikenakan. Diva yang pertama sekali telanjang bulat karena ia dari tadi tidak pakai baju lagi dan berturut-turut Aphrodite, Venus, Hellen dan Athena menyusul.
Setelah kubanding-bandingkan secara garis besar dan cepat tidak ada perbedaan besar diantara mereka berlima. Semuanya mempunyai tubuh yang indah, proporsional dan putih bersih. Lekuk-lekuk tubuh mereka sudah hampir sempurna dan karena mereka masih akan berkembang pasti di kemudian hari akan semakin berkembang indah. Kaki dan tangan ramping dan jenjang khas tubuh ektomorf. Dada mereka yang baru tumbuh pasti sudah mencapai ukuran 30A dengan puting kecil berwarna merah muda kecoklatan muda tegak menantang di masing-masing puncaknya. Gundukan vagina mereka belum ditumbuhi rambut yang lebat hanya sedikit bulu-bulu halus yang menghiasi bagian atas belahan bibirnya yang tebal. Dari tempatku berdiri aku bisa dengan mudah melihat belahan tersebut dan dapat kukatakan sangat indah sekali dan bibir-bibir itu mungkin lebih bengkak dari biasanya. Dan dari sela-selanya dapat kulihat klit mereka yang sudah pasti bengkak sedikit menyembul keluar.
Semangat melihat pemandangan ini dan semakin bergairah aku segera melepaskan kaus ketatku. Perlu dijelaskan tubuhku pasti lebih indah dari mereka karena aku jauh lebih berkembang dari mereka (dih, muji diri sendiri), pinggangku ramping dan padat berisi. Kaki jenjangku mengawali vaginaku yang tak berambut karena aku lebih menyukainya tetap polos. Sejumlah titik keringat telah bercampur dengan lelehan cairan orgasmeku terdahulu mengalir di pahaku. Setelah bajuku kulempar bergabung tumpukan baju mereka dan jeans serta celana dalamku, segera kulepaskan pengait braku yang terdapat didepan. Payudaraku sudah dapat dibilang tumbuh penuh, bulat dan padat dengan ukuran 32B dan puting yang berwarna coklat muda yang sudah berdiri tegak keras dari gairahku yang sudah menggebu dari tadi.
“Well, sekarang apa yang ingin ketahui pertama sekali,” tanyaku pada mereka yang sudah sangat bersemangat terlihat dari usapan yang mereka lakukan pada vaginanya sendiri. “Ajari kami bagaimana memasukkan kontol karet ini ke pepek kami,” jawab Aphrodite sambil menunjukkan penis karetnya. Masing-masing mereka memegang benda itu kecuali Hellen yang mungkin penis karetnya yang sedang kupegang saat ini.
“Benar kalian berani? Kalian masih perawan, kan? selidikku berhati-hati.
“Tentu aja. Kami belum pernah memasukkannya dan karena itulah kami mau mbak Putri ‘ngajarin kami,” jelas Diva.
“Tunggu dulu aku ada ide yang lebih mendidik dan lebih fun. Ini juga pelajaran tentang cara memasukkan kontol ke pepek. Bagaimana?” paparku tentang keinginan mereka. Setelah mereka setuju aku ambil tas yang tadi kubawa dan kukeluarkan sebuah kotak plastik kuning. “Ini salah satu koleksiku yang belum pernah kupakai karena ini harus dipakai berdua. Dan kurasa inilah saat yang sangat tepat untuk mencobanya,” kataku sambil mengeluarkan sebuah penis palsu yang terbuat dari karet berwarna krem dari kotak itu. Penis ini mempunyai semacam tali untuk dipakaikan di pinggang dan pada bagian bawahnya ada semacam penahan yang bila dipakai wanita akan tepat berada di atas bibir vaginanya. Panjang penis itu dari dasar ke ujungnya ada sekitar 15 sentimeter. (Kenapa ini tadi kubawa, ya? Aneh juga)
“Ih, apaan nih, mbak? Kok lain bentuknya?” tanya Athena heran.
“Nah ini dia. Kontol palsu ini bisa dipakai di pinggang terutama wanita dan bisa dipakai untuk main walaupun ngga ada laki-lakinya, lho,” jelasku lebih lanjut.
“Main? Main gimana mbak?” tanya Athena lagi. “A lah, masa ngga tau. Ya, ngentot, lah. Gimana sih, kok pada sok blo’on semua,” jawabku seenaknya.
“Ng? Mbak Putri, kami kan masih perawan. Trus gimana?” cemas Venus.
“Ya, nggak dong. Ini kan pendidikan, kalian harus melihat contohnya dulu. Contohnya ya kalian lihat aku dikentot. Hmm, siapa ya yang cocok memakai kontol ini?” pikirku sambil memandang mereka satu persatu. “Ya… kamu Hellen yang paling cocok. Hellen kemari. Ya, kemari,” begitu ia mendekat aku segera berjongkok tepat didepan vaginanya dan berusaha memasang tali pengikat penis palsu itu. Begitu tali benda itu melekat erat, aku segera berbalik kebelakangnya dan berdiri. Kulingkarkan tanganku melewati ketiaknya dan menutup kedua payudaranya yang tumbuh besar dengan kedua telapak tanganku.
“Lihat, bukankah dia seperti laki-laki?” kataku kepada yang lain. Mereka sekarang sedang memperhatikan tubuh Hellen. Setelah beberapa saat mereka semua tersenyum.
“Kenapa? Mirip sekali, ya?” tanya Hellen tentang pendapat mereka.
“Sini. Hadap kemari, ke arah cermin besar itu. Coba lihat,” ujarku sambil menuntun geraknya menghadap ke sebuah cermin besar yang berada di kamar Diva. Dengan dadanya yang kututup dengan kedua tanganku, ia sangat mirip dengan laki-laki. Rambutnya yang dipotong pendek membuat kompleksi wajahnya menjadi maskulin. Pinggulnya yang sempit belum berkembang serta warna krem penis palsu itu sangat menyatu dengan warna kulit bersih Hellen yang kuning langsat. Penis itu mengacung keatas membentuk sudut 45 derajat. Pada bagian bawahnya terdapat dua buah tonjolan yang menyerupai buah pelir penis yang sedang ereksi lengkap dengan sejumlah kerutannya dan turun kebawah terdapat perpanjangan plastik itu menutupi bentuk V vagina Hellen.
“Wow, memang mirip sekali, mbak,” ujar Hellen juga kagum dengan penampilannya. “Lalu apa lagi, mbak?” tanyanya.
“Ok, tunggu sebentar, ya?” kataku sambil mengambil posisi di sofa, menyandarkan kepalaku di sandarannya serta membuka lebar-lebar kakiku dan membuka bibir vaginaku. “Nah, Hellen… kau masukkan kontolmu kemari,” tunjukku ke lubang vaginaku yang sudah kubuka dari tadi.
Hellen lalu mendekat sambil tanganya mulai mengarahkan penis palsunya ke arah lubangku, lututnya agak ditekuk sedikit agar pas. Ketika ujung penis itu menyentuh bibir minoraku dan mulai meluncur masuk terasa agak perih karena jarak antara orgasmeku tadi dengan penetrasi sekarang lubangku sudah kering, tidak terlubrikasi cairan lagi.
Ketika Hellen akan mendorong penis itu lebih dalam lagi, aku langsung menahannya. “Hellen, tunggu ada yang kurang. Lubang ini perlu dibasahi dulu, perlu dirangsang dulu. Kau pasti tau cara melakukannya, kan?” kataku padanya.
“Tentu saja. Mbak mau aku mempermainkannya, menjilatnya atau bagaimana?” tawarnya.
“Sesukamu saja. Lakukan yang biasa kau lakukan pada yang lain,” kataku memberi kebebasan terhadap vaginaku.
“Aku juga mau,” Aphrodite mendekat ikut menawarkan diri. “Ya, silahkan saja. Kalian semua juga boleh. ” Tiba-tiba ide gilaku muncul. Sangat menggairahkan membayangkan diriku menjadi objek seks oleh lima orang sekaligus.
Segera kelimanya mengerubungiku bahkan bisa dibilang berebut. Tangan-tangan mereka mulai bekerja. Kurasakan dibawah sana, jari-jari mereka yang bersemangat beraksi. Klitku dijepit dan dipelintir-pelintir. Dan bibir mayoraku juga digosok-gosok dengan lembut. Lalu kurasakan sesuatu yang basah, lidah. Bahkan ada dua lidah disana yang saling berebut mendapatkan klitku. Kucoba melihat siapa saja yang bermain dengan vaginaku. Sekilas kulihat wajah Hellen dan Aphrodite yang sedang menjulurkan lidahnya, menyapu dan meyusuri belahan vaginaku. Setelah itu pandanganku tertutup karena Venus dan Athena masing-masing mengulum puting susuku dan meremasinya.
“Mm, sudah lama aku ingin mencium bibir mbak Putri, lho,” kata Diva ketika bibirnya mendarat di bibirku. Kami saling berciuman dengan semangat. Lidah kami saling berpagutan terkadang ketika Diva mendorongkan lidahnya ke dalam mulutku. Nafasku sampai sesak karena desakan Diva yang sangat semangat. Tangan Diva merangkul leherku agar bibirku menjadi miliknya seutuhnya.
Tanganku yang bebas mengelus-elus punggungnya. Kususuri setiap senti garis punggungnya dengan perlahan. Lalu tanganku berpindah ke payudaranya dan mengikuti irama remasan Venus dan Athena pada dadaku.
Venus dan Athena mendapat giliran perhatian tanganku. Mereka yang berada disisi kanan dan kiriku dan bokong mereka yang bebas kuremas tiap bongkahnya. Lalu berpindah kebelahannya dan berhenti di gundukan tebal berbulu halus itu. Kususuri belahannya dan dapat kurasakan klit mereka yang bengkak di sentuhan ujung jari tengahku. Kugosok-gosokan jariku beberapa kali dan sudah dapat kurasakan basahnya tempat itu seperti juga lubangku yang sudah sangat basah kuyup baik oleh cairanku dan ludah Hellen dan Aphrodite.
“Sudah… sudah,” sesakku setelah aku berhasil melepaskan bibir Diva dari mulutku.
“Apa sudah cukup basah, mbak?” tanya Diva sedang yang lain sejenak menghentikan aksi mereka.
“Gila kalian. Maniak betul. Ini bukan basah lagi. Banjir, tau. Ya sudah, Hellen, masukkan. Yang pelan saja,” ujarku.
Hanya Aphrodite yang bergerak mundur memberi ruang buat Hellen yang kini berada diantara kakiku. Penis yang kini menempel dibawahnya tetap mengacung keatas kini diarahkannya ke vaginaku yang banjir. Dengan mudah benda itu berada di mulut vaginaku dan karena telah sangat basah meluncur pelan memasuki liangku. Hellen tampak sangat senang melihat penisnya masuk. Dan sekejap saja setengah batang penis palsu itu sudah sangat memenuhi liang kemaluanku yang sempit.
“Ohhh… yahh… hebat… hebat sekali, yahh… Hellen, Hellen lagi lebih dalammm,” desahku sambil memutar-mutar pinggulku. Sebetulnya aku baru dua kali merasakan penis yang asli dan ukurannya jauh lebih kecil dari ini dan selebihnya menggunakan penis karet koleksiku. Tetapi sensasinya lebih hebat bila dilakukan oleh orang lain. Kali ini walaupun dilakukan oleh wanita bahkan lebih hebat dari yang pernah kuingat.
Kini, Diva, Athena, Venus dan Aphrodite benar-benar menghentikan aktifitasnya dan berkerumun disamping pinggulku menyaksikan dari dekat masuknya penis karet itu. Ketika Hellen menarik keluar benda itu sejumlah aliran cairan keluar dari liang vaginaku dan menitik di pangkal pahaku dan batang penis itu. Segera ia mendorongnya masuk kembali dan kali lebih dalam dari yang pertama. “Orrghhh… Helen, yahh… bagus. Sekarang ulangi itu terus,” kataku lirih menikmati tiap mili detik gesekannya di dinding liangku yang berkontraksi hebat.
Hellen kini memaju-mundurkan penis palsunya dengan konstan dan bunyi persentuhan pangkal pahanya denganku menyebabkan suara seperti tepukan tangan ditambah lagi kecipak beceknya liangku.
Aphrodite mengambil inisiatif untuk beraksi kembali berjongkok dan menjilati tiap tetes cairan dari liangku yang menganga karena tiap benda itu keluar pasti menarik sejumlah cairan baru. Ia bahkan menjilati cairan yang telah meleleh sampai di pahaku. Sampai akhirnya ia kewalahan ketika Hellen mempercepat gerakannya karena nggak sabar dan cairan itu tak henti-hentinya keluar.
Aphrodite akhirnya menyerah dan melepaskan aksinya dengan muka berlepotan cairan vaginaku. Diva mengambil alih di kanan diikuti Athena dikiri dan Venus merayap diantara kaki Hellen.
“Ahh… hah… hahhhh… Jangan… jangan berhenti… terus ooohh yes… yes… argh… ,” raungku memenuhi kamar itu. Serangan total di vaginaku sangat maksimal sampai detik ini orgasmeku sudah sampai beberapa kali bergulung-gulung menerpaku. Membuat seluruh tubuhku sangat lemas dan rasanya tulang-tulangku seperti dilolosi dari sendinya.
Rojokan Hellen pada liangku sudah penuh memenuhi panjang penis plastik itu dan rasanya aku sudah nggak kuat lagi. Dan dengan erangan kuat, semoga mereka menghentikannya, aku melepaskan orgasme yang terhebat ketika rasanya penis itu menyentuh dasar rahimku. “ARRRRRrrrrrrggggghhhhhhh!”
Rasanya teriakanku itu dapat di dengar sampai keluar kamar karena kerasnya. Terbukti mereka otomatis menghentikan aksi hebat mereka. Kepalaku yang dari awal sudah terombang-ambing kini menengadah menghadap langit-langit dan mata terpejam. Dadaku naik turun dengan cepat dengan nafas memburu seperti ikan terdampar ke daratan.
“Kenapa mbak?” tanya Aphrodite cemas. “He he he.. ngga pa-pa, kok. Tapi rasanya sudah cukup untuk mbak kali ini. Mbak udah nggak kuat lagi. Heh, kalau diteruskan aku mungkin bisa pingsan,” ujarku menenangkan mereka tentang keadaanku. Hellen perlahan-lahan menarik keluar penis karet itu seluruhnya. Ketika lepas, perpisahan benda itu dan liangku menghasilkan suara ‘pop’ yang khas.
“Bagaimana rasanya, mbak Putri?” tanya Hellen. “Luar biasa. Sudah mbak bilang tadi, nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kalian harus mencobanya sendiri agar tau sensasinya,” paparku.
“Maukah mbak Putri memasukkan kontol itu ke punyaku?” minta Aphrodite setengah memohon padaku.
“Iya, mbak Putri, aku juga mau,” minta Diva juga serta diikuti yang lainnya.
“Kalian yakin? Pertama sekali itu artinya tidak bisa kembali lagi. Dan kalian tidak lagi perawan disamping rasanya agak sedikit perih dan ada sedikit darah yang terjadi disaat itu,” jelasku dengan sedikit hal-hal yang negatif tentang hal itu yang kutahu.
“Ya, tau, mbak… Itu kan resikonya,” kata Venus. Aku berpikir sebentar dan,
“Tapi resikonya tidak sebanding dengan kenikmatan yang bisa didapat bila dilakukan seorang laki-laki betulan. ”
“Maksud mbak Putri apa? Emang beda rasanya kalau sama laki-laki betulan?” tanya Athena lebih lanjut.
“O, ya pasti. Efek psikologisnya pasti beda. Kontol laki-laki akan terasa hangat dan berdenyut-denyut apalagi waktu ia mengeluarkan maninya itu. Ukurannya semakin besar pada saat itu dan terasa semburan hangat dan membanjiri liangmu. Pengalaman itu memang mengalahkan goyangan Hellen yang lama tadi,” terangku tentang hal-hal yang pernah kualami.
“Jadi gimana dong, mbak? Disini kan nggak ada laki-laki… ” sesal Hellen.
“Ya, betul. Lagipula kita tidak bisa begitu saja mengajak laki-laki. Bisa-bisa dia memanfaatkan kita disamping kita tidak mungkin mempercayai laki-laki luar yang baru kita kenal. Apalagi untuk mengentotimu untuk pertama kalinya dan mengambil perawanmu. Berat kan?” jelasku tentang keadaan yang mungkin terjadi bila tidak hati-hati. “Eh, ngomong-ngomong, kalian ada pacar, nggak? Kalau ada, ya dengan dia saja, kan beres,” usulku.
“Pacar? Mana ada, mbak. Kami nggak ada waktu untuk pacar. Lagipula nggak ada yang cocok untuk jadi pacar. Semuanya pada bodoh, bego. Pokoknya nggak pantas,” jawab Diva.
“Aku suka sama anak guru biolaku. Dia sering membantu ibunya mengajar kami dikelas biola. Menurutku dia ganteng juga,” ujar Athena tentang idamannya.
“Ih, iya. Aku suka Pak Edi, guru Matematika disekolah. Dia kan belum kawin. Tapi sayang, dia kejam dengan murid-murid, kami sering dihukum karena nggak bisa mengerjakan tugas dan PR,” giliran Venus tentang gurunya disekolah.
“Wah, aku nggak punya laki-laki yang kusuka. Padahal temanku semuanya laki-laki, kan?” sesal Aphrodite dan pasti itu tentang klub pencinta alamnya.
“Aku suka mas Indra. Dia mahasiswa tingkat tiga dan ia memegang sabuk hitam di dojoku. Orangnya kuat dan tegap. Ia satu-satunya murid Taekwondo di dojo yang belum kukalahkan karena terlalu kuat,” ceritanya tentang lelaki idamannya.
“Ya, kan? Walaupun kalian menyukai orang-orang itu, kalian tidak bisa begitu saja meminta mereka untuk menyentuh pepekmu,” aku berhenti sebentar. Sekilas tadi aku mendapat sebuah ide gila yang mungkin terbaik untuk situasi seperti ini.
“Hm, kalian pasti akan suka ideku ini. Ini yang terbaik untuk masalah kepercayaan kita tadi,” lanjutku dan menerangkan ide tersebut panjang lebar. Saat selesai kuterangkan, mereka diam berpikir sejenak menimbang-nimbang kemungkinan kebenaran ide gila itu.
Aphrodite yang pertama sekali setuju dengan mengangkat tangannya disusul Diva, Hellen, Athena dan Venus.
“Bagus, karena ide ini belum bisa dilakukan sekarang, kita harus meneruskan permainan ini, kan?” setelah mendapat persetujuan mereka. “Sekarang giliran siapa untuk dikeroyok rame-rame?” tanyaku dan menatap mereka satu persatu.
“Dia!” tunjuk mereka pada Hellen. Hellen yang ditunjukpun menunjuk hidungnya sendiri dan tersenyum lebar. Segera ia melepas ikatan tali penis plastik itu. Lalu kami mengerubunginya dan ia mulai mendesah keenakan.
Dan untuk beberapa lama kamar itu begitu ribut dengan teriakan dan erangan yang berganti-gantian sampai sore itu.

Gallery for Quint