Penderitaan Akibat Pemerkosaan ABG Mungil

Penderitaan Akibat Pemerkosaan ABG Mungil – “Tidaaaaak…! saya tidak mau…! lepaskaaaaaan…! arrrrgghhhh… biadaaaab…! jangaaaan…..!” jeritan kesakitan terdengar bergema di ruangan kecil sebuah bangunan tua.

Seorang gadis kecil bertubuh mungil terlentang bugil di atas lantai berdebu. Pakaiannya tak lagi menutupi tubuhnya. Kedua tangannya terikat kencang dengan gulungan rantai. Masing masing tangan itu diikatkan ke kaki meja yang Cuma satu satunya di ruangan itu. Kakinya menendang kesana kemari mencari sasaran.

“Nimati saja nak. Nikmati saja….. Kau bahkan akan menghiba padaku minta diulangi sebentar lagi… hehehehe”

Seorang pria berambut panjang, kusut dan terurai dengan tubuh bertato nampak menindih tubuh gadis kecil yang terus berteriak, menjerit minta dilepaskan. Rontaan gadis kecil itu tak berarti apa apa baginya. Bahkan tedangan kaki si gadis malang itu hanya mengenai ruang kosong tanpa bisa menyentuh kulitnya sekalipun.

 

Dengan bibir menyeringai lebar, pria setengah baya itu memposisikan tubuhnya ditengah kedua paha gadis kecil itu. Penisnya yang sudah mengacung keras digesekkannya pada belahan vagina si gadis yang mulus tak berbulu.

“Ampuuuuunnnn…. jangan paaaaaak, baaaaang…. ooooommmm…., saya mohon jangan lakukan itu…. hik…hik…”
“DIAAAAMM….!. kamu mau mampus? hah?!” bentak pria itu sambil meregangkan paha si gadis kecil dengan paksa.
“Ampun Ommm,,, hik..hik.., saya tak akan melawan lagi…, hik..hik..”

Gadis kecil itu menangis sesenggukan. Rasa takut atas ancaman si Pria jahannam yang tengah berusaha memperkosanya mengalahkan ketakutan akan kehilangan keperawanannya. Tak ada yang bisa dilakukannya sekarang, selain pasrah pada keadaan yang menimpanya.

 

“Bagus. Kau mengerti juga, nak. Nikmati saja. Setelah ini kau bebas pergi kemana saja… ” ucap si pria menyeringai.

Gadis kecil itu pasrah. Tak ada gunanya melawan tubuh besar dan bertenaga kuat yang telah siap membobol lapisan tipis di belahan vaginanya itu. Siapalah dia, hanya gadis kecil yang tak memiliki apa-apa dijalanan panjang dan luas kota Jakarta. Jangankan berharap ada yang mau menolongnya dari kebrutalan pria besar yang akan memperkosanya ini, untuk berharap ada yang mau menanyakan bagaimana keadaannya dan apakah dia sudah makan atau belum saja adalah hal yang sangat mustahil baginya.

Sambil meringis dan merintih kecil, dipandanginya pria besar itu. Sebuah benda panjang dan gede dengan ujungnya mengkilat sedang berada tepat dimulut lubang vaginanya. Gesekan penis di klitorisnya sama sekali tak menimbulkan rangsangan apapun dalam dirinya. Tak ada birahi yang timbul, hanya ketakutan dan rasa ngeri yang luar biasa.

“Diam ya?, jangan teriak lagi. Jika berani teriak aku akan membunuhmu. Faham ?!” ancam pria itu padanya.
Gadis kecil itu mengangguk pelan. Ngeri. Dan jeritan pun akhirnya tetaplah keluar dari mulut kecilnya…
“Awwwwww…., ampuuuuun… sakiiiiiiit…. aaaaawwwwhhhh…”

Benda panjang dan besar milik pria itu telah menerobos masuk dengan paksa ke dalam memeknya. Perih rasanya. Sakit luar biasa. Tangan kecilnya berusaha melepaskan diri dari ikatan kencang, namun sia-sia. Kepalanya terangkat keatas menahan nyeri yang luar biasa diselangkangannya. Jeritan kesakitan yang keluar dari mulutnya tak dipedulikan pria besar itu. Justru pompaan penis yang keras diterimanya diliang sempitnya yang terasa sangat ngilu. Hentakan hentakan si pria semakin lama semakin cepat, memaksa lubang sempitnya merespon dengan perlahan. Cairan pelumas mulai mengalir sedikit demi sedikit secara alamiah. Tangan pria besar itu mulai menggerayangi payudaranya yang baru tumbuh sebesar bakso. Terasa sakit remasan tangan itu. “Hmmmmm…., enak benar memekmu, nak. Sempit dan legit. Hmmmmm…., aku suka…” erangan cabul terdengar dari mulut pria itu. Dan pompaan keras dan cepat mulai dilakukannya, tanpa peduli pada jerit tangis si gadis kecil. Dan….. crottttt….crotttttt…. crottt

“Arrrghhhh…. ummmm…” erangan nikmat diakhir pompaannya terdengar penuh kepuasan. Semprotan sperma yang kencang menyembur mengisi penuh lubang memek sempit sang gadis yang diam membujur di depannya.

 

Tak ada lagi teriakan dari mulut gadis kecil itu, tak ada lagi rontaan dari tubuh kecilnya. Suara jeritannya yang keras tadi lama kelamaan mengecil dan hilang seirama dengan jeritan orgasme dari mulut pria itu. Sesaat kemudian dicabutnya penisnya dari jepitan lubang memek perawan itu. Senyuman sinis penuh kepuasan tersungging dari bibir pria besar itu. Ujung penisnya yang masih mengacung tegak dengan bercak darah segar pada batang beruratnya di lapnya dengan secarik kertas usang di atas meja. Dikenakannya kembali pakaiannya yang berserakan dilantai. Tubuh besar berotot itu berdiri didepan gadis kecil yang diam tak bergerak.

“Hmmm…” pria itu menggeram. Diambilnya pakaian gadis kecil itu yang teronggok disamping tubuh kecilnya lalu dilemparkannya ke atas tubuh bugil gadis itu.

Selembar foto melayang dan jatuh tepat diatas telapak kaki pria pemerkosa itu seiring dengan pakaian yang menimpa menutupi tubuh si gadis.

“Pasti ini miliknya” ucap si pria membatin sambil meraih Lembar foto itu.

Di baliknya foto itu. Seorang wanita sedang menggendong bayi kecil. Tak jelas wajah wanita itu karena kertas foto itu telah usang.

“Heh..” dengan kesal di lipatnya foto itu menjadi dua bagian.

“Hah ? apa ? ini……” pria itu terkejut ketika hendak melipat foto yang dipegangnya. Sebuah tulisan tertera di belakang foto itu. Tertera dalam tulisan yang kecil dan hampir tak terbaca.

Lara. Sang Buah hatiku.
Buah cinta dari :
Nina dan Joe
Lahir Tanggal : 14 Februari 2000.
Di : Rancah, Ciamis

Tulisan yang nyaris tak terbaca, tulisan yang tiba-tiba membuat Joe menjadi lemas. Otot tubuhnya menegang, kaku. Urat sekitar wajah dan lehernya menegang, matanya memerah, jantungnya berdegup kencang, persendiannya seperti tak bertaut. Ada kekuatan yang Maha Dahsyat terpancar dari tulisan itu. Kekuatan yang tak pernah terbayangkan oleh Joe……

“Jadi….” gumam Joe gugup. Jarinya menunjuk gadis kecil yang baru diperkosanya, lalu menunjuk dirinya sendiri. Dilihatnya sekali lagi wajah difoto itu dengan seksama. Tangannya gemetar. Dadanya menjadi sesak. Wajah garangnya berubah seketika. Ekspresi terkejut berganti syok.
“Jadi… dia adalah…. Oh.. tidak..!” Joe tercekat. Denyut jantungnya seperti terhenti.
“Ohh… Nina.., ma… maafkan… aku… hik..hik..” didekapnya foto itu. Airmatanya mengalir deras. Rasa penyesalan yang luar biasa terpancar dari raut wajahnya. Tubuhnya yang tegap berdiri jatuh tersungkur.

 

16 tahun yang lalu, pria yang sesungguhnya bernama Joe ini berkenalan dengan seorang gadis desa yang datang merantau ke Jakarta. Nina namanya. Mereka saling jatuh cinta. Meskipun penampilannya seram dan killer, namun Joe bagi Nina adalah sosok yang didambakannya. Joe selalu melindungi Nina dari segala hal. Hanya Joe lah yang dengan tulusnya memberi semangat kepada Nina dalam menjalani kerasnya kehidupan kota.

Mereka berpacaran selama enam bulan. Selama itu mereka tinggal di gedung tua yang kini sedang berbaring tubuhnya dan tubuh gadis kecil korban perkosaannya. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Rasa cinta dan kasih sayang begitu besar diantara mereka. Joe bekerja, dan Nina mengurusi tempat tinggal mereka yang sesungguhnya bukan milik mereka. Dari kebersamaan itu, Nina pun hamil. Menjelang Januari 1999, Nina terlambat datang bulan. Ketika ditunggu hingga bulan berikutnya, haid tak pernah datang lagi.

Nina akhirnya mengajak Joe Ke Desa untuk minta restu kedua orang tua untuk menikah. Namun apa dikata, kedua orang tua Nina tak mersetui hubungan mereka karena Joe adalah seorang preman. Mereka malah mengusir Joe. Joe yang sangat mencintai Nina pun terpaksa harus pergi meninggalkan Nina yang tengah mengandung anak dari buah cinta mereka. Hingga kini dia tak tahu kabar Nina.

“Nina akan menjaga anak kita bang. Nina akan memberi nama buat dia. Jika dia perempuan, maka akan Nina namai Lara. Jika Pria, maka akan Nina namai Teguh” Itulah kalimat terakhir yang didengarnya dari Nina ketika dengan berat hati dia mesti pergi meninggalkan Nina.

Kehidupan Joe makin bertambah hancur. Dia semakin brutal dan tak terkendalikan. Naluri kebinatangan hasil dari pemberontakan jiwanya yang terus terbelenggu dalam harapan panjang yang sepertinya mustahil di gapainya. Harapan untuk bersama Nina, juga marah pada calon mertuanya. Joe melampiaskan segala keputus asaannya pada setiap wanita baik-baik yang berhasil dibujuknya dengan menawarkan jasa baiknya pada mereka, dan setelah memperoleh kepercayaan mereka, maka Joe memperkosa dan menyiksa mereka saat kesempatan untuk itu datang. Hingga hal ini terjadi ………..

Gadis kecil imut itu usianya baru menginjak 15 tahun. Rambutnya lurus panjang sebatas pinggang, wajahnya sedikit manis, menampakkan ciri khas seorang gadis desa. Tingginya sekitar 140 cm, dengan payudara kecil yang baru tumbuh sebesar bola bakso. Pinggulnya agak sedikit padat, dengan paha yang kencang dan cukup ideal untuk ukuran gadis seusia dia. Boleh dikatakan montok. Namanya Lara. Sesuai dengan hidupnya yang terus dilanda lara yang berkepanjangan.

 

Sudah sebulan dia di Jakarta, pergi dari desanya tanpa sepengetahuan Ibu, kakek, dan neneknya. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang, dia tak tahu. Yang dia tahu kini adalah terus mencari keberadaan bapaknya yang sejak kecil tak pernah dia lihat. Kata neneknya bahwa bapaknya ada di Jakarta. Tak tahu kerjaannya apa. Kadang Lara berkhayal bapaknya adalah seorang pengusaha kaya. Dia ketemu bapaknya lalu bapaknya mengajak dia dan ibunya tinggal di rumahnya yang mewah. Tapi semua itu hanyalah sebuah khayalan. Lara tak tahu dimana dan bagaimana bapaknya.

Joe merasa galau. Sudah hampir seminggu hasrat seksnya belum tersalurkan. Penisnya yang selalu mengeras menjelang pagi membuatnya pusing dan senewen. Sementara dia belum mendapatkan mangsa yang bisa dijadikannya objek pelampiasan hasrat seksualnya yang sangat tinggi.

Disebuah halte bis, Joe duduk dengan gaya seorang pria sopan dan baik-baik. Dia berharap ada wanita yang akan mau singgah sebentar diperhentian bis itu, sendirian. Untuk tidak menimbulkan perasaan curiga pada calon korbannya, Joe merubah penampilannya sesopan mungkin. Sebuah kemeja putih berlengan panjang dipadu dengan celana hitam dan sepatu hitam disemir mengkilat, Joe berlagak layaknya seorang pria gentlement, tak ada kesan sangar sama sekali.

Diusianya yang sudah tak bisa dibilang muda lagi, kehidupan Joe tak pernah bisa lepas dari masalah selangkangan wanita, dengan cara berbeda dengan orang lain dalam hal mendapatkannya. Joe terus bersabar. Dari pagi hingga sekarang menjelang petang, belum ada satupun wanita yang bisa dijadikan mangsa. Diliriknya jam tangan trendy yang dipakainya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00. Gelisah hatinya. Hasrat biologisnya menuntut untuk dipuaskan.
Sambil melepaskan nafas resah, diambilnya sebatang rokok di saku bajunya, lalu dengan korek api bermerk Zippo disulutnya rokok. Gumpalan asap mengepul keluar dari mulutnya.

Lara melangkah gontai menyusuri jalanan panjang dibawah panasnya sinar matahari yang baru menjelang petang. Tubuh kecilnya yang dibalut pakaian tipis seperti kehabisan ion. Lemas dan lelah. Sejak pagi perutnya keroncongan minta diisi. Uang disakunya tersisa dua ribu rupiah, tak sanggup untuk membeli sepiring nasi di setiap warung makan yang disinggahinya. Sejak pagi terpaksa dia hanya bisa mengisi perutnya dengan air putih gratis pemberian pemilik warung makan.

Air mata Lara mulai menetes membasahi pipinya. Teringat ibu serta kakek neneknya dikampung. Meskipun dengan ala kadarnya, disana dia tak pernah merasa kelaparan dan kehausan seperti ini. Dengan langkah gontai dan didera oleh rasa lapar, Lara berjalan menuju ke sebuah halte bis. Dia ingin melepas lelah disana, juga berlindung dari panas matahari. Jarum jam pada jam yang terpasang dibundaran simpang lima telah menunjukkan pukul 16.00, dan hingga saat ini belum ada apapun yang masuk ke dalam perutnya selain air putih.

 

Di halte dilihatnya seorang pria yang ditaksirnya berusia sekitar 40 tahunan dengan pakaian yang rapi sedang duduk. Lara mengambil tempat duduk tak jauh dari pria itu. Mata pria itu seperti berbinar senang melihat kedatangannya. Senyum ramah tersungging dari bibirnya.

“Duduk dek. Sini dekat Om..” ucap pria itu menawarkan tempat kepada Lara.

Lara tersenyum ramah membalas senyuman pria itu.

“Adek kenapa? kok kelihatan loyo begitu? belum makan?” ucapan ramah dan lembut itu sedikit menyalakan harapan dihati Lara. Berharap si Om mau menawarinya makan atau minum.

“Iya, Om. Lara belum makan. Lara lapar…” ucap Lara polos.

Si Om tersenyum. Agak aneh, tapi Lara tak punya pengetahuan dalam menganalisanya.

“Kasihan…, belum makan? Lapar?” si Om menatap dengan raut iba. “Nama adek Lara ya..?” tambahnya.
“Ayo ikut Om. Kita makan. Om punya makanan enak buat kamu. Mau?” sebuah tawaran yang sangat menggiurkan Lara yang sedang berada dalam deraan rasa lapar.

“Ayo…!” Ajak si Om.

Lara berdiri mengikuti langkah si Om. Tak ada rasa curiga sedikitpun di hatinya. Selain polos dan lugu, deraan lapar di perutnya membuat dia memutuskan ikut si Om. Mereka berjalan menuju ke sebuah gedung tua yang terletak agak jauh dari jalan raya. Gedung tua itu sepertinya lama tak dipakai. Temboknya sudah lapuk. Banyak coretan-coretan cat yang tak karuan pada dindingnya.

Lara mencari cari bangunan lain disekitar gedung tua itu, namun tak ada. Si Om yang memperkenalkan diri dengan nama Joe, mengajaknya masuk ke dalam gedung tua itu. Kotor dan berdebu. itu kesan pertama yang dilihat Lara. Namun pada bagian dalam dari gedung tua itu terdapat ruangan yang agak bersih. Sebuah meja dan sebuah kursi kayu terletak disana. Hanya itu, tak ada perabotan lain. Diatas meja terdapat bungkusan dalam keadaan masih terbungkus rapi. Lalu dua buah air mineral dan sebungkus rokok.

 

Lara segera melahap nasi setelah Om Joe menyerahkan padanya sebuah bungkusan yang berisi nasi lengkap dengan lauknya. Kenyang sudah.

“Kamu duduklah dulu. Om mau ganti baju…” Ucap Om Joe kemudian.

Lara menganggukkan kepalanya. Tak terlintas sedikitpun dalam hatinya untuk mencurigai Om Joe. Seorang pria yang terlihat berpenampilan seorang eksekutif tinggal digedung tua yang tak ada perabotan lain selain sebuah meja dan sebuah kursi ? Tak lama setelah Lara menghabiskan makanannya dan meminum sampai habis sebotol air mineral, Om Joe datang dengan pakaian yang tak serapi tadi, malahan terkesan amburadol. Rambutnya tergerai panjang, awut-awutan.

“Terima kasih, Om. Lara sudah kenyang…” ucap Lara polos sambil mengusap perutnya. Sebuah senyum sinis mengandung makna dahaga akan birahi yang tinggi tersungging dari bibir Om Joe. “Ya sudah. Kalau sudah kenyang…, kini saatnya kau membayarnya…” ujar Om Joe dengan seringai penuh nafsu liar. Lara mengerutkan dahinya. “Tapi Lara tak punya uang, Om. Tersisa dua ribuan aja…” ucap Lara lirih dan kebingungan. Om Joe mendekatinya, lalu mencengkeram bahunya. Lara tercekat, kaget. “Kalau tak punya uang, bayar sajalah pakai tubuhmu…” bisik Om Joe didekat telinganya. Lara masih bingung. Perasaan takut perlahan mulai menerpanya. “Lara… Lara nggak ngerti, Om..” nada polos dan lugu terucap dari mulut Lara. “Hahahahaha…” gelak tawa mengerikan mulai terdengar dari mulut Om Joe. “Tak ada yang gratis di dunia ini, Nak. Kamu mesti membayar makanan dan minuman itu dengan merelakan tubuhmu untuk aku nikmati…, mengerti sekarang?”

Wajah Lara pucat seketika. Dadanya berdegup kencang, perasaan takut mulai menderanya. Instingnya mengatakan bahwa Om Joe akan melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya. “Om mau memperkosa Lara?” masih dengan keluguannya Lara bertanya. Tubuhnya mulai menegang. “Bukan…, Om mau memberikan bonus kenikmatan kepadamu… hahahaha” Cengkeraman yang kuat semakin terasa menekan pundak Lara. Tubuhnya diseret lalu dihempaskan keatas lantai. “Om…, Om mau ngapain?” perasaan takut dan ngeri makin dirasakan Lara. Perlahan air matanya mulai menetes. Om Joe mendengus, menggeram. “Diam ya! ini nikmat kok…”

“Tidak Om. Jangan…! Lara tidak mau…!” Lara menggeliat mencoba melepaskan diri saat tangan Om Joe dengan kasar meremas payudaranya yang baru tumbuh sebesar bola bakso, lalu tangan itu kini beralih lagi meremas selangkangannya.
“Sudah Om bilang diam. Jangan melawan supaya kamu tidak akan kesakitan…!” tandas Om Joe sembari mulai meremas dengan kasar selangkangan Lara.
“Tidak Om…, Lara tidak mau.. hik…hik…”
“DIAM..!”

 

Tersulut emosi karena perlawanan yang diberikan oleh Lara, Joe mendorong tubuh Larah hingga tersungkur kelantai gedung tua itu. Tak hanya berhenti disitu, dengan beringas disentakkannya baju Lara hingga robek dibagian lengannya, dan baju itupun lolos dari tubuh Lara. Setelah itu rok Lara disentakkannya dengan kasar melewati bokong dan kaki gadis kecil itu. CD Lara langsung dirobeknya. Sempurna sudah kebugilan Lara didepan matanya.

Lara menjerit sekencang-kencangnya. Tak disangkanya Om Joe yang terlihat baik dan ramah ternyata adalah seorang manusia berhati iblis. Tak hanya puas dengan merobek baju milik Lara. Om Joe lalu berjalan seperti mau mengambil sesuatu benda yang berada disudut ruangan gedung tua tempatnya memperkosa gadis malang ini. Benar Om Joe sedang mengambil sebuah rantai besi lengkap bersama gemboknya. Apa yang ingin dilakukan Om Joe dengan rantai besi ini? Semuannya sungguh diluar nalar. Ditariklah rambut Lara sampai Lara bangkit dari tempatnya jatuh tadi. Benar benar pria yang tak mempunyai pri kemanusiaan sama sekali.

“Aaahhh….” Jerit Lara pelan ketika rambutnya ditarik secara kasar.

Jeritan Lara membuat Joe semakin naik pitam. Sebuah tamparan akhirnya melesat kearah pipi mulus milik Lara. “Ccppplllaaakk” bisa dilihat dari suarannya keras sekali tamparan yang diluncurkan oleh Joe. Mata Lara nanar menahan sakit yang dideranya saat ini. Bukan sakit karena ditampar atau didorong, tapi sakit karena memikirkan takdirnya harus seperti ini. Kalau saja dia menurut dengan ibunya pasti kejadian ini tak mungkin terjadi. Rantai yang diambil oleh Joe kini dililitkan ketangan Lara. Lara hanya diam pasrah. Setelah melilit tangan Lara dengan rantai, dengan cepat ujung rantai satunya dililitkan kesebuah gantungan besi yang ada diatasnya.

Kini Lara berdiri dengan tanggan tergantung dan tubuh bugil yang terpampang jelas didepan Om Joe. Air mata seakan akan tak mau berhenti terus mengalir membasahi pipi gadis malang ini.

“Hahahahaha….. dasar perempuan dikasih kenikmatan malah nangis” kembali kata kata yang tak patut diucapkan keluar dari mulut Joe.

Joe mencopot sabuk yang sedang dipakainya. Setelah sabuk itu terlepas kembali senyum iblis seorang Joe muncul sekali lagi. Dicengkramlah pipi Lara kembali Joe tersenyum tepat didepan wajah Lara.

“Cpplllllaaaakkk…..” Tiba tiba Om Joe menyabetkan sabuknya ketubuh Lara.

 

“Aduuuhhh……!” Teriak Lara menahan sakit akibat cambukan yang diberikan oleh Om Joe. Air matanya keluar semakin deras seolah tak bisa dibendung.

Om Joe tak menghiraukan jerit kesakitan Lara malah dia semakin beringas mencambukan sabuknya kerah tubuh Lara berkali kali. Puas dengan mencambuki tubuh Lara, Om Joe melepaskan rantai besi yang terlilit pada besi diatas tubuh Lara dan mendorong tubuh Lara sehingga lagi lagi tubuh Lara terjatuh kelantai gedung tua itu. “Hahahahaha” kembali tawa yang paling dibenci oleh Lara itu muncul dari mulut Om Joe. Sambil melepaskan celana yang dipakainya saat ini. Ternyata Om Joe tidak memakai celana dalam, jadi ketika celana yang dipakainya terlepas mengacunglah penis besarnya yang sedari tadi sudah tegang ingin dibebaskan dari penjaranya.

Lara terpekik kesakitan saat penis besar Joe menerobos liang vaginanya yang sempit.

“Tidaaaaak…! saya tidak mau! lepaskaaaaaan…! arrrrgghhhh… biadaaaab…! jangaaaan !” jerit Lara menggema diruangan gedung tua itu.
“Teriaklah…! tak ada yang bisa mendengarmu. Teriaklah… hahahaha” tawa bengis Om Joe yang telah behasil memperdaya Lara.

Lara meronta dengan sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri. Tindihan Om Joe ke atas tubuhnya membuat dadanya terasa sesak. Tubuhnya tak bisa digerakkan lagi saking beratnya tubuh Om Joe. Kakinya menendang kesana kemari, namun hanya mengenai tempat kosong, tanpa sedikitpun mengenai kulit Om Joe yang sedang berada diantara dua pahanya.

Lara menangis, menjerit, dan meronta. Namun semua seperti tak ada gunanya. Pemerkosaan atas dirinya pun terus berlangsung. Bagai tak mempunyai rasa belas kasihan Om Joe terus memompa penisnya didalam vagina Lara dengan kasar.

“Enak juga iya memekmu gadis bodoh…… Hahahahaha” tawa bengis Om Joe yang tengah merasakan kenikmatan oleh jepitan vagina Lara.
“Ampun Om….. hentikan ampunnn….. sakit om sakit….” Jerit Lara yang merasakan sakit pada selangkangannya tapi tampaknya Om Joe tak memperhatikan permohonan gadis kecil yang sedang digagahinya tersebut.
“Cplllaaakk” sebuah tamparan lagi lagi melesat kepipi Lara ” dasar gadis bodoh”

Entah sudah berapa Lama Om Joe menikmati tubuhnya, entah sudah berapa kali cairan hangat menyemprot ke dalam liang peranakannya yang sempit, Lara tak tahu lagi. Dia pingsan. Saat dirinya siuman, tubuhnya terasa ngilu. Selangkangannya perih. Perlahan air mata menetes dari kedua bola matanya. Tak disangkanya dia akan mengalami nasib yang teramat tragis dalam proses pencarian bapaknya. Terbayang wajah Ibu serta kakek neneknya di Desa. terbayang teman-temannya. Lara mulai terisak. Hari ini adalah hari kelahirannya. 14 Februari. Dan hari ini juga dia mengalami kejadian yang sangat membuatnya terguncang.

 

“hik..hik..ugh..ugh.., maafkan aku, Nina…hik.. hik.. maafkan aku..” Lara sedikit tercenung dengan sura isakan seseorang di arah atas kepalanya. Tubuhnya yang terlentang dengan tangan terikat masih tak bisa melihat pemilik suara itu, dia yakin itu suara Om Joe. Suara isakan itu terdengar semakin kencang…, menyebut nama seseorang, mirip nama ibunya.

“Nina….! hik.. hik…, aku sungguh biadab! aku iblissss! uhuk… ugh.. ugh.. hik.. hik…”
“Ada apa dengan iblis tua ini ?” batin Lara mengutuk.
“Dia anak kita, Nina. Dia anak kita. Dan aku bapaknya telah menodainya. Dia Lara, gadis kecilku…” terdengar lagi rintihan “Aku biadaaaaaaaaab….!” suara itu berubah menjadi lengkingan keras.
“Uhmmm… ughhh..” Lara menggerakkan tubuhnya mencoba melihat si Iblis tua pemerkosanya.
“Lara???… kau… kau… sudah siuman Nak?” suara itu begitu lembut penuh kasih.
“Lara???…, Lara???… hik.. hik…, maafkan bapak nak. Aku bapakmu, aku teramat biadab… ugh..ugh..”

Lara semakin bingung dengan keadaan itu. Om Joe membuka ikatan pada tangan Lara, lalu mengangkat tubuh Lara ke atas pangkuannya.

“Lara…., Lelaki biadab ini adalah bapakmu..! aku bapakmu, Lara…” ucapan diselingi isak tangis dari mulut Om Joe membuat Lara menjadi marah. Dengan sisa-sisa tenaganya dia menggeliat bangun melepaskan diri. Diraihnya pakaiannya lalu dengan cepat ia menutupi tubuh telanjangnya. Dengan geram dan penuh kebencian ditatapnya wajah pemerkosanya.

“Kau? Kau iblissss…!” hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya, mewakili ribuan cacian yang menggemuruh dalam hatinya.
“Lara…….”
“Biadab..!”

Lara pun berdiri. Setelah memakai pakaiannya dengan tergesa, Lara melangkah pergi, menepis sentuhan tangan pria pemerkosanya.
“Lara…..”
“Biadab…!”

Dengan sisa tenaganya, Lara melangkah dengan terseok-seok, keluar dari gedung tua itu.
“Lara… tunggu…!” teriak Om Joe berusaha mengejarnya.

 

Lara mempercepat jalannya, lalu dengan sekuat tenaga berlari menuju ke arah jalan raya. Emosi, rasa takut, benci, putus asa, semua bergemuruh, campur aduk dalam dadanya. Lara terus berlari sekencang-kencangnya. Dia ingin pergi jauh dari Om Joe, dari semuanya. Dalam keadaan labil, Lara berlari menuju jalan raya. Tak dipedulikannya kenderaan yang melaju dengan kencang. Yang dia inginkan saat ini adalah berlari sekencang-kencangnya, menjauh dari Om Joe.

“Laraaaaaaaaa…!” Om Joe menjerit sekencang kencangnya, saat dilihatnya Lara berlari ke arah jalan raya, dan sebuah mobil yang melaju kencang menabrak tubuh gadis kecil itu.

Om Joe hanya bisa melihat tubuh Lara yang sedang dihempas oleh sebuah mobil. Tubuhnya melemas, Om Joe tak kuasa melihat tubuh Lara tergeletak bersimbah darah. Perasaan bersalah kini terus menyelimutinya. Andai saja Om Joe tau lebih awal bahwa sebenarnya gadis yang diperkosa itu adalah anaknya mungkin ini tak akan pernah terjadi. Kini semuanya sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur dan tak mungkin bila bubur akan menjadi nasi kembali. Diraihnya mayat Lara yang tergeletak itu, didekapnya mayat Lara dalam peluknya. Air matanya seolah olah tak mau berhenti keluar dari cela cela kelopak matanya.

“Maafkan bapak nak….. maafkan bapak…….!” Ucapan itu terus menerus keluar dari mulut Om Joe seolah tak mau berhenti.