Out of My Head


Suhu sekalian, ini adalah cerita kedua ane di forum tercinta ini. Cerita ini murni fiksi, kesamaan Nama, Lokasi, dan tempat adalah murni kebetulan. Mohon saran, kritik dan komentar dari Suhu Sekalian. Terima Kasih, Matur Nuwun.
“Jiancuk!” seruku sambil tergopoh melepas mantel hujan di parkiran Warung Kopi Cak Di.

Ya, di luar sana memang sedang hujan deras, diiringi tabuhan guntur yang membahana, menambah kegarangan pasukan titik-titik air yang menyerbu bumi. Sial memang hari ini, terjebak hujan di siang bolong.

“Pesen opo Man? Biasane? (Pesan apa Man? Biasanya?)” Tanya Cak Di sambil memainkan rambut kriwilnya.

“Iyo, Gawekno kopi cangkir wae, Cak. (Iya, bikinin kopi cangkir aja, Cak)” Seruku dari meja tempatku duduk.

Aku membuka tasku, memeriksa kalau kalau ada kamera atau laptopku yang basah terkena hujan. Walaupun tasku memang dirancang kedap air, tapi tentu saja ada perasaan was-was kalau saja alat-alat yang menghasilkan uang untukku ini terkena air.

“Kopi Cangkir gula sedikit.” Seru Cak Di mengantarkan pesananku.

Aku membuka kantong depan tas ranselku, merogohnya mencari teman akrabku saat minum kopi. Jemariku meraih sesuatu yang kucari itu. Sebungkus rokok putihan dalam kemasan softcase merah putih. Masih utuh, masih terbungkus plastiknya dengan rapi. Perlahan kubuka bungkusan itu, kuambil sebatang rokok dari bungkus itu, dan meletakkan sisanya di atas meja. Aku menyulut dan menghisapnya. Huff, nikmat sekali. Sedikit memberikan rasa hangat di tengah hujan deras dan suara gemuruh yang bertalu-talu.

Warung Cak Di masih sepi siang ini. Maklum, warung kopi baru akan rame menjelang sore hari, ditambah dengan hujan deras yang mengguyur kota Jogja siang hari ini, maka pantaslah kalau warung ini hanya berisi beberapa gelintir orang. Cak Di sang empunya warung, sekaligus peracik kopi enak, sedang duduk, merokok di meja kasir, sembari mendengarkan radio. Kemudian aku mendengar sebuah lagu lirih terdengar dari radio. Sebuah lagu dari Fastball, band asal Austin, Texas; Out of My Head.

Sometimes I feel
like I’m drunk behind the wheel
the wheel of possibility However it may roll,
give it a spin
See if you can somehow factor in
You know there’s always more than one way
to say exactly what you mean to say

“Banterno radione, Cak! (Keraskan radionya, Cak!)” Seruku, yang dibalas dengan acungan jempol oleh Cak Di.

Lagu ini kemudian mengalun lebih kencang, berpacu dengan suara hujan yang menghantam atap asbes dari warung ini. Lama sekali aku tidak mendengarkan hits ketiga dari Fastball ini. Aku menatap ke jalan, menyaksikan deras hujan masing-masing berebut menghantam aspal jalan, tertabrak oleh arus lalu lintas yang tak mau kalah dengan deras hujan. Entah mengapa pikiranku seolah berputar mundur, teringat kejadian setahun yang lalu.

Was I out of my head or was I out of my mind?
How could I have ever been so blind?
I was waiting for an indication,
it was hard to find
Don’t matter what I say, only what I do
I never mean to do bad things to you
So quiet but I finally woke up
If you’re sad then it’s time you spoke up too

“Mas, Latte satu ya.” Kataku pada kasir outlet salah satu outlet kopi di Mall Malioboro. “Nanti aku duduk di luar.”

“Tiga puluh ribu, Mas. Atas nama mas siapa?”

“Firman.” Kataku sambil menyodorkan uang sejumlah yang disebutkannya tadi.

Aku menyeret kakiku ke sofa luar. Satu-satunya area merokok di warung kopi modern ini. Yah, bagaimana lagi, tidak mungkin mencari tempat yang menyediakan kopi tubruk di dalam pusat perbelanjaan seperti ini. Aku melongok jamku, jam sepuluh kurang sepuluh menit. Yah, masih ada waktu untuk sekedar merokok sebatang, dua batang sambil menunggunya datang.

Tidak biasanya memang, aku datang ke pusat perbelanjaan. Aku memang tidak pernah berkunjung ke pusat perbelanjaan hanya untuk sekedar window shopping atau sekedar berjalan-jalan. Bukan karena aku tidak punya uang. Tapi lebih karena aku merasa tidak perlu.

Hari ini pun aku hanya sekedar bertemu dengan seseorang. Aku mengenalnya di jejaring sosial. Seorang fans dari halaman lapak Fotografi di akun jejaring sosialku. Namanya Maya. Secara pribadi, aku tidak mengenalnya. Aku hanya tahu ia seorang mahasiswi semester pertama di sebuah universitas swasta di kota ini.

Jam sepuluh lebih lima belas menit. Ia belum datang juga. Aku menyeruput kopiku, kemudian menyulut rokok ketigaku. Telepon selularku bergetar, sebuah pesan masuk via Messenger.

Sori, baru sampe parkiran.
Mas dimana?

Pesannya segera kubalas,

J-Co

Beberapa saat kembali telepon selulerku bergetar,

Pake baju?
Jaket Hitam

Sesaat berselang, ia membalas:

Eh, bentar mas
Tergoda beli sandal.
Tunggu sebentar ya

Duh dasar cewek, nggak bisa menahan godaan belanja. Whatever, toh aku juga tak ada acara lain hari ini. Aku kembali menunggunya sambil menyeruput kopiku dan merokok.

“Kak Firman?”

Aku menoleh ke arah pemilik suara yang memanggil namaku. Seorang gadis, bertubuh mungil, dengan suara centil. Inikah Maya?

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

Kemudian ia duduk di sebelahku, tersenyum lucu, khas ABG.

“Kamu, Maya?” tanyaku.

“Iya, kenapa Kak?” ia bertanya balik.

“Nggak apa-apa, lucu juga kamu” jawabku.

ia tertawa lagi, matanya menyipit di balik kacamatanya.

“Lucu gimana?”

“Ya lucu. Oh iya, mau pesen apa?”

“Wah iya, aku laper. Aku pesen sendiri aja.” jawabnya, kemudian ia berlalu menuju kasir.
Ia kembali membawa dua potong kue donat dan segelas milkshake.

“Jadi gimana mas? Kalo seperti aku enaknya konsep fotonya gimana?”

Hari ini memang tujuanku bertemu dengan Maya adalah membahas konsep foto. Ia memang memintaku melalui pesan di jejaring sosial, untuk memotretnya untuk foto kenang-kenangan.

“Ya terserah kamu. Mau indoor atau outdoor?”

“Indoor di mana mas? Studio?”

“Iya lah.”

“Outdoor aja deh, aku pengen foto di tempat yang ada ilalang keringnya. Kalo di sini di mana ya?”

“Kamu cari ilalang kering di musim hujan?”

Ia menepuk dahinya, “Oh iya ya.” Lalu ia mengerutkan dahinya, wajahnya membentuk ekspresi yang lucu, berpikir mencari alternative tempat mungkin.

Aku mengeluarkan kamera DSLR-ku dari tas. Kemudian membidiknya.

“Duh Kak, jangan di foto dulu, aku malu.” Ia panik, pipinya merona merah malu.

“Udah rileks aja. Tes kamera doang kok….” Aku masih membidiknya dengan kameraku. “… jadi gimana, mau tempat yang seperti apa?”

Ia berpikir lagi. Wajahnya kembali membentuk ekspresi lucu. Dahinya mengerut dan bibir mungilnya dimonyongkan sedikit.
Jepret!

Aku melihat hasil bidikanku di layar berukuran 3,2 inci yang tertanam di kamera DSLRku. Lucu hasilnya. Aku tersenyum puas.

“Ihh …, Kakak jahat ah. Pasti hasilnya jelek, aku kan nggak pake make-up”

Kusorongkan kameraku ke Maya, menunjukkan hasilnya.

“See, not bad. Lucu kan?”

“Iiih, iya. Lucu, hidungku tapi tetep kelihatan pesek ya?”

“Hidungmu nggak pesek May,… tapi mungil.” Kataku sambil menjentikkan jari menyentil hidung kecilnya.
Ia mencubit pinggangku.

Kami melanjutkan obrolan dengan akrab. Tak nampak sama sekali kalau kami baru bertemu untuk pertama kalinya.

Ia menceritakan padaku bahwa ia seorang yatim piatu. Ayah meninggal setahun yang lalu, lalu ibunya menyusul enam bulan kemudian. Ia anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya tinggal di kota lain dengan suaminya, sedangkan ia tinggal di Yogya sendirian. Ia hidup dari hasil sawah peninggalan kedua orang tuanya. Kisah hidupnya menarik rasa empatiku. Manusia memang diciptakan unik oleh Yang Kuasa, bahkan mereka masing-masing memiliki masalahnya.

“Kak, habis ini kakak mau kemana?”

“Nggak tau May. Kenapa?”

“Nggg… temenin aku cari baju yuk. Kakak mau nggak?” tanyanya dengan nada ragu, “Kalo nggak mau nggak apa-apa kok Kak, aku tahu kalo cowok nggak suka diajak cewek belanja.”

“Heh? Siapa bilang?” seruku “Ayo aja kalo mau cari baju, aku temenin deh.”

Pikirku tak apalah sekedar jalan-jalan sebentar, toh aku tak ada acara. Lagipula aku lama tidak jalan-jalan di Mall.

“Tapi nggak di mall lho Kak. Mahal kalo di sini. Cari di toko sekitar sini aja, apa di Beringharjo gimana?”

“Oke, nggak masalah”

Lalu kamipun beranjak meninggalkan tempat itu. Maya berjalan di sebelah kiriku menggandeng tanganku. Kami nampak seperti sepasang kekasih yang berjalan menyusuri selasar pejalan kaki sebelah timur, menuju arah selatan. Setelah melewati Hotel Mutiara, kami memasuki beberapa toko pakaian di sepanjang Jalan Malioboro.

Aku melihat dia memiliki selera yang baik dalam memilih pakaian. Aku hanya cukup mengomentari pilihannya, namun ia sendiri belum merasa sreg dengan pakaian yang dilihatnya. Kamipun berjalan lagi lebih ke selatan memasuki Pasar Beringharjo.

Cukup lama aku tidak mengunjungi tempat ini. Kesan jorok dan kumuh ala pasar tradisional sudah hilang dari tempat ini. Pasar yang sudah menjadi tempat jual beli sejak berdirinya Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini kini menjadi Pasar Tradisional terlengkap di Yogyakarta.

Kami berputar-putar di kawasan barat Pasar Beringharjo, tempat dimana banyak penjual menawarkan dagangan pakaian. Kami berjalan dari lantai satu, lalu naik melalui tangga ke lantai berikutnya. Ada beberapa pakaian yang menurutku cocok dipakai oleh tubuh mungil Maya, namun Maya masih belum cocok dengan pilihanku.

Setelah berputar-putar, kami akhirnya memutuskan beristirahat dan makan siang di foodcourt Pasar Beringharjo. Maya memesan dua porsi Rawon untuk kami berdua. Kami duduk berhadapan sambil menikmati makan siang kami. Setelah menyantapnya kami kembali berbincang.

“Kak Firman, orang Jogja asli?”

Aku menggelengkan kepalaku, “Cirebon” jawabku.

“Oww, ada saudara di Jogja?”

Aku mengangguk, “Aa’ ku di Jogja”

“Ayah ibu di Cirebon?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk. Lalu aku menceritakan bagaimana latar belakang keluargaku.

Aku adalah anak kedua dari istri kedua ayahku, yang memiliki tiga istri lain selain ibuku. Sebagai pengusaha, ayahku memang mampu menafkahi keempat istri dan kesembilan anaknya lebih dari cukup. Namun, ibuku juga sudah berpulang lebih dari seribu hari yang lalu. Kakak kandungku pun berpulang menyusul ibunda. Aku kehilangan dua orang terdekat dalam hidupku dalam jangka waktu yang pendek. Ayahku memang selalu memberikan apa yang aku minta, namun hanya sebatas materi.

Maya mendengarkan ceritaku dengan tenang. Perlahan setitik airmatanya mengalir perlahan dari sudut matanya. Melihat hal itu, aku menyeka air matanya dengan tissue makan yang tersedia di sana.

“Hei, kok kamu malah nangis?”

“Aku paham rasanya Kak.” Maya berbisik perlahan diantara isaknya. “Hampir sama ketika aku kehilangan orang tuaku.” Ia mengambil tissue dan menyeka lagi air matanya.

“Hidup tanpa ayah dan ibuku itu sangat nggak enak. Aku nggak hanya kehilangan mereka. Aku kehilangan tujuan hidupku. Aku nggak tahu hidupku untuk apa” cerocosnya dalam isaknya.

Aku merengkuh bahunya, mendekapnya perlahan lalu mengecup keningnya. “Setidaknya ibu menanamkan satu hal padaku.”

Maya menatapku penuh tanya dengan matanya yang sipit dan berair.

“Luweh! Hidup ya jalani saja” lanjutku. “Aku selalu mengikuti apa yang ada di depanku.” Simpulku mengakhiri percakapan kami.

Kamipun melanjutkan acara jalan-jalan kami. Kami kembali memutari kios demi kios, namun Maya belum menemukan baju yang ia inginkan. Kami kembali keluar dari Pasar, kemudian menyeberang ke barat. Kembali kami berjalan menyusuri selasar pejalan kaki ke arah utara.

Akhirnya Maya menemukan baju yang di carinya di salah satu toko di bagian barat Malioboro. Ia membeli satu set celana monyet yang lucu beserta atasannya. Aku membayangkan ia akan nampak lucu memakai itu dengan tubuh mungilnya.

Kami berpisah setelah aku mengantarkannya mengambil motor, yang ia parkir di utara Hotel Mutiara. Setelah itu akupun mengambil motor dan kembali ke kontrakanku di selatan Ambarukmo.

Dek, aku ddpn kos
Bentar…

Sesaat kemudian munculah gadis manis bertubuh mungil yang baru kutemui tiga hari lalu. Ya, pertemuan tiga hari lalu hanya menghasilkan jalan-jalan, saling curhat, beli baju dan malah melupakan obrolan mengenai konsep foto kenang-kenangan yang dimintanya.

“Kemana kita Kak?”

“Hhmm Angkringan Wijilan mau?”

Ia mengangguk, lalu naik ke motorku. Kedua tangannya berpegangan di pinggangku erat.

Siang tadi aku menghubunginya lagi. Menanyakan kapan mau ngobrol lagi masalah konsep. Kebetulan dia tidak ada acara malam ini. Akhirnya kamipun memutuskan sambil makan malam saja. Tak lama sampailah kami di Angkringan Wijilan.

Tak seperti layaknya angkringan pada umumnya, angkringan Wijilan lebih mirip sebuah warung daripada angkringan pada umumnya. Tidak ada gerobak dengan tiga teko dari sengyang biasanya menjadi trademark dari sebuah angkringan. Gerobaknya sudah digunakan sebagai tempat menaruh lauk dan cemilan, sementara tiga teko seng terletak di dapur minuman yang terdapat di sisi utara gerobak.

“Wah, lebih mirip warung dari pada angkringan.”

“Haha, lha iya. Kalo tetep dalam bentuk angkringan ya kita udah nggelar klasa.(klasa=tikar)”

Obrolan kami terpotong oleh pelayan yang mengantarkan pesanan kami. Sengaja aku memesan nasgitel untuk kami berdua.

Nasgitel adalah teh tubruk dalam poci seng dengan gula batu yang disajikan juga dengan gelas seng. Sehingga ketika dituangkan menghasilkan teh yang kental, panas, dan manis. Nasgitel sendiri adalah singkatan dari Panas Legi Kentel.

Malam itu, angkringan Wijilan penuh sekali. Sedikit tidak nyaman untuk ngobrol berdua. Yah walaupun obrolan kami bukan obrolan rahasia, setidaknya kami ingin suasana yang mendukung untuk ngobrol berdua.

“Capcus yok dek. Rame”

“Trus ini kita ngobrol dimana Kak?”

“Ke Plengkung aja deh.”

Aku membawa motorku berboncengan dengan Maya ke arah selatan, menuju Plengkung Gading.

Plengkung Nirbaya, atau nama bekennya Plengkung Gading adalah salah satu plengkung (gerbang masuk) menuju Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Plengkung Gading terletak tepat di selatan kraton, sebagai batas Njaba Beteng dan Jeron Beteng. Karena digunakan sebagai pintu keluar kraton saat prosesi pemakaman Sultan yang mangkat dan akan di makamkan di Makam Imogiri, maka pantang untuk Sultan yang masih bertahta untuk melewati Plengkung Nirbaya.

Aku menaikkan motorku di trotoar beberapa meter dekat lampu merah Plengkung Gading. Maya melihat sekelilingnya. Nampak beberapa pasang muda-mudi sedang memadu kasih di kawasan tersebut. Aku menggandengnya menaiki tangga menuju atas beteng. Di sebelah timur nampaknya cukup sepi, maka ku ajak dia duduk bersandar di tembok beteng atas di sebelah timur Plengkung. Suasana di situ remang-remang, lampu kuning yang temaram terhalang oleh rindangnya dedaunan yang membuat suasana di situ romantis namun mistis.

“Jadi gimana?” tanyaku pada Maya.”

“Apanya Kak?”

“Ya lokasi fotonya.”

“Dimana ya Kak? Aku masih bingung je”

“Hhmmm… Gimana kalo kita hunting di Kaliurang? Kita bisa foto di Taman Wisatanya, ato dimana kek. Banyak lokasi asyik di sana.”

“Ya udah aku nurut kakak aja. Tapi Kak Firman serius mau motret aku?”

“Lho, kan kamu yang minta?”

“Aku nggak punya banyak uang buat bayar Kakak. Aku minta difoto sama Kak Firman soalnya aku suka sama hasil jepretannya Kak Firman.”

“Dah, nggak usah mikirin uangnya. Buat kamu gratis deh.”

“Tapi Kak! Aku gak enak-”

“Sssttt…” Aku menempelkan telunjukku ke bibirnya yang mungil. “Aku motret bukan karena duit. Aku motret karena aku suka. Duit itu nomor sekian. Aku pengen motret kamu kok”

“…” ia terdiam sejenak. “Makasih Kak.” Ia menempelkan bibirnya ke pipiku. Aku menoleh, menatap wajahnya yang mulai merona. Aku mendekatkan wajahku dan mencium bibirnya dengan lembut.

Beberapa detik waktu penyatuan bibir kami tersebut, membuat jantungku berdegup. Logikaku selama sekian detik itu seakan melepas kendalinya dari tubuhku. Kemudian ia mundur, melepaskan bibirnya dari bibirku, menunduk, berlagak membenahi kacamatanya dengan muka merona.

“Maaf Kak.” Ia berkata lirih.

Aku terdiam, menatap wajahnya yang diterpa sinar kuning dari lampu jalan.

“Kenapa minta maaf?”

Maya menghela nafas sebelum menjawab “Aku nggak enak kalo kakak udah punya pacar.”

Aku menggeleng, “Nggak, aku nggak punya pacar. Jangan-jangan malah kamu yang sudah punya pacar?”

Ia menggeleng, “Ya, masa ciuman sama orang lain yang bukan pacar….”

“Siapa bilang ciuman cuma boleh sama pacar,” jawabku. Aku menatap matanya “Ciuman cuma butuh ini, ” aku menunjuk bibirku, “dan ini” aku meletakkan telapak tanganku ke dada kiriku.

Ia diam, menatapku dengan raut muka sedikit bingung dengan kata-kataku.

“Ya, yang penting jangan sesama jenis saja, hehehehe…” Candaku yang langsung disambut dengan cubitan pelannya ke perutku.

Kami terdiam, menikmati malam di atas beteng.

“Kak, apa keinginan kakak yang belum tercapai?” tanyanya mengawang.

Aku terdiam, memikirkan jawaban dari pertanyaannya. Aku tidak pernah menginginkan sesuatu hingga teramat sangat. Mungkin hanya satu hal itu.

“Kebebasan.” Jawabku singkat.

Ia mengrenyitkan dahinya. “Maksudnya?”

“Selama ini aku merasa terbelenggu dengan hidupku sendiri. Terkadang aku ingin melepaskan sejenak hidupku. Menikmati sesaat terlepas dari perputaran dunia ini.”

“Hhhmmm, Kebebasan ya? Mungkin sama seperti yang aku inginkan Kak. Selain itu aku menginginkan cinta” katanya lirih.

Cinta? Aku tak pernah percaya dengan namanya cinta.

Kami kemudian melebur dengan sunyinya malam. Mengganti obrolan dengan topik yang lebih ringan, sekedar untuk menghangatkan malam yang mulai menggigit dengan dingin.

Aku menyukai hawa dingin pegunungan, sejuk, dan matahari tak pernah bersinar terik. Kaliurang adalah salah satu tempat favoritku sebagai salah satu tempat untuk menyepi, menjauh dari hiruk pikuk perkotaan yang terkadang membuatku penat. Hari ini aku dan Maya melakukan photoshoot di Kawasan Wisata Kaliurang. Perjalanan menuju Kaliurang dari Kota Jogja, selalu menyenangkan. Sebuah gunung dengan jalan di tengah tengahnya, serta hamparan hijau di kedua sisi jalan, diselingi dengan beberapa rumah penduduk. Seolah-olah mengingatkanku pada lukisan pemandangan saat masih di bangku taman kanak-kanak.

Gunung Merapi berdiri gagah namun malu-malu tersaput kabut di utara. Udara sejuk menyambut kami, menghilangkan penat perjalanan yang membebani. Angin yang bertiup diantara rindangnya hijau dedaunan memberikan kesegaran kami untuk mendaki Bukit Plawangan, lokasi gua jepang yang akan menjadi background pemotretan kali ini.

Setibanya di tempat yang bernama resmi Taman Nasional Gunung Merapi ini, kami disambut oleh kawanan monyet gunung yang memang mendiami kawasan tersebut. Mereka berayun dari satu pohon ke pohon lain, beratraksi memamerkan kelincahannya pada pengunjung yang datang ke kediaman mereka.

“Mana guanya kak?” Tanya Maya sambil celingukan.

“Tuh, masih harus naik kita kesana nanti.” jawabku sambil menunjukkan jalan kecil mendaki di depanku.

“Perlu dibantuin gak bawa barangnya?” Maya melihatku kerepotan membawa barang-barangku.

“Enggak kok, ini cuman mau ngeluarin kamera doang” jawabku lagi sambil menutup zipper ranselku.

Cukup terjal jalan mendaki menuju gua jepang yang terletak di atas Bukit Plawangan, kurang lebih di ketinggian tujuh ratusan meter. Untung saja hari itu aku tidak membawa perlengkapan perangku dengan lengkap. Bayangkan saja jika aku harus membawa lampu, accu, softbox ditambah satu set kamera, masih harus mendaki bukit yang terjal dengan jalan curam berkelok-kelok.

“Dek, coba berhenti dulu!” aku berhenti saat kami baru berjalan beberapa puluh meter. “Coba kamu pose di sini. Kayaknya bagus deh.” Kataku sambil menunjuk sebuah pohon yang berdiri di tepi jalan terjal menuju atas bukit.

“Di sini kak?” tanyanya memastikan.

Aku mengangguk, menyiapkan kamera untuk membidiknya. Maya berpose, tangannya bersandar pada batang pohon yang sedikit berlumut. Ia tersenyum. Manis, tapi sedikit kaku.

“Mirip monyet kamu, May.” Komentarku.

Ia cemberut dan ….

Jepret!

Wajahnya yang cemberut tampak lucu di viewer kameraku. Aku mendekat padanya dan menunjukkan hasil bidikanku.

“Aaaww Jelek banget wajahku.” Komentarnya dengan nada merajuk.

“Ini bagus dek, alamiah, tadi waktu kamu senyum kelihatan aneh malahan” jawabku sambil memberinya kode untuk meneruskan perjalanan ke atas.

Setelah mendaki cukup jauh, sampailah kami di Gua Jepang. Gua ini sebenarnya adalah bungker pertahanan jepang, yang dibangun saat proyek romusha pada masa pendudukan Jepang. Jangan dibayangkan bungker ini seperti bungker pasukan Viet Cong yang berbentuk seperti lubang semut, atau seperti labirin di bawah tanah. Goa Jepang di Kaliurang ini lebih seperti lubang dengan kedalaman sekitar lima puluh meter, dan ada sekitar duapuluhan Gua dalam satu kawasan ini.

Maya bersandar di tebing baru di dekat pintu salah satu gua. Tangannya memegang dada kirinya. Wajahnya meringis, seperti menahan sesuatu.

“Kenapa dek?” tanyaku khawatir.

“Enggak apa-apa kak.” Jawabnya mencoba menenangkanku. “Paling gara-gara lama nggak pernah naik bukit.” Lanjutnya.

“Ooh,… eh tapi kamu nggak ada asma kan?”

“Enggak kok kak, aku nggak asma.” Jawabnya dengan nafas yang masih memburu. Matanya mengerut, seakan merintih menahan perih.

“Bener kamu nggak apa-apa?”

“Iya kakak” ia meraih tissue di tasnya, menghela peluh yang mulai keluar. “Bentar ya Kak, benerin make-up dulu.” Ia kemudian meraih tasnya mengeluarkan tempat make up kecil yang lebih mirip tempat pensil.

Setelah Maya merapikan riasannya, kami melanjutkan photoshoot. Ia mencoba berpose bak model professional, tapi tentu saja aku harus banyak mengarahkannya. Aku lebih tahu bagaimana harus berpose seksi tapi tidak nampak murahan.

Aku menggunakan lensa 18-55mm untuk memotret Maya yang mengenakan Taktop kuning dan minipants yang serasi dengan atasannya, membalut kulitnya yang kuning langsat. Ia tampak serasi sekali dengan pemandangan hijau yang menjadi latar belakang. Setelah puas mengeksplorasi Maya dan latar belakang yang hijau menyegarkan itu, kami turun ke taman yang ada di dekat pintu masuk.

Maya kembali membungkuk, bersandar pada tiang ayunan, memegangi dada kirinya lagi.

“Kamu lagi sakit ya Dek?”

Ia menggeleng. Namun aku tahu ia menahan sakit di dadanya.

“Istirahat dulu aja yuk.” ajakku.

Maya kemudian duduk di ayunan, mengayunkannya perlahan. Wajahnya yang lucu, nampak ceria.

“Udah lama aku nggak main ayunan lho Kak” serunya sambil mengayunkan ayunan itu.

Aku membidiknya dengan kameraku. Ekspresi kecerian Maya yang sedang berayun gembira menjadi sasaran ekplorasi mata lensa kameraku.

“Kalo kamu sakit, kita pulang aja yuk.” ajakku lagi.

Ia memasang wajah cemberut, sambil menggeleng.

“Ya udah deh, tapi ngambil di sekitaran taman saja.”

Akhirnya kami melanjutkan sesi photoshoot di sekitar taman. Taman Nasional Gunung Merapi hari ini cukup banyak pengunjung. Banyak pasangan dari berbagai usia datang berkunjung ke tempat ini. Maklum, hari minggu. Kaliurang memang sering sekali menjadi tempat para pasangan yang memadu kasih. Mungkin karena udara dingin dan banyak penginapan dengan harga terjangkau yang membuatnya, ahh begitu deh.

Pemotretan berlanjut hingga mega mendung datang menggelanyut ingin menumpahkan bebannya. Khawatir akan turunnya hujan, kami berkemas dan beranjak turun. Sialnya, gerimis yang lumayan deras menyambut kami di pintu keluar Taman Nasional Gunung Merapi. Kamipun memutuskan mampir berteduh di sebuah warung teh poci di samping Taman Rekreasi Kaliurang.

“Bu, Roti bakar coklat kalih, kaliyan teh poci setunggal (Bu, Roti bakar cokelat satu, sama teh poci satu dong)” aku memesan pada ibu pemilik warung.

Kami duduk di meja depan, sambil melihat hujan yang mulai menderas. Hujan menambah suhu pegunungan di Kaliurang menjadi semakin dingin.

“Jingan! Uadem! (Bajingan! Dingin)” Gerutuku, sambil menggigil kedinginan.
Kulihat Maya menggigil menahan dingin. Pakaiannya sedikit basah.

“Dingin May?” tanyaku basa basi.

Dia hanya mengangguk. Aku melepas jaketku lalu meletakkannya ke tubuhnya. Setidaknya membantunya menahan serbuan udara yang semakin mendingin.

“Bajumu basah lho, kamu nggak bawa baju ganti?”

Ia menggeleng, masih menggigil kedinginan.

Aku merengkuh bahunya, mencoba memberikan pelukan yang hangat. Padahal aku sendiri merasa kedinginan. Ia menyandarkan bahunya kepadaku.

“Kak Firman kok baik sama aku sih?”

“Lha piye meneh May? (Lha, gimana lagi May?)” Jawabku sembari mengeratkan pelukanku.

Hujan semakin bertambah deras menerpa atap seng warung teh poci, diselingi gemuruh petir yang bertalu-talu semakin membuat bising. Angin gunung yang kencang menambah suasana menjadi semakin dingin. Padahal jarum pendek di jam tanganku belum menyentuh angka lima. Namun suasana sudah gelap seperti hari yang menyambut malam.

“Kok nggak segera reda ya hujannya” tanyanya dalam gemuruh petir.

“Nanti juga reda. Badai aja berlalu, apa lagi hujan.”

Siapa yang akan menyangka aku bisa memeluk seorang gadis yang umurnya enam tahun lebih muda dariku di tengah hujan petir. Apalagi belum genap seminggu aku mengenalnya, namun entah mengapa ia mampu memberikan perasaan hangat yang nyaman di hatiku. Hati? Apakah aku masih memilikinya? Entahlah.

Pikiranku terbanting ke masa lalu. Aku seolah mengingat kembali fragmen-fragmen masa laluku. PDKT, nembak, pacaran, bersetubuh, jenuh, dan berakhir. Sebuah siklus yang selalu kulalui selama ini bersama mantan-mantanku. Saat sedang birahi, aku cukup membeli tubuh penjaja cinta semalam, bahkan terkadang banyak model yang pernah aku foto menawarkan kehangatan tubuhnya. Kewan (Binatang)! Aku memaki kelakuanku.

Aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Apakah ia hanya berakhir di ujung batang kemaluanku? Tidak! Jangan! Ada rasa tidak tega mengalir di benakku, bercampur dengan rasa sayang di hatiku. Hati?

Tangan Maya menyusup di sela badanku. Tubuhnya menempel mencari hangat dari tubuhku. Aku merengkuhnya mencoba memberikan…. Eh, ini kok empuk? Dadanya yang tak terlalu besar, menempel di sisi tubuhku. Damn! Hawa dingin kaliurang dan seorang gadis manis dalam pelukanku membuat kemaluanku memberontak di balik sempak. Fuck! Dasar selangkangan tidak tahu diri!

Aku berusaha mengalihkan pikiranku dari pikiran mesum yang menyerbu menawarkan opsi skenario untuk sekedar bertukar kehangatan di suasana yang dingin itu. Hati dan selangkanganku bertarung, bersama dengan logika dan nafsu yang merongrong di antara kedua kakiku yang menggeliat ingin dipuaskan. Duh! Bagaimana ini?

“Kak.” Panggilnya membangunkan aku dari lamunanku. “Udah nggak hujan tuh”

Aku melihat hujan mulai menipis, pertanda segera reda. Akupun segera bangkit dan mengemasi barang bawaanku. Kemudian membayar pesanan kami ke pemilik warung. Diiringi gerimis tipis kami beranjak ke selatan.

Gerimis tipis itu perlahan kembali menebal. Hujan deras kembali turun mengejar kami yang berjalan menuju selatan. Kami berteduh di depan warung kelontong.

“Duh, berteduh lagi dek. Hujannya ngapusi.” Ujarku.

Aku merogoh kantung celanaku, mencari rokok. Duh! Kok nggak ada? Astaga pasti ketinggalan di warung tadi! Batinku, sembari menepuk jidatku.

“Kenapa Kak?” Tanya Maya heran.

“Rokokku ketinggalan.” Jawabku singkat. “Bentar tak beli dulu” lanjutku saat teringat kami berteduh di depan warung kelontong.

Aku berdiri, melongokkan kepalaku ke balik etalase kaca warung.

“Nuwun sewu (Permisi).”

“Njih, sekedap mas (Ya, sebentar mas).” Jawab seseorang dengan suara berat dari balik etalase.

“Tumbas rokok Pak (Beli rokok Pak).” Kataku sambil menunjuk sebungkus rokok yang terpampang di etalase.

“Monggo, sedoso mas. (Silakan, sepuluh ribu mas)”

“Njih pak. (Ya Pak)” aku memberikan selembar puluhan ribu pada bapak itu.

“Deres nggih mas? (Deres ya Mas?)” Bapak itu bertanya sekedar basa basi.

“Njih pak, jawah terus nggih mriki? (Iya pak, Hujan terus ya disini)”

“Lha nggih mas, mongso rending. (Lha iya Mas, namanya musim hujan)” bapak itu terkekeh mendengar pertanyaanku.

“Kulo nderek ngeyup ten ngajeng nggih pak (Saya numpang berteduh di depan ya pak).”

“Mbok mlebet mawon nek purun. Mesakke mbake kok sajake katisen (Kalo mau masuk aja mas, Kasihan mbaknya kok kelihatannya kedinginan)” Bapak itu mempersilakan masuk ke Penginapan di sebelah warungnya.

“Lho, niku kagungane panjenengan pak? (Lho, itu punya anda Pak?)”

“Nggih mas, kerep sepine kok niku. (Iya mas, tapi sering sepi kok)” jawabnya. “Nek mung ngeyup, nopo badhe siram rumiyin tok kulo paringi mirah (Kalo mau berteduh, atau mau mandi dahulu saya kasih murah)” Bujuk bapak itu

“Ohh, nggih mboten nopo-nopo pak (Oh ya nggak apa-apa Pak)” jawabku sambil melihat langit yang masih gelap. Sepertinya hujannya akan lama.

“Parkir’e ten mriko mas, motore dilebetke mawon. (Parkirnya di sana Mas, motornya dimasukin saja)”

Aku mengangguk, kemudian mengajak Maya masuk. Ia mengikutiku dengan langkah ragu.

“Kok malah check in sih Kak?” tanyanya setibanya di dalam kamar.

“Udah, dari pada kamu kedinginan.” Kataku sambil membuka zipper ranselku, biasanya aku menyimpan beberapa kaus cadangan. “Lagi pula hujannya deras gitu.” Lanjutku.

“Tapi aku nggak bawa uang lho Kak, Aku jadi ngrepotin kakak lagi kan?”

“Udah, nggak usah dipikir. Kamu mandi trus ganti baju ini gih,” aku menyodorkan kaus ganti dari tas ranselku.

Maya mengambilnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Aku mendengar pintu kamar mandi dikunci. Kamar ini sederhana, khas penginapan-penginapan kelas melati yang banyak tersebar di kawasan Kaliurang. Kotak empat belas inch, air hangat dan kasur busa di atas ranjang kayu sederhana menjadi fasilitas yang selalu ada.

Tok… tok… tok….

Aku membukakan pintu. Bapak pemilik penginapan muncul membawakan dua gelas teh hangat beserta cemilan, sebungkus tissue dan permen.

“Halah, pak. Malah ngrepotin.”

“Wah mboten mas, niki pun sepaket kok. Monggo disekecaaken. (Wah, nggak kok mas, ini sudah sepaket. Silakan dinikmati.” Katanya sambil tersenym di balik kumis tebalnya, lalu beranjak pergi.

Aku meletakkan welcome drink itu di meja kecil di samping televisi. Kulihat ada bungkusan yang familiar di balik tissue. Kuambil bungkusan itu. Ealah, lha tenan to. Kondom. Duh pak kami ndak bermaksud…. Ah sudahlah, kumasukkan 3 bungkus kondom itu ke dalam saku celanaku. Siapa tahu kelak butuh.

Aku melepas kaus dan celanaku yang setengah basah , menggantungkannya di gantungan baju di depan kamar mandi. Menyisakan celana Boxer yang tidak begitu basah. Maya membuka kamar mandi dan terkaget melihatku seperti melihat penampakan tuyul cakep.

“Kak! Kok nggak pake baju gitu sih?” Sergahnya sambil mencoba menutup mata dengan handuk yang ia bawa.

“Lha basah, aku kan juga kedinginan.” Sahutku beralasan. “Pinjem handuknya dong Dek.” Pintaku kemudian.

Maya menyodorkan handuk yang ia bawa. Kemudian ia duduk di ranjang sambil menghidupkan televisi dengan remote.

Setelah merasa tubuhku agak kering aku menyusulnya duduk di atas ranjang. Kuamati Maya yang sedang menyaksikan infotaintment di televisi. Maya mengenakan kaosku yang terlalu besar untuknya. Ia hanya mengenakan bra dan celana dalam di balik kaos itu. Mini pantsnya ia sampirkan ke punggung kursi karena cukup basah. Ah, jadi pengen bikin isinya basah. Heh! Mikir apa sih aku ini.

Aku duduk di samping Maya. Ia bergeser sedikit dari tempatnya, memberiku tempat. Lalu ia menyandarkan kepalanya ke bahuku. Tanganku kembali merengkuh tubuhnya yang dingin.

Aku mengecup dahinya perlahan, semesra mungkin. Ia tidak menolak, malah semakin mendekatkan tubuhnya. Aku merasakan dadanya yang lembut menyentuh tubuhku. Aku mengecup bibirnya, lalu melumatnya perlahan. Ia kaget dengan ciumanku yang tiba-tiba, namun ia membalasnya dengan lumatan lembut. Perlahan, kami pun berbaring, sambil masih berciuman. Nafasnya memburu. Tanganku bergerilya di punggungnya, di balik kausnya mencari kaitan bra. Dalam sekali sentak lepaslah bra berwarna biru muda setengah basah yang ia kenakan.

Tanganku menyusup ke depan, menyentuh dadanya. Ia sedikit merintih saat aku menyentuh putingnya yang lembut dari balik kaosnya. Perlahan aku memindahkan ciumanku ke lehernya. Ia mendesah, terdengar seksi sekali di telingaku. Tanganku kemudian bergerak meloloskan kaus dan bra yang dikenakannya. Aku melempar kedua penutup tubuhnya ke samping ranjang, dengan masih menciumi lehernya yang menggoda.

Ciumanku bergerak turun ke dadanya. Ia mencoba menutupi dadanya dengan tangannya.

“Kak, aku…”

Ciumanku memutuskan kata-kata yang hendak ia ucapkan. Dinginnya udara yang tak tertahankan oleh tembok kamar dan seorang perempuan belia di dekapanku ini membuatku tak kuasa menahan gejolak birahiku. Kemudian kutuntun telapak tangannya yang semula menutupi dadanya untuk meremas kedua bongkahan payudara khas ABG itu. Dadanya memang tak terlalu besar tapi siapa yang perduli hal itu saat logika selangkangan sudah bekerja.

Tanganku bergerilya ke bawah, menyibak kain yang menutupi bagian intimnya. Lipatan kemaluannya tertutup rambut tipis yang tumbuh di tepi labia mayoranya. Kuelus perlahan kewanitaannya. Ia mendesis. Jemariku menyusup mencari-cari kelentitnya yang sudah sedikit basah.

Maya menggeliat kegelian saat klitorisnya dimainkan oleh jemariku. Kugosok perlahan. Desahan tertahan mengiringi gerakan jemariku yang membuat kelaminnya membanjir. Kulepas ciumanku, membiarkan ia mendesah lepas. Aku mengulum kecil cuping telinganya. Menciumi area di belakang telinganya.

Hujan di luar sana masih deras berlanjut. Tetabuhan langit berkumandang, menghasilkan gemuruh yang tak ingin kalah dari desahan Maya. Tiba-tiba tubuh kecil Maya menggelinjang. Desahannya mengiringi keluarnya gelombang nikmat yang menyerbu seluruh tubuhnya.

Aku diam-diam menurunkan boxer yang kupakai. Batangku melunjak keluar dari selubungnya. Berdiri tegap siap menuntaskan tugasnya. Namun aku masih bermain-main dengan tubuh Maya. Aku beranjak bergerak ke atas tubuh maya. Dadaku yang bidang dan Dadanya yang kenyal saling bergesekan. Kurasakan putingnya menyentil-nyentil permukaan torsoku.

Batangku bergesekan dengan rambut kemaluan Maya yang sedikit basah terkena lendir kemaluannya. Tanganku kemudian mengarahkan batangku menyentil kelentit Maya. Maya hanya mendesah. Lalu merintih kala kutuntun perlahan batangku masuk ke dalam liang kenikmatan Maya.

“Kak pelan-pelan…” telingaku menangkap kata-kata itu diantara desahnya.

Aku menggoyang pinggulku perlahan. Erat sekali liang hangat perempuan belia ini. Liangnya perlahan mempersilakan batangku masuk dengan sempurna. Batangku merasakan sambutan hangat. Terasa nikmat sekali cengkeraman kemaluan perempuan belia ini.

Udara dingin sudah tak kami rasakan, gesekan tubuh dua insan yang sedang memacu kenikmatan ini saling berbagi kehangatan. Kami tak lagi menghiraukan hujan deras yang sedang mengguyur kawasan kaki Gunung Merapi ini. Kami berasyik masyuk beradu pinggul mengadu kelamin yang berbeda jenis.

Desahan Maya semakin intens mengiringi kayuhan pinggulku yang perlahan kupercepat. Ia tak lagi malu-malu mendesah nikmat. Pinggul kami beradu mesra. Kemudian tubuh kecil yang berada di bawahku itu bergetar hebat. Kembali gelombang kenikmatan menerpanya. Aku menatap matanya yang menatapku balik dengan tatapan sayu. Cantik sekali wajahnya saat itu. Aku mencium bibirnya dengan mesra. Lidah kami bertaut dalam rongga mulut kami.

Aku kemudian melepas ciumanku, bangkit melepaskan batangku dari kemaluannya. Kuarahkan tubuh maya menyamping dan aku memposisikan diriku di belakangnya. Tanganku meremas lembut dadanya, memainkan putingnya dan bibirku menjelajahi tengkuknya. Kuselipkan batangku kembali ke kemaluannya. Ia mulai mendesah lagi. Kupompa kembali batangku keluar masuk perlahan. Aku tak ingin terburu. Aku ingin melalui kenikmatan ini bersamanya selama mungkin.

“Aku sayang kamu May…” kata kata itu melompat dari bibirku diantara lenguhan nikmat.

Entah Maya mendengarkannya atau tidak. Aku tenggelam dalam rasa nikmat, rasa sayang, ah entahlah. Aku hanya ingin menikmati saat ini. Tangan maya kemudian menarik taganku yang kuletakkan di pinggangnya. Ia ingin aku mendekapnya, erat. Dadaku merasakan kehangatan punggung kecil Maya.

Pinggulku kembali beradu dengan pinggulnya, sementara tubuhku merengkuh tubuh kecil Maya. Sudah tidak kami rasakan lagi kedinginan karena kehujanan beberapa waktu lalu. Bahkan kini peluh mulai menggeliat keluar dari kelenjar di balik kulit kami yang bergesekan mesra.

Kurasakan detik-detik mencapai klimaks itu menghantamku semakin kuat. Tanganku semakin erat merengku tubuh mungil Maya. Seperti yang biasa terjadi di akhir persetubuhan antara dua insan manusia. Batangku memuntahkan seluruh isinya.
Sekali lagi seorang perempuan menjadi korban kebuasan batang kejantananku. Kali ini bukan karena aku hanya ingin menikmati tubuhnya. Persetubuhan kali ini lebih didorong oleh rasa sayang? Mungkin. Ah Dasar Kewan.

“Ughh… terus Man, pompa terus memek Tante”

Wanita berumur mendekati kepala empat itu berteriak, mendesah diantara kayuhan pinggulku yang memompa kemaluanku masuk ke liang senggamanya.

“Arrrgghh akuu keluuaarr lagghhiii…” ia mendesah puas.

Aku membalikkan badannya di tepi ranjang kamar hotel. Melumasi liangnya dengan lidahku. Lalu menusukkan lagi kejantananku ke kelaminnya. Tante Mita kembali menggeram menahan nikmat yang tersalurkan oleh batang kemaluanku.

“Puaasiin Tante sayang… “ desahnya.

Aku melayangkan tamparan ke pantatnya yang masih membulat kencang di usianya yang tidak muda lagi. Pinggul kami beradu. Tusukan kemaluanku ke kelaminnya yang becek menimbulkan suara berkecipak.

“Fuuccckk Me hardeeerrr!!” teriaknya.

Liang senggama Tante Mita yang hangat masih meremas erat batangku yang kokoh menyetubuhinya. Pinggul kami beradu makin kencang, menimbulkan suara benturan yang menambah panas persetubuhan kami malam ini.

“Uuggghhh… Ittss feeelll goooddd” ia mendesah kembali.

Tanganku menyentuh punggungnya, lalu meluncur turun mencengkeram pinggangnya, menahannya agar menerima sodokanku yang kupercepat. Volume desahan Tante Mita semakin kencang menyambut klimaks yang akan menghampirinya.

Badan Tante Mita tiba-tiba menggelinjang di tengah sodokanku. Tubuhnya ambruk kekasur, tangannya tak kuat menumpu orgasme dahsyat yang menerpa tubuhnya yang masih mulus. Kucabut batangku yang berlumur lendir senggamanya, memberikan ia sedikit jeda menikmati big O yang ia dapatkan. Ia berbalik terlentang, memamerkan payudaranya yang tergantung kencang.

“Man, break bentar. Tante masih lemas –“

Aku memotong kata-katanya dengan ciumannya, lalu kembali menyelipkan batangku ke liangnya.

“Uugghh… “Ia melenguh tersumbat.

Aku memompanya lagi. Kali ini giliranku untuk mendapatkan klimaks dari persetubuhan ini.
Pinggulku beradu kembali dengan pinggulnya. ia mendesah tertahan. Lidahku kumainkan dalam rongga mulutnya, beradu, bersilat dengan lidahnya. Desahannya yang tertahan membuatnya semakin seksi. Aku semakin memompanya dengan penuh nafsu. Batangku menyerbu liangnya dengan membabi buta. Lendir lendir hangat sudah berkumpul di ujung batang kemaluanku. Ingin menyeryak keluar dari laras yang menahannya.

Aku menyentakkan batangku ke dalam liangnya dengan agak kasar. Memuntahkan semua lendir kental yang memancar di dalam rahim Tante Mita. Tubuhku telanjangku lemas menimpa Tante Mita. Batangku masih berkedut melepaskan sisa-sisa kenikmatan jepitan liang Tante Mita.

“Hhmm… Man, gila kamu. Enak banget.” Komentarnya ditengah nafasnya yang masih memburu.

“Firman masih waras Tante, kalo gila udah di pakem nggak di kamar ini sama Tante.” Bisikku sambil mengecup pipinya.

Tante Mita ini adalah salah seorang pelangganku. Pelanggan dalam arti ia sering memakai jasaku untuk memotret produknya. Ia memang memiliki usaha jual beli perhiasan perak.

Beberapa produknya sudah di ekspor ke berbagai negara di Eropa dan Amerika.
Kemarin ia mengontakku untuk memotret beberapa produknya untuk dibuat katalog. Lalu ia memintaku untuk datang ke hotel di kawasan Tugu. Tak kusangka ia malah minta foto nude, lalu malah berakhir dengan transaksi lendir. Dasar tante girang kurang belaian.

“Fotonya tar kamu kirim aja ya, via email. Tar kamu pilih yang bagus. Tante percaya kok sama kamu.”

“Iya Tante, besok aku kirim deh.”

Tante Mita beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya dari peluh sisa persetubuhan kami tadi. Kemudia ia memakai kembali pakaiannya dengan rapi.

“Kamu tidur sini aja kalau mau, Tante malam ini masih ada acara. Nanti langsung pulang ke rumah.”

“Emang kamar ini check out jam berapa Tan?”

“Jam dua belas ato jam satu gitu. Kayak kamu nggak pernah nginep di hotel saja. Udah tante bayar di depan kok.” Katanya sambil menyelipkan sebuah amplop ke tanganku. Akupun beranjak ke kamar mandi setelah Tante Mita meninggalkan kamar.

Setelah membasuh badanku, aku meraih telepon selulerku, kemudian berbaring di ranjang yang masih berantakan itu.

Kakak…
Kok g dibaca
PING!
PING!
PING!

Ternyata Maya menghubungiku via Messenger. Perhatianku teralih dari pesannya ke Display Picture Messengernya. Rasanya aku pernah melihat foto yang dijadikan Display Picture-nya ya?

Sori dek baru bangun
Eh, DPmu lucu
Oo kirain lagi sibuk
Lucu gimana kak
Ya lucu
Tapi kayaknya aku pernah lihat dimana gitu deh
Hayo dimana coba?
Lupa, di FB mungkin

Bukan. Bukan di jejaring sosial. Aku memutar memoriku. Mengingat-ingat foto DPnya yang sangat familiar di kepalaku. Dimana ya? Ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja.

Lagi sibuk dek?
Iya nih kak, lagi ngerjain tugas kelompok sama temen-temen.
Oooo ya sudah, mau ngajak jalan sih.
Maaf ya kak, gak bisa malam ini
Ya sudah gpp.

Pupus harapanku untuk mengajak jalan Maya malam ini. List teman di Messenger sama sekali tidak menarik untuk diajak sekedar jalan. Aku akhirnya memutuskan berjalan-jalan di sekitaran kawasan hotel. Sesekali aku ingin bernostalgia di Tugu. Mengenang saat-saat aku belajar memotret beberapa waktu yang lalu.

Tugu Yogyakarta, Tugu Malioboro atau yang nama aslinya Tugu Golong Gilig adalah landmark Kota Pelajar ini. Terletak di perempatan Jl. Sudirman dan Jl. Pangeran Mangkubumi. Tugu yang bukan hanya sekedar perlambang Manunggaling kawula gusti, atau perlambang persatuan rakyat dan pemerintah melawan penjajah. Tugu Jogja adalah poros Kota Jogja.

Pemandangan malam itu biasa saja. Tak ada yang istimewa. Deretan lesehan yang menjual gudeg meramaikan suasana malam di sekitar Tugu. Beberapa orang yang mungkin pendatang atau akan meninggalkan Jogja nampak berfoto memeluk Tugu. Semacam mengungkapkan ikrar bahwa ia mencintai kota ini.

Semacam itulah yang terjadi padaku. Sejak datang ke kota ini, aku terbius oleh pesona keindahan kota Jogja. Aku yang semula hanya mengerti bahasa daerah asalku, kini dengan fasih dapat bercengkerama dengan bapak pemilik angkringan dengan bahasa jawa karma dan nggak pake medok.

Keramaian di seputaran trotoar Mangkubumi tak mengusik rasa tertarikku kali ini. Gerombolan pengendara Vespa yang berkumpul dengan sesama penggemar motor klasik dari pabrikan Italia itu berkumpul seperti biasa di angkringan sekitar kantor surat kabar ternama di Yogyakarta.

Jauh di selatan lagi, di selatan Stasiun Tugu sebenarnya juga terdapat area kuliner lendir. Pasar kembang, atau lebih dikenal dengan nama Sarkem. Bukan rahasia kalau disana memang tempat untuk sekedar membuang lendir dan uang. Entah kenapa kali ini aku tak tertarik untuk berjalan ke sana.

Aku berhenti di sebuah angkringan di utara Stasiun Tugu. Sebuah angkringan yang (konon) legendaries dengan sajian kopi khasnya.

“Pak, kopi jos setunggal.” Pesanku pada bapak yang sedang duduk di balik dua bakul yang dihubungkan oleh sebatang bambu.

Aku mengamati sekitarku. Banyak orang bercengkerama dengan rekannya sembari menyantap cemilan atau sekedar merokok sambil menikmati kopi joss, kopi legendaris dari angkringan Lik Man.

Angkringan ini dianggap legendaries karena ini merupakan salah satu angkringan pertama di Yogyakarta. Pada umumnya, pedagang angkringan berasal dari Klaten. Sebuah kota kecil yang terletak tiga puluh tiga kilometer di timur Yogyakarta. Konon angkringan ini sudah ada di sini sejak tahun 1950-an. Sebelum menjamurnya pedagang angkringan di kota ini. Selain itu
Kopi legendaris kopi joss merupakan salah satu khas angkringan ini. Kopi hitam panas disajikan dengan diberi arang panas. Unik? Tentu saja. Rasanya? Silakan rasakan sendiri.

Sayup sayup terdengar obrolan beberapa orang di sekitarku. Di angkringan ini memang banyak orang yang bercengkerama membicarakan apa saja. Kebebasan berbicara namun menjaga tepo seliro dan biso rumongso menjadi semacam etiket tidak tertulis di angkringan ini. Kebebasan. Ya. Kebebasan yang selalu kuinginkan.

Pikiranku melayang membentuk bayang Maya di benakku. Sebegitu mudah aku jatuh hati? Sebegitu mudah aku tidur dengannya. Kalau itu benar, mengapa semudah itu juga aku mengiyakan ajakan bercinta Tante Mita? Aku manusia bebas. Aku bebas tidur dengan siapa.
Aku bebas mencintai siapa saja. Rasa sayang bukan alasan untuk terikat. Aku berargumen dengan diriku sendiri. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan pelan di bahuku.

“Ngalamun Le? (Melamun nak?)” ternyata seorang bapak tua yang tadi menepuk bahuku. “Kok sajake sampeyan nembe susah (Kok sepertinya kamu sedang sedih)” lanjutnya.

“hahaha, mboten mbah, (Enggak Mbah)” aku tertawa pelan, sekedar basabasi. “Urip niku kadang susah kadang seneng mbah (Hidup itu kadang sedih kadang senang mbah)” kataku spontan. Aku tak tahu akan nyambung atau tidak.

“Jare uwong, urip iku koyo roda Le. Mubeng. (kata orang, hidup itu seperti roda Nak. Berputar.”

“Lha njih mbah, Urip kulo sak niki nembe keganjel watu. (Lha iya mbah, Hidup saya sekarang mungkin terganjal batu.)”

Bapak tua itu terkekeh “Makane angkringane Lik Man ora dike’i roda, ben mandeg penglarise (Makanya angkringannya Lik Man tidak diberi roda, biar tidak berhenti penglarisnya.)”

Aku ikut tertawa mendengar kata-katanya. Nada getir tersirat, entah disadari oleh bapak itu atau tidak. Memang roda hidupku berputar, namun limbung. Aku hanya sekedar menjalani hidupku. Tanpa tujuan. Tanpa arah. Entah kemana jalan ini membawaku. Aku tak pernah perduli. Entahlah.

Setelah menikmati angkringan ini aku pamit kepada bapak tadi, dan kembali berjalan ke utara. Kembali ke hotel tadi. Aku tak tahu dengan cara apa aku harus menghabiskan malam.

Akhirnya aku menghabiskan waktuku di kamar hotel dengan memilah foto yang ku jepret tadi. Sekalian mengirimkan foto ke email pribadi Tante Mita. Sembari menunggu proses mengunggah, iseng kubuka forum underground yang sudah melegenda di dunia maya. Siapa tahu ada yang menarik di sini. Kubuka di regional Yogyakarta, memilah satu thread ke thread lain. Hmmm, tidak ada yang menarik.

FR? Bagaimana dengan FR? Ada yang menarik nggak ya? Jemariku kuusapkan di touchpad komputer jinjingku, mencari ada FR yang barang kali menggoda untuk diicip. Mataku tertahan di satu thread.

Dyar!

Aku seperti tersambar petir ketika melihat Thread FR yang cukup lama bertajuk “Kenyalnya miss M ABG Hot”. Foto DP yang kulihat tadi adalah foto yang sama yang kulihat di thread ini. Aku terhenyak sekejap. Kulihat tanggal postingnya, bulan Agustus 2009. Anjing! Aku sudah pernah melihat FR ini, namun aku baru sadar M adalah …. Aku tak berani menyebutkan namanya, bahkan dalam pikiranku. Rasa kalut langsung menyerbu pikiran dan hatiku.

Jadi Maya selama ini? Ribuan pertanyaan menyeruak masuk ke dalam pikiranku. Ya. Maya memang sudah tidak perawan saat aku menggaulinya beberapa hari yang lalu. Aku tak kecewa, karena aku pun sudah berkali-kali tidur dengan mantan, maupun wanita bayaran, bahkan tadi aku baru saja bersetubuh dengan tante-tante. Kenapa aku harus kecewa kali ini? Kenapa? M is for Maya really?

 Beberapa hari aku tak bisa mengajak Maya keluar di malam hari. Berbagai alasan ia lontarkan. Entah mengerjakan tugas kuliah, capek, atau apalah. Namun, kenyataan yang kudapati beberapa hari yang lalu member stimulus pikiran buruk terhadapnya. Jangan-jangan dia sedang dibooking, jangan-jangan ia sedang meladeni om-om. Dan ratusan sangkaan negatif yang muncul di pikiranku. Baru hari ini aku bisa mengajaknya keluar. Ajakannya seperti biasa berawal dari pesan di messengerku. Mungkin ini kesempatanku memverifikasi kebenaran Thread FR yang aku baca.

Kak, aku kosong malam ini.
Maen kemana yok.
Emang mau kemana dek?
Kemana ya?
Bukit bintang? How?
Hhmmmm… oke lah
Jemput ya Kak.

Bukit bintang, salah satu spot yang bagus untuk melihat keindahan kota Jogja. Aku jarang sekali mengiyakan ajakan untuk pergi ke sana. Jauh, alasanku. Kali ini aku mengiyakan ajakan Maya. Ini kesempatanku untuk menanyakan hal ini pada Maya.
Aku tak berkonsentrasi sepanjang perjalanan menuju ke selatan. Pikiranku terbagi antara aku harus memperhatikan jalan dan tentang Maya. Berkali kali Maya mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan, namun aku hanya diam, membisu, asyik berspekulasi dengan pikiranku sendiri di balik helm full face yang kukenakan.

Aku bertanya-tanya etiskah aku menanyainya? Akankah Maya menjawabku dengan jujur? Seandainya memang hal tersebut hanya bualan barisan sakit hati, mungkin hatiku akan lega, dan memang itu yang kuharapkan. Tapi seandainya memang benar adanya Maya menjajakan tubuhnya, aku harus bereaksi seperti apa? Mampukah aku tidak menghakiminya? Mampukah aku untuk tidak kecewa?

Jikalau benar, pasti ada alasannya. Maukah dia mengatakan alasannya dengan jujur padaku? Kalau hanya alasan ekonomi, aku bisa membantunya, tapi….

Tttiiiiiinnnn!!

Mobil di belakangku mengklakson. Aku berjalan terlalu pelan di tengah jalan. Aku melihat sekelilingku. Bukit Pathuk, tinggal beberapa menit lagi aku sampai ke tujuan. Aku memusatkan konsentrasiku ke jalan. Aku membuang semua pikiran burukku. Tampak keramaian bukit bintang di depanku. Penjaja makanan malam hiruk pikuk di tepian jalan. Aku memarkir motorku di salah satu warung. Aku memesan jagung bakar dan menyusul Maya yang sudah duduk memandang kerlap kerlip kota jogja malam hari.

“Bagus ya Kak.”

Aku mengangguk, memandang pemandangan di bawah kami.

Bukit bintang terletak di jalan Jogja Wonosari. Tepatnya di Hargodumilah, Pathuk, Gunung Kidul. Tempat ini sering dikunjungi oleh pasangan muda mudi yang mencari tempat beradu kasih. Romantis rasanya melihat kilauan pemandangan jogja yang berkerlap-kerlip bagai bintang dari atas bukit bersama kekasih.

Mungkin hal itu akan terjadi padaku dan Maya. Jika saja aku tak penasaran masuk ke forum itu. Ya, aku sedikit menyesal membuka forum itu. Buru-buru kubuang pikiran buruk itu. Tidak. Maya adalah seorang gadis baik-baik. Maya bukan wanita murahan seperti itu. Maya adalah….

“Dingin kak” Maya menggamit lenganku meletakkannya di pundaknya.

Aku memeluknya. Penuh rasa sayang. Ya, aku menyayanginya. Entah sebagai apa. Sebagai kekasih? Pasangan? Kami belum saling berikrar. Sebagai adik? Ya mungkin saja.

Aku mengecup keningnya.

“Kita kayak orang pacaran ya Kak?”

Aku diam tak menjawab. Maya mencubit pinggangku.

“Jahat ih, nggak dijawab”

“Jangan bilang kayak orang pacaran dong.”

“emang kenapa kak?”

Shit! Salah ngomong. Tunggu dulu. Aku harus memastikan hal tersebut dulu sebelum mengungkapkan rasa itu ke Maya. Tapi kok rasanya picik sekali. Seandainya benar dia memang menjajakan dirinya, terus aku nggak bisa menyayanginya? Kalut dan galau kembali menggelanyuti pikiranku. Seperti dua anak kecil yang nakal menggelendot di pikiranku. Ohh Damn.

“Nggak apa apa.” Jawabku singkat.

Maya memperat pelukannya.

“Maya sayang sama Kakak.” Singkat ia berkata.

Heh?! Serius? Aku hampir tak percaya dengan penjelasanku. Namun perasaanku mengambil alih kendali badanku lebih cepat dari logika otakku.

“Kakak juga sayang sama Maya.” Aku membalasnya.

Arrghhh. Tidak! Apa yang kulakukan? Bukankah seharusnya aku tidak menjawabnya demikian? Harusnya aku bertanya tentang hal itu lebih dahulu sebelum ngomong sayang-sayangan. Apa jadinya bila nanti aku menanyakan tentang hal itu ke Maya? Bukankah hanya akan menimbulkan kecanggungan?

Cup.

Maya mengecup pipiku. Kubalas dengan merengkuhnya lebih erat. Aku tidak bisa membohongi perasaanku lagi. Aku memang menyayangi Maya. Namun tak bisa begitu saja pertanyaan-pertanyaan mengenai kebenaran hal tersebut kubiarkan menggantung di pikiranku. Aku ingin menyelesaikan masalah ini. Supaya aku bisa mencintainya tulus, tanpa diganggu pikiran buruk yang berseliweran di kepalaku.

Aku berusaha mencari celah waktu untuk bertanya padanya. Namun aku terhambat rasa ragu. Apalagi tempat ini semakin malam, bukan semakin sepi, namun malah bertambah ramai. Banyak pasangan datang memadati tempat ini. Ada yang menggelendot mesra, bahkan ada yang berciuman di pinggir jalan. Gosh! Dasar anak muda.

“Kak, rame. Pindah yuk.”

Aku dan Maya sama sama tidak menyukai tempat yang terlalu ramai. Kami sama sama menggemari kesunyian. Akhirnya kami memutuskan kembali ke Jogja. Mungkin cukup untuk malam ini. Malam ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu padanya.

Aku mengantarkannya pulang ke kos. Kosnya nampak sepi. Mungkin penghuninya masih pulang kampung mumpung masih ada libur sebelum ujian akhir semester.

“Kak, masuk aja yuk.” ajaknya.

“Tumben kamu ngajak masuk?”

“Maya masih pengin sama kakak, gak boleh?”

Aku membawa motorku ke parkiran kos, kemudian masuk ke kamar ketiga dari pintu depan. Kamar kos Maya rapi, setidaknya kamarku jauh lebih berantakan. Ukurannya mungkin sekitar tiga kali empat, ada bilik mandi di dalamnya.

“Sebulan berapa May?”

“Empat ratus kak. Agak mahal tapi bebas. Nggak ada jam malam. Ibu kos juga di belakang sana.”

“Cowok boleh masuk emangnya?”

“Nggak apa-apa kalo nggak ketahuan.”

Aiihh, nakal sekali gadis ini.

“Kadang banyak cowok-cowoknya mbak kosku yang nginep sini” lanjutnya sambil berjalan masuk ke bilik mandinya.

Aku mengambil remote televisi yang tergeletak di kasur. Kunyalakan televisi, mencari tayangan yang menarik. Tidak ada yang menayangkan acara menarik di malam yang telah larut ini.

Maya melangkah keluar dari bilik mandinya. Ia berganti memakai piyama lucu. Piyama? Seriously?

“Bajumu lucu dek.” Aku tersenyum melihatnya.

“Aneh ya Kak?”

“Enggak.” Aku menggeleng pelan. “sini” aku mengajaknya duduk di sampingku.

“Iya, sebentar.” Ia berjalan menuju rak perkakas ada di dekat dispenser. Ia mengambil segelas air dan meminum sesuatu. Obat mungkin.

“Kamu sakit?” tanyaku.

Ia menggeleng. “Cuma vitamin kok kak.”

Maya duduk di sampingku, menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Dek, kejadian kemarin di Kaliurang aku…”

“Udah kak, nggak usah dibahas. Adek nggak menyesal dengan apa yang terjadi kemaren.”

Aku terdiam. Benarkah?

“Kamu sudah pernah melakukan itu?”

Ia diam mengangguk. “Waktu SMA dengan mantanku.” Jawabnya perlahan. “Kakak menyesal karena aku udah nggak perawan?” air matanya mulai mengintip di balik sudut mata.

Aku merengkuhnya. “Enggak. Aku nggak nyesel.”

Kami terdiam tertelan kesunyian. Hanya suara televisi yang berceloteh berisik.

“Kak” panggilnya pelan.

“ya?” aku menoleh menatap matanya yang basah.

Bibir mungil Maya maju, mencium bibirku. Tak lama terjadi silat lidah di dalam mulut kami. Kami melakukannya perlahan. Mencoba menikmati setiap detik percumbuan itu. Jemariku bergerak pelan membuka satu persatu kancing piyamanya. Membuka perlahan selubung yang menutupi kulit kuning langsatnya. Dadanya mengintip malu-malu dari balik pakaian yang dikenakannya.

Ia pun perlahan menyibakkan kaosku ke atas. Ia melepaskan ciumannya di bibirku, lalu mencumbu leherku. Ia menggigitnya perlahan, memberikan sensasi nakal di situ. Jemariku meremas pelan payudaranya, memainkan putingnya. Ia mendesis geli.

Aku membaringkannya perlahan, sembari mencumbu dadanya yang mungil. Lidahku bermain main di sekitar areolanya, menyentil putingnya. Cumbuanku kemudian kuturunkan, menyusur kulit mulusnya.jemariku membantuku untuk menurunkan celana yang ia kenakan, menampakkan lipatan kemaluannya yang tertutup rambut halus.

Kugoreskan lidahku menyapu lembut lipatan itu. Ia mendesah menikmati perlakuan lidah nakalku yang bermain-main di lipatan kemaluannya. Ujung lidahku beradu mesra dengan klitoris mungil yang malu bersembunyi di balik lipatan kemaluannya. Liangnya perlahan membasah seiring dengan rangsangan yang ku berikan.

Maya menggenggam rambutku, meremas remasnya seiring dengan liarnya gerakan lidahku di kemaluannya. Tiba-tiba ia mendesah lepas, punggungnya melengkung membuat dada mungilnya membusung.

Kemudian ia bangkit duduk, menarikku berbaring di kasurnya. Ia kemudian melepas celana yang kukenakan, dan melemparkannya ke samping kasur. Dengan sigap ia menggenggam batangku. Kemudian melumatnya dengan bibir mungilnya. Kurasakan lidahnya menyapu permukaan batangku. Ia menatapku dengan pandangan menggoda, sembari mulutnya masih asyik berinteraksi dengan kejantananku. Seksi sekali.

Lidahnya tak hanya bermain dengan batangku. Kali ini ia menyeret lidahnya turun membelai kantung kelaminku, mengulum zakarku perlahan. Tangannya bergerak nakal membelai batangku, sesekali mengocoknya.

Maya kemudian bangkit, menduduki batangku, menggesekkannya perlahan ke kelaminya. Kemudian perlahan batangku dilumat oleh liang kelaminnya. Maya membungkuk, menciumku.

“Kakak suka?”

Aku hanya bisa mengangguk dan melenguh. Apa lagi yang bisa kukatakan sementara batangku masih asyik keluar masuk kelaminnya, menikmati semua remasan liang senggamanya. Maya, kamu nakal sekali hari ini.

Ia menggerakkan pinggulnya liar, kadang bergerak naik turun, tak jarang ia memutarkan pinggulnya, mengaduk batangku hingga mabuk. Aku menarik tangannya membuat badannya menghimpitku. Kemudian pinggulku kupompa ke atas, batangku bergerak aktif menyodok liang nikmatnya. Ia mendesah menikmatinya. Semakin cepat kupacu pompaanku, tanganku melingkar di tubuhnya, membuat badannya terkunci di posisi itu. Bibir maya mencumbu dadaku. Ia menggigitnya sembari mengeluarkan erangan tertahan.

“Kak, sakit ya. Maaf….”

Aku tak menjawab, lalu kebalikkan tubuhnya, kini aku yang menindihnya.

“It’s okay. Kamu suka?” bisikku di telingannya.

“I love it….”

Kukayuh kembali pinggulku. Desahannya kembali terdengar. Eratnya remasan kelaminnya semakin menambah nikmat persenggamaan ini. Peluh sudah mengalir deras dari tubuh kami yang bertindihan, saling menghimpit dan bergesek mencari kenikmatan.

Maya melingkarkan kedua tangan dan kedua kakinya mengunci posisi tubuhku, seakan tak ingin kenikmatan kelamin kami yang sedang asyik bercumbu ini selesai. Ia kemudian mengeratkan dekapannya. Ia mengerang lepas. Tubuhnya mungilnya mengejang, bergetar perlahan. Tangannya lepas dari tubuhku, lemas tak berdaya diserbu gelombang kenikmatan.

Pun aku mulai merasakan denyut-denyut nikmat pertanda batangku tak akan bertahan lama menahan dorongan klimaks persetubuhan ini. Kutancapkan lebih dalam batangku ke liang senggamanya, lalu muncratlah isi batangku, mengalirkan lendir hangat ke rahimnya.

Aku mencium Maya. Bibir kami bertaut seperti halnya kelamin kami yang masih bercumbu di akhir persenggamaan malam ini. Aku kemudian berbaring di sisinya, mendekapnya, mengecup keningnya.

“Dek.” Panggilku perlahan. “Pernah melakukan ini dengan cowok lain?”

“Kenapa nanya itu Kak?” ia menjawab perlahan. Ada nada ragu dari jawabannya.

“Kapan itu aku pernah bilang aku pernah lihat DP messsengermu kan?” ia terdiam lalu mengangguk. “Aku inget lihatnya di mana.” Ia masih tidak menjawab, sengguknya mulai terdengar.” Aku lihat di forum underground. Apa itu bener kamu?”

Ia terisak. Kurasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memberanikan diri mengangguk. Aku menunduk menatapnya. Air mata membasahi matanya.

“Kok malah nangis Dek?”

Ia masih tidak menjawab, malahan beringsut masuk ke dekapanku.

“Maafin adek ya Kak.” Ia tersedu. “Adek bukan cewek yang baik buat kakak.” Tangisnya lepas di pelukanku.

Kututup Komputer jinjingku setelah mencatat nomer tersebut di telepon selularku. Aku ragu apakah aku masih harus menghubungi orang ini. Karena aku nggak mempermasalahkan masa lalu Maya. Aku yakin Maya melakukan hal tersebut bukan semata-mata karena keinginan dia, namun pasti ada hal yang memaksanya melakukan hal tersebut dan hal itu belum ia sampaikan kepadaku.
Manusia mungkin makhluk yang aneh. Biarpun aku sudah tidak mempermasalahkan masa lalunya, dan sudah mengikhlaskan yang telah terjadi, namun rasa keingintahuanku menguntitku. I need a damn good reason to understand her.

To: antoklondo
Ketemuan yok suhu.
Sekalian ngobrol2 sambil ngopi.
Gimana?

Pesan singkat tersebut aku kirimkan dari telepon selulerku. Penasaran ingin melihat seperti apa wajah orang yang pernah menjamah Maya.

From: antoklondo
Boleh suhu, kafe xxxx kotabaru gimana?
Malem aja jam 11an. Kafenya buka 24jam kok.

Setelah mengkonfirmasi kesanggupanku via SMS, aku segera memacu motorku ke kos Maya. Siang ini kami janjian makan siang. Normal kan sebagai sepasang kekasih untuk makan siang bersama?

“OTW dari mana kak kok lama amat?” tanyanya begitu sampai di kos.

“Lahaciaa, “jawabku dengan nada kekanakanakan.

“iihhh gitu deh” ia mencubit pinggangku.

Kami pun segera meluncur ke salah satu foodcourt di Mal terbesar di Jogja.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami berjalan-jalan di Mal tersebut. Hal yang lama sekali tidak kulakukan. Aku memang tidak begitu suka dengan kegiatan jalan-jalan di Mal. Terakhir aku melakukannya mungkin sekitar 2-3 tahun yang lalu.

“Abis ini mampir kontrakan yuk.”

“Ngapain kak?”

“Pengen nidurin kamu”

“iiihh kakak ini, kalo hari ini aku gak bisa kak. Aku lagi dapet.”

“ooohhh”

“iihh, kalo aku gak dapet ntar kakak repot lho”

“repot gimana?”

“repot ngurusin pernikahan kita”

Aku sedikit terhenyak dengan kata-kata Maya. Nikah? Sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan di kepalaku. Sepanjang sejarah aku berpacaran, aku belum pernah berpikir sampai ke situ. Apakah memang Yang Kuasa mentakdirkan aku bertemu dengan Maya untuk mengingatkan aku supaya aku mulai berpikir lebih serius dalam menjalani hidup?

Aku menatap Maya yang dengan gaya centilnya meminum Cola dari gelas Styrofoam. Ya memang nggak Malu maluin juga sih untuk menjadi Nyonya Heru Firmansyah, dan begitu pula mantan-mantanku. Apa memang Tuhan memilihnya untuk mendampingiku? Atau? Ah sudah cukup bicara tentang Tuhan. I love Maya, and that’s enough.

“Kak” katanya pelan, sambil menepuk pundakku. “kok diem? Pasti mikirin nikah ya? Aku Cuma bercanda kok kak” ia tersenyum.

“oohh, bercanda berarti gak jadi nikah nih?”

“Ya nggak gitu juga. Tapi nggak keburu nikah gitu lho kak.”

“ya yang keburu kan kamu, aku sih udah siap umur dan materi. Kamu itu yang masih kecil udah ngomongin nikah” jawabku sambil mencubit hidung mungilnya.

“Emang kakak mau nikahin aku?”

“terpaksa sih”

“iiihhh kok terpaksa?”

“abis aku udah sayang kamu, kalo gak dinikahin tar keburu disabet sama orang lain”

“kakak so sweet banget sih gombalnya” jawabnya sambil menggelanyut di tanganku.

Setelah puas menjelajahi Mal tersebut kami beranjak pulang. Aku mengantarkan Maya kembali ke kosnya, lalu meluncur ke Kontrakkanku.

Sesampainya di kontrakan, aku membaringkan tubuhku di sofa. Menyalakan televisi , sekedar memberi latar suara di kontrakan yang sepi ini. Anganku kembali berlari menuju Maya. I cant take my mind of her.

Bayangan Maya di benakku, membantingku mengingat saat aku menemukan FR di forum. Maya pasti punya alasan, apapun alasannya aku harus bisa menerimanya. Aku menekan perasaan kalutku dengan memaksakan logika-logika di benakku. Mungkin itu hanya orang yang bikin Fake FR. Atau Barisan Sakit Hati yang pernah ditolak sama Maya. Atau apapun alasan Maya, apapun kata si Antok Londo nanti jangan sampai mengaburkan persepsiku. Be calm Firman, aku mensugesti diriku sendiri.

****************************************************

Biiipp… biiipp… biiippp

Alarmku berbunyi. Ah, aku tertidur rupanya. Aku duduk sembari menguap. Eh, jam berapa ini? Mataku secara otomatis menatap jam dinding di depanku. Fuck jam setengah sebelas. Aku berlari menuju wastafel dan mencuci muka. Kemudian berlari menyambar jaketku lalu mengunci pintu kontrakan, kemudian bergegas memacu motorku ke tempat yang disepakati tadi.

Kotabaru, sebuah kawasan kotalama yang dipenuhi bangunan berarsitektur ala Eropa. Kawasan yang pada masa kolonialisme Belanda digunakan sebagai pusat pemerintahan kolonial karena letaknya dekat dengan stasiun dan kraton yogyakarta.

Pertemuanku dengan si antoklondo ini bertempat di sebuah kafe 24jam di sekitar kretek kewek. Kretek atau jembatan kewek ini dibangun pada jaman belanda untuk melintasi sungai code. Kewek adalah sebutan mudah orang jawa untuk Kerkweg nama asli jalan yang kini bernama jalan Abubakar Ali.

Aku duduk di salah satu meja. Setelah memesan kopi hitam kental. Aku mencek hapeku, belum ada balasan dari si AntokLondo ini. Biarlah, toh seandainya dia tidak jadi datangpun aku nggak masalah. Paling hanya rasa keingintahuanku yang tak terpenuhi.
Aku menyeruput kopiku, lalu menyulut rokokku. Beuh, kopinya agak gosong. Bau sangit sedikit mengganggu kenikmatan kopi ini.

From: antoklondo
Duduk dimana mas bro?

Aku membalasnya dengan menyebutkan nomor mejaku.

Tak lama munculah, seorang bertubuh ceking, berkulit coklat terang. Matanya kecil, agak sipit, menatapku.

“Mas Antok?” tanyaku kalem.

“Iya, mas siapa?” ia menyodorkan tangannya menyalamiku.

“Firman.” jawabku singkat.

Ia duduk di depanku. Kemudian memesan kopi pada waiter yang berada di sekitar meja kami. Kemudian ia menyulut rokok mild dengan korek zippo.

“Piye mas? (Gimana mas?)” ia membuka pembicaraan.

“Piye apane mas? (Gimana apanya mas?)” aku membalas pertanyaannya.

“katanya mau nanya soal si M.”

Aku mengangguk.

“Kalo dia tarif short timenya segini” sambil menunjukkan kelima jarinya.

Lima ratus ribu.

“itu sudah sama tarifnya sampean, ato saya masih harus bayar sampean lagi?”

“Wah, situ baru pertama booking po?”

“lha situ dah lama bisnis ginian?” tanyaku balik.

“Wah yo durung suwe mas. Bisnis kayak gini banyak resikonya.”

“siapa tahu situ polisi.”

“emang ane ada potongan polisi?”

dia terkekeh, “Kalo lihat dari perawakan dan tampang sampean, sampean nggak ada bau polisi mas. Piye? Jadi booking Maya?”

“Oh, jadi bener si M itu Maya ya?” aku bertanya pelan.

Dia terdiam mendengar jawabanku.

“Ada hubungan apa kamu sama Maya?” dia bertanya padaku.

“Lho, aku yang harusnya tanya sama kamu? Kok bisa dia muncul di forum itu?”
dia diam, menyeruput kopi, lalu menghisap rokoknya.

“Maya sendiri yang minta dipasang di forum. Itu FR palsu. cuma buat pancingan aja, kalo ada yang tertarik sama dia. kalo aku sendiri, aku nggak bakal tega sama Maya”

jantungku berdebar mendengar jawabannya.

“Maya butuh uang, hidupnya enggak lama lagi.”

aku tambah tercekat mendengarnya.

“Maksudmu piye?” tanyaku tergetar.

“Dia punya sakit jantung. Kata dokter udah terlalu akut. Tinggal menunggu waktu. Obat jantung yang harganya mahal itu hanya untuk memperlambat waktu, beberapa minggu lalu, dia membeli obat untuk yang terakhir kalinya. Dia udah nggak punya apa-apa lagi.”
Mas Antok menjawab pelan. Setitik airmata muncul di sudut matanya yang sempit.

“dan aku ora iso opo-opo nggo ngewangi de’e (dan aku nggak bisa apa-apa untuk membantu dia)” jawabnya lagi.

“Lha sampean siapanya mas? Kok dia nggak cerita ke aku?”

“Aku sudah seperti kakaknya. Dulu kakaknya Maya itu mantanku.”

Aku terdiam mendengar jawabannya. Susah mengungkapkan perasaanku saat ini. Pahit sekali rasanya. Sakit.

Aku berlari di lorong rumah sakit. Membuka pintu kamar kelas dua yang ada di ujung lorong. Kulihat Maya berbaring lemas di situ. Ia menatapku dan tersenyum.

============================

“Maya semaput mas! Di bawa ke Sarjito!” begitu jawab teman sekos Maya ketika siang tadi aku berkunjung ke kosnya.

Rasa panik dan cemas berkejaran dengan laju sepeda motorku untuk segera tiba di Rumah Sakit ternama di kota ini. Bagaimana mungkin aku tidak panik? Mengetahui kenyataan mengejutkan tentang Maya, dan kemudian tiba-tiba saja Maya pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dan bagaimana mungkin aku tidak cemas? Aku menyayanginya. Dan itu sudah cukup bagiku sebagai alasan untuk cemas akan keadaannya.

============================

Dokter yang sedang memeriksa Maya melihatku.

“Mas, saudaranya mbak Maya?”

aku mengangguk.

“Bisa ke kantor saya sebentar?”

aku mengangguk lagi. Lalu mengikutinya ke ruang dokter.

“Jadi begini Mas?”

“Firman Pak”

“eerr… mas Firman. Kondisi jantung mbak Maya sudah tidak tertolong.”

“bentar pak? Bisa di jelaskan dia sakit apa?”

“Lho jadi? Ah baiklah. Begini mas, Jantung mbak Maya itu terkena penyakit karditis aspergilosis, semacam mikro jamur yang tumbuh di sekitaran jantung. Nah jamur ini menyumbat peredaran darah menuju dan keluar dari jantung. Sehingga membebani kerja jantung. Selama ini pertumbuhan fungi bisa dicegah dengan antifungus, namun tetap saja tidak bisa hilang dengan bersih.” ia memberi jeda sejenak, memberiku waktu mencerna penjelasannya. “dan memang penyakit ini susah sekali dideteksi lebih dini karena fungus tidak dapat dipastikan kecepatan pertumbuhannya.”
aku terdiam mendengarkan penjelasannya. Logikaku mulai memaksaku untuk menerima kenyataan bahwa Maya mungkin tidak lama lagi berada di dunia ini.

Aku melangkah keluar, dan kembali berjalan menuju kamar Maya dengan langkah gontai. Penjelasan dokter tadi seperti memukul ulu hatiku.

Di kamar pasien, Maya tetap berbaring lemas di ranjangnya. Dengan alat-alat kedokteran di sekitarnya dan infus yang ada disamping ranjangnya.

“Kak…” ia memanggilku.

Aku mendekat.

“Maaf ya kak…”

Aku mengangguk.

“Kenapa kamu nggak cerita May?”

“Aku nggak mau kakak sedih. Aku tahu hidupku udah gak lama lagi. Dan aku dah jahat udah bikin kakak sedih.”

Aku menggeleng.

“Kakak jangan sedih ya” pintanya.

“Gimana aku nggak sedih May? Aku sayang sama kamu.”

“Aku juga sayang sama Kak Firman.” ia terdiam sejenak, “Kak inget nggak apa yang paling aku impikan?”

aku terdiam. “Kebebasan?” tanyaku memastikan.

Ia mengangguk. “Kalo aku nggak ada, aku bebas dari dunia ini kak, aku bakal bahagia di sana.”

“tapi May…”

“Kakak juga harus bahagia di dunia ini juga ya. Kakak juga harus bisa bahagia.” ia menegaskan padaku.

Aku mengangguk.

“Janji ya?”

Aku mengangguk lagi. “Iya.”

Itu adalah pertemuan terakhirku dengan Maya. Keesokan harinya Maya berpulang ke hadapan Yang Maha Kuasa. Air mataku mengiringi kepergiannya. Rasa duka menyelimutiku.

“CUK?!” sebuah suara mengagetkanku. “Ngalamun wae, kesurupan kowe ngko (Melamun saja, kesurupan kamu ntar) ” lanjutnya.

“Lho Re? Kapan teko? (Lho Re, Kapan datang?”

“Lagi wae, ngenteni udan sek (Baru saja, menunggu hujan dulu)” jawabnya sambil menyulut rokok. “Lapo kon kok ngalamun? (Ngapain kamu melamun?)”

“Gak lapo-lapo, eling jaman biyen ae (Gak papa, inget jaman dulu aja)”

“Jaman awakmu seh doyan wedok? (jaman kamu masih doyan cewek?)”

“Heh?”

“Saiki kan awakmu doyan lanangan Cuk. (Sekarang kan kamu doyan Laki)”

“Matamu Su!”

Kami tertawa tergelak. Kata-kata umpatan sudah menjadi pelengkap dalam percakapan kami.

“Ngentekke sak cingkir trus budal yo (Habisin secangkir trus berangkat ya)”

Aku mengangguk. Lalu menyulut rokokku. Aku menatap hujan yang masih membias tipis. “Terimakasih” desisku perlahan nyaris tanpa suara. Terimakasih telah memberiku kesempatan mengenal Maya biarpun hanya dalam waktu singkat.