MENDUNG DI SUDUT MATANYA

Aku melihat mendung di matanya. Mata ayu yang pernah membuatku begitu tergila-gila. Tetapi kini mata itu telah kehilangan gairah hidup. mata yang hanya selalu melihat hal-hal muram di dunia ini. mata yang tak pernah lagi melihat pelangi. Ia duduk di seberangku. Sedari tadi ia hanya mengaduk kopi yang masih penuh. Pandangannya menunduk. Sendu. Tidak sececap pun keinginannya untuk menyeruput kopi itu. Karena bukan kopi itu alasan dia sekarang duduk di sini bersamaku, meskipun kami juga sama-sama tahu, kopi di restoran ini memiliki kopi terbaik di kota kami. Tentu, aku tahu, kopinya sudah dingin. Ia selalu menjatuhkan rambut panjangnya ke pipi sebelah kiri. Menutupi lebam pipi yang terkena amuk suaminya. “Lagi?” Aku membuka suara. Memastikan apa yang terjadi setelah melihat lebam itu meski ia berusaha menutup-nutupi. Mendung menggantung di matanya. Ia terisak. Butir-butir itu meleleh jatuh ke pipi. Ia menelungkupkan wajah ke meja. Isaknya semakin deras. Sesenggukan. hal itu sudah cukup mewakili semua yang telah dia alami. Aku menggeser kursi. Tepat berada di sampingnya. Aku sentuh pundaknya pelan dengan ragu. Ini adalah sentuhan pertamaku ke bahunya, dan mengelusnya, karena tak pernah ia terisak sekeras ini. Ia merebahkan kepala ke bahuku. Deg. Dadaku bergemuruh. Tak kuasa aku menepis rebahan bahu seorang perempuan yang menangis. Aku melihat sekeliling, memastikan tidak ada kenalanku atau kenalan dia yang mungkin saja berada di sini. Aman. Dan aku berani memeluknya di sini. Beberapa orang menoleh ke arah kami, aku kikuk, canggung. Tetapi, setelah mereka tahu perempuan yang sedang bersamaku menangis, mereka seperti maklum. “A…ak..aku tak ingin pulang… !” katanya setelah sekian lama kami terdiam. Aku bingung. Penolakanku hanya akan semakin menambah penderitaan hidupnya. “Aku ingin tidur di tempatmu malam ini.” lanjutnya setelah isaknya mereda. Aku memicingkan telinga. Apakah aku tak salah dengar? Pertemuan kami tak pernah berakhir seperti ini. Selepas bercerita, ia biasanya langsung pulang dengan kelegaan yang tak terkatakan. “Aku tak ingin pulang lagi!” tegasnya lagi. Telingaku serasa disambar petir. Tak salahkah apa yang dikatakannya? Ia sudah tahu tentang sempitnya kos yang aku tinggali. Bahkan, tak pernah aman untuk membawa perempuan yang bukan muhrim ke kontrakan. Aku masih ingat peristiwa sebulan lalu, dua orang muda-mudi diseret ke balai desa hanya karena mereka berduaan di dalam kamar. Orang-orang desa itu tak pernah mendengar alasan mereka berdua yang dalam sayup-sayup mereka melakukan pembelaan mengerjakan tugas kuliah. “Kenapa tidak ke hotel aja?” jawabku setengah ragu. “Aku ingin tidur di tempatmu. Titik. Pada detik ini rasanya aku lebih baik mati daripada hidup seperti ini. Dan aku ingin mati bersama orang yang pernah mencintai dan kucintai. Maafkan aku yang tak berani memperjuangkanmu dulu.” Aku tak bisa mengelak lagi. Tak berani membantah perempuan yang sedang terluka.
*** ​
Bulan sabit melengkung angkuh di angkasa. Angin tak bersahabat. Setiap udara yang kuhirup rasanya sesak dan menyesakkan. Aku tak bisa melupakan kejadian ini. Langkahku gontai dihempas angin. Bentakan dan makian yang kuterima serasa terngiang dan mendengung dalam setiap langkah yang kulalui. “Dua juta sebulan? Cukup buat apa? Untuk bayar kos aja nggak cukup, lagaknya mau menghidupi anakku. Lelaki tak tahu diri! Berkaca sebelum ngelamar anak orang!” bentak ayahnya di malam itu. Ia—perempuan yang kucintai hanya meringkuk ketakutan di pelukan ibunya. Ia membenamkan wajahnya sangat dalam kepada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia dua puluh dua tahun yang lalu. Sang ibu hanya mengelus kepala anaknya. “Asal kau tahu gembel laknat! Anakku sudah dilamar oleh bos-bos besar! Konglomerat! Dia jadi rebutan. Buta kalau dia tetap memilih kamu menjadi suaminya.” Cercaan itu masih berlanjut. Ia melempar cincin kawin yang sudah kuupayakan dalam satu tahun ini. semuanya sia-sia. Perjuanganku, pengorbananku. Malam itu, hatiku tersayat, tercabik-cabik. Perih.
***​
Tentu kami memiliki masa indah bersama. Hal paling jauh yang pernah aku lakukan bersama dirinya adalah berpegangan tangan. Ia adalah pacar pertamaku. Aku mengira ia adalah perempuan paling sempurna di dalam hidupku. Aku ingin menjaganya, sampai nanti aku bisa mempersuntingnya. Tetapi malam celaka itu mengubah segalanya. Menghancurkan segala harapku untuk hidup bersamanya selamanya. Belum lama setelah pernikahannya dia mengirimiku pesan. Di malam yang tak seharusnya kami bertemu—karena ia telah menjadi istri orang lain. Ia tumpahkan segala kekecewaannya di malam itu. Tentang seorang istri yang selalu salah di mata suaminya. Selalu ada alasan untuk memukuli istrinya. Masakan yang kurang asin, penempatan perabotan yang salah, atau baju yang dicuci kurang bersih. Ia hanya menjadi pelampiasan kemarahan suaminya. Pipinya lebam. Punggungnya memar. Dan sakit di sekujur tubuhnya di setiap malam. Hanya saat suaminya pergi ke luar kota, diam-diam ia menemuiku. Mencurahkan segala luka yang dideritanya.
*** ​
Dengan langkah yang sangat hati-hati aku membawanya masuk ke dalam kamar. Aku memastikan jalanan aman. Hatiku berdegup tak karuan.Tak ada seorang pun yang melihatku. Aku memilih melewati jalan memutar, menghindar para penjaga gerbang yang sedang melakukan siskamling yang sedang melakukan ronda. Juga menghindari para anak-anak muda yang suka begadang tak jelas. Aku menghindari pertanyaan tentang siapa dan mau ke mana. Dengan gerakan segesit mungkin aku mengajaknya masuk. Aku melihat senyum tipis terkembang di bibirnya ketika melihat kontrakanku sedemikian berantakan. Buku-buku berserakan, piring kotor di ujung kamar, dan tumpukan baju kumal yang sudah sepekan ini malas kusentuh. “Maaf, aku tak tahu kalau kamu memaksa ke sini.” aku menyesal menunda-nunda pekerjaan. “Tak apa. Berantakan tandanya kau seorang lelaki normal. Butuh perempuan untuk merapikannya.” Tanpa disuruh, ia membereskan kamarku. Meski kipas angin telah kunyalakan, ia tetap merasa kegerahan. Ia membuka baju karena udara di kamarku sanat panas. Aku terperanjat. Aku meneguk ludah. “Tak usah memandangiku begitu. Itu tandanya kamu masih normal.” Aku melihat dua gunung kembar yang serasa ingin mendesak keluar dari kekangan kutang yang dikenakannya. Kulitnya putih mulus. Aku ingin membantu merapikan agar pikiranku tak buyar ke hal-hal yang tidak diinginkan. Tetapi ia melarangku. Ia hanya menyuruhku duduk diam. Akhirnya aku memilih tidur dan membelakanginya. Berusaha memusnahkan semua perasaan jahat yang perlahan mulai merayap. Dan entah berapa lamanya, aku mulai terlelap.
*** ​
Aku merasa sesuatu kenikmatan yang tak terkatakan di antara mimpi dan kenyataan. Mataku enggan membuka. Aku merasakan geli di ujung pangkal kemaluanku. Diiringi dengan suara sluuurrrp, sluuurrrp, seperti seseorang sedang merasakan manisnya es krim. Dua bola yang berada di bawah kemaluanku terasa geli luar biasa. Aku menggeliat. Ini adalah pertama kalinya aku merasakan sensasi seperti ini. Sepasang tangan bergerilya di selangkangan. Aku tak tahan. Aku menggeliat keenakan. Kemaluanku mengacung tegak. Aku beranikan membuka mata. Lidahnya memainkan kemaluanku, menjilatinya dengan gelakan yang sangat perlahan membuatku menggelinjang tak karuan. Tangannya menggelitik puting dadaku. Aku mendesah pelan. Aneh. Ia menarik tanganku. Duduk. Ia melumat bibirku dengan lahap. Aku gagap. Bibirnya menghisap bibirku dengan kuat. Ia mulai mendesah. Entah siapa yang mengajari, jemariku bergerilya di dua gunung kembarnya. Ia terus melumat bibirku tiada henti. Manis. Legit. Ia menjulurkan lidah, aku menghisapnya kuat. Aku melayang. Aku mencoba menjulurkan lidah. Ia menghisapnya balik. Kuat. Bibirku terasa melayang. “Iseeeeep…emph,” katanya sambil membenamkan wajahku di kedua bukit kembarnya. Lidahku bergerilya. Tak pernah ada yang mengajari, naluriku yang membuatku melakukan ini. Aku remas kedua bukit kembar yang masih ranum itu. lidahku bermain di ujung putingnya. Ia menggelinjang. Mendesah keenakan. Menggeliat seperti cacing kepanasan. Puting kanan, puting kiri aku hisap kuat, kunikmati dalam setiap hisapan. Aku merasakan cenat-cenut di pangkal kemaluan. Mengacung tegak, bak meriam yang siap menembakkan pelurunya. Tangannya membimbing jemariku ke arah gua purba dengan rerimbunan tipis tumbuh di sekitar kemaluannya. Basah. Becek. Ia meminta jemariku bermain di sana. Menggesek. Keluar masuk. Ia mendesah tak karuan. Menggelinjang seirama dengan gesekan jemariku di gua purbanya. Gua purba yang telah ada sejak manusia pertama kali diciptakan. “Masukkiiiiiinn..emph,” desahnya sambil mengambil posisi mengangkang sempurna. Aku takjub sesaat. Melihat gua purba itu. Rerimbunan tipis yang berpadu sempurna dengan gua purba di liang kemaluannya. Kemaluanku mengacung tegak. Jemarinya mencari kemaluanku. Menggenggamnya, memandangku dengan penuh harap supaya aku segera memasukkannya. Selalu ada hal pertama kali dalam hidup.Aaku tak pernah mencumbunya selama dua tahun kami berpacaran. Meriam telah mengacung tegak. Siap membidik gua purba yang telah dimasuki orang lain. Ia terhentak sesaat ketika aku berusaha memasukkannya. Bibirnya merintih. Seperti menahan kesakitan atau mungkin keenakan. Aku tak bisa membedakannya. Meriam teracung berhasil membidik tepat liang gua purba. Oh Tuhan. Betapa nikmat. Kemaluanku berkedut, dijepit gua purba yang begitu sempit. Ia menggoyangkan pantat. Tak tahan ingin segera dihujam meriam bertubi-tubi. Kugesek pelan. Ia mendesah tertahan. Takut membangunkan tetangga kontrakan. Aku menyumpal mulutnya dengan bibirku. Ia melumatnya garang. Meriam dihujamkan dalam. Melayang. Surga. Aku merasakan kenikmatan tak tertahankan. Aku menggesek meriam di luang purba semakin cepat. Ia menggelinjang, berguling ke kanan, ke kiri, jemarinya menggenggam kasurku yang sedikit bau apak. Dua gunung kembarnya bergoncang hebat. Ranum. Jemariku mendaki di kedua gunung kembar itu. Lidahku menghisapnya kuat, beriringan dengan hujaman meriam yang semakin cepat. Tangannya menggapai bahuku. Ia melenguh panjang. Aku merasakan gua purba menjepit kemaluanku erat. Cairan hangat kurasakan menyembur di dalamnya. Aku tak kuasa lagi. Meriam hendak memuntahkan cairan itu. Meriam yang menghujam tanpa ampun. Ada rasa gatal di ujung meriam. Aku melenguh. Menghentak. Cairan meriam telah termuntahkan di dalam gua purba. Tanganku mencengkeram tangannya erat. Mataku memejam. Menikmati kedutan kenikmatann yang baru pertama kali kurasakan menembus gua purba. Aku berkeringat. Aku melihat ia juga berkeringat. Kami mendesah bersama, kami lelah. Aku rebah. Membenamkan wajah ke dua bukit kembarnya. Sebersit rasa bersalah muncul seketika. Hal ini tak sepantasnya aku lakukan. Tetapi, aku tak bisa melupakan jepitan gua purba yang membuatku melayang. Pintu digertak garang. Diketok dengan nada tak bersahabat. Aku terlonjak, tergeragap. Aku lupakan sesaat pertempuran meriam dan gua purba. Aku memintanya untuk segera berpakaian. Aku berpakaian sekadarnya. Dubrak!!! Engsel pintu terlepas. Pintu terbuka lebar. Kami berusaha menutupi tubuh dengan pakaian seadanya. Rambutku dijambak kasar diseret keluar. Mereka pun menggelandang ia dengan paksa. Sempat aku lihat ia tersenyum sebelum mereka mengarakku telanjang. Hal bodoh apa yang telah aku lakukan malam ini?