Museum Kenikmatan : Mantan Kecengan, Tetangga, dan Perempuan Lainnya

Satu : Seks dengan Mantan Kecengan di depan Suaminya
Tag : Cuckoldry

Sidqi sudah menunggu di lobi ketika aku masuk hotel bintang empat itu. Dia dengan santai memanggil namaku, seperti sudah akrab saja. Kami bersalaman lalu basa-basi. Sidqi banyak bertanya sedangkan aku menjawab seadanya. Aku jelas merasa canggung. Seminggu yang lalu, aku dikontak oleh Agnia, seorang perempuan yang pernah kutaksir ketika kuliah. Aku sempat curiga pada Agnia. Kukira dia akan menawarkan MLM, ternyata dia menawarkan hal yang lebih gila. Dia ingin aku berhubungan intim dengannya di depan suaminya. Aku, yang saat itu pusing karena kerjaan dan kesepian, jelas mau. Namun bisa saja ini modus penipuan. Dengan hati-hati, aku ikut arus pembicaraan yang diarahkan Agnia. Dia memperkenalkan suaminya, dan menjelaskan teknis pertemuan. Dua hari kemudian, kita deal untuk bertemu di hotel.

“Kenapa pengen diewe di depan suami?” tanyaku penasaran.

“Butuh refreshing. Suamiku pengen liat istrinya digarap orang, aku ingin ngerasain orang lain. Karena cocok, dicobain deh,” jawabnya to the point.

“Kenapa aku?” sekali lagi aku bertanya.

“Aku tahu kamu pernah naksir sama aku. Masih single juga, kan? Gimana? Kalau engga mau, aku tawarin ke yang lain.”

“Eh, jangan gitu dong. Aku butuh info tambahan biar jelas aja.”

“Oke, Jadinya mau, kan? Nanti kita ketemu di hotel. Entar aku kabarin alamat dan lain-lainnya.”

Aku ke hotel dengan membawa perlengkapan lengkap seperti mau perang. Dalam tote bag kain, ada kondom, obat herbal biar tahan lama, dan pakaian ganti. Saat di lift sebelum ke kamar, aku jadi ingat modus pencurian organ yang sering memakai hotel sebagai tempat kejahatan. Biar tidak berpikir aneh-aneh, aku membayangkan tubuh Agnia yang akan kutemui di kamar hotel. Penisku mengeras.

Pintu kamar hotel terbuka. Agnia sedang berdiri menghadap jendela sambil memakai baju dan celana pendek.

“Loh, sudah sampe? Aku belum ganti baju.” kata Agnia sambil tertawa. Ia menyalamiku.

Tidak ada yang berubah darinya meskipun beberapa tahun sudah berlalu. Parasnya masih cantik. Lesung pipit yang manis masih muncul di pipinya saat tersenyum. Dadanya, yang besar dan sering kubayangkan meremasnya, terlihat menonjol dari kaus itu. Dia tidak memakai beha. Putingnya kelihatan. Aku menelan ludah.

“Siap-siap saja dulu,” kata Sidqi. Dia kemudian duduk di kursi yang menghadap tepat ke ranjang.

“Bersih-bersih sana. Hari ini gerah banget. Biar seger pas kita main,” kata Agnia sambil tersenyum menggodaku. Aku menurut. Aku ke kamar mandi, melepas pakaian, lalu mandi biar bersih. Bagian badan yang biasanya bau kugosok. Aku juga memakai sedikit parfum dan berkumur-kumur dengan mouthwash.

Sekeluarnya dari kamar mandi, yang menyambutku adalah Sidqi yang duduk di kursi samboil setengah telanjang dan Agnia yang sudah memakai lingerie hitam berenda semi transparan. Mataku langsung mengarah ke belahan dadanya.

“Sini. Jangan malu-malu,” tangan Agnia menepuk bagian ranjang yang kosong, memberi isyarat untukku duduk di sampingnya. “Anggap saja Mas Sidqi tidak ada. ”

Rasanya aneh, tapi birahiku sudah tidak tertampung, jadi aku menurut saja. Aku duduk di sampingnya. Tangan Agnia langsung mengarah ke kemejaku,.

“Langsung telanjang aja padahal tadi pas keluar dari wc,” katanya sambil membuka kancingnya satu persatu .

“Boleh aku cium?” tanyaku minta izin. Kepala Agnia mendongak, lalu dia tersenyum sambil menggigit bibir. Dia tidak menjawab, tapi dia langsung menyosor bibirku. Aku merasakan bibirnya yang lembut. Kami berciuman. Kepalaku kosong. Aku langsung mendorongnya sampai berbaring. Badannya kutindih di badanku. Agnia berteriak sambil mendesah pelan.

“Agresif, ya.” katanya saat mengambil napas setelah berciuman lama. Aku kembali menciumnya, kali ini kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya yang hangat. Lidah kita beradu. Ludah kita bertukar. Aku bisa merasakan wangi mint yang samar dari mulutnya. Aku ingin merasakan seluruh tubuhnya, pikirku setelah lepas dari ciuman. Bibirku pindah ke lehernya. Aku mencium, menjilat, dan menghisap lehernya. Aku bisa merasakan tarikan napas dan desahan Agnia. Ahhh Ahhh Ahhh.

Sambil menikmati lehernya, aku menarik tali lingerie kanan sampai dada kanannya mencuat. Tanganku langsung merabanya. Empuk, besar, dan bulat. Pelan-pelan aku meremasnya.

“Ah hahaha,” Agnia mendesah dan tertawa geli.

Aku menurunkan tali lingerie sebelah kiri, lalu duduk tegak di atas badan Agnia yang mulai berkeringat. Bintik merah bermunculan di leher dan bahunya. Mataku lekat-lekat memandangi sepasang payudara yang menggoda. “Dari dulu aku pengen megang. Penasaran rasanya gimana,” kataku.

“Hmm. Cobain aja. Mumpung bisa,“ Agnia menggerakkan badannya sampai dadanya bergerak sedikit. Kedua tanganku langsung memegang keduanya, lalu kubenamkan wajahku di sela-sela dadanya. Kuciumi semuanya dari atas sampai bawah. Putingnya kugelitik, dan kucubit pelan.

“Ohhh, wah,” Agnia mengerang.. aku semakin buas. Pelan-pelan kujilati puting coklatnya yang sudah mengeras. Searah jarum jam, melawan jarum jam. Aku bisa merasakan Agnia sedikit menggelinjang. Ia seperti menyodorkan dadanya untuk kunikmati.

Aku membuka lingerienya lalu melemparnya ke sisi lain kamar, dan membuka kakinya lebar-lebar menunjukkan vaginanya yang sudah basah.

“Tahan dulu. Giliran kamu yang berbaring,” kata Agnia sambil mengangkat tangannya.

Aku menarik napas, lalu membaringkan badan. Agnia membuka celanaku, lalu mencium ujung penisku yang mengeras. BIbir lembutnya sangat terasa.

“Wah ada yang sudah engga sabar. Ini sengaja cukuran?” Jarinya bergerak di atas tempat tumbuhnya rambut kemaluan. Aku mengangguk malu. Agnia cekikikan, lalu menjilat penisku dari pangkal ke ujung. Aku merinding. Kemudian Agnia memasukkan penisku ke mulutnya. Hangat dan basah. Pelan-pelan dia menggerakkan kepalanya.

Gilranku yang mendesah. Agnia jago blowjob. Isapannya mantap. Lidahnya menari-nari di sekeliling penisku. Jari-jarinya juga memainkan testisku. Pinggangku bergoyang mengikuti gerakan kepala Agnia. Setelah melahapnya, ia juga menjepit penisku di antara dua dadanya yang bulat. Mereka bergerak naik turun dengan lincah, sedangkan aku mati-matian menahan orgasme.

“Engga pake kondom?” tanyaku saat Agnia tiba-tiba mengarahkan penisku agar masuk ke vaginanya.

“Aman. Keluar di dalam saja.” Di saat yang sama, penisku berhasil masuk ke dalam vaginanya yang sudah basah.

“Nghh…Ahh”. Agnia bergerak naik turun. Matanya memejam. Gerakannya kian cepat. Jepitan vaginanya mencengkeram penisku. Dadanya memantul di depanku. Aku terbawa arus kenikmatan dan ikut mendesah bersama Agnia. Tanganku meremas dadanya. Desahan Agnia kian keras.

“Doggy,” kataku saat Agnia beristirahat. Agnia mengangguk dan berganti posisi. Suaminya, yang kulupakan kehadirannya, muncul di pandangan. Aku mengabaikannya. Aku berdiri, lalu memandangi punggung Agnia yang kini sedang nungging. Vaginanya sudah siap untuk digenjot. Pelan-pelan aku memasukkan penisku sampai masuk sepenuhnya. Kupegang pinggangnya, lalu aku mulai bergerak maju mundur.

“Ahhh.Ahhh.Ahhh.Terus. Enak…Enak…” Desahan Agnia menggema di kamar. Suaranya seperti musik. Aku mengeraskan genjotan, dan meremas dada Agnia dari belakang. Sesekali aku mencium leher dan punggungnya.

“Aku mau keluar sebentar lagi, ganti posisi,” kata Agnia di tengah-tengah desahan. Punggungnya penuh keringat, Aku menjilatnya. Agnia mendesah sekali lagi.

“Sini,” Agnia bangkit dari ranjang, lalu nungging di depan suaminya. Tangannya berpegangan pada puncak sandaran kursi. Dadanya menggantung sekitar dua senti dari wajah suaminya. Sejak tadi suaminya tidak bersuara. Aku bangkit, lalu berdiri di belakang Agnia. Suaminya tidak bereaksi sama sekali. Pergerakan yang tampak hanya tangannya yang sibuk mengocok penisya.

“Ayo masukin lagi kontolnya. Bisa, kan?” pinta Agnia dengan suara manja. Aku langsung lupa akan kehadiran suaminya. Aku mendekat, memegang pinggulnya dengan tangan kiri, dan mengarahkan penis agar masuk dengan tangan kanan. Setelah masuk, aku kembali menggenjotnya. Kali ini jepitan dinding vaginanya lebih terasa. Penisku seperti diperas saat pinggang Agnia berputar. Desahannya menggila.

“Enak! ahh. ahhh. Mas Sidqi.. Ahhh Lihat! Aku….Ahhh lagi diewe orang lain. Enak banget. AHHHH!” Agnia berhenti bergerak. Kakinya gemetar dan lemas. Muncul cairan menetes dari vaginanya. Aku mempercepat genjotanku. Aku juga hampir orgasme. Tak lama kemudian, spermaku memenuhi vagina Agnia.

“Spermanya angeeet,” lenguh Agnia

Aku mencabut penisku dari vagina Agnia, Badanku juga terasa lemas. Sekilas, aku melihat spermaku yang luber, lalu menetes di lantai dan paha Sidqi. Aku juga melihat sperma yang keluar dari penis Sidqi.

“Nanti kita main lagi,ya,” kata Agnia setelah membersihkan sperma di penis suaminya

Sesuatu bangkit dalam diriku. Aku ingin ngeseks lebih banyak lagi.

Bersambung

Dua : Aku dan Agnia untuk Kedua Kalinya

Aku dan Agnia berbaring berpelukan di ranjang dalam keadaan telanjang. Ini kali kedua aku tidur dengannya. Sekarang, rasanya lebih bebas karena tidak ada suaminya, yang sedang dinas ke Singapura. Agnia menghubungiku, mengajakku menginap di sebuah hotel di Puncak.

“Dia bilang bebas. Asal aman. Aku juga yakin di sana dia tidur sana perempuan lain. Jadi tenang saja,” kata Agnia sebelum aku menyetujui pertemuan itu.
Kini kepala Agnia bersandar di dadaku. Ujung jarinya menggelitik batang penisku yang perlahan mengeras. Saat lembek, bentuknya seperti kepala besar kura-kura yang menyembul dari cangkang. Agnia bilang bentuknya lucu.

Matanya yang bulat memandangiku. Rambut sebahunya terurai. Aku mencium keningnya. Aroma sampo bunga dari rambutnya tercium hidung. Agnia mengubah posisinya dan kini kami berbaring saling berhadapan, saling menatap mata. Senyum mengembang di bibirnya. Lesung pipit terbentuk di pipinya. Aku mencium pipinya.

Agnia membalas dengan membelai pipiku, lalu mencium bibirku cukup lama. Lembut, hangat, dan manis. Aku membelai punggungnya. Agnia melepas ciuman, mengambil napas, lalu menciumku lagi. Kali ini dengan tekanan yang lebih besar. Aku tak mau kalah. Bibirnya kugigit dan kuisap. Saat mulutnya sedikit terbuka, kuselipkan lidahku, lalu membuat mulutnya jadi medan perang bagi lidah kami yang saling memilin dan mengulum. Sesekali Agnia mengisap lidahku, dan langsung terbayang bagaimana kalau yang diisap adalah penisku.

Kemudian aku mencium telinga, menggigit daunnya, dan menjilatnya. Lidahku kemudian turun ke bagian samping lehernya.

“Aaahhhh.” Agnia mendesah panjang. Badanku jadi panas luar biasa saat mendengarnya.

“Ih geli tau,” kata Agnia setelah dia memberontak manja agar aku berhenti menciumi lehernya yang kini basah dan penuh bercak merah hasil cipokan.

“Tapi pengen lanjut kan?” kataku menggoda. Aku meletakkan jari telunjukku di bibirnya, dan dia langsung mengisap dan menjilatinya.

“Jilatin ini juga, dong.” Agnia menunjuk ke dada. Putingnya sudah mengeras. Aku langsung melahap puting kanannya. Agnia mendesah. Kedua tangannya memeluk kepalaku erat. Tanganku meremas dada kirinya. Bulat, kenyal, dan hangat. Payudaranya jadi seperti bantal yang sensitif.

Sambil terus memainkan dadanya, jari tangan kiriku berpindah ke selangkangannya yang basah. Telunjukku mengelilingi pinggiran lubang vaginanya, memainkan bagian atasnya, lalu memasukkan jari tengah ke liang vaginanya.

“Aaahhh…Ya… Satu jari lagi,” kata Agnia di sela desahannya yang kian keras.

Aku memasukkan jari tengah, lalu menyodok dengan dua jari, ditambah dengan menggesek bagian atas vaginanya dengan jempol. Vaginanya jadi mengeluarkan banyak cairan. Telapak tanganku juga sampai basah.

“Ummm….Ahhhh.,” erang Agnia. Badannya menggelinjang. Napasnya memburu. Tangan kanannya meremas rambutku dan menjambaknya pelan.
“Mauu.. enam.. sembilan,” kata Agnia di tengah desahannya. Aku berhenti menjilat dan menyodok.

“Bersihin ini dulu,”kataku sambil menyodorkan tangan yang tadi kupakai menyodok vaginanya. Agnia menjilati satu-satu jarinya. Air liur mengucur. Tanganku jadi lebih basah.

“Kamu yang di atas, ya. Nanti tukeran,” kataku sambil berbaring. Agnia bangkit lalu ia duduk di atas leherku. Ia mundur sedikit sampai pahanya menjepit kepalaku dan akhirnya vaginanya tepat ada di atas mulutku. Selangkangannya terasa hangat. Aku bisa melihat jelas pantatnya yang berisi dan vaginanya yang masih basah. Karena tak sabar, aku menjilat vaginanya. Agnia sendiri langsung menjilati penisku dengan telaten.

Servis mulut Agnia juara. Aku sampai berhenti menjilati vaginanya untuk mendesah sebentar dan menyodok mulutnya agar semua bagian penisku masuk ke dalam.

Selama beberapa saat yang terdengar hanya suara jilatan yang diselingi erangan kenikmatan. Pantat Agnia yang bulat dan memantul pelan sesekali kugigit dan kucubit Sebagai balasan, Agnia akan mengisap dan mengulum zakarku sampai melar. Jarinya juga kadang memijat bagian antara lubang pantat dan zakar. Rasanya nikmat.

“Sini ngewenya posisi duduk aja,” pintaku setelah pegal ber-69. Aku duduk bersandar di ranjang, kakiku diluruskan. Agnia naik ke pangkuanku, lalu membimbing penisku agar masuk. Saat menunggu, aku memperhatikan badannya yang agak memerah dan basah. Keringatnya bercampur dengan keringat dan ludahku.

“Sip masuk. Hmmhmm,” kata Agnia sambil bergerak maju mundur. Kepalanya mendongak, matanya memejam keenakan.

Aku memeluknya erat. Payudara bulatnya seperti menggembung sedikit saat berpelukan. Dada dan lehernya kuciumi pelan-pelan. Aku ingin merasakan tiap senti tubuhnya. Agnia pun menciumi wajah dan leherku.

Pelan dan lambat. Daripada cepat-cepat mengejar kenikmatan orgasme, aku lebih memilih merasakan semua sensasi yang bisa diberikan Agnia. Begitu pula sebaliknya.

Posisi kami berganti lagi. Kali ini aku ingin missionary. Agnia berbaring dan membuka kakinya. Vaginanya langsung meremas penisku sesaat setelah masuk. Sambil menggerakkan pinggang, aku memandangi wajahnya. Rambutnya agak acak-acakan, matanya merem-melek, senyum tipis mengembang di wajahnya, dari mulutnya keluar napas hangat penuh desahan dan erangan Dadanya kembang kempis bernapas sementara payudaranya memantul mengikuti irama genjotan. Tangannya menjelajah badanku dan jarinya menggelitik putingku.

“Ahhh…asik..ahh..ayo terus… bentar lagi aku orgasme,” kata Agnia. Aku mempercepat genjotan. Suara kulit basah beradu plok plok plok kian keras. Tak lama kemudian terdengar

“AHHHHH” Desahan keras dan panjang keluar dari mulutnya. Wajahnya kedutan. Badannya bergetar. Lidahnya sempat menjulur keluar, lalu dia tersenyum lebar.

Agnia sudah orgasme, tapi badannya masih menginginkan kenikmatan. Pinggulnya berputar, kakinya mengunci pinggangku agar aku tak berhenti.

Kenikmatan pun menjebol ujung penisku. “Ah ah”, desahku sambil menyemburkan sperma ke dalam vagina Agnia. Aku mencabutnya. Sebagian sperma muncrat ke perut Agnia.

“Sini aku bersihin.” Agnia menunjuk ke mulutnya. “Aku agak lemes. Keenakan,”

Aku merangkak naik, lalu meletakkan penis yanf mulai lemas di depan mulut Agnia. Dia langsung memasukkan penisku ke mulutnya. Di dalamnya, lidahnya menjilati sisa sperma. Ia juga menelan mereka.

Penisku mengeras kembali. Ada hasrat yang belum terpuaskan.

“Boleh aku ewe mulutnya?” tanyaku.

Agnia mengangguk pelan. Ia membuka mulutnya lebih lebar. Aku menggerakkan penisku keluar masuk mulutnya. Sesekali, aku memasukkan seluruh penisku, membiarkannya di dalam mulut Agnia selama beberapa detik, lalu mengeluarkannya agar Agnia bisa bernapas.

Pertahananku tidak sekuat sebelumnya. Baru sebentar, orgasme susulan tiba. Aku mengeluarkan sisa sperma dalam mulut Agnia, yang langsung menelannya. Kemudian aku terkulai lemas di samping Agnia.

“Beruntung banget suami kamu. Kamu jago terus enaknya awet,” kataku setelah sebagian tenaga pulih. Mungkin sekitar setengah jam setelah orgasme.

“Kamu juga beruntung. Aku langsung kepikiran kamu dan kamunya mau. Kalau kamu nolak atau gak bales waktu itu. Mungkin aku bakal ngewe sama yang lain.”

“Bakal nyari cowo lain?”

“Aku kan selalu penasaran. Bisa aja. Kamu juga mau kan ngewe sama cewe lain?”

Aku diam sejenak, lalu mengangguk.

“Kemarin ada cewek anak baru agensi yang ke gep nonton bokep sama aku. Dia penasaran sama seks katanya. Cuma berani colmek gesek-gesek. Nanti aku tawarin kamu ke dia buat praktek. Kalau dianya mau, kamu mau ga? Ini fotonya,” tanya Agnia tiba-tiba. Tangannya meraih hape di pinggir ranjang. Dia membuka kontak, lalu menunjukkan sebuah foto.

“Boleh,” jawabku tanpa berpikir panjang