Putri : Bebek jelek yang menjadi angsa cantik
Isi thread & Tentang cerita :
1. Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
2. Penulis akan berusaha secepat mungkin untuk selalu memperbarui lanjutan cerita yang ada dalam thread ini.
3. Materi cerita berisi hubungan seksual yang perlahan, tidak cocok untuk para member yang suka cerita panas dengan alur hubungan seksual yang frontal.
4. Sambungan cerita akan diletakan di halaman pertama.
*********
Kriiiing Kriiiing! terdegar suara alarm di ponselku berbunyi sangat keras hingga membangunkan diriku yang tengah lelap tertidur, lantas bergegas bangun kulihat layar ponsel waktu telah menunjukan pukul 07.00 WIB, setelah aku selesai mandi, berpakaian dan semua rapi tak sabar rasanya aku ingin cepat-cepat pergi lalu pulang bekerja, perlu dipahami rasa tak sabarku ini dikarenakan dua hari lalu aku mendapatkan satu undangan melalui BBM dari Beni temanku, kini saat datang waktunya memenuhi undangan tersebut untuk reuni di sebuah kafe bersama teman-teman sekelas pada waktu SMA dulu, sejak acara pesta kelulusan SMA pada 2010 lalu memang aku & teman-temanku sangat jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah bertemu lagi dikarenakan kesibukan masing-masing, ada yang sibuk dengan pekerjaan di kantor, pabrik, rumah makan, dan ada pula yang masih pusing memikirkan tugas kampus yang tak kunjung usai.
…..
Tak terasa hari sudah malam saja, waktu di ponselku sudah menunjukan pukul 19.00 WIB, semua tugas-tugasku untuk mengemas barang di sebuah perusahaan jasa kurir kirim barang juga sudah selesai semua, tak sabar aku berjalan menuju parkir langsung kunyalakan motor maticku dan langsung melaju dengan kecepatan tinggi untuk menuju kafe tempatku dan teman-temanku sudah janjian sebelumnya.
…..
Setibanya di kafe tujuan kulihat ada meja yang sudah di isi oleh teman-temanku, cewe-cowo duduk bersama di satu bangku dan meja panjang. Aku melihat mereka kekiri dan kekanan, dari beberapa teman-temanku tersebut aku masih ingat dengan wajah-wajah mereka, ya walaupun dari body mereka sudah ada yang jadi gendut bahkan juga sekarang ada yang jadi kurus, tapi aku masih tetap ingat dengan wajah-wajah mereka “memang wajah ga bakal berubah” begitu kataku dalam hati. Tapi dari sekitar 15 orang temanku itu ada satu wajah yang aku merasa lupa namun tidak asing dengan wajahnya, lantas kucoba kembali mengingat siapa dia disana yang menggunakan baju bercardigan dan sedang memegang ponsel itu. Aku kembali lagi melihat wajahnya, dan ada tahi lalat di sisi kanan bawah bibirnya, dan langsung dalam pikiranku “Tepat,ternyata dia adalah Putri!” pantas saja aku sempat lupa denganya, padahal dia dahulu tidak seperti ini, tidak pandai bergaya di sekolah bahkan jangankan bergaya entah itu sedikit berbedak atau memakai parfum, baju sekolahnya saja bahkan kusut tidak karuan, sungguh miris untuk ukuran seorang anak perempuan, namun kini dia sangat terlihat berbeda dari yang dulu. Aku mulai menyapa semua teman-temanku, dan mulai mencoba mencari posisi duduk yang nyaman dan pas. Sedari tadi aku memang penasaran dengan sosok temanku bernama Putri ini, dahulu seakan seperti bebek jelek namun kini berubah menjadi angsa yang cantik.
…..
Entah karena kebetulan atau tengah beruntung, aku bisa duduk tepat disamping Putri, karena memang posisi bangku disebelahnya sedang kosong. Perasaanku langsung berubah, perasaan yang awalnya lelah setelah pulang bekerja ketika duduk tepat didekatnya sekarang menjadi tenang, wangi yang kurasakan dari parfum Putri dan wajah cantiknya lantas membuatku lupa untuk memesan makanan dan minuman, padahal pada saat itu buku menu sudah menganggur berada di atas meja dan tepat berada dihadapan Putri. Temanku bernama Beni yang juga ketua panitia penyelenggara, dia berkata membuyarkan perasaan senang yang sedang kurasakan, dia mengatakan “sudah cepat pesan makan dan minuman kesukaanmu, jangan lama-lama”, dengan gerakan sigap aku langsung mengambil buku menu, namun tanpa sengaja tanganku menyentuh tangan Putri yang sedang memainkan ponsel, seketika itu aku merasa berdebar-debar, mengapa Putri hanya diam? apakah dia terlalu fokus dengan ponsel yang sedang digenggamnya? Ah entahlah. Setelah beberapa menit lama menunggu, semua makanan yang dipesan sudah hadir dan menunggu untuk disantap, tanpa pikir panjang aku langsung makan, teman-teman lain juga ikut makan pula, disaat sedang makan itulah aku menggeser-geser tangan seolah mencari posisi yang enak saat makan, hal ini kulakukan agar aku bisa terus bersentuhan dengan tangan Putri, lantas apa yang kudapat? ternyata Putri juga hanya diam saja, padahal tanganku dan tanganya sedang bersentuhan. Aku semakin menikmati apa yang sedang kulakukan ini.
…..
Waktu sudah menunjukan pukul 21.30 WIB, dengan selesainya sesi makan bersama dan juga selesai mengobrol panjang lebar, sepertinya acara reuni ini juga akan berakhir. Namun sebelum pulang, Beni mengambil kamera foto yang dibawanya, semua yang hadir dan mau difoto langsung berpose sejadi-jadinya, ketika aku sedikit lebih nakal daripada yang kulakukan tadi yang cuma bersentuhan tangan, lalu dengan sedikit-sedikit perlahan aku mencoba berpose memeluk Putri, dia hanya tertawa kecil dan membiarkan apa yang kulakukan padanya.
…..
Ketika semuanya sudah selesai dan teman-temanku hendak pulang, aku mencoba memanggil Putri dengan perlahan dan mengatakan “Put, di tempat kerjamu ada lowongan ga? aku capek nih kerja ngemas barang, gajinya kecil lagi” lalu dia menjawab “Ada sih, tapi apa bener kamu mau pindah kerja?” mendengar jawabanya itu aku langsung bersemangat dan kembali berkata “Iya mau pindah kerja memang, minta No.hp kamu dong biar kita enak ngobrolnya”. Setelah berbincang lumayan lama denganya, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor ponselnya, padahal niat utama ku meminta nomor ponselnya bukan karena ingin bertanya mengenai lowongan pekerjaan, tapi karena ingin lebih dekat dengan Putri, dan aku berharap bisa mendapatkan lebih dari apa yang telah kulakukan barusan.
BAB II
Ketika itu di bulan September aku sedang tidak ada kegiatan diluar rumah, maklumlah saat-saat dibulan seperti ini hujan memang sering turun tanpa terduga, itulah yang membuatku lebih memilih menonton televisi di rumah daripada keluar jalan-jalan bersama teman. Ditengah-tengah asiknya acara sepak bola yang sedang kunikmati tiba-tiba aku mendapat pesan BBM dari Putri, di dalam pesanya dia memberiku ucapan selamat malam dan sedikit bertanya apakah aku sudah makan malam atau belum, jujur perasaanku ke Putri sekarang sudah agak berkurang, kini aku hanya menganggap dia sebatas teman biasa saja, bukan tanpa alasan, setelah sebulan ini aku panjang lebar mengobrol denganya, ternyata yang mengubahnya menjadi cantik seperti ini adalah Beni. Ternyata Putri menaruh hati pada Beni, Putri beralasan Beni lah yang mendukung dan bersamanya dari dulu dia berwajah jelek hingga dia cantik seperti saat ini. Aku yang dulu cuma curi-curi kesempatan ingin menyentuh tanganya dan ingin mendapatkan lebih dari itu, entah mengapa keinginan yang dari awal telah ku rencanakan itu tiba-tiba sirna. Perhatian yang diberi Putri sebatas agar aku tetap sehat dan semangat dalam bekerja, mengingat memang pekerjaanku seorang pengemas paket di salah satu perusahaan jasa kirim barang.
…..
Beberapa hari lalu Putri memberikan penawaran, dan tentu penawaranya itu aku terima, dalam penawarnya itu dia mau menjadi pacarku asal aku mau dijadikan pacar keduanya, dengan gamblang dia mengatakan pula pacar pertamanya adalah Beni, Putri lalu melanjutkan perkataanya bahwa dia dan Beni sama-sama saling mencintai. Sekarang ini aku sudah tidak perduli lagi soal perasaan yang sedang kurasakan, kini yang kupentingkan ialah sentuhan dan belaian yang semua itu bisa kudapatkan dengan cara bercinta dengannya.
…..
Coba kulihat kalender ternyata hari itu sabtu tanggal 13 September 2014 tepat ketika aku dan Putri janjian untuk bertemu di salah satu Mall untuk menonton film yang jadwalnya dia lihat di salah satu situs pencarian ternama, ini adalah kali pertama aku dan dia menonton film bersama. Aku tak tau apakah ini bisa disebut kencan atau jalan biasa atau bahkan ini bisa disebut jalan biasa sambil kecan, membuat bingung memang, dia menganggapku pacar keduanya sedang aku menganggapnya hanya sebatas partner pemuas nafsu. Saat film telah selesai diputar, tak ada hal menarik baru saja didalam yang kulakukan bersama Putri, hanya sebatas bergandengan tangan dan sedikit kesempatan memegang payudaranya saat lampu sedang mati dan suasana gelap ketika menonton film.
…..
Saat itu di hari minggu waktu menunjukan pukul 17.00 WIB dan aku sedang berada diperjalanan untuk menuju ke rumh Putri. Satu jam sebelumnya aku memang mendapatkan SMS dari Putri, dia mengatakan laptop-nya tidak bisa masuk menu, mungkin karena virus dan sepertinya harus install ulang, kebetulan untuk masalah seperti ini aku bisa melakukan perbaikan. Setelah sekitar 15 menit akhirnya aku tiba juga di rumah Putri dengan membawa beberapa CD software yang kuletakan tepat dibawah jok motor maticku. Took Took Took! coba kuketuk pintu rumah Putri, ternyata dia sudah mempersiapkan semuanya di ruang tamu, laptop yang ingin diperbaiki, cemilan kecil di toples, dan tak ketinggalan pula air sirup merah yang ada di ceret kaca bening. Dengan senang menerima sambutanya lantas langsung aku masuk dan cepat duduk lalu mencoba memeriksa apa yang menjadi masalah sehingga laptopnya terus-terusan melakukan restart. Setelah sekian lama akhirnya laptopnya bisa kembali menyala, dan kini aku denganya sudah sama-sama senang akhirnya laptopnya yang berisi tugas-tugas kampus yang telah dikerjakan Putri bisa menyala tanpa harus melakukan install ulang.
…..
Suasana hening dan sempat tidak ada obrolan dalam beberapa menit, dengan inisiatif sendiri aku mulai merubah posisi duduk untuk lebih mendekati Putri, segera ku pegang tanganya dan dengan lembut mulai ku cium bibirnya namun ketika itu dia malah sedikit menggigit bibirku, coba tanganku yang tadinya hanya memegang tangannya kini mulai masuk kedalam kaos berwarna putih yang tengah dikenakannya, dia juga sempat agak menolak, mungkin karena takut terlihat dari luar karena pintu memang sedang terbuka, tiba-tiba permainan terhenti karena aku melihat dari jendela ada di luar yang berjalan dan semakin dekat ternyata dia cuma seorang petugas PLN yang ingin mengecek keadaan meteran listrik. Aku merasa suasana mulai tidak kondusif dan sebaiknya aku harus segera pulang, aku lalu berkata “Put, kayaknya udah sore deh, aku permisi pulang dulu ya” dengan senyum Putri juga menjawab “Eh makasih loh, laptopnya udah dibenerin, tapi awas kamu jangan nakal lagi kayak barusan ya”. Padahal aku merasa belum puas dari apa yang telah ku dapatkan dan aku memiliki hasrat yang lebih lagi dari apa yang ku lakukan baru saja pada Putri. Aku pun tidak tau pasti kapan hasrat itu bisa terpenuhi yang jelas aku akan setia menunggu kapan momen-momen manis itu akan datang lagi.
BAB III
Hari-hari berlalu silih berganti, tanpa terasa. Sekarang aku sudah pindah dari pekerjaan lamaku yang dulu pengemas paket kini menjadi seorang customer service di salah satu perusahaan jasa telekomunikasi terbesar di Indonesia. Pekerjaan yang baru dua bulan kujalani ini tak lepas pula ada campur tangan Putri di dalamnya, karena selain mahasiswi yang cukup pintar di kampusnya dia juga terkenal profesional dalam pekerjaanya sebagai customer service, sehingga aku berhasil bisa masuk bekerja satu perusahaan dengannya. Tetapi akhir-akhir ini aku dan Putri juga sudah sangat jarang sekali bertemu mengingat jadwal jam bekerja yang berbeda, penerapan aturan perusahaan yang menerapkan mereka yang wanita mendapatkan sift siang sedangkan pria mendapatkan sift malan, Ditambah lagi dia masuk kuliah pada malam hari membuat aku dan Putri sangat sulit sekali bertemu di kantor. Untuk hari minggu, seperti biasa dia jalan bersama pacar tercintanya siapa lagi kalau bukan Beni.
…..
Pekerjaan sebagai customer service telah membuatku lebih banyak mengenal teman wanita. Salah satu diantara mereka yang telah aku kenal adalah dia seorang wanita yang bernama Shinta, umurnya genap dua puluh tahun itu artinya aku dan dia hanya terpaut umur sekitar lima tahun saja. Tak terasa sudah sekitar sebulan aku telah mengenal Shinta, walau wajahnya tidak terlalu cantik, namun dia telah berhasil mencuri hatiku. Menurutku Shinta adalah sosok yang mudah bergaul dengan teman-teman di kantor sesama customer service, sifatnya yang humoris, tegar dan mandiri semakin membuatku ingin selalu makin dekat dengan dirinya.
…..
Hubunganku dengan Shinta boleh dibilang semakin lama semakin mesra, tanpa ada status hubungan yang jelas, sudah beberapa kali aku telah berkunjung kerumah Shinta dan aku baru mengetahui bahwa dia memiliki adik perempuan bernama Riri, aku tidak mengetahui persis berapa umurnya tapi yang jelas, pernah suatu siang saat ketika aku berkunjung ke rumahnya dan aku sedang duduk bersama Shinta di ruang tamu, aku melihat Riri masuk dengan seragam SMPnya. “Adikmu sekolah kelas berapa?” tanyaku sambil memegang gelas yang berisi teh hangat, “Dia masih kelas 7” jawab Shinta dengan singkat sembari melirik adiknya yang baru saja berlalu. Tak lama setelah itu mungkin ada sekitar 20 menit, Riri sudah berganti baju serta membawa tas yang sepertinya lumayan berat, “kak aku permisi mau ngerjai tugas kelompok di rumah temenku, aku juga udah makan siang kok” setelah itu dia bergegas cepat berjalan keluar rumah. Sejenak aku kembali ingat beberapa bulan lalu kejadian seperti ini sudah pernah aku alami bersama Putri, ketika itu orang tua Putri tengah pergi menjenguk pamannya yang berada di rumah sakit. Kini kejadian itu kembali terulang, namun bedanya orang tua Shinta saat ini sedang bekerja, ayah dan ibunya berprofesi sebagai guru di sekolah yang sama. Tak ingin kehilangan kesempatan lantas aku langsung perlahan mendekati Shinta, mulai dengan lembut membelai rambutnya, lalu aku cium pipinya, kemudian aku cepat-cepat membuka kaos biru yang sedang dikenakannya. Kemudian aku berusaha membuka bra hitam yang masih membungkus payudara nya, dengan perasaan berdebar-debar kini bibirku sudah mengemut kedua payudara nya secara bergantian, “ah, ah, ah” dia mendesah terpejam sambil menggenggam erat bra nya yang baru saja terlepas. Dengan sigap aku lalu membuka celana jeans yang sedang aku gunakan dan mengarahkan kepala Shinta mendekat ke penisku yang telah tegang sedari tadi, ketika bibirnya mulai menyentuh penisku, “aaaaah” aku mulai terpejam untuk merasakan nikmat di oral seks untuk pertama kali. Tanpa sadar rasanya penisku sudah geli saja seperti ada yang mau menyembur keluar, “padahal ketika onani bisa 10 menit baru keluar” kataku geram dalam hati.
…..
Lima bulan sudah berlalu begitu cepat. Ada sedikit perasaan sedih yang sedang aku rasakan, pasalnya dua hari lalu turut hadir di pesta resepsi pernikahan Beni dan Putri. Awalnya aku tak ingin hadir, malu sekali rasanya tapi entah mengapa badanku seakan bergerak pergi secara otomotis. Sebenarnya aku tak terlalu ambil pusing dengan pernikahan Beni dan Putri, karena komunikasi-ku dengan Putri masih terjaga dengan baik, disamping pula hubungan asmara yang terjalin antara aku dan Shinta juga semakin lama semakin dekat dan aku juga semakin sayang dengannya.
…..
Jalan menuju rumah sakit sudah sepi ketika aku lalui, saat itu arloji di tangan kiriku telah menunjukan pukul 21.15 WIB. Sudah beberapa kali dalam seminggu aku menjenguk Shinta yang sedang sakit. Sesampainya di rumah sakit, lantas aku mengetuk pintu ruangan tempat Shinta dirawat,”Ya tunggu sebentar” sahut ibunya terdengar dari dalam. Ketika aku masuk ke dalam ruangan itu, aku langsung duduk disamping Shinta dan melihat dia yang sedang berbaring tidur,”sayang, kamu cepat sembuh yah, udah hampir sebulan loh kamu ga ada di kantor, aku sedih banget loh kalo kamu kayak gini terus” sambil perlahan kupegang kepalanya. Setelah sekian lama aku mengenal Shinta, dia tidak memberitahukan bahwa dia sedang sakit, bahkan dia telah lama mengidap penyakit kelainan darah. Semua kabar pahit tersebut kudengar langsung dari ibunya Shinta, tentu aku sangat sedih mendengarnya.
BAB IV
Hari senin sore, aku sedang membaca pesan singkat SMS di ruang depan rumah, ibuku datang dari ruang tengah rumah lalu menghampiriku. “Riko, kamu sedang membaca apa? Asyik benar sepertinya” sapa ibuku seperti penasaran.
“SMS dari Riri bu, baru saja dia mengirimkannya.”
“Apa isinya Ko?”
“Begini bu” aku memberikan ponselku lalu berkata, “Tak disangka, coba ibu baca, ternyata keadaan Shinta saat ini sudah mulai membaik dan besok dia sudah boleh pulang dari rumah sakit.”
“Sepertinya kamu senang sekali mendegar kabar ini?”
“Ibu ini bisa saja, jelaslah aku senang sekali mendegar kabar ini, Shinta itu khan pacarku.”
Panjang lebar aku bercerita dengan ibu, dan aku juga berbincang soal ide untuk mengajak Shinta berlibur di danau tempat aku dulu pernah berlibur ketika masa sekolah dasar.
“Apa kamu yakin ingin mengajaknya ke sana? ibu merasa khawatir kesehatan Shinta belum stabil untuk melakukan perjalanan jauh.”
“Belakangan ini kesehatannya juga menunjukan kesembuhan yang signifikan kok bu.”
“Kalau memang itu keputusan yang kamu inginkan, ya baiklah terserah kamu saja.”
…..
Dua hari kemudian aku dan Shinta berangkat menuju tempat yang telah direncanakan. Edo yang mengemudi mobil sekaligus dia adalah pemilik mobil yang aku sewa.
Sekarang, keinginan untuk bisa berlibur di danau bersama Shinta telah terwujud. Alangkah gembira diriku. Selain itu sudah lama sekali pula aku tidak datang ke danau itu.
“Kanda, kira-kira, berapa lama perjalanan kita?”
“Secepatnya Dinda, mungkin sekitar sepuluh jam lebih”.
Jalan turun dan berbelok-belok sudah terlewati. Di beberapa tanjakan, mobil bergerak dengan lambat.
“Kanda, ga terasa ya perjalanan kita udah empat jam” kata Shinta sembari meletakan botol berisi air yang baru saja dia minum.
Setelah beristirahat beberapa saat, mobil bergerak untuk kembali melanjutkan perjalanan.
“Do, kamu udah lama buka usaha jasa mobil sewa seperti ini?”
“Baru sih Ko, mungkin sekitar sebulan aja.”
“Ayahmu dan ayahku bersahabat sejak kecil ya Do, apakah kita juga sama akan bisa bersahabat baik seperti mereka?”
“Riko, Riko. Kalau soal itu tentu sajalah.”
…..
Sudah hampir tujuh jam aku, Edo dan Shinta duduk sembari mengobrol dengan santai. “Perut sudah kembali keroncongan, mari kita makan!” kataku sembari menawarkan beberapa bungkus roti kepada Shinta dan Edo.
“Wah asik, aku kebagian juga akhirnya.” canda Edo.
…..
Matahari telah condong ke barat ketika aku, Shinta dan Edo sampai di tempat tujuan, vila juga telah dipilih. Penjaga menerima kedatangan aku, Shinta, dan Edo dengan bahagia.
Semua barang-barang yang ada di mobil telah diturunkan. Saat ingin istirahat aku, Shinta dan Edo memilih untuk tidur di kamar yang berbeda.
“Kanda, Sepertinya sudah malam, tidak mungkin kita jalan-jalan berkeliling danau, Sekarang kita tidur ya.” kata Shinta.
“Iya Dinda, besok saja kita mulai berkeliling” jawabku.
…..
Udara masih terasa dingin ketika aku dan Shinta meninggalkan vila, sementara Edo memilih untuk tetap tinggal. Jaket dan sweater sangat membantu menghangatkan badan. Aku sedikit menggigil saat melangkah di jalan beraspal pasir dan tanah. Shinta juga semakin bahagia dengan liburan ini.
Air danau yang biasanya membiru, masih tampak abu-abu di pagi hari seperti ini. Aku terkesan melihat uap menutupi sebagian besar permukaan danau, putih bagaikan kabut yang mengandung embun. Secara perlahan, kabut-kabut itu bergerak, seperti asap mengangkasa. Secara perlahan, permukaan danau kelihatan semakin luas.
“Dinda, ayo kita turun!” aku perlahan menapaki tangga kayu sembari memegang tangan Shinta.
“Sepertinya, rumah-rumah di seberang danau sana sudah mendapatkan penerangan listrik.” aku menunjuk ke arah rumah yang tampak jelas dari kejauhan.
“Hmm Kanda, kemajuan pembangunan.” jawab Shinta. Dengan perahu sederhana aku dan Shinta semakin dekat dengan perkampungan kecil di seberang danau yang sudah diterangi listrik.
Aku dan Shinta memperlambat langkah. Di pinggir danau ada beberapa orang lelaki dengan handuk kecil melingkar di leher, di tangan kirinya menggantung ember plastik kecil berisi sabun mandi, odol, dan sikat gigi.
“Dinda, kita berhenti disini.” Shinta membetulkan jaket dan sweater yang dikenakannya. Lalu aku menyetop kayuhan perahu, aku merasa sedikit letih karena sedari tadi tanganku terus bergerak.
Dari kejauhan, para ibu dan anak gadis remaja tampak keluar dari kerimbunan pohon yang menutupi tepi danau. Para ibu ada yang membimbing anak-anak kecil yang sudah siap dimandikan. Ada juga yang membawa pakaian yang telah selesai dicuci. Mereka berjalan beriringan membentuk barisan yang tidak teratur. Bahkan, ada yang menggendong bayi sambil menjinjing ember berisi air di tangan kanan. Mereka semua kelihatan segar karena baru saja selesai mandi dan mencuci.
“Tenang ya rasanya.” kataku sambil melihat wanita yang baru saja melintas.
“Dinda, perjalanan tidak perlu kita teruskan.” “Oke kanda, sudah kita disni saja.”
Pagi sudah berlalu. Di balik bukit, sapuan sinar mentari berwarna jingga menerangi kaki langit. Indah sekali lukisan alam yang asri. Sebentar lagi sang surya akan datang menjelang, menghangatkan semua kehidupam makhluk di planet biru ini. Perubahan suhu sudah mulai menjalar ke pori-poriku. Sebentar lagi, sweater dan sal yang melilit leherku tentu tidak diperlukan lagi.
Baru hari ini aku melihat secara langsung bagaimana sibuknya kaum ibu di pagi hari, memandikan anak, mencuci semua yang kotor, kemudian mengambil air untuk dibawa pulang. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan sekaligus, apalagi bagi mereka yang rumahnya jauh di atas bukit. Mereka terpaksa turun naik beberapa kali untuk membereskan semua yang telah menjadi tanggung jawabnya. Beberapa kali silih berganti turun ke danau. Jika matahari semakin tinggi, pinggir danau semakin sepi. Semua membuatku semakin sadar jika aku harus lebih menghargai para wanita.
Matahari semakin memantulkan cahaya sehingga menaikkan suhu udara. Rasa panas telah merambati sekujur tubuhku. Peluh sudah mulai terasa membasahi dahi dan leher. Keadaan ini berbeda sekali dengan keadaan ketika aku dan Shinta mulai menapaki tempat ini. Tidak sekedar sejuk, tapi dingin membeku. Shinta dan aku memutuskan untuk kembali ke vila.
BAB V
Senja menyapa setiap hari. Matahari bersinar. Langit berkelok indah dengan barisan awan yang memutih. Di sebuah rumah, terjadi kehebohan bapak-bapak dan ibu-ibu ramai berkerumun. Entah apa sebenarnya yang terjadi aku pun tidak mengetahuinya.
Jalan aspal terus kulalui, hari ini aku akan bersantai sejenak menghilangkan perasaan letih yang sedang ada di dalam diri.
Di sebuah taman kota, saat warna keemasan dari bias matahari senja sedang menghias aneka bunga dan tanaman. Aku sedang duduk di bangku taman setelah tanpa sadar aku lama tertidur.
“Hei Riko!”
Edo menghampiri dan menyapaku.
“Kok kamu kesini Do?”
“Sudah hampir malam Ko, sebaiknya kamu pulang.”
“Kamu tau darimana aku ada disini?” tanyaku sembari membetulkan posisi duduk.
“Ya, aku tau dari ibumu.” jawab Edo.
Aku dan Edo pun berdiri. Kemudian berjalan menyusuri taman yang mulai kehilangan warna keemasanya. Senja perlahan meredup dan mulai tergantikan oleh warna kelabu yang menyelimuti kaki-kaki langit.
Di sepanjang jalan aku dan Edo kembali bercerita.
“Sewaktu ketiduran di taman tadi aku mengalami mimpi yang panjang”
“Mimpi apa Ko?” Edo mulai penasaran.
Aku merasa bingung harus menceritakan atau tidak mimpi yang baru saja aku alami.
…..
Keramaian luar biasa terjadi di sebuah kafe, siang itu. Di salah satu meja, aku sedang menunggu Edo.
Terlihat dari kejuhan Edo melangkah perlahan menuju meja tempat aku duduk.
“Ada apa kamu memanggilku kesini?” tanya Edo sembari duduk.
“Tentang Shinta”
“Ceritakanlah” tampak Edo mulai serius.
“Mengenai Shinta, apa kamu tau dia mengidap penyakit berat?”
“Mengapa aku baru tahu sekarang kalau dia sedang sakit.” jawab Edo.
Panjang lebar aku menceritakan semua kepada Edo. Ketika dua hari lalu di bangku taman ketika aku tertidur, dalam mimpi panjangku itu, Teman-teman satu komplek seperti, Shinta sebagai pacarku sedang sakit keras, Putri sebagai selingkuhanku menikah dengan orang lain yaitu Beni yang juga teman satu komplek. Mendengar semua itu Edo jadi diam.
“Kenapa Do, ada yang salah?”
“Tidak, tetapi itu semua cuma mimpi.” Jawab Edo sambil membenarkan posisi duduknya.
…..
Siang itu aku sedang berada dikamar dan sedang menulis. Tiba-tiba ibuku masuk mungkin hendak mengambil sesuatu.
“Riko, kamu sedang menulis apa?” ibuku perlahan melirik ke arah tulisan yang aku buat.
“Cuma coret-coretan kok bu”
“Baiklah, ibu cuma mau mengambil gantungan baju, besok ayahmu akan ada undangan di balai kota dari teman-temanya sesama guru, jadi bajunya harus rapi setelah di setrika.”
Kembali aku melanjutkan tulisan yang aku buat. Pada hari itu ketika aku tertidur di bangku taman kota, kalender menunjukan tanggal 10 November 1985, sedangkan mimpiku menggambarkan suasana dan tahun yang jauh berbeda.
Apabila mimpiku ini dibuat menjadi film, mungkin akan ramai yang akan menonton di bioskop.
Tetapi mimpi tetaplah mimpi biarkan dia menjadi sesuatu yang tidak perlu dianggap serius.