Playlist of My Life

Kata Pengantar

Selamat malam (karena saya yakin pembaca pasti buka situs ini malam-malam) suhu-suhu sekalian.
Setelah hampir dua tahun hamba menyimak berbagai cerita dan jalan hidup orang-orang di subforum cerita panas ini, hamba memutuskan untuk turut andil berkontribusi dalam keberjalanan kehidupan subforum ini. Izinkan hamba yang masih bau kencur ini mencoretkan tinta perjalanan seorang remaja beranjak dewasa bernama Pradipta Ardi Nugraha dan lika-liku kehidupannya.
Plot cerita 40% nyata, 40% imajinasi liar TS, 10% toleransi kesalahan acak. Karakter yang disebutkan dalam cerita 70% nyata, 25% tambahan imajinasi, dan 5% toleransi kesalahan, tentu saja dengan nama disamarkan. Adegan panas 45% hasil menonton film bokep terkait yang kemudian dibuat dalam bentuk tulisan, 45% hasil belajar membaca cerita panas lain, dan 10% toleransi kesalahan lagi.
Oleh karena itu, apabila ada kesamaan nama ataupun cerita, harap dimaklumi karena hamba terus belajar membuat tulisan yang lebih baik ke depannya.
Selamat menikmati, kritik dan saran akan selalu dipertimbangkan selama keberjalanan cerita.

“TITITITITTTT!!! TITITITITITTTTT!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”.
Suara yang keluar dari jam beker dua puluh ribu rupiahku menandakan pagi yang menyebalkan telah datang. Ya, senin pagi adalah pagi yang selalu menyebalkan, sejak zamanku masih di SD hingga sekarang aku sudah menginjak tingkat akhir di SMA. Dengan langkah terseret aku segera bebersih dan berseragam. Setelah keluar kamar, sarapan singkat bersama keluarga, aku segera mengambil kontak sepeda motorku. Bakal mepet banget nih sampai ke sekolah sebelum upacara dimulai, pikirku.

“Uang bensin masih ada, Dip?”, kata Bapak saat aku salim pamit sebelum berangkat.

“Kemarin masih ada setengah kok, Pak. Aku berangkat dulu ya Pak, Bu.”, pamitku sekali lagi.

“Tadi malam aku pake ke kampus motormu Dip, indikator bensinnya udah sampai huruf E.”, sahut kakakku santai dari lantai dua.

“KENAPA NGGA DIISI DULU, MAS!! AKU UDAH TELAT INI.”, teriakku jengkel.

Setelah menerima duit bensin dari Bapak aku langsung berangkat ke sekolah. Tancap gas, takut terlambat untuk ikut upacara. Bukan takut sih sebenernya, cuma males aja kalo disuruh berdiri di depan, di barisan orang-orang kurang beruntung. Tepat pukul 06.29 aku sampai di gerbang parkiran, satu menit sebelum gerbang ditutup. Fiuh, untung saja masih sempat masuk. Upacara bendera yang rutin dilakukan tiap senin pagi ini, sebenarnya adalah hal yang sangat menyiksa. Bukan salah upacaranya, namun salah kota ini, yang cuaca pukul tujuh pagi sudah sangat panas menyerang kulit. Ngga salah kalo orang bilang kota asalku ini adalah neraka bocor.

Setelah dijemur selama 45 menit di halaman, aku dan teman-teman langsung menuju kantin untuk sekedar melepas rasa haus. Di kantin tampak terlihat beberapa murid lain yang juga merasa tersiksa tenggorokan dan kerongkongannya.

“Dipta!!”, reflek aku menoleh langsung ke sumber suara.

Dan, berdirilah seseorang di sana. Dia. The One. Mengenakan seragam yang agak kekecilan seperti anak SMA ibukota. Dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan poni model bangs yang terpotong rapi. Cantik, wajahnya. Langsing, badannya. Besar, toketnya. Ups.

“Pagi, Can!”, balasku padanya sambil memberikan senyum pepsodent ku.

Aprillia Kencana Adriani, biasa kupanggil Cana. Cinta monyetku. Lagu pertama dalam playlist hidupku.

Playlist of My Life – BAB 1

Pradipta Ardi Nugraha, sebuah nama di akta kelahiran dan kartu keluarga yang tersimpan di lemari kaca ruang keluargaku. Anak kedua dari dua bersaudara, dan (semoga) anak kandung dari Bapak dan Ibu Nugraha. Punya abang satu bernama Irfan Eka Nugraha. Dulu berbadan gemuk dan bermuka bulat, walaupun sudah tampak bibit-bibit ketampanan dari Bapak Nugraha dan humoris dari Ibu Nugraha. Bibit tersebut tumbuh matang saat masa pubertas. Karena bapak dan ibu sama-sama bekerja, kehidupan keluarga Nugraha berkecukupan, terus bersyukur karena tidak kekurangan. Murid XII IPA 3 yang tidak bodoh namun tidak terlalu pintar juga, di salah satu SMAN yang terkenal di kotaku, alumninya telah malang melintang ada yang menjadi ilusionis, politikus, walikota dua periode, bahkan presiden. Sebagai anak kedua, Pradipta ini dapat dibilang lebih rebel dari kakaknya. Kehidupan sosial? Aku adalah perokok setelah makan dan perokok di tongkrongan. Selain dua kondisi itu, aku tidak merokok, hanya makan permen Milton. Peminum alkohol ketika ditraktir saja, dengan syarat bukan anggur dan arak. Bebas dari narkoba dan tindakan kriminal lainnya, kecuali bikin SIM pake calo dan ngelanggar lalu lintas kalo gaada polisi. Kehidupan seks? Perjaka ting-ting dengan koleksi video mesum format .3gp terbanyak kedua seangkatan. Kehidupan cinta? Jatuh cinta pada pandangan pertama dengan teman sebangku saat kelas delapan SMP, Aprillia Kencana Adriani, yang atas kehendak Tuhan dipertemukan kembali di SMA.
Motto hidup yang kupegang teguh: Nakal boleh, bodoh jangan


“Hihi, iya, aku mau.”, kata Cana sambil tersipu malu.

Walau September 2009 sudah enam bulan berlalu, masih aku ingat dengan sangat jelas kalimat itu. Tiap kata yang diucapkan oleh dia. Bagaimana raut wajah cantiknya saat mengucapkan jawaban pertanyaan yang kutanyakan sebelumnya.

“Cana mau nasi pecel?”. Salah, bukan itu.

“Cana mau ngga, jadi pacarku?”

Ternyata gini rasanya diterima, bro. Merinding-merinding cringe gimana gitu, ngucapin kalimat pertanyaan tersebut. Tapi waktu dia bilang ‘iya’ itu lho, bro. Hepi nya bikin terbang. Terbayar sudah usaha-usahaku mendekati Cana selama, hmm, tiga tahun. Terbayar sudah pengorbanan celenganku yang kugunakan untuk beli pulsa dan paket internet agar tetap bisa berhubungan dengannya. Terbayar sudah, bensin yang kuhabiskan untuk sekedar mengantar Cana pulang dari tempat les yang sama denganku.

Hari ini hari Sabtu, masih pagi. Cuaca cerah (baca: panas banget) di luar rumah. Aku sedang tiduran di kasur setelah tadi lari pagi keliling komplek bersama bapak dan lanjut cuci motor, ketika…

“TUNINGNING!!”, notifikasi BBM ku berbunyi.

“Dip dmn? Temenin aku servis motor plz.”, kata Angga, teman dekatku, via BBM.

“Sori, Ngga, ada janji.”, balasku. Hari ini memang aku ada janji dengan Cana, mau nonton film di bioskop. Bukannya ngga ada rasa setiakawan, tapi emang aku udah janji buat hari ini.

Notif BBM berbunyi lagi dua kali.
“Asu mentang2 uda punya cewe temen lama dilupain gini”, balas Angga lagi. Kuputuskan tidak membalasnya. Kubuka chat kedua yang ternyata dari Cana.

“Pradipku uda mandi blom? Nnt lgsg ke 21 aja ya, aku ke sana sm abangku.”, kata Cana.

“Blom ehehe, oke Can.”, balasku sambil jalan ke jemuran untuk mengambil handuk dan langsung mandi.

Aku sampai di 21 sepuluh menit sebelum film dimulai. Aku mencari tempat untuk duduk, mengeluarkan hape, dan langsung BBM Cana, “Dmn can aku uda di 21.”, kataku.

“Bntr baru masuk mal.”, balasnya cepat.

Cana muncul di pintu 21 lima menit kemudian, bersama abangnya. Cantik seperti biasanya. Menggunakan t-shirt putih dan denim jumpsuit, dipadu dengan sneakers putih dan ransel Jansport Mini. Outfitnya sangat serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat namun agak putih, membuat aku memiliki klasifikasi ras tersendiri untuk Cana. Japut, jawa putih. Rambutnya tetap dengan model andalannya, dibiarkan terurai, namun kali ini ditambah dengan bando putih. Wajahnya terlihat sangat lucu dengan make-up tipis, dengan bulu mata yang lentik, hidung yang tidak pesek tidak juga mancung, dan bibir mungilnya itu lho, terbalut lip gloss yang membuat bibirnya semakin menggairahkan. Duh, ingin kucium aja itu bibir, penasaran lipgloss nya rasa apa. Aku berdiri dan menghampiri mereka.

“Mau nonton juga, Mas?”, sapaku sambil bersalaman dengan Mas Hanif, abangnya Cana, yang aku kenal karena dulu sempat satu ekskul basket dan dia adalah kapten basket saat aku kelas sepuluh, berbeda dua angkatan denganku dan Cana.

“Enggak Dip, mau isi bensin. Yaiyalah mau nonton, basa-basi banget kamu.”, candanya. “Tapi filmku agak sorean dikit, ntar titip Cana ya sampe aku selesai. Kalo dia ngerepotin ntar titipin di meja informasi aja.”, lanjutnya.

“Udah sana pergi!”, sahut Cana sambil memukul lengan kakaknya.

Aku dan Cana langsung menuju studio bioskop dan duduk di tempat kami. Film yang kami tonton adalah Dear John, sesuai request dari Cana. Sebenarnya aku tidak seberapa suka ngedate di bioskop, karena tidak intim dan kita tidak dapat melihat wajah pasangan kita secara jelas. Aku pun sudah bilang tentang preferensiku ini ke Cana.

“Sekali ini deh. Kamu kan suka Amanda Seyfried, aku suka Channing Tatum, udah pas kan. Simbiosis mutualisme. Win-win solution.”, katanya sambil tersenyum. Siapa bisa menolak senyum Cana, primadona angkatanku, yang kecantikannya terkenal sekomplek sekolahku.

“Wew ga bilang ada Amanda Seyfried. Oke deal!!”, kataku.

Film sudah hampir menuju akhir ketika John harus kembali ke markas tentara dan meninggalkan Savannah sendiri. Kulirik Cana di sebelahku, wajahnya terlihat sedih dan matanya berkaca-kaca. Melankolis banget ni anak, batinku. Tidak merasa tersentuh sama sekali dan merasa bosan, mana popcorn udah abis, aku berniat menggoda Cana.

“Gimana kalo aku jadi tentara gitu terus kamu aku tinggal-tinggal dinas di Iraq. Bakal nulis surat terus gitu ga kamu Can? Dear Dipta…”, bisikku di telinganya.

“Aku susul ke Iraq.”, jawabnya pendek. Wew, aku ga nyangka jawabannya bakal seperti itu.

Tapi ada dua hal yang tidak kusangka berikutnya. Hal pertama, setelah jawabannya tadi, tangannya diletakkan di atas tanganku. Baru pertama ini aku pegang tangan Cana. Langsung kugenggam dan kurasakan halus tangannya. Telapaknya sangat mulus, mungkin sering diberi hand lotion. Walaupun aku juga memiliki hand lotion, namun tanganku tidak mulus-mulus amat. Ya iyalah, beli hand lotion bukan buat ‘hand’, tapi buat ngocok si Junior. Hal kedua yang tidak kusangka, Cana nangis. Aku menahan ketawa melihat Cana akhirnya nangis setelah dari tadi matanya berkaca-kaca. Melankolis banget!

“Jangan kena ingus.”, kataku sambil memberikan sapu tanganku.

“Biarin.”, katanya sesenggukan.

Kemudian kepalanya disandarkan ke bahuku. Wew. Aku mencium aroma rambutnya. Wangi, kayaknya pake Sunsilk. Tercium pula bau parfumnya. Wangi juga, tapi aku tidak tahu merk parfumnya. Aku sudah tidak fokus dengan filmnya, selama sepuluh menit penuh aku hanya memandang wajahnya. Saraf penciumanku sudah dipenuhi aroma rambut dan parfum Cana. Setelah mengumpulkan keberanian, aku mencoba mengecup mesra keningnya. Dia tidak bicara apapun dan tidak ada reaksi penolakan, sepertinya masih menghayati film. Setelah kulepas ciumanku di keningnya, dia menoleh ke arahku. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, mungkin hanya terpisah lima sentimeter.

“Jangan jadi tentara ya, Dip…”, katanya pelan.

“Emang kenapa?”, jawabku pelan juga.

“Jangan tinggalin aku.”, jawabnya. Wajahnya semakin dekat denganku. Terlalu dekat ini mah, insting pejantanku mengatakan ini kode minta dicium.

Sambil mengumpulkan keberanian (lagi), aku menggenggam tangannya dengan erat, aku jawab lagi “Nggak akan.”.

Dan aku menempelkan bibirku ke bibirnya. Terjadilah ciuman itu. Dia memejamkan matanya, begitu juga aku. Aku merasakan hangat dan lembut bibir mungilnya, terjawab sudah penasaranku akan rasa lip-gloss nya, ternyata stroberi. Tak ingin hanya sekedar menempelkan bibir, aku mulai menggerakkan lidahku, bergerilya dalam mulutnya. Menjelajahi tiap sudut rongga mulutnya. Cana berusaha mengimbangi seranganku, lidahnya yang juga mungil menari-nari di mulutku, saling bertukar ludah. Ingin rasanya momen ini bertahan untuk waktu yang sangat lama, my first kiss dan mungkin her first kiss too. Ciuman mesra itu berakhir bersamaan dengan lampu bioskop yang menyala dan layar menampilkan kredit film. Kami masih saling berpegangan tangan dan saling menatap. Mungkin ini yang disebut awkward moment, setelah pertama kali mencium pasangan kita.

“Rasa stroberi ya.”, kataku berusaha menghilangkan rasa canggung.

“Rasa rokok. Berhenti dong.”, jawabnya yang kuartikan dia juga sudah tidak canggung.

“Hehe. Laper?”, tanyaku.

“Iyalah, popcorn nya kamu abisin aku cuma makan dikit. Yuk makan ah.”, katanya langsung berdiri dan melemparkan sapu tangan ke arahku.


“Kamu mau lanjut kemana?”, tanya Cana kepadaku, di tempat kami makan setelah nonton.

“Hmm, bebas sih. Emang Mas Hanif selesai jam berapa? Aku nganggur kok. Ke Timezone mau?”, jawabku sambil menyeruput jus stroberiku. Duh salah siapa ini aku jadi pingin stroberi terus.

“Bukan ituuu Diptaaaa. Maksudku setelah lulus. Kita kan udah kelas 12, kamu mau lanjut kuliah di mana?”. katanya sambil menepuk jidatnya.

“Ooooh itu toh. Belom tau tuh. Masih nunggu kabar psikotes buat tau minatku ke mana hahaha.”, jawabku garing. “Aku tebak kamu pasti ambil kedokteran?”, lanjutku.

“Doain aja yang terbaik hehe. Aku boleh request satu hal ga Dip?”, tanyanya.

“Apaan? Jangan tinggalin kamu? Jangan kuliah jauh-jauh?”, godaku.

“Jangan jadi tentara.”, jawabnya singkat. Ini anak udah tervonis kena efek film barusan kayaknya.

“Mantap.”, jawabku singkat juga sambil mengacungkan dua jempolku ke arahnya.

Kencanku sudah berakhir tiga jam yang lalu, dan sekarang jam beker dua puluh ribuanku menunjukkan pukul sembilan malam. Aku sedang tiduran di kasurku, mendengarkan mixtape dari MP3 player ku. Mengingat-ingat lagi momen indah yang terjadi hari ini. Aku, Pradipta Ardi, berhasil mencium Aprillia Kencana, primadona angkatan, di bibirnya. Mengingat momen terindah tersebut aku senyum-senyum sendiri. Jika mencium Cana adalah sebuah dosa, aku rela masuk neraka. Hari ini dapet cium, besok-besok dapet apa ya….

“Senyum-senyum sendiri kaya orang bego.”, sahut Mas Irfan, kakakku, yang membuyarkan imajinasiku yang mulai liar terhadap Cana. Buset ini orang, sejak kapan masuk kamarku. Dia kuliah apaan sih bisa belajar nembus tembok?

“Halo? Ada yang lihat etika ngetok pintu kamar orang?”, kataku cuek.

“Aku udah ngetok lima kali. Kamunya aja yang ngelamun. Jadi mau berangkat ga?”, kata Mas Irfan sambil mematikan MP3 playerku. Mas Irfan memang tadi pagi mengajakku paket malam di warnet komplek sebelah, dia yang traktir abis dapet proyekan dari dosennya.

“Bapak Ibu aman?”, tanyaku.

“Dah bobok, aman.”, jawabnya singkat.

“86, komandan. Tunggu di bawah aku pake jaket dulu.”, kataku. Aku segera mengambil jaket dan hape. Aku buka hape dan ada chat dari dua orang.

“TFT (re: thanks for today) dip. Jangan lupa blajar buat try-out senin bsk. Met malem”, dari Cana.

“Malem met tidur sweet dream honey bunny sweetie.”, langsung kujawab cepat. Eh, langsung diread sama doi. Aku tunda membaca unread chat selanjutnya, menunggu jawaban Cana.

“Najis ngga usah pake honey bunny sweetie.”, jawabnya. Beginilah pacaran ala Dipta dan Cana, tanpa babibu dan bahasa alay. Kuputuskan untuk membiarkannya tidur dan tidak menjawab chatnya.

Chat kedua, dari Angga, “Dip ada agenda pntg dr Guntur buat kita brtiga Sabtu dpn, kosongin bener nih ye. Briefing hr Senin di tongkrongan abis try-out. Jangan kecewakan kami.” Wah ada apaan ni, kayaknya Angga bete banget tadi ngga aku temenin servis motor. Tapi emang blom ada acara buat Sabtu depan sih, jadi kuiyakan aja.

“86 bos.”, jawabku singkat.

“Gila!”, kataku kaget, hampir tersedak kopi panas.

“Asu! Uhuk uhuk, panas!”, kata Angga, yang sudah tersedak kopi panas.

Siang menuju sore ini, aku, Guntur, dan Angga sedang ngopi dan ngerokok santai di tongkrongan kami. Setelah beberapa jam sebelumnya suntuk di ruang kelas, mengerjakan soal latihan ujian nasional yang cukup memeras kinerja otak pas-pasan kami bertiga. Di tongkrongan yang berjarak 100 meter dari sekolah ini, kami bertiga sengaja memisahkan diri dari kawan-kawan sepertongkrongan kami lainnya untuk membahas ‘rencana hebat’ Guntur.

“Mau sampai kapan begini terus bro pake video Ariel ama Luna Maya.”, kata Guntur sambil menghisap rokok andalan warga lokal, GG Surya. “Udah gatel ini burung minta sarang yang asli, ngga bisa pake tangan sendiri lagi.”, lanjutnya.

Mau tahu rencana yang kata Guntur ‘hebat’ itu apa? Melepas keperjakaan kami bertiga!
Caranya? Panti pijet!

“Jadi kata abangku, kalo mau belajar mengenali diri wanita tuh di panti pijet. Ni panti pijet uda terkenal banget, terus terapis nya ada yang mau diajak kerja sama gitu buat burung-burung perawan macem kita gini. Ntar dikasih treatment khusus…”, jelasnya.

“Dasar bego.”, kata Angga singkat.

“******. Anak sangean.”, jawabku juga, tak acuh.

Buat kalian yang penasaran, sahabatku Gemuruh Guntur Gelegar (konon doi lahir waktu lagi ada petir) ini emang sangean anaknya. Pernah kuceritakan koleksi video .3gp ku yang terbanyak kedua seangkatan? Yup, Guntur adalah yang pertama. Bahkan sebelum Ariel – Luna Maya menjadi viral di tahun ini, doi sudah dapet itu video duluan. Ngga tau dari mana sumbernya.

Sebenarnya sampai saat ini aku masih polos dalam hal mengenai seks. Aku masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip seks setelah menikah, seks pada satu perempuan, dan anti seks bebas. Aku melamun di tempat ketika membayangkan Cana, yang mungkin bisa memenuhi kriteria itu. Menikah dengannya, setelah itu dengan puas menggauli toket dan memeknya yang sudah halal tiap malam di ranjang kamar tidur masa depan kami. Ngga harus di ranjang sih, di sofa juga bisa. Atau di kamar mandi, sambil mandi disiram air hangat. Atau, bisa juga di dapur. Di balkon. Di….

“Duh kalian ini jangan mikir jangka pendek.”, kata Guntur membuyarkan lamunanku. “Pikir jangka panjangnya. Bayangin, Ngga, kalo ntar tiba-tiba si Yasmin udah ngasih kode minta seks. Terus kamunya gaada persiapan, dia baru buka baju, burung kamu udah ngecrot.”, kata Guntur ke Angga. Fyi, Yasmin adalah pacar Angga sejak kelas sepuluh. “Kamu juga Dip, kalo si Cana nya udah siap tapi kamunya belom, kan kasian dia.”, lanjutnya dengan menoleh ke arahku.

Aku bengong, berusaha mencerna kalimat penjelasan dari Guntur barusan, dan mengaitkannya dengan hubunganku dan Cana sejauh ini. Baru dua hari lalu, aku pegangan tangan dan berciuman dengan Cana. Dan sudah bisa ditebak, burungku berdiri tegak saat melakukan hal tersebut dalam kegelapan bioskop. Bukan tidak mungkin, seks akan tiba dalam waktu dekat. Kemungkinan selalu ada. Aku harus sudah siap saat itu terjadi. Merasa ada yang memperhatikan pandangan kosongku, aku menoleh ke arah Angga yang ternyata dia juga melihat ke arahku. Aku mengangguk, dan dia memalingkan wajah ke arah Guntur yang sedang menyeruput kopinya.

“Tapi… Ga takut apa ntar?”, tanya Angga.

“Takut apaan? Kayaknya kalo ngeliat gaya hidupmu, kamu gabisa ngomong takut dosa, Ngga.”, kata Guntur santai. Uhuk, gantian aku yang tersedak kopi panas karena tertawa sambil meminumnya.

“Yee bukan, ******. Kalo di tempat begituan, ga takut penyakitnya gitu?”, tanya Angga lagi. Aku manggut-manggut, pertanyaan itu juga sebenernya udah berputar di dalam otakku.

“Ada inovasi revolusioner yang ditemukan di Mesir Kuno 3000 tahun silam, Rizky Malangga. Namanya kondom. Alat kontrasepsi.”, jawab Guntur pada Angga. “Coba 3000 tahun lalu udah ada hadiah nobel.”, lanjutnya.

“Berapa duit tuh, Tur? ‘Jajan’ begituan? Apalagi kata kamu ada treatment khusus.”, tanyaku. Sepertinya ide ini ngga sepenuhnya buruk, jujur aku mulai tertarik dengan pola pikir Guntur tentang kita harus membuat persiapan saat seks akan terjadi. Tapi permasalahan untuk anak-anak SMA model kita begini ya apalagi kalo bukan uang.

“Kalem. Ga banyak-banyak amat kok. Aku baru pecah celengan babi, bisa ngasih subsidi ke kalian berdua. Tapi balikin sebelum lulus.”, jawabnya. “Sabtu besok, deal nih kita? Or no deal?”, tanyanya menirukan Tantowi Yahya.

“Deal.”, jawabku singkat dan mantap.

“Sebelum deal aku masih ada satu pertanyaan buat kamu Tur.”, kata Angga. “Kalo aku ama Dipta kan jelas tujuannya buat persiapan kalo mau ngewe ama cewe kita. Kamu kan ga punya cewe.”, lanjutnya.

“Yaaa awalnya aku mau berangkat sendiri. Tapi kagok kalo sendiri. Jadi aku ajak kalian aja biar ga malu ama terapis nya hehe.”, jawab Guntur sambil meringis.

“Yee si ******.”, kataku singkat.

“Sangean.”, kata Angga sambil meniupkan asap rokok ke muka Guntur.


Sabtu siang datang bagaikan hewan Cheetah. Cepat. Duh, maaf, gaada ide lain buat perumpamaan kata ‘cepat’. Sebenernya kemarin Cana ngajak belajar bareng hari ini di tempat les. Namun aku bilang mau belajar bareng Angga dan Guntur. Bener kan. Belajar. Belajar melihat tubuh telanjang wanita. Belajar menyentuh titik-titik sensitif wanita. Belajar memasukkan burung ke memek wanita. Hmm, setelah kupikir-pikir ‘belajar’ adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan rencana kegiatan siang ini.
Ibarat koin yang bermuka dua, hidup ini kadang angka, kadang garuda. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan siang ini, aku berada di bawah.

“Dip! Cepet siap-siap! Anterin ibu ke pernikahan!”, teriak Ibu Nugraha dari lantai bawah. Ibarat komputer, RAM dalam otakku bekerja keras mencari file-file dalam folder ‘Janji dengan Ibu’, berusaha menemukan apakah ada janji mengantarkan Ibu ke pernikahan hari Sabtu siang. Hasilnya nihil. File not found. Segera aku turun dan menghadap Ibu Nugraha.

“Kapan ibu nyuruh aku nganter ibu ke acara kondangan?”, kataku kepada beliau.

“Barusan.”, jawab beliau singkat, padat, tidak dapat dibantah. “Bapakmu harus ngelayat atasannya di luar kota, barusan berangkat dari kantornya. Udah gausah banyak tanya, cepet siap-siap. Kalo nanti gamau ikut turun, jagain mobil aja.”

Kubuka grup chat BBM kami bertiga, mengabari hal mendadak ini. Langsung direply oleh kawan-kawan ku yang sepertinya sedang sange.

gemuruh gg: yah. mendadak bgt ni dip?
Rizky Malangga: Bego! Ud diblgin kosongin hr Sabtu!!
Rizky Malangga: Bohong ni pasti lg ama cana ya ngaku aja!

Tanpa babibu aku mengirim foto kondisiku saat ini, mirror selfie dengan mengenakan batik lengan panjang ala kondangan.

Rizky Malangga: Jiah beneran lah. Kita tinggal gpp ni? Uda sange
gemuruh gg: gpp ya dip? besok2 kalo km mau aku anterin lg de
Pradipta Nugraha: Yoi santai aja, bsk ceritain ya. Tur bsk bayarin mkn siang pake duit subsidi
gemuruh gg: “no deal” -tantowi yahya

Benar kan dugaanku. Dua-duanya lagi sange. Sebagai anak yang berusaha berbakti pada orang tua, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolak titah Ibu Nugraha. Bukan salah Ibu Nugraha, tapi salah atasan Pak Nugraha kenapa meninggal hari Sabtu ini. Ups. Yaudah lah, tidak ada yang perlu disesali. Aku anggap ini cara Tuhan untuk mengingatkanku bahwa rencana Guntur adalah ide yang buruk dan penuh dengan mudarat.

“Cuciin motorku sekalian lah, Dip!”, kata seseorang dari balik pagar rumahku.

Sore di hari yang sama, aku selesai menuntaskan tugas mulia negara, mengantarkan Ibu Nugraha ke kondangan. Karena masih suntuk dengan rencana yang gagal, aku mencuci motor Satria F ku di garasi rumah. Aku reflek menoleh ke arah sumber suara. Berdiri di sana adalah Amanda Trisni, tetangga sebelah rumahku, anak tunggal dari Pak Sutrisno. Mbak Manda adalah seorang pramugari di salah satu maskapai penerbangan domestik berusia 20 tahun. Aku dan teman-teman cowok karang taruna memberi predikat ‘Tomat Komplek’ pada Mbak Manda, yang memiliki kepanjangan ‘Toket Termantap se-Komplek’. Hal ini didasari dengan fakta bahwa lawan bicara Mbak Manda pasti mengalami kesulitan untuk terus menatap matanya. Toketnya seperti memiliki magnet yang menarik pandangan lawan bicara menuju toketnya. Emang mantap.

Mbak Manda terlihat santai sore ini, dengan menggunakan t-shirt putih polos yang agak ketat, dipadu dengan hot pants denim. T-shirt yang dipakai nya cukup ketat hingga membuat toket besar dan kencangnya menjeplak, memberikanku sebuah pemandangan indah, ditambah dengan paha putih mulusnya yang mengintip di bawah hot pants nya. Rambut pendek sepundak yang disemir coklat sebagian terlihat halus dan menggoda, serasi dengan wajahnya yang cantik dan bibirnya yang sensual.

“Eh, ada Mbak Manda.”, kataku sambil tersenyum ke arahnya. Aku mengeluarkan kanebo dan mulai mengelap Satria F ku yang sudah mengkilap. “Lagi ngga terbang, Mbak? Abis dari mana?”, lanjutku basa-basi.

“Baru nyampe tadi pagi, Dip. Abis belanja di minimarket. Aku sampe rumah langsung tidur, bangun-bangun laper ngga ada makanan gara-gara Mama sama Papa di luar kota.”, curhatnya panjang lebar. Aku yang tidak tahu mau merespon apa, hanya memberikan ‘Oh’ lewat gerakan mulutku.

“Ngga dibawa ke rumah lagi cewekmu, Dip?”, lanjutnya. “Pinter ya kamu, bawa cewek pulang siang-siang pas ngga ada orang di rumah. Ena-ena dong tuh.”

RAM ku bekerja lagi, mencari-cari apakah aku pernah membawa Cana di siang bolong ke rumahku. File found. Sekitar sebulan yang lalu, Cana memang pernah kubonceng ke rumah untuk meminjam novelku, yang kemudian kami pergi ke tempat les bersama-sama. Udah, cuma gitu doang. Ngga ngewe. Sumpah. Ternyata Mbak Manda sedang di rumah saat peristiwa tersebut terjadi.

“Apaan mbak, dia cuma pinjem novel kok.”, kataku. “Nakal-nakal gini aku masih suci lo.”, lanjutku.

“Weleh sok suci kamu.”, katanya sambil menjulurkan lidahnya. Aduhai, seksi banget emang Mbak Manda ini.

“Beneran mbaak, masih perjaka ting-ting aku mah.”, jawabku sambil menjulurkan lidahku juga.

“Hmm, yaudah. Eh, ntar abis Magrib ke rumah ya, Dip. Aku ada oleh-oleh bika ambon buat tante Nugraha, kemaren abis flight dari Medan.”, katanya.

“Oke siap, Mbak!”, kataku sambil hormat ke arahnya yang hanya dibalas dengan senyum pepsodent.


Ibarat koin tadi siang, hidup kadang di atas kadang di bawah. Sampai tadi siang, aku beranggapan bahwa aku sedang berada di bawah karena rencanaku bersama Guntur dan Angga gagal total. Ternyata, anggapanku salah. Malam harinya selepas Magrib, aku berangkat ke rumah Mbak Manda. Setelah memencet bel, Mbak Manda menyuruhku masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Terlihat pakaiannya masih sama dengan tadi sore, t-shirt putih ketat dan hot pants denim. Mbak Manda segera mengambilkan oleh-olehnya, menyerahkannya kepadaku. Ketika aku hendak pamit pulang, Mbak Manda berusaha mencegahku.

“Ngobrol-ngobrol bentar lah, Dip. Sepi rumahku ngga ada orang.”, katanya sambil duduk di sebelahku.

Kuputuskan untuk mengobrol sebentar dengan Mbak Manda. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari pekerjaannya, sekolahku, aku hendak lanjut kuliah di mana, hingga pembicaraan tentang Cana.

“Beneran ngga diapa-apain itu cewekmu kemarin di rumah?”, tanya Mbak Manda terkait perbincangan kami di garasi rumahku tadi sore.

“Astagaaa mbaaak, suwer aku belum ngapa-ngapain.”, jawabku sambil mengacungkan dua jari membentuk ‘peace’. “Takut aku, ngga punya pengalaman masalah begituan.”, lanjutku polos.

“Hmm, emang udah ngapain aja kalian?”, tanya Mbak Manda lagi.

Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan jujur ke Mbak Manda. “Baru… ciuman mbak. Bibir.”, jawabku. “Mau lanjut tapi kok aku takut bikin dia ga puas, ngga ada pengalaman megang-megang cewek soalnya.”, lanjutku, dengan bahasa yang lebih vulgar. Sebenarnya sejak mulai ngobrol tadi, aku sudah konak banget. Karena selain t-shirt Mbak Manda yang ketat dan toketnya yang njeplak, belahannya juga cukup rendah. Terlihat jelas cleavage atau belahan toketnya, yang membuat kelenjar endokrin ku merangsang testis untuk memproduksi hormon testosteron lebih banyak dalam tubuh, berakibat aliran darah di daerah selangkanganku terlalu lancar (baca: burungku ngaceng).

Mbak Manda terdiam mendengar jawabanku, sepertinya sedang berpikir. Satu menit berlalu dalam kesunyian, aku mulai canggung dan memikirkan apa jawabanku barusan salah. Tapi apa mau dikata, kali ini testosteron menang mengalahkan akal sehatku. Malam ini, selangkanganku mengambil alih otakku, mengendalikan semua saraf dan panca indra tubuhku.

“Mmm… Mau mbak bantu kasih pengalaman nggak?”, kata Mbak Manda memecah kesepian. Otak asliku masih berusaha mencerna pertanyaan Mbak Manda, namun karena selangkanganku memegang kendali, saraf motorik di kepalaku membuat kepalaku menangguk-angguk sendiri. Mbak Manda berdiri, menutup pintu rumah dan menguncinya, lalu duduk lagi di sebelahku. “Coba kamu cium mbak kayak kamu cium pacarmu…”

Tanpa diperintah dua kali, aku mendekatkan wajahku ke wajah Mbak Manda. Mbak Manda juga mendekatkan wajahnya ke arahku. Ketika jaraknya sudah sangat dekat, aku menempelkan bibirku ke bibir Mbak Manda. Seperti saat aku mencium Cana di bioskop, aku mulai berani memainkan lidahku di dalam mulut Mbak Manda. Mbak Manda tidak membalas permainan lidahku, dan terasa usaha Mbak Manda untuk melepaskan ciumanku. Sambil mendorong bahuku menjauh dengan kedua tangannya, Mbak Manda melepaskan ciuman kami. Aku hanya bengong, salah tingkah.

“Terlalu cepet, Dip.”, katanya dengan wajahnya yang udah terlihat sange. “Kamu harus pelan-pelan kalo ciuman sama cewek, rasain dulu bibirnya, buat suasananya intim. Ketika ceweknya udah ngerasa nyaman, baru kamu bisa mainkan lidahmu. Waktu udah saling balas main lidah, kamu boleh mulai pegang-pegang badan ceweknya dengan lembut. Cari spot sensitifnya. Ngerti?”. Lagi-lagi, aku hanya bisa mengangguk pelan. “Coba lagi ya…”

Kali ini Mbak Manda yang menyosorkan bibirnya ke arahku. Setengah kaget, aku berusaha tanggap, mengimbangi permainan bibir Mbak Manda. Aku lumat dengan lembut bibir sensualnya, merasakan hangat rongga mulutnya, tidak buru-buru seperti sebelumnya. Mbak Manda memejamkan matanya menghayati dan menikmati rangsanganku di bibirnya. Setelah kurasa Mbak Manda sudah nyaman dengan kecupanku, aku memulai langkah berikutnya. Aku berusaha menjelajah rongga mulut Mbak Manda lebih jauh, lebih dalam, dengan lidahku. Dengan tanggap Mbak Manda merespons permainan lidahku. Lidah kami beradu sengit, saling melilit, saling bertukar ludah. Napas Mbak Manda mulai tidak teratur, begitu juga denganku. Kali ini selangkanganku mulai mengambil alih pergerakan tanganku. Aku mulai menyentuh pipinya, kanan dan kiri, dengan kedua tanganku. Kuusap lembut pipinya, kurasakan halus dan bersih wajah cantiknya. Perlahan, tanganku kuturunkan, menyentuh lehernya, hingga tiba di bahunya. Sambil tetap berciuman, kuturunkan lagi perlahan hingga ke lengan Mbak Manda. Kuraba lengan kecil Mbak Manda yang putih dan mulus. Napas Mbak Manda semakin liar dan tidak teratur, lidahnya masih mengimbangi permainan lidahku di rongga mulutnya. Bagian tubuh atas Mbak Manda sudah habis kusentuh, menyisakan perut langsing dan toketnya yang masih tertutup t-shirt dan bra nya. Menyadari itu, Mbak Manda melepas ciuman kami.

“Kamu belajar cepet banget, Dip…”, katanya dengan suara tertahan, berusaha menstabilkan pernapasannya. “Aku udah horny banget nih… Gara-gara kamu… Kayaknya kamu juga ya, hihi”, lanjutnya, yang tanpa kusadari tangan kanannya sudah menyentuh celanaku bagian selangkangan. Sejenak matanya terbelalak, tampak ekspresi kaget di wajahnya saat menyentuh burungku dari luar celanaku. Namun Mbak Manda memutuskan diam saja dan tidak berkata apapun, sambil terus mengusap selangkanganku lembut.
Mbak Manda kemudian berdiri dari sofa, menarik tanganku masuk ke sebuah kamar, yang dapat kusimpulkan ini adalah kamarnya karena bernuansa pink cerah. Setelah menutup pintu kamarnya, Mbak Manda duduk di pinggir ranjangnya.

Step kedua. Kamu pasti udah sering nonton film bokep kan? Coba kamu bikin mbak puas, sampai mbak keluar, hihi.”, tantang Mbak Manda.

Tanpa diperintah dua kali, aku segera bergerak menuju ranjang Mbak Manda. Ok, ini dia saatnya. Saat untuk membuktikan bahwa waktu yang kubuang selama ini untuk menonton film bokep ternyata tidak terbuang sia-sia. Aku kemudian menidurkan Mbak Manda di ranjangnya, lalu kuposisikan tubuhku berada di atasnya. Kutatap lagi paras cantik wajah Mbak Manda yang sedang sange. Pipinya sudah merah, seperti kepiting rebus. Seksi banget sih tetanggaku ini! Kucium lagi bibirnya. Mata Mbak Manda sudah terpejam, menikmati rangsanganku. Perlahan aku bergerak turun, bibirnya kutinggalkan, aku jilat dan aku ciumi leher jenjangnya.

“Ahhh… Iya… di situ Dip……. Ahhhhhhhh……”, desah Mbak Manda.

Sambil tetap kurangsang lehernya, tanganku berusaha menarik t-shirtnya ke atas. Mbak Manda meliuk ke atas, memudahkanku untuk melepas t-shirt putihnya. Rangsanganku tertunda sebentar, membuka kaosnya, dan membuangnya ke lantai. Lima belas detik selanjutnya, aku hanya diam tertegun melihat toket indah Mbak Manda yang masih terbungkus bra putih berenda. Bulat, kencang, dan tentu saja, besar. Ciuman dan jilatanku kulanjutkan ke dadanya, dengan tanganku mengusap perut langsingnya. Mbak Manda terus mendesah, mengucapkan ‘Ah…’ yang semakin panjang. Setelah kurasa cukup mengusap perutnya, kupindahkan tanganku ke toketnya. Kuremas-remas toket sensual itu dari luar bra nya. Sambil tangan kananku menaikkan tekanan dan intensitas remasanku di toket kirinya, kuselipkan tangan kiriku ke daerah punggungnya, mencari pengait branya. Tapi, lho, kok…

“Auhhh…. Dipta…. Pengaitnya… Ada di depan….”, Mbak Manda mendesah lagi sambil menjelaskan kebingunganku. Oh, pantesan, dicari kok ngga ketemu.

Plop! Suara pengaitnya ketika kubuka branya yang langsung kulepas dan kubuang di lantai. Kini toket Mbak Manda sudah bebas dari penjaranya. Aku membuang lima belas detik lagi untuk mengagumi toketnya yang sungguh-sungguh indah. Komputer otakku berusaha menyimpan pemandangan ini dalam sebuah folder: Toket Mbak Manda. Toket yang bulat, kencang, dan besar, dengan puting sedang berwana coklat. Julukan ‘Tomat Komplek’ sepertinya tidak salah kuberikan padanya. Langsung kubenamkan kepalaku ke belahan toketnya, sambil tanganku meremas kedua toket polosnya dengan keras karena gemas. Kujilati lembah yang membelah dua gunung tersebut dengan lidahku, ke atas, ke bawah berirama.

“Auhhh… Pinter banget… Dipta… Suka kan sama toketku…. Mmmhhh…..”, racau Mbak Manda sambil menggigit bibir bawahnya.

Kugerakkan lidahku ke toket kanannya, sedangkan tangan kananku mulai meraba-raba puting kirinya. Lidahku bergerak menjilati daging toketnya, kugerakkan melingkar memutari putingnya. Aku tidak buru-buru menjilat dan menyedot putingnya, sengaja kupermainkan sebentar seperti itu.

“Mmmmhh…. Nakal…. Isep dong pentilnya…. Dip…… AHHHHHH……”, setelah akhirnya gerakan lidahku mengenai putingnya. Langsung kujilat dan kuhisap sampai aku puas, kugerakkan lagi lidahku ke toket kirinya. Puas memainkan dadanya, tanganku bergerak mengusap paha bagian dalamnya dan lidahku turun lagi ke perut langsingnya. Kuputar-putar lidahku mengelilingi pusarnya, dan tanganku membuka kancing hot pants nya. Menyadari usahaku untuk menelanjanginya, Mbak Manda mengangkat pantatnya ke atas, memuluskan jalanku menurunkan dan kemudian membuang hot pants nya ke lantai. Tampaklah gundukan memek Mbak Manda, masih terbungkus celana dalam mini warna putih berenda. Kuusap perlahan memek Mbak Manda dari luar celana dalamnya.

“Mmmmhhhh…. Di situ…. Iya… Di situ Dip…… Buka aja CD nya……”, desah Mbak Manda menikmati rangsanganku di memeknya. Kuturunkan celana dalam tersebut sampai lutut Mbak Manda, dan aku terdiam (lagi) selama lima belas detik. Mengabadikan pemandangan di hadapanku dalam memori otak, belahan memek Mbak Manda yang bulu kemaluannya tercukur rapi. Kudekatkan kepalaku ke memek Mbak Manda, ke arah perut bagian bawahnya. Tanganku mengusap lagi belahan memek Mbak Manda, dan lidah ku bergerilya di sekeliling memeknya. Dengan tanganku, kucoba membuka belahan tersebut secara perlahan, mencari itilnya, meskipun aku masih menebak-nebak bagaimana bentuknya. Akhirnya aku dapat memastikan bentuknya, yaitu sebuah tonjolan kecil di bagian atas belahan memeknya, yang ketika kuusap lembut, desahan Mbak Manda mengeras.

“Auhhh….Dip….. Iyaaaaaaaa di situuuu sayaaaang……. Sssstttt… Mmmmmhhhhhhh……”, desah Mbak Manda yang membuatku semakin mengintenskan seranganku di memeknya hingga semakin banyak mengeluarkan cairan bening. Dengan dua jari, kucoba membuka belahan memek tersebut. Langsung kuserang itilnya dengan lidahku. Kujilat-jilat, kuhisap, dan kuputar-putar lidahku di daerah itu. Tangan kanan Mbak Manda menjambak rambutku keras, sedangkan tangan kirinya menuntun tangan kananku ke toketnya. Langsung kuremas dan kupelintir puting toket Mbak Manda.

“Enaaaakkkk bangeetttt Dippp…… Ahhhhh…. Jilat terusss….. Isep…. Ke bawah dikit….. Ahhhh… Mmmmmhhh.”, racaunya. Cairan bening yang keluar dari memeknya bertambah banyak. Aku segera melakukan variasi gerakan, kucoba memasukkan dua jariku ke dalam memeknya. Sambil tetap menjilat itilnya dan memelintir putingnya, kutusukkan jariku ke dalam memek Mbak Manda berirama, semakin lama semakin cepat. Kubengkokkan jariku ke atas ketika berada di dalam memeknya, membuat dia menjambak rambutku semakin keras. Perutnya terangkat ke atas. Racauannya semakin tidak teratur.

“Hampir….. HAMPIRRR…… AAAAAAHHHHHHHH AKUUUUU KEEELLUUUAAARRRR….. DIPPPPPP…… AHHHHHHH…..”, dan Mbak Manda pun orgasme. Tubuhnya mengejang hebat, memeknya berkedut-kedut. Matanya terpejam merasakan kenikmatan. Cairan cinta mengalir dengan deras dari memeknya yang langsung kuhisap dengan semangat. Setelah tubuhnya kembali tenang, Mbak Manda membuka matanya dan mengatur napasnya.

“Gila, aku keluar enak banget. Beneran kamu masih perjaka? Nggak percaya aku. Atau kamu kebanyakan nonton film bokep kali ya?”, kata Mbak Manda sambil memberikan senyum manisnya. “Gantian.”, lanjutnya sambil menarikku agar tiduran di ranjang. Mbak Manda melepaskan celana dalamnya, menarik kaosku ke atas, melepasnya, dan menarik turun celana basketku beserta celana dalamnya sekalian. Kami berdua sudah telanjang bulat. Sekarang gantian Mbak Manda yang diam lima belas detik melihat burungku yang sudah ngaceng nonstop sejak di ruang tamu.

“Dip… Gede banget ini burung…”, kata Mbak Manda sambil melotot ke arah burungku. Burungku memang lebih besar dari rata-rata anak seusiaku. Terima kasih kuucapkan pada Bapak Nugraha, atas gen baik yang diturunkan padaku. Mbak Manda lalu pindah tempat, nungging dengan lututnya bertumpu di ujung ranjang. Kepalanya diarahkan ke burungku. “Mau mbak mainin ya ini burung, kalo mau keluar bilang ya.”, katanya sambil tersenyum nakal dan mengedipkan sebelah matanya.

Tangan halus Mbak Manda lalu menyentuh burungku, mengocoknya perlahan. Lama-lama semakin cepat. Aku hanya bisa melenguh keenakan, sambil memejamkan mataku. Biasanya ini burung dikocok pake tangan kuli kasarku, sekarang dikocok tangan halus pramugari. Siapa yang ngga keenakan coba? Mbak Manda mencoba menaikkan tingkat permainan dengan menjilat manja bagian belakang burungku. “Auh, mbak….”, aku mendesah karena itu adalah area sensitifku. Jilatan Mbak Manda yang awalnya teratur ke atas ke bawah menjadi semakin cepat dan liar. Lintasannya diperpanjang, dari bijiku hingga ke ujung burungku. Aku hanya bisa melenguh, mendesah, dan mendesis keenakan diperlakukan seperti itu.

“Ahhh…. Mbak… Aku mau… Hampirr….”, kataku tertahan karena rasa nikmat yang diberikan Mbak Manda ternyata sudah hampir membuat pertahananku jebol. Mbak Manda langsung refleks mencengkeram pangkal burungku dengan agak keras. Sensasi nikmat lima detik yang lalu kurasakan langsung hilang, menjadi ngilu. Aku langsung membuka mataku dan melihat ke arah Mbak Manda yang sedang tersenyum menahan tawa. “Aduh, Mbak, ngilu. Jangan keras-keras.”, kataku.

“Ini step selanjutnya, Dip. Kamu harus bisa nahan orgasme mu. Jangan fokus sama rasa nikmat yang mbak berikan, coba kamu pikir hal lain, soal ujian nasional kek, apa aja lah.”, katanya sambil mulai mengocok burungku dengan lembut lagi. Aku hanya bisa mengangguk lemas. Lidah Mbak Manda mulai aktif lagi menjilati ujung burungku, dan dalam satu gerakan kurasakan bibir Mbak Manda mengecupnya. Aku melihat ke arah burungku, dan Mbak Manda sudah memasukkan ujungnya ke dalam mulutnya. Aduh, seksi banget ngeliatnya, bibir sensual Mbak Manda yang mengulum burungku, sambil matanya melihat ke arahku. Kepalanya mulai secara teratur bergerak ke atas dan ke bawah, memberikan kenikmatan padaku. Lidahnya juga bergerilya secara aktif, menjilat memutari burungku selagi dalam mulutnya.

Aku mendesah lebih keras ketika Mbak Manda berusaha memasukkan seluruh burungku dalam mulutnya. Masuk setengah, tiga perempat… hingga sampai ke pangkal burungku. Sekali lagi pertahananku hampir jebol, namun aku berusaha sangat keras memikirkan hal lain seperti kata Mbak Manda. Komputer otakku berusaha mencari-cari bahan yang bisa mendistraksi rasa nikmat ini. Hukum Newton satu, gaya sama dengan nol; hukum Newton dua, gaya berbanding lurus dengan percepatan dan massa; hukum Newton ketiga, gaya aksi sama dengan gaya reaksi. Ayolah, apapun itu, aku harus bisa bertahan untuk tidak orgasme.

Mbak Manda sudah melakukan deep throat pada burungku selama lima menit, dan sepertinya dia puas dengan usahaku menahan orgasme. Dia melepaskan burungku yang basah karena liurnya, dan turun dari kasur mencari hot pants nya. Dari kantong hot pants nya, dia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sebungkus kondom dari dalamnya. Dengan lincah dia membuka bungkusnya, meletakkan kondom tersebut di antara giginya. Satu gerakan kemudian, Mbak Manda naik lagi ke ranjang, memasangkan kondom ke burungku melalui mulutnya. Duh, manuver apa lagi ini, ngga ada di bokep manapun, batinku.

“Takutnya kamu ntar keenakan, terus ngga sempet cabut sebelum ngecrot. Mbak lagi masa subur soalnya, main aman aja ya.”, jelas Mbak Manda menjawab muka bingungku. “Nanti kalo main sama pacarmu usahain kamu di atas duluan. Misionaris. Ini karena mbak udah horny banget jadi mbak di atas dulu ya. Sekarang tantangannya, kamu gaboleh keluar duluan dari mbak.”

Mbak Manda memosisikan dirinya di atas selangkanganku, menghadapku. Dia mengusap sebentar memeknya, memastikan sudah cukup basah untuk penetrasi. Burungku dipegangnya dan diarahkan masuk ke dalam memeknya. Kami berdua mendesah keenakan saat burungku masuk setengah ke dalam memeknya.

“Ahhhhhh…… Asli ini burung gede banget….. Enakkkkkkk……”, desah Mbak Manda.

“Ginii rasanya memek yaaaa Mbakkk….. Auhhhh…. Sempit banget……..”, desahku.

Kuposisikan tanganku meremas pantat sekal Mbak Manda, dan kugoyangkan tubuhnya naik turun burungku. Tangan Mbak Manda bertumpu di dadaku, membuat toket nya bergoyang menari-nari di atasku, mengundang kepalaku untuk maju mendekat. Mbak Manda menyadari hal itu dan semakin mengarahkan toketnya ke mulutku. Goyangan Mbak Manda semakin liar saat kuberi rangsangan di putingnya, desahannya semakin keras. Terasa burungku hampir mentok menyentuh ujung rahimnya. Tujuh menit berlalu, pergumulan kami semakin panas. Dinding rahim nya meremas-remas burungku secara intens, memberikan kenikmatan. Kucoba mengabaikan rasa ingin orgasme dengan mengingat-ingat rumus trigonometri, namun sepertinya hasilnya nihil.

“Mbak… Akuuuu hampirrrrr……”, kataku sambil keenakan, meremas pantat sekalnya dengan keras. Mbak Manda segera mengangkat tubuhnya, menghentikan persetubuhan kami. Dia mengambil posisi menungging di sebelahku yang masih bingung.

“Ganti posisi dari belakang, Dip. Mbak juga udah hampir. Tahan sampe mbak keluar ya.”, kata Mbak Manda tertahan, sange berat. Aku langsung berlutut memosisikan tubuhku di belakang pantat Mbak Manda. Kuarahkan burungku masuk dalam memeknya, sambil kuremas-remas pantatnya. Kugerakkan pantatku maju mundur perlahan, direspons oleh Mbak Manda yang menggerakkan pantatnya ke kiri dan ke kanan. Lima menit berlalu, gerakanku di memeknya semakin lama semakin cepat. Orkes desahan kami juga semakin lama semakin keras.

“Dipppp….. Mbak udah….. Mau…. Keluarrrr…. Ahhhhhh….. Sssssttttt….”.

“Ahhhhhhh…… Aku jugaaa mbaaaaakkkkkk….. Ahhhhhh….”.

“AAAAHHHHHHHH AKUUU KELUUUARRRRRRRRR”.

Dalam satu desahan panjang, Mbak Manda orgasme. Tubuhnya mengejang, kepalanya mendongak ke atas, dinding rahimnya mencengkeram burungku erat, dan vaginanya banjir. Aku masih sempat memompa beberapa kali sampai akhirnya aku menekan pantatku sedalam mungkin dalam memek Mbak Manda dan orgasme. Kurasakan separuh jiwaku terbang ke awan saking nikmatnya. Burungku ngecrot beberapa kali dalam kondom. Setelah kucabut burungku yang mulai mengecil, kami berdua langsung tumbang di atas ranjang.

“Makasih banyak ya mbak, oleh-oleh dari Medan nya.”, kataku lemas.

“Selamat sudah menjadi seorang pria ya Dip, hihi. Enak banget ngewe sama kamu. Nanti kalo mbak di rumah lagi horny kamu aku panggil ya.”, jawab Mbak Manda sambil mengecup pipiku mesra.

“86 mbak.”, jawabku masih lemas, berusaha mencari-cari di mana setengah nyawaku, apakah masih di awan atau sudah masuk dalam tubuh.


Jam sembilan malam setelah beberes di rumah Mbak Manda, aku pulang ke rumah. Terlihat Ibu Nugraha sedang nonton sinetron di ruang keluarga.

“Kok lama Dip?”, tanya beliau.

“Iya tadi Mbak Manda minta dibenerin komputernya gitu.”, jawabku asal sambil menuju lantai dua.

“Loh? Oleh-olehnya mana?”, tanya ibuku lagi.

Alamak. Aku baru sadar bika ambon oleh-oleh yang ingin diberikan Mbak Manda tertinggal di rumahnya. Ya sudah lah, besok saja biar kuambil. Sampai kamar, aku langsung tiduran di kasur. Kubuka BB 8520 ku, terdapat beberapa chat yang harus kubalas.

Group Chat
Rizky Malangga: DIPTA MASIH PERJAKAAA HAHAHAHAHAHAHAH >
gemuruh gg: 5 mnt uda kluar aja km ngga, gausah belagu
Rizky Malangga: BERISIK
Pradipta Nugraha: Wah selamat kalian berdua sekarang adalah panutanku

Jawabku sambil menahan tawa. Belum tau aja mereka. Sebaiknya biarin gini aja, biar lucu. Chat selanjutnya.

kencana adriani: Dip pacarmu laper malem2 gini, enaknya delivery McD ato masak indomie? Pls jwb asap.
Pradipta Nugraha: Delivery indomie, kalo ngga ada masak McD aja

Jawabku sambil tertawa. Chat selanjutnya dari pak presiden. Ada apa ini, jarang banget Bapak Nugraha komunikasi lewat chat. Kalo ada perlu biasanya langsung telpon. Oh, mungkin karena lagi ngelayat.

Ir. Junardi Nugraha: Dipta, minggu depan keluar kota mau?


Bersambung. Semoga menikmati playlist kali ini. Ikuti terus lagu-lagu hidup Pradipta selanjutnya!