Pelangi di Sudut Sumatera
Salam hangat dan salam kenal semua,
Setelah lama menjadi silent reader dan terinspirasi karya para maestro disini,
Kali ini saya mencoba untuk menulis dan menuangkan karya saya yang mudah-mudahan bisa diterima dan dinikmati kita semua. Jujur saja ini benar-benar karya pertama saya yang pastinya masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan ataupun alur cerita, sehingga saya menerima segala masukan disini.
Selamat membaca ya..
Hari ini sebenarnya aku malas sekali untuk pergi ke sekolah, bahkan untuk sekedar keluar rumahpun aku malas. Sejak semalam, suasana hatiku sedang buruk. Aku merasa amat terpukul dan hancur, belum lagi harus membayangkan reaksi dan tingkah teman-temanku nanti di sekolah. Ini semua karena pria tua itu, pria tua asal Italia bernama Alberto Zaccheroni yang bersama dengan pasukan biru langitnya telah menghancurkan tim kesayanganku Inter Milan. Menghancurkan harapan semua Interisti, menghancurkan mimpi dan harapan setelah 13 tahun penantian. Semalam Tim kesayanganku kalah dengan skor 4-2 di stadion Olimpico kandang Lazio, kalah di pertandingan penting, pekan terakhir dan harus menyerahkan scudetto kepada Juventus yang saat itu menang 0-2 atas Udinese. Selamat untuk Juventus, The day Juventini Will Never Forget.
Life must go on aku harus bisa menerima dan menghadapinya, karena dalam hidup ini tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan harapan kita. Namaku Gilang Ramadhan, aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku cowok dan kakak keduaku cewek, mereka sudah menikah dan tinggal dikota lain. Bapakku seorang sopir bus antar propinsi sehingga jarang sekali pulang kerumah hanya sekali atau dua kali dalam sebulan, sedangkan ibuku seorang ibu rumah tangga yang ulet, pekerja keras dan cekatan. Untuk mengisi hari-harinya ibuku menyibukkan diri dengan membuat bermacam kerajinan tangan, baik kain daerah atau perlengkapan rumah tangga seperti sarung bantal dan lain-lain, tak jarang juga ibuku menerima pesanan kue dari para tetangga, ibuku pun pintar menjahit dan sesekali menerima pesanan jahitan. Pokoknya ibuku sangat luar biasa, bahkan aku berencana suatu saat nanti akan menyelipkan nama ibuku di nama anak perempuanku kelak, semoga saja isteri dan mertuaku tidak keberatan hehehe.
Dengan tas selempang hitam, baju yang tidak dimasukkan dan dasi yang ku pasang kendur, aku berjalan keluar rumah. Setelah beberapa langkah meninggalkan rumah, sambil menoleh kebelakang aku mengambil sebatang rokok yang kusimpan didalam dompet, jangan ditanya bagaimana bentuknya, gepeng! Setelah sedikit ku pijit-pijit, lalu kubakar dan kuhembuskan asapnya tinggi-tinggi, berharap semua bebanku terbang bersamanya. Aku tinggal di sebuah kota kecil yang ada di pulau sumatera. Hanya ada beberapa sekolah disini, untungnya aku masuk ke sekolah Negri favorit disini, sekolah yang dijadikan tujuan utama bagi yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, sekolah yang penuh prestasi, dan tentu saja diisi oleh murid-murid pilihan. Mungkin karena itulah sekolahku menambahkan dasi pada seragam sekolah kami, untuk sekedar aksesoris? fashion? atau sebagai identitas? Entahlah, pokoknya beda dengan sekolah menengah atas lainnya. Jarak rumahku ke jalan raya sekitar 200 meter, waktu yang cukup untuk menghabiskan sebatang rokok dan menikmati dinginnya udara pagi.
Separuh perjalanan menuju jalan raya, disebuah pertigaan jalan, munculah dia, dengan seragam yang sedikit ketat, rambut sebahu yang dikuncir kuda, dan senyum yang selalu terkembang, berjalan bersama seorang temannya, berjalan sambil bercerita seru, entah bercerita tentang apa, kuharap bukan menceritakan keberhasilan Juventus semalam. Seperti biasa, dia hanya melirik ku sebentar sambil tersenyum, apakah itu senyum untukku? Entahlah. Tapi mata itu ahhh aku sangat menyukai matanya, menyukai caranya menatapku. Dia berbelok dan berjalan di depanku, berjarak sekitar 10 meter dariku, berjalan menuju jalan raya tempat kami biasa menunggu angkot untuk ke sekolah.
Dialah Jennifer Natanegara biasa dipanggil Jenni, adik kelas ku yang saat ini duduk di kelas II SMA, kulitnya putih bersih khas orang berada, bokong yang bentuknya sedikit menungging dan ukuran dada yang diatas rata-rata untuk ukuran anak SMA, sebuah kombinasi yang indah dan membuatnya banyak didekati cowok, baik dari sekolah kami, sekolah lain ataupun lingkungan tempat tinggal kami.
Sampai di tepi jalan raya, sudah ada beberapa anak sekolah yang sedang menunggu angkot, baik yang satu sekolah denganku atau yang lain sekolah. Jennifer kulihat kemudian bergabung bersama beberapa temannya, kerumunan para cewek. Disebelahnya terdapat kerumunan para cowok, aku berjalan kesana untuk bergabung. Seperti yang sudah kuduga, obrolan mereka seputar liga italia semalam, aku berusaha untuk tidak mendengarkan, beberapa kali kudengar mereka mengejekku, tak ku hiraukan seolah aku tak mendengar. Dikota ku ini jumlah angkot dan anak sekolah tidak sebanding, angkot yang sedikit membuat kami kesulitan untuk ke sekolah dan tidak jarang membuat kami terlambat ke sekolah. Status ekonomi disini sangat jelas terlihat, untuk kelas atas mereka berangkat dengan sepeda motor atau mobil pribadi, sedangkan untuk golongan seperti kami harus rela lama menunggu dan berdesakkan diangkot, bahkan tidak jarang bagi kami para cowok terpaksa harus rela bergantung dipintu angkot agar tidak terlambat.
Terkadang aku heran mengapa Jennifer yang berasal dari keluarga berada harus rela bersusah payah naik angkot, sedangkan aku tahu dirumah dia memiliki mobil dan dua sepeda motor. Sambil menunggu angkot aku memperhatikan para kaum elit, ya kaum elit aku menyebutnya, anak-anak orang kaya yang punya fasilitas dan uang saku yang banyak, lewat didepan kami dengan mengendarai motor Yamaha F1ZR atau Honda Tiger 2000, dibelakang membonceng cewek cantik yang juga dari kaum elit, ahh sungguh keren, kapan aku bisa seperti itu. Di masa itu motor Yamaha F1ZR dan Honda Tiger 2000 adalah motor yang sedang trend dan hanya dimiliki oleh orang-orang berada.
Sedang asyik melamun aku dikejutkan oleh motor yang berhenti didepanku, sebuah motor Suzuki Tornado warna hitam. Kulihat pengemudinya, ternyata Intan teman sekelasku
“ayo berangkat, telat lho..” ucapnya lembut.
Entah mengapa secara refleks aku menoleh kearah kerumunan wanita, melihat ke Jennifer. Dia juga sedang melihat ke arahku, seperti biasa hanya lirikan sebentar tapi ada yang beda, tidak ada senyum di bibirnya.
“ayolah, daripada telat. Bosen juga di setrap guru BP hehe…” jawabku sambil membuang puntung rokok dan kemudian mengambil alih kemudi sepeda motor.
Ini hari senin akan sangat kacau kalau telat, selain irit ongkos angkot biasanya jika terlambat dihari Senin maka hukuman akan diberikan di depan peserta upacara yang artinya satu sekolahan melihatnya. Kulajukan sepeda perlahan sambil memberikan senyum mengejek kearah kerumunan cowok, yang kemudian dibalas dengan berbagai macam celoteh.
“Huu gak modal! ”
“Cowok kok nebengan! “
“cie… cie… makan-makan neh..”
“ ama saya aja mbak, Gilang mah ketombean, ntar kelilipan ketombe lho” dan banyak lagi celoteh mereka.
Melewati kerumunan cewek sekilas aku melihat kearah Jennifer, dia tidak melihat kerahku bahkan membuang muka kearah lain. Diperjalanan aku dan Intan hanya ngobrol sekedarnya, jangan berpikir dia akan memeluk pinggangku dan dengan rapat menempelkan dadanya, dia duduk menyamping dan tasnya diletakkan diantara kami. Jangankan dadanya, lengannya pun tidak nempel. Ah dasar otakku mesum, sudah dikasih tebengan masih saja memikirkan macam-macam.
Jarak ke sekolah sekitar 8 kilometer, kurang lebih 10 menit kami sudah sampai disekolahan. Kuparkirkan motor Intan paling pinggir agar nanti saat pulang sekolah dia tidak kesulitan untuk mengeluarkannya
“makasih ya Tan, sering-sering ya kasih saya tebengan “ ucapku sambil memberikan kunci kontak kepadanya.
“ yeee… kalo keseringan mah bayar..” jawabnya sambil menerima kunci kontak dan kemudian berlalu menuju teman-temannya yang telah menunggu disudut parkiran untuk ke kelas.
Diparkiran kuperhatikan para kaum elit sedang berkumpul, sedang membahas masalah motor dan semacamnya, ada yang memamerkan Velg barunya, ada yang mengetes suara knalpotnya, ada juga yang berencana membuat motornya lebih ‘nunggit’ agar saat membonceng cewek bisa merasakan himpitan dadanya. Ah kampret, bikin pengen aja. Yamaha F1ZR orange kombinasi hitam dan suara raungan knalpotnya sangat keren menurutku, entah kapan aku bisa memilikinya. Sambil memasukkan baju dan merapikannya aku berjalan menuju kelasku, kelas III IPS V.
Disekolah ku untuk murid kelas III ada 7 kelas. Dua kelas untuk jurusan IPA dan lima kelas untuk jurusan IPS. Kelasku ada diujung, untuk menuju kesana aku harus melewati enam kelas lainnya. Kelas pertama adalah IPA I, kelas yang menarik perhatianku, yang membuatku selalu ingin menoleh kedalamnya. ya disana, dibangku deretan depan dekat dengan pintu biasanya telah duduk seorang gadis manis, gadis manis yang memiliki bibir tipis dan senyuman lembut, gadis manis yang selalu masuk peringkat sepuluh besar disekolah, gadis manis yang termasuk kedalam deretan primadona sekolah, khususnya kelas III. Primadona kelas II ? sudah pasti Jennifer salah satunya.
Gadis itu bernama Nirmala Primaningtyas, biasa dipanggil Mala. Dikelas I dulu kami pernah satu kelas dan aku hampir setiap pagi punya rutinitas untuk menyalin PR miliknya, walaupun begitu sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya dan tidak memperhatikan atau menaruh perhatian padanya, hanya berinteraksi saat aku ada perlu saja, yaitu saat mencontek PRnya.
Ketidak dekatan kami mungkin dikarenakan kami ‘sedikit’ berbeda dalam beberapa hal. Dia selalu rajin mengerjakan PR, aku selalu rajin menyalinnya. Dia selalu ke perpustakaan saat istirahat untuk membaca, aku selalu ke toilet saat istirahat untuk merokok. Dia sering disuruh guru maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal, aku sering disuruh guru untuk menutup pintu kelas dari luar. Dia duduk dibarisan depan dekat meja guru, aku duduk dipojok paling jauh dari meja guru. Dia potong rambut di salon, aku potong rambut sama guru BP. Dia sering dilempar pujian oleh guru, aku sering dilempar spidol oleh guru. Itu adalah beberapa contoh dari ‘sedikit’ perbedaan kami, ataupun mungkin juga bisa disebut ‘sedikit’ kesamaan, tergantung dari sudut pandang saja. Masih kuingat dulu, setiap aku menyalin Prnya dia selalu menungguiku sambil memberikan nasehat-nasehat padaku seperti
“…kamu itu sebenernya pinter, tapi cuma malas aja… bla bla bla…” masuk kuping kiri keluar kuping kanan, mana sempat aku mendengarkan nasehatnya sementara aku harus cepat-cepat menyalin Prnya karena waktu sudah mepet.
Setiap ingin mencontek PRnya aku selalu berbasa-basi padanya,
“eh potong rambut ya?” atau
“kok agak gemukkan sekarang” yah semacam itulah.
Entah kenapa di kelas III ini aku mulai memperhatikannya, melihat senyumnya bisa membuatku merasa nyaman. Dan seperti pagi ini, seperti biasa kami hanya saling melemparkan senyum, kejadian yang sangat cepat mungkin hanya satu detik. Tapi entah mengapa begitu berkesan dan mengena dihati, mungkin jika anak sekarang bilang itu ‘Baper’ hahaha..
Sampai dikelas aku disambut dengan suara gaduh teman-temanku,
“nah ini dia orangnya, berani juga dia masuk sekolah? Kirain masih meratapi kehancuran tim nya semalam hahaha” teriak asep si Juventini sekaligus raja bokep dikelasku.
“untung kamu dateng Lang, abis saya daritadi ama mereka” ucap Faisal sesama Interisti dengan wajah memelas.
“udah Sal, biarin aja mereka ngoceh apa, ntar juga capek congornya” kataku sambil berjalan menuju mejaku.
“mana nih duet impian Bobo Vieri dan sang Penomenal Ronaldo? Melempem kayak mercon cabe kena aer” celetuk Gatot fans dari Lazio dan disambut tawa teman-temanku lainnya.
“Yang ada bibir kamu ntar saya pasangin mercon cabe Tot!” balasku sewot.
“marah sih marah, tapi mana neh uang taruhannya…” jawabnya lagi.
Kuambil selembar uang 5.000an satu-satunya dari kantongku, kuremas dan kulempar ke arahnya
“makan neh uang haram!” kembali mereka tertawa bahagia melihat penderitaanku.
Ah kampret mana uang Cuma itu-itunya aja, makan apa istirahat nanti? Gimana mau pulang gak ada ongkos.
“udah yuk cabut kelapangan, upacara” ucap teman sebangku dan sahabat dekatku Bonar sambil menepuk pundakku.
“saya masih ada stok rokok, istirahat nanti gampanglah saya traktir makan dikantin” lanjutnya pelan saat berjalan menuju lapangan seperti mengerti apa yang ada dalam pikiranku.
“sekalian ongkosin pulang ya Nar” ucapku lesu dan memasang wajah imut dan memelas.
“iya..”
“istirahat nanti makan soto sama es teh kan..?”
“hmm..”
“sama uang kas ya, saya serem kalo Anita dah nagih uang kas”
“hmmm…”
“buku LKS antropologi juga belum dibayar..”
“woi taik!! Sekalian aja minta bayarin SPP sama study tour!!”
Secepat kilat aku menghilang diantara kerumunan murid-murid lainnya, meninggalkan Bonar dengan segala caci makinya, dari jauh sayup kudengar setengah kebun binatang disebutnya. Itulah Bonar salah satu teman karibku, orang batak asli, berbadan besar dan tegap dengan potongan rambut ala ABRI masuk desa, orangnya baik, suka bercanda, sangat loyal pada kawan dan menguasai beladiri karate.
Dilapangan kami telah berbaris dengan rapi, sesuai dengan kelas masing-masing. Barisan kami kelas III berhadapan langsung dengan barisan anak kelas II, aku dan Bonar kedapatan barisan belakang karena memang kami termasuk tinggi. Bonar sedang asyik memperhatikan cewek-cewek kelas IPS IV yang ada disebelah kami, matanya jelalatan tak tentu arah aku yakin imajinasinya pasti sedang berkarya.
“Ana coy… together…” ucapnya sambil tersenyum mesum, together adalah istilah atau singkatan kami saat itu yang artinya ‘toket gede bener’.
“eh liat tuh si Dian, bajunya nerawang coy, warna merah.. slurrppp” lanjutnya.
“wuih bokongnya si Santi, kok bisa bulet bener gitu ya..mana nyeplak banget lagi, saya yakin pinggirannya pake renda itu” ucapnya lagi.
Aku sedang malas meladeni tingkah Bonar kali ini, bukan karena tidak suka tapi karena perhatian dan fokusku sedang ku arahkan ke barisan kelas II C, kelasnya Jennifer. Aku merasa khawatir padanya, apakah dia terlambat? Ah agak menyesal aku tadi menerima tebengan dari Intan. Setelah cukup lama memanjang-manjangkan leher dan sesekali jinjitkan kaki, akhirnya aku melihatnya. Itu dia, ada dibarisan ke 3 dari depan. Syukurlah dia tidak terlambat. Lega rasanya dan tanpa sadar aku tersenyum sendiri, aku menoleh kearah Bonar yang ternyata sedang memperhatikanku dengan wajah penasarannya.
“kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” tanyanya.
“ah gak, Cuma lagi ngebayangin aja si Santi pingsan trus kita bopong dia ke UKS hehehe..” jawabku berbohong.
“mantaaaapp.. iya juga ya, gimana kalo kita bopong sekarang aja” ucapnya antusias.
“ya nantilah nunggu dia pingsan, kamu berdoa aja dan siap-siap bergerak cepet kalo dia pingsan, biar gak keduluan yang laen” ucapku sambil memasang wajah serius.
“oke coy sip!” jawabnya mantap.
Sekitar 30-45 menit, upacara bendera telah selasai. Kami semua membubarkan diri dan menuju kelas masing-masing. Bonar terlihat kecewa karena Santi tidak kunjung pingsan selama upacara. Sambil berjalan aku mencari-cari Jennifer, dimana dia? Kenapa aku merasa bersalah ya padanya?
Aku ingin melihatnya dari dekat, mendengar suara tawanya dan menikmati setiap tatap matanya. Nah itu dia berjalan menuju arah pintu gerbang keluar lapangan, otak jeniusku langsung bekerja, dengan memperhitungkan kecepatan langkah kakinya dan langkah kakiku, kerumunan murid yang bergerombol keluar dari gerbang, serta kecepatan angin dan goyangan bokong Santi, aku memprediksi bahwa kami akan bertemu tepat didepan gerbang keluar.
Hmm.. membayangkannya saja aku sudah bahagia, tapi tunggu dulu, siapa itu yang berjalan disampingnya? Cowok dengan rambut rapi dan memakai jam tangan G-Shock yang sedang trend. Kenapa harus berjalan berdua, dan kenapa teman-teman Jennifer seolah memberi waktu dan ruang kepada mereka untuk bisa berjalan berdua? Kenapa juga mereka berdua harus saling bercanda dan tertawa? Kenapa?
***