Pernikahan Yang Gagal

Wisnu … Adel … apa yang kalian berdua lakukan?!” seru Pak Latif di tengah kerumunan para warga. Mereka berdua tertangkap warga sedang melakukan hubungan intim di salah satu kostan yang terletak di ujung komplek perumahan mereka. “Ma … maaf, Pak,” ucap Wisnu sedikit tergagap. Wajahnya nampak pucat pasi melihat amarah yang bergejolak di muka Pak Latif dan keluarganya. Plak! Plak! Wisnu nampak memegang pipinya yang terasa sangat terbakar. “Kalian … ,” geram Bu Rina dan tangannya sudah mengangkat kembali hendak melayangkan tamparan lagi. “Jangan! Jangan sakiti Adel lagi, Bu. Kami melakukan ini, atas dasar cinta,” bela Wisnu sambil memeluk Adel yang hanya mengenakan tanktop dan celana pendek saja. “Ci … cinta? Jadi, selama ini kamu gak cinta sama aku, Mas?” tanya Vani yang ternyata ada di belakang Bu Rina. Air mata yang sudah tak terbendung lagi, kini mulai menganak sungai di pipinya yang chubby. “Kalau kamu cintanya sama Adel, kenapa kamu malah mau nikah sama Vani?! Pernikahan kamu itu, akan dilaksanakan besok Wisnu!” cecar Pak Leon —papa dari Wisnu— “Aku terpaksa. Karena itu, permintaan dari Adel, Pah” ujar Wisnu kembali. “Astagfirullah,” ucap Vani beristigfar. “Lagian, harusnya kamu itu sadar diri, Van. Gak level lah Wisnu sama kamu. Wisnu tu mendingan sama Adel. Kerjaan Adel juga enak, manager keuangan. Lah kamu? Cuma staff keuangan biasa. Udah gitu cuma di perusahaan kecil lagi,” ucap Bu Wiwik yang tak lain adalah ibu kandung Wisnu. Vani kembali beristigfar mendengar ucapan calon mertuanya itu. Sungguh, dirinya tak menyangka, bahwa orang yang begitu dicintai dan dihormatinya ternyata menusuknya dari belakang. “Terus, gimana dengan pernikahan besok?” tanya Pak RT menengahi masalah mereka. “Tetap berjalan, Pak. Hanya saja, mempelai wanitanya ganti jadi Adel bukan Vani,” ucap Bu Wiwik segera dan mendapat anggukan dari Pak Leon juga Wisnu. “Ya sudah, sekarang semua bubar. Besok kita kembali lagi, untuk membantu pernikahan Wisnu dan Adel,” ucap Pak RT sambil membubarkan kerumunan warga. Para warga pun akhirnya membubarkan diri. Sebagian dari mereka ada yang merasa iba dengan nasib Vani, karena pernikahannya gagal karena ulah adik dan calon suaminya. *** Keesokan harinya, pernikahan yang direncanakan Vani tetap berjalan sesuai rencana, hanya berganti mempelai wanita saja. Adel tampak cantik dan elegan dengan kebaya putih, konde kecil dan siger melati yang menghiasi kepalanya itu. Meskipun Vani tidak menjadi pengantin, namun Vani pun tampak terlihat cantik dengan balutan kebaya gold yang sudah disiapkan untuk adiknya kemarin. Vani nampak memperhatikan Adel yang sudah siap itu dari atas ke bawah ‘Ini bukan kebaya yang Aku pesan. Lagi pula, Aku dan Adel itu beda ukuran baju. Baju itu nampak pas di badan Adel, harusnya kan lebih sempit?’ kata Vani membatin. Vani yang merasa janggal dengan kebaya itu, memutuskan untuk pergi ke lapangan tempat pesta pernikahan itu dilaksanakan. Kebetulan, pernikahan itu akan dilaksanakan di lapangan samping rumahnya. Betapa terkejutnya Vani, saat melihat di pintu masuk sudah terpajang foto prawedding Adel dan Wisnu, seakan mereka memang telah mempersiapkan semuanya. Vani pun lalu menelusuri dekorasi itu menuju pelaminan kedua mempelai. Namun, lagi dan lagi semua telah berubah. Dia ingat betul bahwa semalam, nama dipelaminan itu masih namanya dan Wisnu, tetapi sekarang sudah berubah menjadi Adel dan Wisnu. ‘Apa mereka telah merencanakan semuanya?’ guman Vani dalam hati. Tak lama, iring-iringan calon mempelai pria pun datang. Wisnu pun tampak gagah dan tampan dengan balutan jas putih yang senada dengan kebaya yang dipakai Adel untuk akad. Senyum sumringah pun tampak menghiasi wajahnya, seakan dia lupa akan kejadian semalam. Vani pun memilih untuk menghindari iringan itu dengan melangkah menuju kursi di pojok belakang. Setelah semua sambutan selesai, tibalah Wisnu mengucapkan kalimat ijab kabul. “Saya terima nikah dan kawinnya Adelia Dwi Latif binti Mario Latif, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saahhhh.” Ucapan para saksi mampu meruntuhkan pertahanan air mata Vani yang sudah tak terbendung lagi. Lagi, dia kembali menangis mendengar Wisnu yang begitu tegas dan lantang mengucapkan ikrar akad itu. Seakan mampu membuat dunianya hancur berkeping-keping. Rasa marah, kecewa, dan sedih menyatu dalam diri Vani. Ingin rasanya dia mengacak-acak pelaminan itu agar mereka tahu bagaimana sakit hatinya tetapi diurungkannya karena dia masih menghormati kedua orangtuanya. ‘Aku harus mencari tau apa yang sebenarnya terjadi, karena semua nampak janggal jika disebut kebetulan semata,’ gumam Vani kembali meyakinkan hatinya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Setelah Adel dan Wisnu menuju pelaminan, Vani pun segera berlalu dari pesta tersebut. Hatinya sakit dan hancur, tetapi tak ada satu pun yang mengerti dirinya. Semua nampak merasa bahagia dan senang dengan pesta pernikahan itu. Vani terus berjalan menuju kamarnya. Setibanya di kamar, dia menangis sejadi-jadinya dan membuang semua yang ada didekatnya, ‘Tuhan … kenapa ini tak adil untukku?’ seru Vani sambil terisak didalam kamarnya. Vani terus menangis dan kemudian terlelap karena lelahnya menangis. *** Pesta pun berjalan sebagaimana mestinya, meskipun beberapa tamu undangan yang hadir merasa penasaran karena mempelai wanitanya berganti terutama teman-teman Vani. Yang awalnya mereka ingin memberi kejutan untuk Vani, diurungkannya saat mengetahui jika yang menikah itu bukan Vani melainkan adiknya. Pesta pernikahan selesai pukul 15.00. Saat itu juga, Vani baru terbangun dari tidurnya. Saat melihat jam di dinding, sungguh dia kaget karena dia sudah tidur seharian, dan akhirnya dia memutuskan untuk pergi keluar kamar menuju kamar mandi untuk mandi dan berwudhu serta mengerjakan solat Ashar dan Dzuhur yang tadi dia tinggalkan. *** Malam harinya, semua keluarga berkumpul termasuk keluarga Pak Leon —papa Wisnu— untuk makan malam bersama. Setelah makan malam selesai, Wisnu dan Adel pun nampak bergegas masuk ke dalam kamar mereka lalu keluar lagi membawa 2 buah koper yang berukuran sedang. “Pak, Bu, Mah, Pah kita berdua ijin pamit mau bulan madu dulu ya. Ga lama kok, paling cuma seminggu,” pamit Wisnu kepada kedua orangtuanya dan orangtua Adel. “Bulan madu? Kaya udah direncanain banget ya?” sindir Vani kepada mereka berdua. Keduanya nampak diam dan gelagapan karena tak tahu harus bilang apa. “Itu hadiah dari kakak tirinya Wisnu. Kenapa? Kamu curiga?” ucap Bu Wiwik —ibu dari Wisnu— segera. “Ooh,” ucap Vani. ‘Pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan, dan aku harus tahu,’ batin Vani. Setelah mendengar itu, Wisnu dan Adel pun bergegas pergi, seperti tidak mau berlama-lama bertemu Vani. *** Keesokan harinya, saat Vani sedang bersantai di rumahnya, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahnya. Vani pun segera bergegas untuk membuka pintunya. “Permisi, dengan, Ibu Vani?” tanya seorang pria dengan tubuh tegapnya dan suara bariton yang sedikit serak. “Iya, saya sendiri. Bapak, siapa ya? Dan ada perlu apa?” tanya Vani kembali, karena Vani tak mengenal mereka. “Kami dari Koperasi Persada, ingin menagih hutang Bapak Wisnu. Tadi saya sudah kerumah Beliau, kata orang rumah disuru kesini, bertemu Ibu Vani,” jawab pria tersebut. “Hutang? Hutang apa, Pak? Saya tak paham?” jawab Vani penasaran. “Ini bu tagihannya. Bisa dilihat. Katanya, akan dilunasi hari ini,” ujar sang pria. “Astagfirullah … untuk apa semua ini?” ujar Vani saat melihat tagihan itu. Lutut Vani tampak lemas dan kemudian terduduk di lantai.

Siapa Mereka?

“Bu … ,” ucap pria penagih hutang itu. Dia nampak sedikit kasihan dengan keadaan Vani. Dituntunnya Vani untuk berdiri dan dibawanya menuju kursi di salah satu terasnya lalu di dudukkannya. “20 juta … untuk biaya pernikahan? Astagfirullah,” ucap Vani kembali sambil beristigfar. “Iya, Bu. Jadi bagaimana, Bu?” Tanyanya kembali. “Saya bisa minta waktunya seminggu lagi gak, Pak? Biar saya tanya Mas Wisnu dulu,” mohon Vani. “Tapi janji ya, Bu, seminggu harus sudah ada uangnya,” ujar si pria menegaskan. “Akan saya usahakan, Pak,” jawab Vani. “Baik, saya permisi dulu, Bu,” pamit pria tersebut. Seperginya pria itu, Vani pun kembali beristigfar melihat nota hutang yang diberikan sang pria tadi. Tak lama, Pak Latif dan Bu Rina pun datang sehabis mereka membantu merapikan sisa-sisa dekorasi pesta pernikahan anaknya itu. “Assalamu’alaikum Van, siapa tadi yang datang?” tanya Pak Latif sesudah mengucapkan salam. Dia pun lalu duduk di kursi sebrang Vani yang hanya terhalang oleh meja kecil tempat menaruh surat kabar pagi. Ya, Pak Latif masih suka berlangganan surat kabar pagi di tengah gempuran berbagai platform koran online. Baginya, lebih enak membaca dari kertas langsung daripada membaca lewat online. “Wa’aaikumsalam, debt collector, Pak,” ucap Vani. “Debt collector? Astagfirullah Vani, buat apa kamu berhutang?” tanya Pak Latif kembali. “Bukan Vani, Pak. Tapi, Mas Wisnu, Vani gak tau untuk apa uangnya, tapi disini ditulis untuk biaya pernikahan, Pak. Apa yang sebenarnya terjadi, Pak? Apa Bapak tau sesuatu?” tanya Vani menegaskan, lalu dia menyerahkan nota pinjaman itu ke Bapaknya. Pak Latif dan Bu Rina pun melihat nota itu dan mereka pun tampak syok dengan jumlah uang yang di pinjam oleh Wisnu. “Kita kedalam saja yuk, kita obrolin di dalam,” ajak Bu Rina. Pak Latif pun mengangguk setuju lalu membantu Vani berdiri karena sepertinya dia masih nampak syok dengan keadaan yang ada. Mereka bertiga pun lalu masuk kedalam rumah dan duduk diruang tamu. Setelah semua duduk, Bu Rina lalu memeluk anaknya itu dan kemudian bersimpuh di pangkuan sang anak. “Bu … , ” kata Vani kaget melihat kelakuan sang Ibu. “Ma — maafin ibu, Van. Maaf. Ibu sebenarnya tau tentang rencana pernikahan Adel dan Wisnu. Maaf kalo ibu diem aja, ibu pikir, mereka juga ngeluarin biaya sendiri, tapi ternyata mereka pakai uang kamu,” jelas sang ibu. Pak Latif pun tampak kaget mendengar penjelasan sang istri. “Astagfirullah Ibu! Ibu kenapa bisa sejahat ini sama Vani?!” geram Pak Latif, nampak dia mengepalkan kedua tanganya menahan amarah. Dia tak menyangka bahwa sang istri ternyata sebenarnya mengetahui semua rencana ini. “Bu …,” ucap Vani tertahan, air matanya tiba-tiba meluncur begitu saja. “Maafin Ibu, Van. Ibu tau Ibu salah, tapi Ibu malah diem aja,” ucap Bu Rina, dia pun sama terisaknya dengan Vani. “Tolong, jelasin apa yang sebenarnya terjadi, Bu!” tegas Pak Latif. Bu Rina pun akhirnya menceritakan semua yang ia ketahui tentang hubungan Adel dan Wisnu. Sebenarnya, mereka berdua memang sepasang kekasih dan akan segera menikah, hanya saja pasti Pak Latif akan melarang pernikahan mereka karena Vani belum menikah dan tak boleh dilangkahi, karena itu dia minta Wisnu untuk pura-pura menyukai Vani dan merencakan pernikahan. Setelah semua rencana pernikahan Vani dan Wisnu tersusun rapi, Adel pun lalu mengubah dan menyusupnya. Berkas pernikahan di KUA pun diganti nama mempelai wanitanya, lalu dia diam-diam melalukan poto prawedding juga dengan Wisnu. Namun, dia tak tau dari mana uangnya. Jika melihat nama penjamin di nota tadi, itu jelas adalah tanda tangan milik Adel. “Astagfirullah, astagfirullah, tega banget Ibu kaya gini sama aku,” isak Vani kembali tergugu. “Maafin Ibu, Van. Maaf,” kata sang Ibu kembali, dia pun lalu memeluk anaknya itu. Pak Latif nampak memijat keningnya karena dia tak tau harus bagaimana. Uang 20 juta bukan lah uang yang sedikit, apalagi dia juga baru kelar mengadakan pesta, dan uang yang kembali hanya ada 15 juta saja. Ditengah kekalutan yang ada, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar rumah. “Vani, Vani, calon mantu kurang ajar emang kamu ya!” teriak Bu Wiwik dari luar rumah. Dia pun lalu menerobos masuk begitu saja. “Ada apa besan?” tanya Pak Latif kepada Bu Wiwik. Nampak kemarahan di muka Bu Wiwik. “Bisa-bisanya lu nunggak pembayaran WO! Lu mau bikin malu keluarga Gua hah?” geram Bu Wiwik sambil mengacungkan jarinya menunjuk muka Vani. “Nunggak pembayaran? Jelas-jelas kemaren sudah Vani lunasin, Mah,” jawab Vani heran dengan ucapan Bu Wiwik. Bu Wiwik pun nampak kaget lalu menutup mulutnya. “Pokoknya, saya gak mau tau! Kamu harus lunasin biaya WO itu sebesar 15 juta!” bentak Bu Wiwik lalu dia berlalu keluar dari rumah. “Ya Allah, cobaan apalagi ini,” ucap Vani. Mereka bertiga pun nampak kalut, tak tau harus berbuat apa. Tak ada yang bersuara, hanya ada suara desahan napas dan isakan dari Bu Rina. Pak Latif pun, akhirnya mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi seseorang. Namun tak jua diangkatnya. “Sial! Nomornya pake segala gak aktif lagi!” geram Pak Latif lalu melempar ponselnya kesembarang arah. Ternyata, dia menelpon Wisnu dan Adel, namun keduanya tak ada yang bisa dihubungi sama sekali. *** Dua hari berlalu setelah kejadian itu, Vani nampak sering mengurung dirinya di dalam kamar. Saat ini, dia masih dalam masa cuti menikah sehingga dia tidak bekerja. Malam harinya, Pak Leon dan Bu Wiwik pun bertandang ke rumah Vani. Pak Latif pun menyambut hangat kedatangan besannya itu meskipun nampak sedikit malas. Setelah mempersilakan tamunya masuk, tak lupa mereka menjamunya dengan menyiapkan cemilan dan juga minuman. Hening melanda beberapa saat, sampai akhirnya Pak Leon memecah keheningan itu. “Bagaimana ini Pak Latif? Siapa yang akan membayar pelunasan WO ini?” tanya Pak Leon memulai pembicaraannya. “Kata Vani, WO sudah dia bayar lunas. Jadi saya pun gak tau itu WO untuk siapa,” jawab Pak Latif. “Kalo udah dibayar lunas, ya, gak mungkin lah dia masih nagih!” sela Bu Wiwik. “Apa perlu saya kasih bukti pelunasan WOnya? Jika memang belum lunas, berarti itu adalah WO punya Adel dan Wisnu. Bukannya pernikahan mereka pun telah direncakanan?” tanya Vani kepada Bu Wiwik. Bu Wiwik terkesiap mendengar penuturan Vani. “Kamu kan cuma ngasih uang 10 juta aja. Sedangkan WO itu harganya 30 juta, emang kamu pikir siapa yang harus bayar sisanya?” tanya Bu Wiwik geram. “10 juta?! Saya sudah ngasih uang 20 juta ke Mas Wisnu untuk biaya WO, dan harga WO saya pun cuma 13 juta dan itu sudah lunas kemarin. Jika seperti itu, berarti memang punya Adel dan Wisnu. Jadi, silahkan ibu tagih ke anak ibu dan juga Adel. Begitu pun dengan hutang mereka di koperasi sebesar 20 juta harus mereka berdua yang bayar! Saya gak mau ya, harus bayar biaya yang jelas-jelas bukan untuk saya!” bentak Vani. Vani pun nampak kesal dan geram dengan sikap Ibu Wiwik yang terasa memojokkannya, padahal jelas-jelas dia tau bahwa yang menikah bukanlah Vani. Suasana makin panas karena Bu Wiwik terus memaksa Vani untuk membayar, sedangkan Vani tetap menolak. “Sudah cukup! Saya yang akan bayar semua tagihan itu, tapi dengan syarat Vani harus menikah dengan anak kandung saya atau kakak tiri Wisnu!” tegas Pak Leon dengan nada sedikit membentak. “Gery, masuk lah!” perintah Pak Leon kepada seseorang di luar pintu. Semua mata pun akhirnya tertuju ke arah pintu masuk. Saat orang itu masuk, Vani langsung mengucapkan istigfar dan menutup mulutnya, begitupun dengan Bu Rina dan Pak Latif. “Dia …,” ucapan Vani pun terjeda.

Menikahi Pria Cacat

“Astagfirullah,” guman Vani. Gerry terus bergerak hingga saat ini posisinya berada di samping Pak Leon. Dia pun lalu menundukkan pandangannya, tak berani menatap Vani dan keluarganya. Keluarga Vani pun nampak syok melihat keadaan Gerry. “Perkenalkan, dia Gerry. Anak kandung saya, atau kakak tirinya Wisnu. Tenang saja, mereka tidak sedarah kok. Wisnu itu anak sambung saya, bawaan dari istri kedua saya. Jadi, mereka tak ada hubungan darah. Gerry mengalami kecelakaan 1 tahun lalu yang membuatnya harus menderita kelumpuhan sehingga tidak bisa berjalan dan menggerakan tangannya. Namun, ini sudah ada sedikit perubahan karena sekarang tangan kanannya sudah bisa bergerak,” jelas Pak Leon memperkenalkan Gerry. Gerry mengangkat wajahnya sebentar lalu memaksakan diri untuk tersenyum kepada keluarga Vani, setelah itu menunduk kembali. “Vani gak mau nikah sama dia!” tolak Vani dengan tegas. Tolakan Vani mampu membuat Gerry mengangkat kembali kepalanya yang tertunduk. Gerry pun mengarahkam pandangannya ke Vani sehingga akhirnya keduanya bertatap. Pancaran permohonan agar diterima terlihat jelas di mata Gerry. Seakan dia memohon agar Vani mau menerima dirinya. “Baik. Kalo kamu tidak mau, silahkan bayar hutang WO sebesar 15juta dan hutang koperasi sebesar 20juta. Dan saya, tidak akan membantu kamu sepeserpun untuk membayar hutang tersebut!” tegas Pak Leon menaikkan nada suaranya. Pak Latif yang duduk disamping Vani pun membelai rambut anaknya itu lalu menggenggam tangan sang anak. “Terima ya, Nak. Bapak mohon,” mohon Pak Latif kepada anaknya itu. “Tapi, Pak. Keadaan Mas Gerry …,” ucapan Vani kembali terjeda karena dia takut menyinggung perasaannya. “Bapak gak punya uang sebanyak itu, Nak. Uang Bapak cuma ada 15 juta, masih kurang untuk bayar semua hutang itu,” jelas Pak Latif sambil terus memegang dan mengelus tangan anaknya itu. “Tapi, Pak … pernikahan ini bukan untuk Vani, tapi untuk Adel. Uang tabungan Vani pun udah abis semua untuk pesta ini. Harusnya, yang bayar ini semua kan Adel dan Wisnu,” bela Vani. Pak Latif membenarkan ucapan sang anak, hanya saja dia saat ini merasa bingung. Dia pun sebenarnya tak tega jika harus melihat Vani menikah dengan Gerry. Pasti akan repot dia nantinya, apalagi dengan keadaan Gerry saat itu yang pasti dia tak mungkin punya penghasilan, dan itu artinya, Vani harus bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua jika menikah nanti. “Ibu juga gak punya tabungan, Van. Tabungan emas Ibu gak lebih dari 5juta. Kalo minta Adel … kamu tau sendiri bagaimana sifatnya dia,” ucap Bu Rina kepada Vani. Dia pun merasa bersalah karena harus menumbalkan anak pertamanya itu kepada pria cacat seperti Gerry. “Sekarang, semua keputusan ada ditangan kamu, Van. Kamu mau menikah dengan Gerry atau bayar semua hutang Adel dan Wisnu?” tanya Pak Leon dengan tegas. Hening, tak ada yang bersuara. Semua tenggelam dalam pikirannya masing-masing, hanya suara helaan nafas yang terdengar. “Vani terima, Pah,” kata Vani memutuskan. “Bagus. Pernikahan kalian akan dilaksanakan 2 hari lagi. Cukup menikah di KUA saja, tak perlu buat pesta seperti milik Wisnu dan Adel,” putus Pak Leon secara sepihak. Vani pun kembali menghela nafas berat. Bayang-bayang pesta pernikahan pun telah hilang kini. Bersusah payah dia mengumpulkan uang untuk sebuah resepsi yang indah tetapi semua nampak sia-sia saja. Setelah keputusan secara sepihak itu, Pak Leon dan keluarga pamit untuk pulang. Pak Latif pun mengantarkan keluarga besannya itu menuju pintu. Setelah Pak Leon keluar gerbang, barulah Pak Latif masuk kedalam rumahnya dan langsung memeluk Vani. “Maafin Bapak, Nak. Maafin Bapak. Semoga, kamu bisa bahagia nanti dengan Gerry. Bapak yakin, pasti akan ada kebahagiaan yang menanti kamu disana nantinya,” ucap Pak Latif sambil memeluk anaknya itu. Ada setitik air mata yang menggenang di pelupuk mata Pal Latif. Mungkin dia pun ikut merasakan sakit dengan apa yang menimpa Vani. *** Dua hari kemudian …. “Saya terima nikah dan kawinnya Vania Putri Latif binti Mario Latif dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” “Sah.” Hari ini, akad pun digelar. Sebuah pernikahan sederhana yang hanya bisa digelar di KUA saja tanpa adanya resepsi. Pernikahan sederhana yang bermaharkan satu buah cincin emas seberat satu gram dan uang tunai sebesar 200 ribu rupiah, jauh berbeda dengan yang telah Vani dan Wisnu rencanakan sebelumnya yaitu satu set perhiasan seberat sepuluh gram dan uang tunai sebesar 5 juta rupiah. Bukan, bukan karena tak mampu untuk melakukan resepsi, hanya saja pernikahan mereka pun terpaksa dilakukan agar hutang pesta resepsi Adel dan Wisnu kemarin mau dibayarkan oleh keluarga Wisnu. Kecewa, sedih, marah, dan sakit berkecamuk masih ada didalam hati Vani. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah ijab kabul selesai, Vani pun mencium tangan Gerry dengan takzim. Meskipun terasa berat, tapi dia tetap melakukannya. Diberikannya senyum terbaiknya meskipun nampak di paksakan. ‘Aku harus ikhlas. Aku yakin bisa melewati ini semua,’ batin Vani dalam hati. Setelah itu, Gery pun berusaha memakaikan cincin di jari manis Vani. Meskipun nampak kesusahan dengan satu tangan, tetapi dia tetap berusaha. Vani yang mengetahui kesusahan sang suami pun, lalu membantunya untuk memakaikan cincin itu di jari manisnya. Sekilas, cincin itu memang terlihat biasa, namun jika dilihat lebih detail, cincin itu nampak cantik dan elegan, jauh lebih elegan dibanding cincin yang dulu dipesannya. Vani pun tak yakin jika cincin itu hanya seberat satu gram. Vani mencari cincin satunya di kotak cincin tetapi tak ditemukannya. “Hanya ada satu, dan itu sudah kamu pakai, Van,” kata Gerry saat melihat Vani kebingungan. “Akh maaf, Mas,” ucap Vani sedikit malu. “Tak apa. Terimakasih sudah mau menerima saya menjadi suami kamu. Saya berjanji, saya akan berusaha keras untuk bahagiain kamu meskipun keadaan saya seperti ini. Bersabarlah sebentar ya,” ucap Gery sambil menggenggam tangan Vani. Setelah itu dia pun melepas genggamannya dan membelai pipi Vani. Vani nampak paham dengan maksud dari Gerry, dia pun akhirnya menundukkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke pada Gerry. Gerry pun mengecup kening Vani dengan perasaan cinta. Debaran hebat dirasakan keduanya. Entah mengapa, jantung mereka berdua tampak berdegub kencang sehingga membuat mereka tersipu malu. “Sudah selesai, yuk pulang,” ajak Pak Latif kepada anak dan menantu barunya itu. “Iya, Pak,” jawab mereka bersamaan. Vani pun lalu bangun dari duduknya dan mendorong kursi roda Gerry menuju parkiran mobil. Sebenarnya, kursi roda Gerry bisa otomatis berjalan, hanya saja Vani tetap ingin membantu suaminya itu. “Mobil ku disana, Van,” tunjuk Gerry ke sebuah mobil CRV keluaran terbaru. Vani pun mengarahkan pandangannya ke mobil yang di tunjuk oleh Gerry. Deg, ‘siapa sebenarnya Mas Gerry?’ batin Vani. Vani pun lalu mendorong Gerry kearah mobil itu disusul oleh Pak Latif dan Bu Rina. Sedangkan Pak Leon dan istrinya sudah pergi berlalu duluan. “Silakan masuk,” kata sang supir sambil membuka pintu mobilnya. Pak Latif dan Bu Rina pun masuk lebih dulu dan duduk di bangku belakang, setelah itu Gerry dengan bantuan supir dan Vani, baru setelah itu Vani. Setelah semua masuk, barulah sang supir masuk. “Langsung ke studio Kak Nana ya, Fat,” kata Gerry kepada sang supir “Baik, Mas,” jawab Fatah sang supir. “Kita gak langsung pulang, Mas?” tanya Vani kepada Gerry. “Ngga. Kita ke studio dulu ya,” jawab Gerry. “Studio … ?” tanya Vani lagi, dan diangguki oleh Gerry.

Studi Photo

Mobil pun melaju di tengah jalanan ibukota yang mulai padat merayap. Setelah menempuh perjalanan selama 30menit, akhirnya mereka sampai di salah satu pertokoan. Nugea’s Group, plang besar terpampang nyata di tengah atas salah satu ruko. Dibawahnya ada 3 plang yang sedikit lebih kecil di masing-masing ruko, setidaknya ada 3 ruko disana, Nugea’s Advertising, Nugea’s Boutique dan Nugea’s Studio. Mobil pun berhenti tepat di depan Nugea`s Studio. “Ayo turun,” ajak Gerry kepada istri dan mertuanya. Fatah pun lalu membantu membuka pintu mobilnya dan membantu mendudukkan Gerry di kursi rodanya. “Mas …,” ucap Vani terjeda sambil menatap ruko yang ada didepannya. “Kamu tau ini, Dek?” tanya Gerry dan dia pun mengangguk mengiyakan. “Ayo, masuk,” ajak Fatah kepada mereka. Fatah berjalan duluan memimpin mereka berempat lalu membuka pintu masuk dan mengucapkan salam. “Wa’alaikumsalam, Gerald …, ” panggil seorang wanita dari meja resepsonis lalu menghampiri mereka. Setelah berada tepat didepan Gerry, dia lalu memeluk Gerry. “Gimana keadaan Lu sekarang? Maaf belom sempet nengokin Lu,” ucapnya sambil melerai pelukannya. “Alhamdulillah, baik Kak. Gua udah nikah, Kak. Ini istri Gua,Vani dan itu orang tuanya,” kata Gerry memperkenalkan Vani dan orangtuanya kepada wanita itu. “Nana,” ucap sang wanita tadi lalu menyalami ketiga orang itu. “Jadi, lu beneran udah nikah, Ger? Dimana?” tanya Nana kembali. “Udah barusan, di KUA,” jawab Gerry. “Apa? KUA?!” tanya Nana kembali dengan setengah berteriak. Gerry yang mendengar teriakan Nana langsung menutup kupingnya. “Pake baju ini? Bentar, lu dikasih mahar apaan sama si Gerald?” tanya Nana kepada Vani. Vani pun mengangguk mengiyakan. Pasalnya, mereka menikah hanya memakai kebaya alakadarnya. Kebaya yang dia pakai waktu pernikahan Adel kemarin, sedangkan Gery hanya memakai kemeja putih saja. “Emm … apa Gerald itu, Mas Gerry?” tanya Vani tak paham. Pasalnya saat melakukan akad nikah tadi pun Vani tak terlalu memerhatikan nama Gerry. “Dih. Nama lakinya sendiri kaga tau, haha. Iya, Gerald Agnelo Dendarta itu nama aslinya Gerry. Jangan tanya kenapa dia dipanggil Gerry, Gua pun gak paham, haha. Jadi, berapa mahar yang dia kasih ke Lu?” tanya Nana kembali. “Cincin emas satu gram dan uang 200 ribu, Kak,” jawab Vani dengan polosnya. Gerry pun lalu menutup kupingnya, pasalnya dia akan tau pasti Nana akan berteriak kembali. “Apa?! 200ribu?! Keterlaluan lu Gerald! Anak orang cuma lu kasih mahar 200ribu. Gak ada otak emang lu!” cecar Nana dengan setengah berteriak kembali. Lagi, teriakannya juga mampu membuat Vani menutup kupingnya. “Ya makanya, Gua langsung kesini,” jawab Gerry kemudian. “Oke gua paham. Sera, siapin studio 3, tata seestetik mungkin biar mirip dekor wedding. Raya, Lu ke butik ambil baju wedding yang dilemari kaca. Pakai yang kebaya putih yang simpel itu. Romi, bawa Gerald, Fatah dan Bapak Mertuanya Gerald, dandanin mereka, jasnya yang buat akad, Vani dan ibu ikut saya,” titah Nana kepada teamnya. “Lah, gua ikut juga?” tanya Fatah. “Iya dong, cyin. Dirimu jadi babyu eyke,” kata Romi dengan nada kemayu sambil memegang d**a Fatah. “Romiiii … geli gua,” protes Fatah dengan nada sedikit keras. Gerry dan Pak Latif pun nampak terkekeh melihat tingkah laku keduanya. Romi membawa mereka kesalah satu ruangan khusus. Di sana ada berbagai macam jas untuk mempelai pria lengkap dengan kotak makeupnya. Gerry pun lalu berganti baju dengan dibantu oleh Fatah dan Pak Latif lalu didandani sedikit oleh Romi agar terlihat lebih segar dan fresh, begitupun dengan Pak Latif. *** Sementara di tempat Vani, Vani pun sedang di make up oleh Nana langsung. “Ya Allah, cantik banget. Insecure Gua jadinya. Gak salah pilih emang si Gerald,” puji Nana kepada Vani. “Kak Nana bisa aja. Kaka juga cantik kok,” puji Vani kembali. “Mana ada? Dah tua tau Gua tuh. Ini mah makeup tipis-tipis juga udah bisa bikin keliatan pangling. Ngomong-ngomong, Lu kenal Gerald dari mana?” tanya Nana penasaran. “Em, sebenarnya, aku di paksa buat nikahin Mas Gerry biar Pak Leon mau bayar hutang yang ditinggalin Mas Wisnu, Kak,” jawab Vani dengan sedikit sendu. “Oh, iya Gua tau cerita itu kok. Gak usah sedih, pecundang kek Wisnu mending dibuang aja. Mungkin, secara fisik Lu bakalan malu kalo nikah sama Gerald, tapi percaya deh sama Gua, kelak Lu bakal bahagia sama dia di banding Wisnu. Tugas lu saat ini, cukup semangatin dia agar dia bisa sembuh dan mau berobat lagi,” jelas Nana kepada Vani. “Emang, Mas Gery masih bisa sembuh, Kak?” tanya Vani penasaran. “Bisa. Kelumpuhan dia gak permanen kok. Dulu dia sempet berobat dan terapi, tapi ntah kenapa dia tiba-tiba berhenti berobat. Gua tanya Fatah, dia juga gak tau alesannya. Gua jarang ketemu Gerald, terakhir ketemu sekitar 10bulan lalu pas nengokin dia itu. Dulu mah tangannya gak gerak dua-duanya. Tapi sekarang udah bisa gerak satu itu,” jelas Nana lagi. Nana telah selesai memakeup Vani, lalu berlanjut kepada Bu Rina. “Alhamdulillah kalo masih ada harapan sembuh mah, Kak,” ucap Vani dengan sedikit tersenyum dan diangguki oleh Nana. Setelah 45 menit berselang, akhirnya Vani dan Bu Rina telah siap. Mereka pun lalu berjalan menuju studio 3. Ternyata disana sudah ada Gerry dan juga Fatah serta Pak Latif yang menunggu. Gerry tampak tersenyum melihat Vani yang memakai kebaya itu, tampak cantik dan pas ditubuhnya, sungguh serasi dengan jas yang dikenakannya. Vani pun melangkah mendekati Gerry yang sejak tadi terus tersenyum memperhatikannya. Vani pun tampak malu-malu menatap Gerry seperti itu. “Oke, udah siap semua ya. Sekarang waktunya foto,” ucap Nana kepada team foto. Vani dan Gerry pun akhirnya melakukan poto pasca weddingnya. Mereka hanya menggunakan satu set kebaya akad saja, karena melihat kondisi Gerry yang tak memungkinkan jika harus menggunakan beberapa set gaun. 1 jam pun berlalu, dan akhirnya poto wedding pun telah selesai. Merekapun akhirnya berganti baju kembali. Setelah selesai berganti baju, mereka pun lalu pamit pulang. “Makasih ya, Kak. Gua pamit pulang,” pamit Gerry kepada Nana. “Iya. Kirimin alamat Lu nanti biar langsung Gua kirim kesana kalo udah jadi. Van, Kakak nitip Gerald ya. Kalo dia berani macem-macem, bilang sama Kakak. Nanti Kakak yang bakal bertindak langsung,” kata Nana kepada Gerry, lalu beralih kepada Vani memberi peringatan. “Hee iya, Kak,” jawab Vani. Setelah itu mereka pun bergegas menuju mobilnya. “Langsung pulang Ger?” tanya Fatah kepada Gerry setelah mereka semua masuk kedalam mobil. “Iya,” jawab Gerry singkat. “Mas … apa tadi kita foto gak bayar?” tanya Vani penasaran. Pasalnya, tadi saat masuk atau keluar pun Gerry tampak tak mengeluarkan uang sedikitpun. “Ngutang,” jawab Gerry dengan entengnya. “Hah? Ngutang? Mas …, ” ucap Vani terjeda. Dia sedikit syok dengan jawaban Gerry. Dia takut jika poto tadi beneran harus membuat Gerry berhutang. Pasalnya, perihal hutang Mas Wisnu kemaren saja dibebankan kepada dia, dan sekarang ditambah lagi Gerry harus berhutang untuk membuat poto pernikahan mereka. Vani pun memijat pelipisnya yang terasa sedikit pusing, begitu pun dengan Pak Latif dan Bu Rina di bangku belakang. Hanya Fatah saja yang tertawa cekikan di balik kemudinya. “Becanda, Dek,” ujar Gerry kepada istrinya itu saat melihat Vani nampak pucat karena dia bilang berhutang. “Beneran? Terus dari mana uangnya?” tanya Vani kembali. Namun yang ditanya malah tak menjawabnya, malah menatap lurus kearah depan sehingga mampu membuat Vani sedikit gemas akan kelakuannya.

Mandi Bersama

Akhirnya, mereka pun sampai di rumah pukul 18.00, dan sudah masuk waktu magrib. Setelah menurunkan semua penumpangnya, Fatah pun langsung pamit pulang. “Gua langsung pulang, Ger,” pamit Fatah kepada Gerry. “Gak mampir dulu, Mas Fatah? Kita makan malam dulu, kan cape dari tadi nyupir terus, meskipun di kasih cemilan mulu,” tanya Pak Latif kepada Fatah. “Ngga Pak, terimakasih tawarannya. Tapi, saya ada janji temu dengan seseorang, jadi mau langsung pulang,” pamit Fatah kembali. “Bilang aja Lu mau ngedate, Fat,” ketus Gerry dan Fatah pun lalu tersenyum. “Ya udah, saya pamit ya semuanya, Assalamu’alaikum,” pamit Fatah akhirnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serempak. “Yuk masuk, takut keburu abis waktu magribnya,”ajak Pak Latif kepada semuanya. Pak Latif pun lalu membuka kunci pintu rumahnya dan berjalan kedalam duluan, lalu disusul oleh Bu Rina, Gerry dan Vani. “Astagfirullah, Vani belum masak, Pak,” ucap Vani sambil menepuk jidatnya setelah mereka sampai diruang tamu. “Pesen online aja, Dek. Capek juga kan kalo kamu harus masak sekarang,” kata Gerry kemudian. “I, iya sih, tapi …, ” ucapan Vani pun terjeda. “Mas yang bayar. Nih, pilih aja mau beli apa?” tanya Gerry sambil menyerahkan handphonenya yang sudah masuk ke aplikasi makanan online. Vani pun lalu mengambil hape itu dan duduk disebelah Gerry, dia nampak memilih beberapa makanan namun dikeluarkannya lagi, begitu seterusnya hingga membuat Gerry yang berada disampingnya nampak gusar. “Tinggal pilih aja si, Dek. Mau nyari apaan? Dah lah, Mas aja yang pesen, nunggu kamu mah kelamaan, keburu mati kelaperan,” ucap Gerry meledek dan Vani pun tampak tertawa meringis mendengar ucapan Gerry. Dia pun kemudian mengembalikan kembali hpnya kepada sang pemilik. Sebenarnya, Vani bingung mau membeli apa, karena takut jika yang dia pesan justru kemahalan dan malah memberatkan Gerry. Vani sebenarnya bisa saja, cukup dengan makan malam berupa mie instan atau telur saja, tapi dia pun harus memikirkan bagaimana makan malam untuk Gerry dan kedua orang tuanya. Pak Latif dan Bu Rina pun nampak terkekeh melihat tingkah keduanya. “Bapak sama Ibu ke kamar duluan ya, mau mandi. Maaf Nak Gerry, disini kamar mandinya cuma 2, satu dikamar bapak, satu lagi di dekat dapur untuk Vani dan Adel,” ucap Pak Latif. “Iya Pak, gak papa kok,” ucap Gerry. Setelah itu, Pak Latif dan Bu Rina pun lalu bergegas pergi kekamar mereka. Gerry pun nampak masih mengutak atik hapenya memesan beberapa makanan secara online sampai dia tidak sadar jika Vani sudah tak ada disebelahnya lagi. “Minum dulu, Mas,” kata Vani sambil menyerahkan gelas kepada Gerry. “Makasih, Dek,” jawab Gerry. Gerry pun lalu meletakkan hpnya ke kantong di samping kursi rodanya dan mengambil gelas yang diberikan Vani lalu meminumnya hingga hampir habis setengah. “Udah pesennya, Mas? Terus mau mandi dulu gak? Tapi, nanti kamu ganti pake baju apa ya Mas? Masa pake bajuku?” tanya Vani kepada Gerry. “Udah. Aku udah suru lapa kirimin tasku kesini kok, Dek. Paling bentar lagi juga nyampe,” jawab Gerry. Dan benar saja, tak lama kemudian ada yang memanggil ‘paket’ didepan rumahnya. Vani langsung bergegas keluar dan menerima paket itu. “Mbak Vani ya?” tanya sang driver berjaket hijau itu. “Iya, Pak. Udah bayar belum, Pak?” tanya Vani kembali dan dijawab sudah oleh sang driver. Vani pun lalu menerima tas itu dan mengucapkan terimakasih, setelah itu kembali masuk kedalam rumah. “Emm Mas, biasanya kamu mandi gimana?” tanya Vani sedikit ragu. “Biasanya Fatah yang bantuin. Dia yang bawa aku kekamar mandi sama mandiin, tapi sekarang tanganku dah bisa gerak satu kok, jadi bisa mandi sendiri mah,” jawab Gerry dan Vani pun mengangguk paham. Vani pun lalu membawa masuk tas Gerry kedalam kamarnya dan mengambil baju di dalam tasnya serta handuk baru di lemarinya lalu kembali menuju Gerry yang masih ada diruang tamu. Dia pun mendorong kursi roda Gerry menuju kamar mandi. Sesampainya di pintu kamar mandi, Vani pun membukanya dan membawa kursi rodanya masuk. Vani lalu membantu memindahkan Gerry dari kursi roda menuju WCnya. Kebetulan, posisi WC milik Vani sedikit lebih tinggi, jadi bisa untuk duduk disana. Setelah Gerry pindah dan duduk, Vani pun lalu mengeluarkan kursi rodanya. ‘Bismillah, semoga Mas Gerry gak punya pikiran macem-macem deh,’ batin Vani dalam hati. Vani pun kembali masuk kedalam kamar mandi dan kemudian menguncinya. Hal itu mampu membuat tatapan yang heran dari Gerry. “Ngapain, Dek?” tanya Gerry penasaran. “Bantuin Mas mandi lah. Emang, Mas bisa mandi sendiri? Buka baju sendiri?” tanya Vani kembali. “Ng … nggak sih, he,” jawab Gerry terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Tapi, Mas jangan macem-macem loh, ya,” ancam Vani sambil membantu Gerry melepas kemejanya. “Macem-macem juga gak papa, kan udah halal,” jawab Gery dan langsung mendapat guyuran dari Vani. “Duh, Dek … tega banget dia mah sama suami sendiri,” protes Gerry yang nampak gelagapan karena mendapat guyuran dadakan dari istrinya. “Heleh, nikah karena terpaksa ini kok. Kalo bukan karena Pak Leon ngasih syarat gini, aku juga gak bakalan mau sama kamu. Lagi, siapa yang mau nikah sama pria lumpuh dan cacat kek kamu,” ucap Vani dengan nada ketus. “Maaf,” ucap Gerry lirih. Vani nampak diam saja, tangannya nampak cekatan terus bergerak membantu melepas celana panjang milik Gerry dan hanya menyisakan celana pendeknya saja. Vani pun lalu segera mengguyur tubuh Gerry dan menyabuninya. “Pernah ngelakuin ini, Dek? Kok kayanya biasa aja?” kata Gerry kepada istrinya yang saat ini sedang mengeramasinya. “Pernah. Pas abis lulus sekolah, dapet kerja ngerawat lansia lumpuh jadi udah ada pengalaman,” jawab Vani cuek. Sifat Vani saat ini berbanding terbaik dengan si Vani tadi, sehingga mampu membuat Gerry berpikir seribu kali untuk menggodanya. Setelah selesai memandikan Gerry dan menghandukinya, serta memakaikan kaosnya, Vani pun lalu membuka bajunya dan ikutan mandi juga. “Tutup mata sana, jangan ngintip!” titah Vani kepada suaminya. Gerry pun nampak menundukkan matanya sambil berusaha menelan salivanya. Sungguh pemandangan didepannya begitu menggodanya. Akh, andai dia normal, mungkin dia akan menggoda istrinya itu. Setelah selesai mandi, dia pun lalu mengambil wudhu, begitu pun dengan Gerry, Vani membantunya mengambilkan air wudhu, setelah itu barulah mereka keluar dari kamar mandi dan langsung menuju kamar mereka. Setelah sampai dikamar, barulah mereka melaksanakan sholat magrib berjamaah. Setelah itu, barulah mereka keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Di ruang makan, nampak banyak hidangan yang telah tersaji dan tersusun disana. “Mas … ini semua … ?” pertanyaan Vani terjeda namun diangguki oleh Gerry. “Yuk makan,” ajak Gerry kepada Vani. Vani pun lalu menyendokkan nasi dan lauknya kedalam piring milik Gerry, setelah itu baru kedalam piring miliknya. Begitupun dengan Bu Rina yang menyendokkan nasi dan lauknya dulu kedalam piring milik Pak Latif, baru kedalam piringnya. Baru saja Vani hendak menyendokkan makananya kedalam mulutnya tiba-tiba Gerry berteriak. “Akh …,” ucap Gerry. Sendok yang ada ditangannya pun kini terjatuh ke lantai.

Pijatan Pak Latif

“Mas kamu kenapa?” tanya Vani sedikit panik melihat Gerry. “Tanganku mati rasa, Dek. Gak papa kok, nanti juga baikan lagi. Anterin Mas ke kamar aja yuk, mau istirahat aja kayanya” pinta Gerry kepada istrinya itu. “Makan dulu, Ger. Kamu kan belum makan juga dari tadi. Van, suapin gih suami kamu! Kasian dia,” titah Pak Latif kepada anaknya. Vani pun menghembuskan napas kasar menahan sedikit kesal. ‘Sabar Vani, sabar. Orang sabar badannya lebar’ batin Vani didalam hati. “Iya Pak. Sini biar Vani yang suapin Mas aja, nanti abis makan baru istirahat ya,” ujar Vani kepada sang suami dan diangguki oleh Gerry. “Makasih, Dek” jawab Gerry. Nampak sedikit senyum di sudut bibirnya mendengar ucapan Vani tersebut. Akhirnya, Gerry pun makan berdua bersama Vani dan disuapi olehnya. Setelah selesai makan malam dan membereskan sisa makanannya, Vani pun lalu mendorong suaminya menuju ruang keluarga lalu memindahkannya ke karpet bulu yang berada disana agar dia bisa meluruskan kakinya untuk bersantai sejenak sambil menunggu waktu isya datang. “Sering begitu, Ger?” tanya Pak Latif kepada Gerry saat mereka sudah berada di ruang keluarga. “Iya. Biasanya kalo abis nulis atau terlalu banyak ngerjain sesuatu suka mati rasa. Tapi kalo dah diisitahatin ya sembuh lagi,” jawab Gerry. Sebenarnya, tadi Gerry hanya berpura-pura saja agar Vani bisa menyuapinya, namun dia tak menyangka bahwa hal itu juga mampu membuat sang mertua sedikit panik. “Sini, coba bapak pijetin. Kali aja bisa mendingan,” tawar Pak Latif dan diangguki oleh Gerry. Pak Latif pun lalu meraih tangan kanan Gerry lalu memijat-mijat area pergelangan tangannya. Setelah itu beralih ke lengan atas lalu kebawah lagi. Begitu terus sampai sekitar 5menit baru berpindah ke daerah belakang leher. “Sakit Pak disitu,” rintih Gerry sambil meringis saat pijatan Pak Latif mengarah ke area sana. “Tahan sebentar ya. Biasanya kalo leher dah rada enakan, nanti semua badan juga enakan. Pernah berobat ke alternatif Ger?” tanya Pak Latif kepada menantunya itu. “Belum, Pak. Baru di rumah sakit aja, terus terapi. Tapi baru bisa sembuh satu tangan, rasanya udah gak mau terapi lagi. Karena, percuma sembuh juga. Gak bakal ada yang peduli,” ujar Gerry. Matanya menatap lurus kedepan, namun pikirannya menerawang jauh ke masalalunya. Tanpa sadar ada sebulir air mata yang hampir jatuh namun berhasil dia hapus sebelum terlihat oleh Vani dan keluarganya. “Kok ngomong gitu? Gak boleh kaya gitu. Itu menyalahi takdir namanya,” ujar Pak Latif dengan lembut sambil terus memijat Gerry. Sekarang pijatannya, sudah berganti posisi di lengan sebelah kirinya. Vani yang tadi berada disisi sebelah kiri Gerry pun lalu pindah duduknya karena sang bapak akan memijat suaminya. “Sejak nikah sama si Wiwik, papa seakan gak peduli lagi sama aku dan juga mamah. Malah, karena masalah apa gitu aku lupa, kayanya mah Wisnu, mama sampe dihajar habis-habisan sama papa. Mama juga sempet hampir gila waktu itu, gara-gara ulah si Wiwik yang suka ngadu domba papa dan mama. Akhirnya pas aku masuk SMA, mama mutusin buat keluar dari rumah itu. Hidupku tadinya baik-baik aja meskipun awalnya sulit. Tapi, dengan ada mama disamping aku, setidaknya dia bisa jadi penyemangat aku. Tapi, sejak mama meninggal setahun kemaren, rasanya hidup aku hampa dan gak berasa punya semangat lagi apalagi keadaan aku juga lumpuh total waktu itu. Kalau bukan karena keluarga Fatah, aku gak bakalan bisa kaya gini,” cerita Gerry panjang kali lebar kepada Pak Latif. “Apa sekarang pikiran kamu juga masih kaya gitu? Hidup masih hampa?” tanya Pak Latif mengintrogasi. Pijatannya sekarang sudah beralih ke area kaki. “Ngga. Aku punya Vani sekarang. Meskipun aku tau, pernikahan ini juga terpaksa. Tapi setidaknya aku harus berjuang buat sembuh biar bisa ngebahagiain dia. Siapa tau nanti, cinta itu datang seiring berjalannya waktu,” ucap Gerry sambil melihat ke arah Vani. Pipi Vani pun nampak bersemu merah mendengar ucapan suaminya itu dan langsung memeluk sang suami. “Heh, mesraannya nanti aja dikamar! Bapak masih ngurut suaminu ini!” ucap Pak Latif dengan sedikit membentak melihat tingkah anaknya itu. Meskipun terlihat seperti membentak, namun sebenarnya Pak Latif masih berbicara dengan lembut dan ada nada meledek terhadap anaknya itu. “Refleks, Pak,” bela Vani. Vani pun nampak malu akan tingkahnya tadi, lalu dia pun tertawa karenanya, sehingga membuat ke 3 orang lainnya pun tertawa. “Bapak suka ngurut?” tanya Gerry kepada Pak Latif. Karena pijatannya tadi, benar-benar membuat badannya sedikit rileks dan nyaman. “Bisa sedikit. Dulu kan bapak pernah jadi tukang urut. Sekarang juga si, cuma karena dah tua tenaganya gak sekuat dulu jadi udah gak mau nerima jasa urut lagi. Paling kalo anak-anak masih mau lah,” jelas Pak Latif dan Gerry pun mengangguk tanda paham. Mereka pun bersantai sejenak sambil menonton acara TV. Sekitar pukul 20.00, barulah Vani mengajak suaminy itu kekamar setelah sebelumnya ke kamar mandi dahulu untuk berwudhu dan akan menunaikan salat isya. Di dalam kamar, setelah menunaikan salat isya, Vani pun lalu membantu Gerry untuk beristirahat di kasurnya. Setelah itu, dia mengambil kasur bulu yang berada di pojok kamarnya dan menggelarnya disampingnya tempat tidurnya “Itu buat apaan, Dek?” tanya Gerry tak paham. “Tidur lah. Aku gak mau tidur seranjang sama Mas,” ucap Vani dengan nada sedikit ketus. Gerry pun lalu menghembuskan napas kasarnya. “Kamu disini aja, Dek. Biar Mas yang dibawah,” ujar Gerry. Dia tak mungkin tega melihat istrinya itu tidur dibawah sementara dirinya tidur di kasur yang empuk. “Ribet nanti kalo kamu dibawah mah. Susah gotonganya,” jswab Vani dengan nada yang masih sama ketusnya. “Aku di kursi roda aja. Kamu jangan tidur dibawah. Gak baik, nanti masuk angin. Siniin lagi coba itu kursi rodanya, biar aku disana aja,” titah Gerry kepada sang istri. Vani pun nampak menghembuskan napas kasar. Di satu sisi dia tak ingin tidur bersama sang suami. Namun, di satu sisi juga dia tak tega kalau menyuruh suaminya tidur dibawah atau dikursi roda. Akhirnya, dia pun mengalah untuk tidur bersama suaminya di kasur. “Huh. Sial amat nasib gue. Udah gagal nikah, eh sekalinya nikah malah dapet suami cacat modelan gini. Ngerepotin sumpah,” gerutu Vani kepada suaminya itu. “Coba inget – inget, dulu lu pernah buat dosa apa sampe punya laki cacat kek gua?” tanya Gerry balik. Gerry nampak sedikit kesal dengan gerutuan Vani. Pasalnya, sikap Vani jika berdua saja dengannya selalu ketus dan jutek, berbeda jika berada didekat orang tuanya yang sangat lemah lembut kepadanya. “Gak tau. Sial banget emang. Akh, andai lu kek di novel-novel gitu, yang cuma pura-pura lumpuh demi nyari wanita yang bisa nerima dia apa adanya. Atau mungkin beneran lumpuh, tapi setidaknya dia tajir melintir,” jawab Vani asal. “Mimpi lu kejauhan,” ujar Gerry sambil menjitak kepala istrinya yang saat itu sudah berada duduk disampingnya itu dengan sedikit gemas. “Huh. Sana geseran lagi,” ujar Vani kepada Gerry. Namun, bukannya bergeser, Gery malah … “Maaaaasssss … ” teriak Vani sedikit agak pelan kepada suaminya. Sedangkan Gerry nampak sedikit terkekeh melihat tampang istrinya itu. Kira-kira apa yang dilakukan Gerry ya?

Cuci Time

Vani pun nampak gusar karena Gerry yang tiba-tiba menci*m bibirnya. Karena kesal, akhirnya dia langsung saja pindah menuju pojok tempat tidur dan segera memejamkan matanya. Gerry masih nampak terkekeh melihat kelakuan istrinya itu. “Kamu cantik, Dek, kalo lagi ngambek kaya gini. Andai aja aku normal, mungkin kamu gak akan malu nikah sama aku. Sayang aja, kamu dapet aku pas lagi kena sialnya. Duhh … pingin meluk tapi susah. Takut ngambek pula lagi dia,” ucap Gerry sambil memandang wajah istrinya yang sudah terpejam itu lalu membelai rambut panjangnya dan dia pun ikut memejamkan matanya. Perlahan, Vani membuka kembali matanya dan menatap wajah sang suami. Ternyata, dari tadi dia hanya pura-pura tidur dan mendengar semua ocehan suaminya. “Kalo di liat-liat, kamu emang lebih cakep diband