Panti Pijat Tuna Netra
PULANG kerja, sambil menunggu kemacetan lalu lintas di jalan raya terurai, saya lalu membuang waktu mampir di panti tuna netra.
Tempatnya, sebuah rumah petak kontrakan, terhimpit di antara rumah penduduk. Ukuran rumahnya 2,5 x 5 meter. Kamar pijatnya terletak di depan, dihalangi dengan kain putih yang sudah kusam warnanya.
Seorang wanita yang bukan tuna netra berumur sekitar 40 tahunan keluar menemui saya. “Mas Rojak baru saja dipanggil mengurut orang yang kakinya keseleo…!” ujarnya.
“Mas Rojak kapan pulangnya…?” tanya saya pada wanita yang berkulit sawo matang dan bertubuh agak gemuk ini.
“Saya tidak tahu kapan Mas Rojak pulang….! Tapi kalau Mas mau nunggu, silahkan….”
“Mbak siapanya Mas Rojak..?” tanya saya.
“Saya istrinya Mas Rojak…”
Meskipun Mas Rojak tidak mampu melihat, tapi dia pintar juga memilih seorang wanita menjadi istrinya. Wajah wanita yang berdiri di depan saya ini lumayan menarik dan payudaranya montok. Saya lalu bertanya padanya, “Apakah Mbak nggak bisa memijat…?”
“Nggak bisa, saya hanya sebagai istrinya Mas Rojak…!” jawabnya.
“Masa sih sebagai istri tukang pijat, nggak diajar memijat…?” tukas saya.
“Nggak bisa…! Jika Mas mau nunggu Mas Rojak, silahkan di kamar…” jawabnya.
“Kalau saya menunggu Mas Rojak, nanti saya pulang ke rumah terlalu malam…” kata saya. “Bagaimana kalau Mbak yang menggantikan Mas Rojak memijat saya…?”
“Benar, saya nggak bisa…!”
“Rumah saya jauh, Mbak…! Masa sih Mbak nggak bisa bantu saya…?”
“Bukannya saya tidak mau membantu Mas, tapi saya nggak bisa…”
“Nggak apa-apa deh Mbak yang mijat, saya juga nggak tahu mana pijatan yang enak dan mana yang nggak…” ujar saya. “Lain kali baru dengan Mas Rojak….”
“Kalau Mas maunya gitu, ya sudah….!” jawabnya kemudian.
Rupanya ‘rayuan’ saya cespleng juga. Setelah mengunci sepeda motor, saya melepaskan sepatu dan kaos kaki saya di depan pintu masuk rumah Mas Rojak, lalu masuk ke kamar pijat.
Istri Mas Rojak menurunkan kain putih yang warnanya sudah tidak putih itu menutup pintu kamar pijat.
Di ruangan berukuran 1,5 x 2 meter ini hanya ada sebuah tempat tidur berseprei putih dan satu bantal kepala bersarung putih, diterangi lampu pijar 20 watt.
Meskipun kamar itu bagian atasnya terbuka, tapi tercium bau minyak sereh yang cukup menyengat hidung. Mungkin Mas Rojak memijat langganannya dengan minyak sereh.
Saya bukan termasuk orang yang awam dengan panti pijat.
Saya tahu sebeluk-beluk panti pijat, karena kalau saya pulang kerja tidak terlalu malam seperti hari ini, saya sering mampir ke panti pijat. Panti pijak yang saya masuki bukan hanya panti pijat itu-itu saja, tapi sering gonta-ganti, sehingga saya mempunyai pengalaman tersendiri di setiap panti pijat yang saya kunjungi.
Panti pijat, ada yang kotor dan ada yang bersih. Panti pijat yang bersih, artinya tukang pijatnya tidak bisa diajak untuk berhubungan seks, walaupun mereka sudah selesai bertugas dan kita mengenal mereka dengan baik.
Tapi jika mau dibuat perbandingan, panti pijat kotor adalah yang paling banyak, terutama panti-panti pijat yang terletak di daerah pinggiran, yang harga pijat per jamnya tidak menguras kantong.
Mudah saja untuk membedakan mana tukang pijat ‘murni’ dan mana tukang pijat ‘berprofesi rangkap’.
Biasanya saya menyuruh dia melepaskan celana dalam saya atau saya bertanya pada dia apakah saya boleh menanggalkan celana dalam. Jika mereka mau melepaskan celana dalam saya atau mengizinkan saya menanggalkan celana dalam, biasanya tukang pijat seperti ini mau diajak berhubungan seks, walaupun pertama kali dia hanya mau mengocok, tapi datang untuk yang kedua kali, biasanya mereka mau diajak telanjang lalu berhubungan intim.
Istri Mas Rojak masuk ke kamar pijat membawa botol berisi minyak yang isinya tinggal setengah botol dan selembar handuk kecil berwarna putih.
“Mbak, boleh nggak minyak urutnya ditukar dengan body lotion saja…?” tanya saya yang duduk di tepi tempat tidur masih berpakaian lengkap.
Istri Mas Rojak keluar dari kamar pijat. Tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa botol berisi body lotion ‘harga warung’ yang isinya tinggal seperempat.
Saya berdiri melepaskan kemeja saya, lalu menggantungkan kemeja saya di gantungan yang dipaku di dinding kamar.
Istri Mas Rojak berdiri menunggu. Saya kemudian melepaskan celana panjang saya. Setelah menggantungkan celana panjang saya di gantungan, saya merebahkan tubuh saya yang hanya berbalut celana dalam di tempat tidur yang berbau minyak sereh.
Istri Mas Rojak memijat pundak saya dengan body lotion.
Pijatan tangannya lumayan, tapi saya tidak mau memberikan komentar. Ketika tangannya sudah memijat sampai bagian bawah pinggang saya, dan celana dalam saya tersentuh tangannya, saya pun bertanya padanya, “Mbak, boleh nggak celana dalam saya bantu dilepaskan…?”
Ternyata istri Mas Rojak mau melepaskan celana dalam saya untuk mengurut bokong saya dengan body lotion.
Saat dia mengurut bokong saya, saya sengaja membentangkan lebar-lebar kedua kaki saya biar dia bisa melihat penis saya dari sela pantat saya. Tentu saja saya berharap penis saya jangan sampai tegang duluan.
Saya hanya membiarkan istri Mas Rojak mengurut sampai batas belakang lipatan lutut saya. Setelah itu, saya sengaja membalik tubuh saya terlentang tanpa menutup penis saya yang telanjang dengan apapun.
Saya hanya mengizinkan dia mengurut dada saya sebentar. “Sudah, Mas…! Mau ngurut yang mana lagi…?” tanya istri Mas Rojak memandangi saya setelah mengurut dada saya, tangannya dia letakkan di perut saya.
Saya mendorong tangan istri Mas Rojak yang diletakkannya di perut saya itu ke bawah. Dia langsung kaget. “Jangan, Mas…!” serunya.
“Bantu saya sebentar…! Gini saja…!” kata saya mengepalkan tangan kanan saya, lalu saya gerakkan ke atas ke bawah.
“Jangan, saya nggak bisa…! Sudah…!” jawabnya menutup botol body lotion.
Saya memegang tangannya. “Jangan. Mas…! Nggak bisa saya….!” jawabnya agak sedikit jengkel, tapi dia tidak melepaskan tangannya yang saya pegang itu.
Saya bangun duduk di tempat tidur. “Sebentar, nggak lama…! Bantu saya….!” kata saya membawa tangannya ke selangkangan saya.
Dia tidak melawan.
“Gimana, Mbak…? Mau kan bantu saya…?” ujar saya meremas telapak tangannya ke penis saya yang loyo.
Saya melihat dia menarik napas panjang. Saya mencoba menjauhkan tangan saya yang memegangi tangannya, lalu berbaring kembali di tempat tidur. Ternyata dia masih memegangi penis saya. Kemudian dia menuang body lotion ke telapak tangannya. Dia memainkan penis saya dengan tangannya yang licin sampai penis saya tegang.
Penis saya digenggamnya, lalu dikocok-kocoknya.
Melihat kocokannya begitu lancar, saya yakin istri Mas Rojak ini sudah sering mengocok. Saya memberanikan diri menaikkan tangan saya ke dadanya.
“Jangan, Mas…!” tangan kirinya segera menurunkan tangan kanan saya yang mau memegang payudaranya. “Cukup begini saja…!” katanya.
Tidak lama kemudian, saya menaikkan tangan saya lagi ke dada istri Mas Rojak. Sambil mengocok penis saya, dia menarik napas panjang, tapi tidak menurunkan tangan saya yang telah memegangi payudaranya dari luar kaosnya.
Melihat dia membiarkan telapak tangan saya tertelungkup di bulatan payudaranya, saya mencoba meremas bulatan yang masih padat tapi sudah menggantung itu.
Ketika melihat dia terus mengocok penis saya, saya tidak mau menunggu lagi. Saya memasukkan tangan saya ke balik kaosnya. “Ahh, Mas ini….!” dia hanya berujar begitu ketika tangan saya memegangi BH-nya.
Saya menaikkan kaosnya hingga kedua bulatan yang tertutup BH berwarna coklat muda itu tampak. Saya bangun duduk di tempat tidur mencium cup BH-nya.
Ternya dia membiarkan. Sayapun menaikkan cup BH-nya, dua sekali gus, sehingga kedua tetek istri Mas Royak yang kendor terjatuh keluar dari cup BH-nya. Puting dan bulatan aerolanya besar, warnanya hitam.
Saya segera mendekatkan mulut saya. Saya membuka mulut menjamah puting susu istri Mas Rojak ini, lalu saya isap.
Wuu..iihh….
Sementara itu istri Mas Rojak terus mengocok penis saya.
Sambil mengisap puting susunya, ketika tangan kanan saya turun ke selangkangannya, dia tidak menepis tangan saya, saya pun menarik turun celana longgarnya.
Istri Mas Rojak tidak menolak sampai celana dalamnya saya turunkan dan tangan saya bisa memegangi memeknya yang berbulu lebat.
Ketika bibirnya sudah mau saya ciumi, tidak lama kemudian dia sudah saya tarik ke atas tempat tidur melepaskan semua pakaiannya.
Saya menindih tubuh telanjangnya, matanya terpejam. Lalu saya gosok-gosok penis saya ke belahan memeknya.
Ketika kepala penis saya sudah ketemu lubang memeknya, saya tekan penis saya. Blee..ess…! Penis saya melucur masuk ke dalam lubang memek istri Mas Rojak.
Saya tidak berpikir lagi pada Mas Rojak yang tuna netra, karena saya tidak mengenal dia dan belum pernah melihat wajahnya, lalu saya pompa lubang memek istri Mas Rojak yang basah.
Tidak sampai 5 menit, air mani saya sudah tumpah di dalam memek istri Mas Rojak. Setelah saya membersihkan penis saya dengan handuk dan memakai kembali pakaian saya, sementara istri Mas Rojak juga sudah membersihkan memeknya yang berlumuran air mani saya dengan handuk yang saya pakai untuk membersihkan penis saya, saya mengeluarkan dompet membayar dia.
Saya mencoba menambah 1 kali lipat dengan harga pijat perjam.
Tapi setelah uang saya di hitung olehnya, dia berkata, “Masa kasihnya cuma segini…? Tambahin, dong…!”
Karena saya meyakini istri Mas Rojak ini bukan tukang pijat merangkap pelacur, tapi hanya seorang ibu rumah tangga biasa, lalu saya tambahan dia uang.