Puput dan nasib budak seks
Part I : Perkenalan POV Puput Sudah hampir seminggu aku bekerja di sebuah dealer motor di sebuah pinggiran kota B. Pada awalnya aku tidak bermaksud sama sekali untuk mencari nafkah di lingkungan ini, terlebih aku adalah lulusan S1 sebuah kampus terkemuka, gengsi ku terlampau tinggi dan aku seharusnya pemilih dalam hal pekerjaan. Namun nyatanya, setelah papah terlebih dahulu meninggalkan kami, aku harus jadi tulang punggung keluarga, menghidupi mamah yang sudah berumur 40 tahun dan tak punya pekerjaan, serta adikku, Rendi, yang masih SMP. Aku baru saja lulus dua minggu, ketika insiden yang merenggut nyawa papa terjadi. Mau tidak mau aku harus segera mencari pekerjaan, apapun itu, agar kami bisa makan sehari-hari. Beban itu makin terasa berat setiap kali kuingat papah, tak jarang aku merenung dan menangis. Hingga secara kebetulan Om Dadan, teman papah semasa beliau hidup, menawariku lowongan di dealer tempatnya bekerja. Aku masih ingat ketika bertanya caranya agar bisa diterima, Om Dadan, bilang begini padaku, “ Sudahlah put, kamu tidak perlu khawatir akan diterima atau tidak, yang penting ketika wawancara nanti, kamu pakai rok mini lalu dandan secantik mungkin. Pasti diterima…” Sejujurnya, aku risih mendengar kalimat itu dari teman papah ku sendiri. Hampir saja ku urungkan niatku melamar ke sana. Hingga akhirnya aku konsultasi dengan mamah. “Sebetulnya mamah nggak mau Puput sampai mengumbar aurat demi pekerjaan.” “Iya mah, Puput juga nggak mau…” “Puput tau kenapa kami selalu melarang Puput memakai pakaian pendek? Bahkan rok SMA pun, selalu beli yang panjang, ingat kan?” “Ingat mah… Cuma rasanya berlebihan sih, waktu itu. Soalnya kan cuma rok SMA biasa mah…” “Nah itulah Put. Jaman sekarang ini kejam lho, mamah nggak mau sampai Puput kenapa-kenapa. Apalagi Put kan cantik, pasti banyak yang berpikiran macam-macam, terutama cowok.” Ya, aku mengerti arah pembicaraan mamah. Sebetulnya, aku pun trauma memakai pakaian seksi. Sebab dulu ketika kuliah aku sempat hampir diperkosa oleh pacar teman ku sendiri. Dan sampai sekarang rahasia itu hanya bisa kupendam dalam hati. “Hehe, kan cantik nya keturunan dari mamah…” “Bisa aja anak mamah… tapi Put, mamah nggak melarang atau membolehkan. Mamah sekarang kembalikan semuanya ke Puput. Kamu sudah besar kan put, sudah bisa menilai sendiri seperti apa baik buruknya. Tinggal bagaimana Puput bisa menjaga diri.” ujar mamah lagi. “Iya mah…” jawabku sambil memeluk tubuh mamah. Setelah kupertimbangkan dengan matang, aku memutuskan untuk mengikuti saja saran Om Dadan. Kondisi kami sedang urgent saat ini. Biarlah, akan kucari pekerjaan yang lebih baik setelahnya. Toh seandainya ada sesuatu yang terjadi padaku, aku tinggal melapor ke Om Dadan. Sehari sebelum wawancara, aku meminjam rok mini milik sepupu ku. Saat kupakai, jadi terlihat lebih menggantung karena aku lebih tinggi. Yasudah lah, pikirku. Toh bisa ku siasati dengan kemeja panjang berenda yang kupunya. Lalu aku mencoba merias diriku seperti saran Om Dadan. Sedikit alis, shadow, bedak, dan pelembab. Tak lupa lipstik merah merona di area bibir. Lalu rambut ku yang pendek sebahu di buat bergelombang. Setelah selesai kupakai kemeja putih berlengan panjang dipadukan dengan rok mini. Lalu ku pakai high heels agar terlihat lebih tinggi. Duh! rasanya malu sekali saat kulihat parasku di cermin. Memang rasanya terlihat lebih cantik. Hanya saja… cantik yang… nakal… dan binal. “Cuma sampai diterima saja, setelahnya aku berpakaian normal…” ucapku dalam hati menguatkan diri. Keesokannya, ku sambangi dealer tempat Om Dadan bekerja. Ketika masuk, aku disambut oleh seorang wanita yang kukira usianya tak terpaut jauh denganku. Memakai seragam khas berwarna biru, persis seperti pakaian umbrella girl yang memayungi para pembalap. “Pagi cantik, Saya Ika, ada yang bisa dibantu?” Tanya nya dengan ramah sembari membawa sebuah brosur. “Err.. iya mbak Ika, saya Puput, ‘saudara’ nya Pak Dadan. Saya disuruh interview kesini menghadap Pak.. err…sanes?” ujarku sambil mencoba mengingat. Dia terkekeh kecil sebelum akhirnya menjawab, “Oh, Pak Sandes. Baik mbak Puput, ditunggu ya sebentar…” Aku duduk di sebuah sofa di ruang tunggu. Sejak kedatanganku, bisa kurasakan banyak pria usil yang kehilangan fokus setelah melihatku. Apalagi setelah posisi ku duduk. Rok mini yang kupakai otomatis tertindih, membuat paha besar ku jadi santapan para pengunjung dan montir. Beberapa kali ku pergoki mereka curi-curi pandang ke tubuhku, rasanya bagaikan seekor domba di tengah kepungan serigala. “Puttt!!!” teriak Om Dadan dari ruangan belakang. Aku menghela nafas lega. Ah, untunglah. Bersama Om Dadan, aku menghadap kepala cabang di lantai dua. “Silahkan duduk.” ujar Pak Sandes, yang tak pernah kusangka, berwajah tampan dan masih muda. Posisiku duduk menghadap meja pak sandes, lalu om dadan ikut duduk di sebelahku. “Pagi pak… Kenalkan, namanya Puput, keponakan saya yang tempo hari saya ceritakan ke bapak…” ucap Om Dadan yang mengaku sebagai pamanku. “Hmm..” Pak Sandes membaca CV yang kubawa lalu mempersilahkan ku untuk memperkenalkan diri. Sembari ku berbicara, beberapa kali ku lihat dari ujung mata, Om Dadan curi kesempatan melihat paha dan dada ku. Aku jadi sulit berkonsentrasi. “Santai saja, Put.” ujar Pak Sandes membaca perangai ku. Setelah mengobrol panjang lebar, Pak Sandes memutuskan untuk menerima ku sebagai sales counter. besok aku sudah bisa bekerja. *** Besoknya, kukenakan kemeja putih berenda yang kemarin ku pakai serta celana bahan panjang berwarna hitam. Sambil memangku tas, ku duduk di depan teras rumah menunggu Om Dadan menjemput. Kami sudah janjian malam sebelumnya. “Tiin!!” Om Dadan tiba tak lama. “Ini, Put. Kemarin Pak Sandes nitipin seragam. Om lupa kasih ke kamu…” ujarnya sembari memberi sebuah plastik berisi satu stel pakaian yang sama seperti Ika pakai. “Aku ganti dulu, om…” ujarku. “Eh, jangan! susah nanti naik motornya. Kamu bawa aja, nanti ganti di dealer. Ada lokernya kok, buat simpan pakaian kamu.” “Oh… iya deh” Kami berangkat. Sekitar 10 menit kami tiba di dealer, suasana sudah ramai oleh para karyawan yang berkumpul di tengah ruangan. Kedatangan kami berdua disambut dengan tatapan bingung. “Pak Dadan ngangkut cewek dimana tuh? Cantik bener.” kudengar mereka berbisik. Dasar usil! Saat aku masuk, Pak Sandes meminta ku untuk berganti pakaian sebelum briefing dimulai. Aku menuju ke ruang belakang, tempat gudang penyimpanan motor. Toilet hanya ada 4 bilik dan itu dicampur pria dan wanita. Aku masuk ke bilik yang paling ujung. Saat kuperhatikan seragam yang diberi Om Dadan tadi pagi, sontak aku terkejut. Sebuah kemeja biru berukuran kecil dengan jahitan menyempit di tengah, serta sebuah rok mini dengan belahan pendek di kedua sisi nya. Aku hanya bisa pasrah, seragam ini tidak akan muat. Benar saja, dada ku terasa sesak saat kemeja itu kukancing. Paha dan bokong ku pun terekspos dengan bebasnya. Sumpah, ini pertama kalinya aku merasa menyesal dilahirkan dengan dada dan bokong besar. Seragam ini bahkan lebih nakal dari pakaian yang kemarin ku kenakan. Aku diliputi kegalauan saat tiba-tiba, “Tok!! Tok!!” seseorang mengetuk pintu toilet. “Put, sudah beluum? kita briefing dulu…” suara wanita, sepertinya mbak Ika.” Iyaa mbak…” jawabku. Mau tak mau aku segera keluar. Mbak Ika sudah berdiri menungguku. Ketika aku dan mbak Ika memasuki tempat briefing, suasana yang sebelumnya hening mendadak gaduh dengan bisikan. “Pagi-pagi udah bikin celana sempit! hehehe…” “Mantap bener tuh body, slurrrp…” Aku risih sekali mendengarnya. Untungnya, Pak Sandes segera mendinginkan suasana dengan salamnya. “Selamat pagi!!!” kami semua membalas, “selamat pagi!” “Siapa yang tidak hadir?” absen Pak Sandes. “Gugun, pak. Masih sakit katanya.” jawab pria berkacamata, yang kelak ku kenal bernama Pak Regi. Beliau adalah Supervisor Marketing. Kemudian perkenalan singkat, aku diperintahkan berdiri di tengah lingkaran dengan perasaan malu. Ku kenalkan diriku sembari kedua tangan sibuk menjaga rok agar tidak terlalu tinggi di atas lutut. Kemudian setelah itu, aku diperkenalkan dengan ‘keluarga’ baruku satu per satu. Bagian marketing terdiri dari 6 orang pria sebagai sales, lalu aku dan Ika sebagai sales counter, serta dua orang admin wanita (bu Ajeng dan satu lagi aku lupa namanya) ditambah Pak Regi sebagai SPV. Total 11 orang. Lalu di bengkel, ada 8 mekanik dan seorang kasir pria, ditambah kepala bengkel, Pak Odin. Total 10 orang. Barulah diatas kami semua, ada Pak Sandes sebagai kepala cabang. Briefing pagi usai, kami kembali ke tempat masing-masing. Aku dan Ika berjaga di depan, bertugas menyambut konsumen. Lalu Admin di lantai dua, di ruangan khusus sebelah ruangan Pak Sandes. Sementara sales yang lain keluar, mencari konsumen. Om Didin, melambaikan tangan padaku, lalu bergegas kembali ke bengkel, yang dipisahkan sekat kaca. *** Silahkan dikomentari suhu
Part II : Aku datang, sayang!
POV Gugun Namaku Gunawan, alias Gugun. Jabatanku di dealer adalah Sales Marketing Senior. Bukan karena aku sudah lama, melainkan karena penjualan ku selalu jauh di atas target. Aku sendiri baru bekerja 3 tahun, masih terbilang baru dibanding Pak Asep dan Pak Ucok yang notabene sudah jadi sales selama 10 tahun lebih. Tapi lihat apa? mereka sendiri jabatan nya hanya Sales Marketing Junior, alias satu grade dibawahku, hehehe.. Bisa dibilang, kebangkitan sekaligus kehancuran dealer ini setelah kedatanganku. Bangkit dalam hal penjualan, hancur dalam moral. Gimana tidak, tiga bulan setelah aku mulai bekerja, setelah lama menganggur, penjualan ku merangsek di atas 40 unit. Tepat di tiga bulan itu juga, aku berhasil membongkar aib kepala cabang lama hingga akhirnya dia di mutasi ke ujung Indonesia. Hahaha Hanya dalam waktu 3 tahun, aku berhasil menjadi penguasa seutuhnya dealer ini. Sudah 8 kali kepala cabang di gonta ganti karena ulahku. Membangkang sedikit, pasti aku usik. Sampai stress Manager Area kubuat. Baru Sandes saja yang mau sepenuhnya menurut, itu pun karena aib nya pasti bikin geger kalau sampai terbongkar. Hahahaha! Maaf ya, aku terus-terusan ketawa. Perasaanku lagi girang banget. Karena setelah sembuh dari sakit demam, hari ini aku bisa kembali bekerja dan mencari uang lebih untuk pesta-pesta Hahahaha! Terlebih lagi, Pak Asep kemarin mengabari ku bahwa di dealer ada sales counter baru. Masih muda, cantik, bahenol, dan seksi. Jauh jika dibandingkan para wanita yang ada sekarang, Bu Ajeng dan Bu Septa, sudah tua dan melar. Paling hanya Ika, yang jadi menyemangat kami bekerja selama ini. Tapi kami, seisi dealer, sudah bosan mencicipi tubuh Ika. Semua lubang nya sudah bolak-balik kami garap. Kami butuh target baru, hehehe… “Haloo brother!” tegur Pak Asep ketika aku tiba di dealer pagi itu. Sama seperti ku, dia baru saja sampai. “Halooo bro!” jawabku. Kami bersalaman a la anak muda meskipun umur kami sudah menginjak kepala tiga. Kunyalakan rokok sambil berdiri mengobrol. “Akhirnya datang juga! Pahlawan kita…” Pak Odin si kepala bengkel berkepala botak, menepuk pundak ku dari belakang tiba-tiba. “Pahlawan memek!” bisiknya lagi. Kami tertawa keras. Dasar bandot-bandot tua mesum. Pasti mereka sudah kode kepingin garap si sales counter baru tapi ngga ada yang berani mulai. Emang dasarnya mereka ini keledai pengecut, mau enak tapi ga mau repot. Tentu saja setiap kali aku yang mulai, mereka harus terima lubang bekas kupakai. “Mana coba, si sales counter baru? siapa namanya?” tanyaku. “Puput. Bentar, dia belum datang.” jawab Pak Odin. “Tapi dengar dulu, Gun. Ini request spesial Pak Dadan. Dia minta jangan ada yang garap sebelum dia yang merawani.” lanjutnya. “Serius pak? Kenapa tumben dia mau action?” “Ini tuh keponakan nya tau! Bapaknya baru meninggal, dia yang ngarahin biar kerja disini.” “Keponakan nya? wow! hebat juga Pak Dadan mau garap keluarga nya sendiri…” ucapku kagum. Ini bakalan semakin menarik. “Nah, panjang umur. Itu dia datang…” Ujar Pak Asep sambil menunjuk ke arah gerbang. Saat kulihat, nampaklah Pak Dadan membonceng seorang gadis muda. Dari bentukan body nya yang masih dibalut kemeja lengan panjang dan celana bahan, aku bisa menilai nya 85/100. Payudara nya yang montok menyembul dari kemeja kutaksir ukuran 34D. Set! Saat helm itu dibuka, aku sontak terkejut. Buset, mukanya cantik banget. Aku yang sudah berpengalaman dalam urusan perlendiran saja, belum pernah ketemu yang langka begini. Yaitu wajah yang campuran innocent, erotis, tapi binal. Susah kan? Pasti bakal seru ini diajak fantasy apapun juga. Hehehe. Ku rating 95/100. Kalau dia udah jago service nya, bisa-bisa kuberi nilai sempurna. Tak lama Pak Dadan dan keponakan nya berjalan ke arah kami. “Nah, ini Put. Namanya Gugun, dia ini Sales senior disini.” ucap Pak Dadan memperkenal kan ku. “Eh, halo manis. Kenalin, aku Gugun. Kamu sales counter yang baru kan ya?” pancingku. Dia tersenyum ramah, “Aku Puput…” sembari menyambut tanganku yang terjuntai. “Kamu kalau ada kesulitan soal jualan, tanya aja nih ke Gugun. Dia pasti bisa bantu.” Baru saja akan kulancarkan jurus mautku, Pak Regi sudah menyuruh kami untuk briefing pagi. Hadeh. “Ayo, briefing dulu!” Teriak Pak Regi. Lantas ketika Pak Dadan berjalan melewatiku, ia mengerdipkan sebelah matanya sambil menepuk pundakku. Hehe, dasar bandot tua. Tak kusangka dia serius mau garap keluarganya sendiri. Puput melewatiku dan Pak Asep. Kami sengaja berjalan di belakangnya sembari memperhatikan bongkahan sekal miliknya. Masih dibalut celana bahan saja sudah bisa membuat si ozil berdiri tegak. Apalagi kalo cuma pake G-String atau Thong. “Mantap heeh, gun, bempernya?” “95 pak…” ucapku sambil mengerlip. “Tinggal disuruh pake lingerie, kemudian di tepuk sampai merah, lalu di lumeri sedikit minyak pelicin.” ujarku berfantasi. Kami terkekeh bersamaan.