Nur Nasirah Nazri

Perkenalkan namaku Nur Nasirah Nazri, biasa dipanggil Nur. Umurku 18 tahun, baru lulus dari sekolah menengah atas. Aku tinggal di Kuala Trengganu Malaysia. Kondisi ekonomi keluargaku pas-pasan, kalau tidak dibilang kekurangan. Untungnya kami masih mempunyai sebuah warung makan yang menjadi sumber pendapatan keluarga kami. Warung ini merupakan warisan ayahku yang telah tiada, sekarang dikelola ibuku. Aku pun turut membantu ibuku mengelola warung ini dengan mengantar pesanan atau mencuci piring. Kata orang-orang aku manis dan cantik, juga ramah. Tak heran banyak bapak-bapak yang berkunjung ke warungku sebenarnya bukan untuk makan, namun untuk bertemu denganku. Untungnya mereka masih sopan dan tidak ada yang kurang ajar, mungkin malu dengan ibuku. Mereka hanya sebatas mengajakku becanda, tidak lebih sambil mungkin bisa membayangkan bisa memikatku. Namun rata-rata mereka sudah beristri, mana mau aku dengan mereka.

Diantara para lelaki itu ada seorang lelaki tua yang hampir setiap hari datang ke warungku dan pasti menyapaku, namanya Ismail Lombok. Menurut cerita ibuku, dia adalah pejabat di perusahaan perkebunan dekat warungku. Statusnya duda karena ditinggal mati oleh istrinya 15 tahun yang lalu, anak-anaknya sudah besar dan berkeluarga. Orangnya humoris dan menyenangkan, ku lihat dia juga baik dan sopan. Terkadang saat membeli makanan di warung kami, dia tidak mengambil kembaliannya sebagai hadiah untuk kami. Aku menghormatinya seperti kepada ayahku sendiri, atau mungkin kakekku. Belakangan ku tahu usianya 66 tahun, sebuah usia yang cukup pantas untuk menjadi kakekku. Sampai suatu hari aku dipanggil oleh ibuku selepas menutup warung makanku.

“Nak, ada yang ingin ibu bicarakan.” kata ibuku.
“Iya bu. Ada apa?” tanyaku.
“Ada yang ingin ibu sampaikan, tapi ibu mohon kamu jangan kaget atau marah ya?” ujar ibuku.
“Memangnya apa bu yang ingin ibu sampaikan?” tanyaku kembali.
“Ehm.. Sebenarnya ada yang tertarik mempersuntingmu. Dia sudah bilang ke ibu sejak sebulan yang lalu, tapi ibu takut untuk menyampaikannya padamu. Namun dia juga terus bertanya kepada ibu tentang tanggapanmu. Maka ibu ingin sampaikan sekarang kepadamu nak.” ujar Ibuku.
“Memangnya siapa yang ingin menikahiku bu?” tanyaku semakin penasaran.
“Emh.. Tapi kamu jangan kaget ya.” ujar Ibuku.
“Ih.. ibu, dari tadi bikin aku penasaran deh. Cepetan kasih tahu!” ujarku agak sedikit kesal.
“Yang ingin mempersuntingmu Pak Ismail Lombok, pejabat perkebunan nak.” ujar Ibu.
“Apa?! Maksud ibu Pak Ismail? Serius Bu?” tanyaku.
“Iya nak, dia serius ingin memperistrimu.” ujar Ibuku.
“Tapi… dia sudah tua bu.. kenapa dia menginginkanku? kenapa tidak dengan ibu saja?” tanyaku.
“Siapa sih yang tidak menginginkanmu nak? Ibu yakin banyak sekali pria yang naksir sama kamu. Namun baru Pak Ismail yang berani terus terang sama ibu. Enak aja nikah sama ibu, Pak Ismail maunya sama kamu nak.” ujar Ibu.
“Nur gak mau bu! Nanti apa kata orang, masa gadis seperti Nur menikah dengan pria tua seperti Pak Ismail. Nur pasti malu.” ujarku mendebat Ibu.
“Nak, Pak Ismail itu orang baik, ibu yakin maksud dia menikahimu tidak hanya karena nafsu saja. Ibu yakin dia memang ingin membantu ekonomi keluarga kita Nur.” ujar Ibu.
“Membantu ekonomi keluarga kan tidak harus dengan menikahi Nur Bu! Masih banyak cara lainnya.” ujarku.
“Nak, coba fikirkan matang-matang, kalau kamu menikah dengannya kamu akan hidup berkecukupan, kamu tak perlu jaga warung ini lagi. Biarlah ibu saja yang mengelola warung ini.” ujar Ibu.
“Bu, aku tidak mencintai Pak Ismail, dia sudah ku anggap ayahku sendiri.” ujarku lagi.
“Nak, cinta itu biar tumbuh belakangan. Dulu saat ibu menikahimu ayahmu juga dijodohkan, nyatanya kami saling mencintai.” ujar Ibu.
“Ibu aku gak mau, ibu jangan memaksakan keinginan ibu donk kepadaku.” ujarku.
“Baiklah nak, ibu tidak akan memaksa, silahkan fikirkan matang-matang ya nak. Mungkin sekarang kondisi sekarang fikiranmu sedang kurang jernih. Nanti kita ngobrol lagi.” ujar Ibuku.

Semenjak perdebatan itu, aku agak banyak melamun. Aktifitasku berjalan seperti biasa, Pak Ismail pun menyapaku seperti biasa. Dia sekarang sering berlama-lama mengajakku ngobrol, mungkin dia tahu bahwa ibu sudah menyampaikan kepadaku iktikadnya. Aku menanggapinya dengan biasa saja.

****
Pada akhirnya hari itupun tiba, hari pernikahanku dengan Pak Ismail. Ya, pada akhirnya aku luluh, aku mengalah demi membahagiakan ibuku. Aku berusaha menerima kenyataan ini dan berfikir positif, toh Pak Ismail adalah seorang yang baik dan bertanggung jawab. Yang pasti dia akan dapat membahagiakanku secara materi.

Tamu-tamu mulai menyalami kami, mungkin mereka semua membicarakanku di belakang. Ada yang aneh kenapa gadis muda sepertiku mau dengan orang tua seperti Pak Ismail. Ada yang menyangka aku hanya ingin hartanya saja. Aku tak mempedulikan semua itu. Toh tak jadi soal bagiku apa yang mereka semua katakan. Yang penting aku berusaha bahagia dengan kondisiku sekarang.

POV Ismail
Akhirnya malam ini tiba juga, setelah seharian menerima tamu aku bisa berdua saja dengan istri baruku Nur. Aku sangat senang bisa menikahi gadis ini, teman-temanku yang datang kelihatan iri denganku. Jelas saja istri-istri mereka sudah pada peyot dan tidak menggairahkan, sementara sekarang aku bersiap memerawani seorang gadis yang bukan hanya cantik namun juga alim. Ah aku sudah tidak sabar.

Di sebuah kamar pengantin, di ranjang yang sudah dihias kelambu, kulihat Nur baru selesa mandi dan kemudian mengganti baju pengantinnya dengan rok panjang dan kaos berlengan panjang. Jilbabnya masih terpasang mungkin karena dia masih menganggapku orang asing. Dia mulai kembali berhias dengan bedak dan lipstik agar tetap tampil cantik di hadapanku. Aku pun sudah mandi dan wangi sebelum Nur mandi. Ini berarti kami berdua sudah siap melakukan ritual yang ditunggu-tunggu oleh sepasang suami istri. Ya, malam pertama. Tentu bagiku ini bukanlah malam pertama, namun bagi Nur ini adalah malam pertamanya.

“Nur, sudah selesai dandannya?” tanyaku.
“Sudah, ini baru selesai pak” ujar Nur.
“Hei, jangan panggil aku bapak, panggil aku abang saja.” ujarku menggodanya.
“Iya abang.” Nur mulai mendekat kepadaku. Dia duduk berhadapan denganku di atas ranjang seolah mengerti kemauanku.
“Nur, kamu cantik banget deh. Abang sangat beruntung bisa menikah dengan kamu.” ujarku. Dipuji seperti itu Nur pun terlihat tersipu malu.

“Nur, abang boleh cium kamu ya.?” pintaku. Nur mengangguk tanda setuju.
Aku memandang wajahnya yang cantik, kecantikan yang memantik nafsu birahiku. Lalu aku cium dengan perlahan keningnya. Dari kening aku cium bibirnya dengan perlahan. Terasa Nur masih sangat kaku dan belum berpengalaman soal ini.

“Mmmuuuaaacchhh.. mmmmhhh… slurp… mmmhhh..” Lidah kami beradu dengan khidmat. Mata Nur terpejam menikmati pergumulan ini. Tanganku mulai nakal menuju payudara Nur yang belum pernah dijamah dari balik bajunya. Jilbabnya yang masih terpasang menambah keanggunan sekaligus birahiku terhadapnya. Pas, tidak terlalu besar namun juga tidak kecil, yang jelas empuk dan sekal. Aku meremas-remas payudaranya, terlihat mata Nur terbelalak kaget salah satu organ intimnya aku sentuh. Namun perlahan matanya menjadi sendu pertanda menikmati sentuhanku. Ah, batang kejantananku pun tegak dari balik celanaku, seolah protes ingin segera dikeluarkan dari sarangnya.

“Aaaahhh.. Nur, kamu pandai sekali ciumannya.” ujarku memuji Nur.
“Aku cuma mengikuti naluriku saja bang.” ujar Nur sambil tersipu malu.
Kami pun selesai berciuman, aku tak sabar ingin melanjutkan untuk menikmati tubuhnya.
“Nur, kamu berdiri ya.” ujarku. Nur pun turun dari ranjang lalu berdiri menghadapku yang duduk di ranjang. Aku lepaskan kaosnya, terpampanglah sebuah pemandangan indah, tubuh yang halus dan putih dihiasi dua gunung yang masih tertutup bra putih. Tanganku mulai menjelajah pundak, tangan dan perut Nur.
“Nur, mulus banget sih kulit kamu, putih lagi.” pujiku pada Nur.
“Eh iya abang,” ujar Nur sambil malu-malu.

Lalu dengan tiba-tiba ku lepaskan pengait bra Nur. “Awwww…” dengan reflek kedua tangan Nur menutupi dua buah payudara. Sambil tersenyum aku pun memindahkan kedua tangan Nur yang menutupi payudaranya.
“Nur, abang boleh nenen ya.” ujarku pada Nur dengan senyuman mesum.
Nur pun mengangguk tanda setuju, aku kemudian agak memajukan tubuh Nur sampai payudaranya tepat berada di depanku. Aku pilin-pilin putingnya yang berwarna coklat, aku jelajahi senti demi senti payudara putihnya, urat-uratnya terlihat jelas. Benar-benar payudara impian setiap lelaki, aku beruntung karena bisa menikmatinya. Lalu dengan lahap aku mulai mengemut-ngemut payudaranya. Nur pun terlihat merintih-rintih dan menikmati sedotan dan remasanku pada payudaranya.

10 menit berlalu, setelah puas nenen pada payudara Nur, aku pun membuka kaosku dan melepas celana dan celana dalamku. Terpampanglah burungku yang hitam legam dan lumayan panjang. Lagi-lagi Nur terlihat kaget karena baru pertama kali melihat burung lelaki. Aku pun memelorotkan rok yang dipakai Nur dan celana dalamnya. Kini Nur sudah bugil hanya tinggal jilbabnya saja yang tersisa. Jembutnya terlihat rapi, pertanda Nur rajin merawat bagian kewanitaannya.

Aku pun kemudian berdiri di hadapan Nur, lalu aku arahkan tangan Nur untuk memegang penisku.
“Nur, coba pegang burung abang ya.” pintaku.
Nur pun memegang penisku, spontan aku terasa dialiri listrik karena mulusnya tangan Nur. Nur pun perlahan mengocok penisku, aaahhh.. aku hanya bisa mendesah keenakan. Aku menyuruhnya melakukan blowjob, namun dia baru sebentar melakukannya dia batuk dan seperti mau muntah. Aku pun tak tega memaksanya.

Langsung saja aku baringkan Nur, terlihat mukanya agak tegang karena tahu apa yang akan aku lakukan. Aku akan memerawaninya, menembus mahkota yang selama ini dia jaga.
“Nur.. Udah siap?” tanyaku kepadanya.
“Abang, Nur takut.” ucap Nur dengan polos dan jujur.
“Tenang aja, sakitnya cuma sebentar kok, kesananya enak Nur.” ujarku meyakinkan.
Akhirnya aku letakan penisku tepat di depan vaginanya, ku gesek-gesekan terlebih dahulu mengenai klitorisnya.
“Aaaahh.. aaaahh.. aaahhh” Nur mulai mendesah, vaginanya mulai basah.
Lalu aku masukan perlahan-lahan penisku, sampai terasa ada sesuatu yang menghalangi, yaitu selaput daranya. Ternyata vagina Nur masih sangat sempit, dan tidak.. aku pun tidak tahan.. Lalu crot.. crot.. air mani ku pun tumpah masuk ke dalam vaginanya. Aaahhh.. Sialan, aku gagal memerawaninya. Ternyata usia senja ini aku memang sudah harus pakai obat kuat, tubuhku pun ambruk di atas Nur.
“Abang kenapa?” Tanya Nur.
“Abang udah keluar Nur.besok kita coba lagi ya.” ujarku.

Gallery for Nur Nasirah Nazri