Memperbudak Para Mama
Mama adalah seorang wanita berumur 35 tahun yang membesarkanku seorang diri. Untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, mama membuka warung makan sederhana di depan rumah. Warung makan kami sangat laris bila mengingat mama juga memiliki daya tarik yang bisa membuat siapa saja jatuh hati: dengan tubuh yang agak gemuk, pantat yang semok, dan ukuran dada mama yang sebesar pepaya, pelanggan-pelanggan kami yang kebanyakan adalah pria, bisa betah berlama-lama di warung makan kami. Wajar saja, karena mama suka mengenakan daster ketat yang memperlihatkan seluruh lekuk tubuhnya.
Pernah suatu ketika, saat itu warung kami sangat ramai oleh pengunjung yang datang untuk makan siang. Mama mengenakan daster dengan kerah yang longgar sehingga belahan dadanya terlihat sangat jelas. Saat sedang menuang sayur santan ke nasi, tahu-tahu kerah daster mama robek dan salah satu payudaranya menyembul keluar. Mama ternyata tidak mengenakan beha, sehingga puting mama yang kecokelatan menjadi tontonan banyak orang. Seluruh pengunjung bersorak-sorai melihat penampilan mama, sementara mama segera lari ke dapur untuk berganti baju. Aku hanya terbengong-bengong melihat tingkahnya.
Meski saat itu aku masih kelas dua SD, tetapi aku sudah sangat menyukai mama. Aku sering beralasan memeluk mama dari belakang saat mama sedang berdiri melayani pelanggan yang hendak makan siang, padahal aku menikmati bongkahan pantat mama dan aku bisa tahu apakah mama mengenakan celana dalam atau tidak. Terkadang aku iseng menyibak daster mama ke atas supaya aku bisa melihat celana dalamnya. Tentu saja mama hanya menganggapku bercanda karena ia menganggapku masih kecil dan senang bercanda.
Hingga pada suatu minggu siang, aku sedang mempersiapkan buku-buku pelajaran yang harus aku bawa ke sekolah besok. Saat aku memasukkan buku ke dalam ransel, darahku mendesir. Buku tulis matematikaku hilang!
Aku segera mencarinya di setiap pojok kamar dan di bawah ranjang. Tidak ada juga. Di celah-celah pakaian juga hasilnya nihil. Aku ingat kalau mama membersihkan kamarku pagi tadi. Aku bergegas mencarinya dan mendapatinya sedang menyapu halaman rumah. Warung kami tutup setiap hari minggu, dan mama biasanya menyempatkan diri untuk membersihkan rumah.
Mama ada lihat buku tulis matematikaku? tanyaku.
Mama menggeleng. Mama tidak tahu. Memangnya buku itu sampulnya berwarna apa? ia bertanya balik.
Ada gambar gajahnya. Di buku itu ada tugas yang hampir selesai, aku harus mengumpulkannya dua hari lagi.
Aduh, mama kira itu sudah tidak dipakai. Mama sudah bakar dengan sampah lain, ujar mama sambil menunjuk ke tumpukan abu bekas pembakaran.
Seketika kedua lutuku lemas. Walaupun masih dua hari lagi tetapi tugas matematika itu tergolong sulit untuk anak kelas dua sekolah dasar. Lagipula guru matematika di sekolah kami tergolong sangat galak dan tidak segan-segan memukul murid yang ceroboh dengan penggaris kayu. Aku langsung menangis saat membayangkannya.
Mama tidak tahu. Maaf ya, kata mama sambil membelai rambutku. Sudah ah jangan nangis melulu, kamu kan sudah besar. Kamu mau minta apa nanti mama kasih.
Tangisanku terhenti.
Apa saja?
Iya. Apa saja asalkan bukan mainan mahal.
Aku minta mama patuh kepadaku.
Hahaha iya deh mama patuh, ujar mama tertawa.
Janji? aku meyakinkan.
Janji, kata mama.
Kalau begitu aku mau mama perlihatkan tetek mama seharian, pintaku.
Hah? Yang benar kamu?
Katanya mama mau mengabulkan semua permintaanku.
Malu ah dilihat orang nanti.
Ayo mama! aku agak membentak.
Mama melihat sekelilingnya. Tidak ada orang berlalu-lalang siang itu. Hanya ada beberapa sepeda motor yang parkir di depan halaman rumah kami. Merasa aman, mama membuka kancing dasternya lalu mengeluarkan kedua payudaranya yang tidak terbungkus beha. Tak terasa aku meneteskan air liur saat melihat kedua payudaranya yang menggantung keluar dari kerah daster mama. Aku meremas payudara mama dan memainkan putting mama yang gemuk.
Sudah ya, kata mama.
Nggak mau, pokoknya mama harus begini setiap hari!
Pelan-pelan sayang, tetek mama sakit nih.
Oke, aku menghentikan remasanku. Mama silakan menyapu lagi, tapi ingat: tetap keluarkan tetek mama. Aku mau lihat mama dari sini.
Mama mengiyakan. Ia segera berdiri dan kembali menyapu halaman rumah. Aku duduk di beranda sembari menikmati tontonan menarik di depanku. Bila ada orang yang lewat, mama langsung membalik badannya agar payudaranya tidak terlihat. Sungguh pemandangan yang menggairahkan melihat payudara mama bergoyang saat mama berusaha menutupinya. Terkadang ada beberapa orang yang curiga dan memandangi mama terus-terusan. Bukannya takut, aku malah senang melihat mama menjadi tontonan orang banyak.
Jangan ditutupin ma! teriakku. Biarin aja dilihat orang!
Mula-mula mama ragu untuk melepas tangannya, tapi beberapa menit kemudian mama mulai menurunkan tangannya sehingga kedua payudaranya menggantung bebas tanpa penghalang. Beberapa orang yang kebetulan lewat di depan rumah kami langsung berhenti dan memandangi mama. Mereka melongo melihat kedua tetek mama yang terpampang bebas di depan mereka. Tak sedikit yang mengeluarkan ponsel dan memotret mama diam-diam.
Sudah ah mama malu, kata mama.
Ya mama masuk aja ke rumah, tapi tetek mama harus kelihatan.
Aku mempersilakan mama masuk ke rumah. Kusempatkan untuk mencubit pantat mama saat mama melintas di sampingku. Aku sudah membayangkan banyak rencana untuk mama.
Esok paginya, seperti biasa, mama menunggu penjual sayur lewat di depan rumah untuk membeli keperluan warung. Aku baru saja bangun tidur dan langsung mengeluarkan tetek mama lalu memainkan putingnya. Masih pukul enam pagi, sekolah dimulai pada pukul setengah delapan pagi. Jadi aku punya satu jam untuk bersenang-senang sama mama.
Aku rebahkan kepalaku di pangkuan mama sambil menetek mama. Kontolku seketika berdiri tegang. Aku jadi ingin melakukan sesuatu yang nakal.
Ma kocokin kontolku dong, pintaku tanpa melepas putting susunya dari mulutku. Mama terkejut bukan main. Siapa yang mengajari kamu masturbasi?! serunya. Aku dengan santai menurunkan celanaku dan mengeluarkan kontolku yang sudah tegak berdiri. Gak perlu banyak tanya ma, ingat janji mama.
Aku bisa melihat kekesalan di wajah mama, tapi tangan mama mulai meraba batang kontolku dan mengocoknya pelan. Mataku terpejam menikmati sensasi geli akibat gesekan tangan mama yang halus dengan kulit kontolku yang sedikit kasar. Jari telunjuk mama memainkan ujung kepala kontolku dan itu membuatku ingin cepat-cepat menyemprotkan sperma. Sepertinya mama sangat mahir dalam mengocok kontol, apakah ini memang hasrat mama?
Putting mama semakin lama semakin mengeras, dan kocokannya semakin cepat. Pikiranku terbang melayang karena keenakan. Jari telunjuk mama sesekali memainkan kantong telurku dan mencubitnya. Aku tidak tahan lagi, kontolku langsung menyemburkan sperma ke tangan mama yang masih mengocok kontolku.
Sudah tanya mama.
Iya ma, terimakasih, jawabku sambil terus menetek.
Tak lama kemudian terdengar suara tukang sayur yang memanggil mama dari luar. Tukang sayur itu sudah lama menjadi langganan mama karena mama sendiri jarang pergi ke pasar. Mama memindahkan kepalaku ke samping dan memperbaiki pakaiannya yang berantakan. Sebelum ia membuka pintu, aku mencegatnya.
Tunggu sebentar ma, kataku.
Aku membuka kancing daster mama dan mengeluarkan lagi kedua payudaranya yang masih keras akibat isapanku tadi. Nah sekarang mama boleh keluar.
Dalam keadaan kayak gini? Gila kamu!
Ingat ma, janji tetap janji.
Aku membuka pintu dan memutar ke belakang mama lalu mendorongnya keluar. Mama tidak punya kesempatan untuk menutup kedua payudaranya, mau tidak mau ia berjalan mendekati tukang sayur. Tukang sayur langganan mama tampak terkejut melihat penampilan mama yang tidak biasa.
Wah kok teteknya dibiarin keluar begitu bu tanya si tukang sayur.
Iya mas lagi kepanasan, kilah mama.
Ooo, setiap hari saja ya bu kepanasannya.
Mama terus berbincang-bincang dengan tukang sayur sementara aku mengintip dari balik jendela. Mata si tukang sayur tidak bisa melepas pandangannya ke arah payudara mama. Mama mengambil jarak agar payudaranya tidak tersenggol oleh si tukang sayur. Tapi memang dasar nakal, tukang sayur itu sengaja menyenggolkan sikut atau punggungnya ke puting mama. Aku hanya bisa cekikikan melihat tingkah mereka berdua.
Tak lama kemudian mama kembali ke dalam rumah, aku menyambutnya dengan antusias. Wow mama berani sekali! Gimana perasaan mama? tanyaku. Mama memasang wajah kesal dan langsung pergi ke dapur. Aku juga harus mandi dan pergi ke sekolah.
Beberapa menit kemudian aku sudah bersiap pergi ke sekolah. Mama membantuku mengikat tali sepatu. Aku terus memperhatikan kedua teteknya yang menggantung saat mama membungkuk. Mama temani aku ke sekolah dong, kataku lagi.
Lagi? Tapi mama harus memasak.
Ah sekolahku kan dekat saja, mama gak akan telat masak deh.
Kalau gitu mama ganti baju dulu.
Gak perlu ma. Mama kayak gini saja sudah cantik, kataku sembari mencubit teteknya. Ayo ma kita berangkat sekarang.
Jalan menuju ke sekolahku sebenarnya cukup dekat dan bisa dilewati melalui pintu belakang rumah. Jalannya cukup sempit dan sepi pengendara sepeda motor karena di kiri dan kanan jalan dihalangi oleh pagar beton dari rumah tetangga. Meski demikian banyak anak-anak sekolah yang menggunakan jalan tersebut sebagai jalan pintas yang mengarah langsung ke halaman belakang gedung sekolah.
Aku dan mama berjalan di jalan pintas tersebut dengan santai. Bila terdengar suara orang berjalan kaki, mama langsung reflek menutup kedua payudaranya dengan tangannya. Aku segera mengingatkan mama untuk selalu memperlihatkan teteknya apa pun yang terjadi. Tak berselang beberapa menit kemudian, aku berpapasan dengan Boni, teman sebangkuku di sekolah. sama seperti si tukang sayur, Boni juga terkejut melihat mama yang berjalan kaki dengan keadaan setengah bugil.
Bibi kenapa kok telanjang begitu? Boni bertanya penuh perhatian.
Eh karena lagi panas saja, jawab mama.
Kami bertiga melanjutkan perjalanan ke sekolah. Boni juga tidak bisa melepas pandangannya dari tetek mama. Ia mendongak ke atas dan memperhatkan mama yang berjalan di sampingku. Aku juga mau mamaku seperti itu, bisiknya.
Tenang saja, kataku sambil berbisik. Aku memang berencana mengumpulkan para mama kita dan menggunakannya sebagai pameran berjalan. Sayang sekali kalau tubuh indah mereka hanya menjadi pajangan di rumah.
Tapi bagamaimana dan kapan? ia penasaran.
Besok akan aku beritahu, jawabku singkat.
Kami pun sampai di halaman belakang sekolah yang masih sepi oleh kehadiran siswa-siswa lain. Sebelum mama pulang, aku mau mama menungging dulu, perintahku. Mama menurut dan langsung membelakangiku dan Boni, lalu ia menungging. Kusibak daster mama ke atas dan aku pelorotkan sempak hitamnya yang menempel ketat di pantatnya. Boni takjub dengan penampakan anus dan memek mama yang dipenuhi oleh jembut yang lumayan tebal.
Anjir! seru Boni.
Sebagai permulaan, silakan jilat pantat mamaku sepuasnya, kataku.
Boni sama sekali tidak percaya. Seriusan?
Iya serius, kataku kalem. Tapi ingat setelah ini mama kamu adalah mamaku juga. Setuju?
Boni meraih tanganku dan menjawab lantang, Setuju!
Setelah itu aku memperhatikan Boni yang menjilati setiap senti pantat mama seperti singa kelaparan. Mama tampaknya sedikit menangis; aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca. Halaman sekolah masih sepi, jadi aku tidak perlu khawatir tingkah laku kami menjadi keributan.
Ini baru permulaan