Malam Ini Kurayakan
M A L A M itu aku pulang nonton di bioskop, sampai di rumah hampir jam 10 malam.
Sewaktu aku mengeluarkan kunci rumah dari kantong celana jeansku hendak membuka pintu rumah, ibu mertua kakakku keluar dari rumah sebelah.
Rumah sebelah adalah rumah kakakku. Kakakku membangun rumah di sebelah rumah warisan. Aku tinggal di rumah warisan, yaitu rumah yang ditinggalkan oleh orangtua kami yang sudah meninggal dunia.
“Baru pulang ya, Fadhil? Tante sangka siapa tadi?” sapa ibu mertua kakakku.
“Iya Tante, belum tidur?” balasku.
“Pengen sih tidur, tapi gak bisa…”
“Mikirin apa?” tanyaku.
“Kakakmu lagi gak di rumah, sepi… Tante sendirian…”
“O…”
“Main sini….”
“Sudah malem, Tante… nanti Tante tambah gak bisa tidur kalo aku main ke situ…” jawabku.
“Nggak… biasanya Tante juga tidurnya malem kok…” jawabnya.
O… ya sudah, karena aku juga belum ngantuk, aku membatalkan membuka pintu rumahku. Kunci rumah aku masukkan kembali ke kantong celana jeansku. Aku pergi ke rumah kakakku.
“Mau minum kopi, Fadhil… apa teh anget… Tante bikinin, ya…” kata ibu mertua kakakku.
Belum aku menjawab, ibu mertua kakakku sudah pergi ke dapur.
Di ruang tengah sebuah televisi LCD ukuran 32 inci sedang menayangnya sinetron cengeng entah apa judulnya, sedangkan di lantai terdapat sebuah kasur lengkap dengan bantal, mataku menabrak sesuatu di atas kasur, yaitu selembar BH berukuran besar.
Darahku berdesir melihatnya. BH siapa lagi kalau bukan BH ibu mertua kakakku?
Aku sudah lama mengincar ibu mertua kakakku. Ia tidak tinggal di situ. Ia punya rumah di kampung. Ia datang ke rumah kakakku kalau rindu dengan cucunya, atau karena ingin berbelanja sesuatu seperti baju atau perhiasaan untuk dibawa pulang dan dijualnya di kampung.
Umurnya belum 50 tahun kukira. Daya tariknya masih kuat kalau kebetulan ia memakai pakaian yang sexy, walau tubuhnya sudah berbentuk tubuh ibu-ibu, tetapi masih sedap dipandang mata dan tidak mengecewakan. Namun aku belum diberi kesempatan untuk berdua dengannya.
Mungkin malam ini saatnya aku merayakan kemenanganku.
Ia menaruh segelas kopi hitam di depanku dan dua potong kue di piring. “Minum Dhil kopinya… ini kue sisa tadi siang, habisin aja, buat besok sudah gak enak…” katanya.
Sewaktu ia hendak kembali ke dapur membawa nampan kosong, ia lalu mengambil BH-nya yang tergeletak di kasur, tetapi mungkin ia tau aku sedang memperhatikannya, ia membalik memandangku sambil melemparkan sebuah senyuman malu padaku.
Kesempatan, batinku.
“Kenapa, Tan?” tanyaku menyungging senyuman palsu yang kubuat-buat, karena aku sedang menahan napsu. Kalau bisa kutuntaskan, ingin kutuntaskan malam ini.
“Panas, tadi Tante buka, mau dibawa ke keranjang… Tante lupa, lagi asyik dengan sinetron, he.. he…”
Aku bangun dari tempat dudukku melangkah mendekati ibu mertua kakakku.
“Nggak, kotor ah…” katanya menolak sewaktu tanganku terjulur hendak mengambil BH berwarna abu-abu berbentuk bulat dan tebal cup BH-nya itu.
Tetapi tanganku lebih kuat menarik daripada ibu mertua kakakku yang memegang, sehingga BH-nya pun berpindah tangan, lalu kudekatkan ke hidungku.
“Mmmhh…” gumamnya malu.
“Wangi yang asli Tante,” kataku. “Kalau Tante mengizinkan aku menciumnya sih, he.. he… apalagi kalau diisep…”
“Fadhii…iilll….!!!” jeritnya tertahan.
Aku memeluk ibu mertua kakakku. Sengaja!
“Dhil… Tante malu ah…” katanya mengkerut dalam pelukanku antara malu dan ketakutan dengan wajah tidak berani menghadap aku. “Tante sudah nggak pernah dipeluk, risih ah, jangan…”
“Dipeluk sama Pram…?” Pramtama itu keponakanku, anak kakakku dan istrinya. “Masa gak pernah…?” sahutku. “Aku suka sama Tante, maap… kalau aku kurang ajar ‘sedikit’ sama Bu Besan…”
Mendengar aku berkata begitu, mengkerutnya agak merenggang dan ia sedikit santai.
“Mau apa sih…?” ia sudah berani memandangku.
“Maunya banyak, Tan…”
Kupandang bibirnya yang kering dan pucat. “Termasuk ini…” kataku meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya.
Bergemuruh jantungku, penuh terisi khayalan yang indah dan menggairakan dalam di pikiranku. Entah bagaimana dengannya?
Tetapi yang jelas ia tidak semudah itu memenuhi harapanku karena ia harus mempertahankan harga dirinya sebagai seorang istri dan seorang mertua.
“Jangan kelewat batas, Dhil…!”
Waduhh… tuh, ya kan? Tetapi aku tidak patah semangat. Aku harus berjuang mendapatkannya malam ini.
“Aku tau, Tante…” jawabku melepaskannya pergi ke belakang membawa nampan dan BH-nya.
Sebentar kemudian, ia sudah balik lagi ke ruang tengah.
“Masih mau nonton.” jawab ibu mertua kakakku.
Ia nonton televisi hanya menghadapkan wajahnya saja ke layar televisi, sedangkan tubuhnya terlentang di kasur. Sambil aku mengunyah sepotong kue, aku melihat gundukan tembem di selangkangannya, karena saat itu ia memakai celana legging yang ketat.
“Tadi kamu nonton film apa?” tanyanya padaku.
“Spy…” jawabku turun ke kasur, lalu kucium gundukan tembem di celana leggingnya.
Tercium olehku bau yang nikmat. “Kamu nekat, ya…!” jeritnya.
Aku memeluknya. Skor sekarang berubah.
“Tidur di sini aja, di rumah juga kamu sendirian kan?” katanya.
“Nggak ah,” jawabku. “…nggak ada yang bisa diajak bercinta untuk apa aku tidur di sini…?” aku memegang teteknya yang besar berukuran 38 itu dan terasa empuk-empuk kenyal di telapak tanganku.
Ia mendiamkan tanganku seolah-olah tidak tau meskipun aku meremasnya. “Bercinta dengan wanita tua yang sudah turun mesin beberapa kali memang nikmat…?” ia mengajak aku bicara.
“Tergantung yang merasakannya.” jawabku. “Kalau aku sih, nikmat-nikmat saja, soalnya aku lebih suka dengan wanita yang lebih tua dariku.”
“Sudah sering, ya? Tante yang ke berapa?”
Ia membiarkan aku meremas teteknya dari dalam kaosnya. Putingnya yang besar mulai keras. “Yang jelas, aku nggak menjadikan Tante wanita yang ke sepuluh.”
“Emmmh…” desahnya memelukku.
Acara di televisi sebagus apapun sudah tidak berarti, karena sewaktu aku mencium bibirnya, ia ikut larut denganku bergumul. Lidahnya tidak segan-segan ia sodorkan ke mulutku. Ludahnya manis terasa. Ta*k kambingpun rasanya coklat.
Aku melepaskan celanaku, ia meremas penisku. “Mmmm… ohh… Dhil… oohhh… mmmhh…” desahnya manja di depanku.
“Hisap dulu dong…” mintaku tanpa penolakan lagi darinya.
Ia melepaskan kaosnya yang sudah kubuat acak-acakan, juga celana leggingnya sekalian, sehingga ia langsung telanjang di depanku, lalu ia menunjukkan vaginanya padaku tanpa malu. “Sudah jelek…” katanya. “Sudah menggelambir kayak gini…”
Kucium vaginanya.
“Hiii…” ia tertawa geli.
Kemudian tanpa aku memintanya, ia menaiki tubuhku, menyodorkan selangkangannya padaku dengan posisi 69, sementara penisku dimasukkannya ke dalam mulut.
Penisku dikulum-kulumnya supaya hangat, baru kemudian lidahnya mengelilingi kepala penisku… oh, ngeri-ngeri sedap rasanya, hu…
Sampai aku selonjotan, “Oohhh… ooohhh… ssshheett… ooohh…” desisku.
Lalu kujilat anusnya yang berada di depanku. Entah suaminya sendiri sudah pernah menjilatnya atau belum.
Aku tidak membayangkan suaminya. Jangankan suaminya, kakakku atau kakak iparku saja tidak, karena terlalu nikmat tubuh yang ditelanjangkan semuanya itu untukku.
Kucium bulu-bulu hitam yang kasar di bawah perut ibu mertua kakakku itu. Tercium olehku bau sesuatu yang khas kelamin wanita. Ibu mertua kakakku membuka lebar pahanya untukku ekplorasi lebih jauh lagi alat kelaminnya.
“Akkhh… sssttt… enak, Dhii..iill… Fadhilll… oohhh….” desah ibu mertua kakakku.
Kelentitnya yang sudah membengkak kutekan dengan ujung jari telunjukku, lalu kugoyang-goyang biji sebesar kacang tanah ini membuat ibu mertua kakakku semakin tak karuan saja. “Ohhhh… Dhii..illl… Dhii..illl… Dhii..iilll… ooohhh… ooohhh….” jeritnya ditingkahi suara televisi.
Aku tidak mau lama-lama mengekplorasi vaginanya. Dengan penis yang telah tegang mengacung, kutindih ibu mertua kakakku. Kucium bibirnya, sementara di bawah sana ibu mertua kakakku mengatur posisi penisku.
Setelah ia selesai meletakkan penisku di posisi yang tepat, sejurus kemudian sudah kudorong penisku masuk ke lubang vagina ibu mertua kakakku.
Bleesss…ssettss….
Masuk sekaligus batang penisku semuanya. “Oh Dhil, kok bisa sampai kayak gini sih, kita…” kata ibu mertua kakakku seperti baru bangun dari tidurnya yang panjang.
Aku tidak menghiraukannya mau ia katakan apapun juga. Penisku sudah masuk ke lubang vaginanya, walaupun tidak keluar air mani di dalam, tubuhnya tetap saja sudah tercemar tidak seperti dulu lagi.
“Tante takut dengan siapa?” kataku. “Aku tidak akan menyebarkan Tante di luar sana… aku jamin…!”
Pantatkupun naik-turun, batang penisku menggesek-gesek dinding vagina ibu mertua kakakku. Sungguh nikmat dunia akhirat. Yang kurindukan sekian lama tubuh ini, malam ini bisa kunikmati semauku.
Kedua kaki ibu mertua kakakku merangkul pantatku membiarkan aku menyetubuhinya. “Bagaimana rasanya, Tan? Enak kan?” tanyaku. “Aku sih enak banget…” kataku.
“Kamu…!” jawabnya. “Tante… mau taroh dimana nih muka Tante kalo sudah sampai di rumah…”
“Nikmati saja Tante, selagi masih ada kesempatan…”
Masih kugerakkan penisku yang keras di lubang vagina ibu mertua kakakku. Kugenjot… kupompa dengan sepenuh nafsu, ohh… oohhh… oohhh…
“Tante… rasanya aku sudah mau keluar neh…” kataku.
Kusodok lebih cepat lubang memek ibu mertua kakakku keluar-masuk hingga kedua payudaranya yang montok bergoyang-goyang saling berbenturan.
“Akhh… akhhh… akhhh…” ibu mertua kakakku merintih dengan wajah meringis sambil memejamkan matanya.
Tak lama kemudian kubenamkan dalam-dalam penisku. “Terimalah ini, Tante… nikmati… ooohhhhh….”
[ chroootttt…. mantap…. chrrootttt…. chroootttt…. nikmat…. chrooottt…. chrooottt…. chroottt…. terus, jangan berhenti di tengah jalan… chrroottt… chrrooottt… chroottt.. chroootttt…. oooooohhhhh…… Tanteeee…eeee…. ]
Air maniku yang hangat merendam sawah ibu mertua kakakku yang kekeringan. “Bener ya, Dhil… Tante takut… takut banget… kalau kamu tanya Tante nikmat nggak… nggak tau deh, perasaan Tante kacau balau…” kata ibu mertua kakakku dengan suara parau.
“Nanti aku temani Tante…” jawabku.
Ia memeluk aku erat-erat sampai penisku yang telah menyusut kecil tergelincir keluar dari lubang vaginanya.
Kami sama-sama bangun pergi ke kamar mandi dengan telanjang. Kembali dari kamar mandi, aku matikan televisi, sedangkan ibu mertua kakakku pergi menggelapkan lampu ruang tamu dan ruang tengah, tetapi tidak serta merta seluruh ruangan menjadi gelap.
Sinar lampu dari luar masih bisa menyelinap masuk dari kisi-kisi pintu dan jendela.
Kami tidak langsung tidur, tetapi desah nikmat bercampur rintihan menjadikan sebuah paduan suara yang indah untuk kami melanjutkan bercinta dengan napsu yang lebih membakar malam itu.
Hingga jam 3 pagi, kami kelelahan setelah menyelesaikan ronde ketiga, paduan suara itu baru berhenti.
Aku terbangun entah jam berapa sewaktu tercium bau wangi. Ia duduk di sebelahku dengan rambut basah habis dikeramas dan dengan tubuh berbalut handuk.
“Bangun, sarapan dulu…” suruhnya. “Semalam habis berapa kali, Tante bikinin kamu jamu, ya…”
Aku memeluknya. Ia rebah di sampingku. Bercinta dalam keadaan perut kosong rasanya lebih nikmat.
Ibu mertua kakakku kembali memberikan tubuh telanjangnya untuk kunikmati pagi itu sampai lubang vagina kupenuhi dengan air maniku lagi.
Selanjutnya ia hanya membersihkannya dengan tissu, lalu memakai daster tanpa memakai BH dan celana dalam, ia membawa kasur yang basah dengan keringat bercampur dengan cairan cinta kami itu keluar untuk dijemur.
Sewaktu aku hendak membawa handuk keluar untuk dijemur, aku mendengar tetangga sebelah rumah kakakku bertanya pada ibu mertua kakakku. “Semalam suara apa ya, Bu Wati…? Anak-anak ada di rumah…?”
“Nggak ada Bu, tadinya saya sudah mau pulang, mereka ngomong mau pergi…” jawab ibu mertua kakakku.
Karena aku sangka mereka berdua berbicara biasa-biasa saja, akupun membawa handuk keluar untuk dijemur.
“Ooo… ada Fadhil….” kata tetangga sebelah rumah.
Entahlah wajah ibu kakakku mertuaku panas memerah atau tidak mendengarnya.
Sore harinya kakakku pulang, saat itu aku sudah di rumah. Aku tidak tahu bagaimana ia terhadap kakakku dari semalam sampai tadi siang aku membanjiri lubang vaginanya dengan air maniku sampai 6 kali, 3 kali di malam hari, 3 kali tadi pagi sampai siang.
Seperti pengantin baru saja.
Siangnya aku baru ke rumah kakakku. Aku melihat ibu mertua kakakku sudah tidak berada di rumah. Aku tidak mau bertanya pada kakak iparku, karena aku memang tidak pernah bertanya tetang ibunya pada kakak iparku atau kakakku.
Aku bermain dengan Pramtama keponakanku yang berumur 3 tahun.
Aku berumur 25 tahun. Kakakku berumur 30 tahun. Kakakku menikah cukup muda, umur 26. Umur 23 ia sudah lulus S1. Waktu itu ia kuliah sambil kerja. Ia bisa bangun rumah dan menikah, aku maklum, ia hidup irit.
Beda dengan aku, kuliah hanya sampai semester 5. Aku terjerumus rayuan pembantu pamanku.
Inilah pertama kali aku melakukan hubungan seks dengan seorang wanita yang umurnya lebih tua dariku. Karena merasa nikmat, aku ulangi lagi.
Fatal untuk yang ketiga kalinya. Aku sampai mau dilaporkan ke polisi oleh pamanku, karena pamanku merasa rumahnya sudah kukotori. Benar juga sih, ia penganut agama yang taat.
Aku kabur dari rumah, bukan bertambah baik, melainkan bertambah rusak, bergaulan dengan para gelandangan, mengharapkan sepiring dari dari para WTS jalanan, asalkan aku dapat memberikan kenikmatan di lubang farji mereka sampai aku kena penyakit kelamin dan kebetulan paman juga sudah meninggal dunia, kakakku memanggil aku pulang memberi aku pekerjaan sales cat tembok.
Pekerjaan itu aku tekuni sampai sekarang.
Kakak iparku menyuruh aku makan siang. Ia sudah menyiapkan makan siangku di meja makan.
Aku meninggalkan Pram diganti oleh kakak iparku yang main dengan Pram.
Selesai aku makan siang, aku mendapati kakak iparku sudah terlentang di atas sofa depan televisi, sedangkan Pram tidur di karpet.
Aku menelan ludah melihat celana boxer kakak iparku yang kependekan. Kakak iparku mungil langsing tingginya paling 160 sentimeter.
Entah payudaranya sebesar apa, aku tidak tahu. Dari luar kalau ia memakai kaos yang ketat, terlihat cup BH-nya sangat kecil.
Aku sudah mendekati kakak iparku lalu memegang pahanya, tetapi teringat olehku dengan kakakku, aku mundur.
Tetapi bisa bertahan berapa lama? Dalam ingatanku masih terngiang-ngiang tubuh telanjang ibunya. Tak tahan, aku dekati lagi kakak iparku.
Kupandang wajahnya lekat-lekat. Semakin kupandang, akhirnya aku nekat. Aku kulum bibir kakak iparku yang tipis dan telapak tanganku kutelungkupkan di buah dadanya yang masih berbalut kaos dan BH.
Aku seperti dipeluk oleh kakak iparku. Berikutnya aku sungguh tidak menduga kalau ia memagut bibirku sehingga membuat aku lupa diri (bukan ketakutan) lalu aku membalas memagut dan melumat bibirnya, kemudian ia memberikan aku melepaskan celana boxer dan celana dalamnya, hanya tinggal memasukkan penisku ke liang vaginanya…
“Dhil…” panggilnya.
Aku tersadar dengan kesalahanku. “Aku lupa diri,” kataku. “….seharusnya tidak kulakukan,” ujarku masih menindihnya.
“Sama, Dhil… kemarin liburan aku mengharap ia menyentuhku, tetapi tidak dilakukannya. Aku bukan orang yang suka mulai duluan, Dhil…” katanya.
“Lalu sekarang, bagaimana keputusanmu…?” tanyaku.
“Pengen sih, tapi aku takut…” tambahnya.
Ujung penisku seperti menyentuh bibir vaginanya. “Takut ada bekasnya…?”
“Takut ketagihan…”
Jawabannya yang menggoda itu tidak kusia-siakan. Kupagut bibirnya dan kembali bibir kami bergumul, kemudian untuk satu dorongan cukup sudah penisku menembus liang vagina kakak iparku yang basah.
Liang itu seperti mengurung penisku, bukan menjepit. Ia menggigit bibir bawahku.
“Terasa banget, Dhil… ohhh…” desahnya.
“Terlalu kuat tusukanku…?”
“He.. he..” kakak iparku masih sanggup tertawa.
Mana kakakku masih ‘nyantol‘ di pikiranku kalau sudah begitu?
Terus saja kutusuk dan kutusuk liang vagina istrinya, tetapi yang kubayangkan bukan dirinya, melainkan aku sedang menusuk lubang vagina ibunya, meskipun beda rasanya, beda nikmatnya.
Aku melepaskan kaos dan BH-nya. Aku juga melepaskan kaosku. Tak sehelai benangpun kini melekat di tubuh kami.
Kumasukkan semua payudaranya ke dalam mulutku bersama putingnya hingga tidak bersisa. Kuhisap payudara yang kecil itu.
“Aggghhh…” erang kakak iparku dengan mulut terbuka.
Tusukanku tidak berlangsung lama.
“Ohhh… ohhh… Dhil…” bersamaan dengan rintihan kakak iparku, tubuhku ikut mengejang, lantas kudorong kuat-kuat penisku, terus bagaikan bendungan jebol, kubanjiri liang vagina kakak iparku dengan air maniku.
Crroottt…. crroottt… crrooott… crroottt… crroottt….
Aku lunglai menindih tubuh kakak iparku yang telanjang. Meskipun begitu aku senang melihat ia tersenyum penuh kepuasan.
Urusan bagaimana aku dengan kakakku, aku harus menghadapinya karena telah kuselingkuhi istrinya.
Lewat seminggu, semuanya berjalan seperti biasa.
Pulang kerja, sehabis mandi, malahan kini ada wanita yang memanjakan aku dengan segelas kopi dan memijit aku.
Kalau Pram tidur, dari pijit memijit, aku melanjutkan dengan menabung air maniku di liang vaginanya.