Lika-Liku-Luka


DISCLAIMER

Cerita ini murni karya penulis.

Segala bentuk isi di dalamnya hanyalah fiksi (90%), dan sedikit bumbu kehidupan sehari-hari (10%) penulis.

Setting tokoh, alur, latar, dan diksi-diksi khas Jawa disajikan dengan campuran bahasa Indonesia baku.

Terakhir, penulis berharap cerita ini mendapat respon positif, masukan, serta kritikan yang membangun.

Terima kasih.


Sinopsis

“Cinta melahirkan pengorbanan, lalu menumbuhkan rasa sakit dan kebencian.” -Arjuna, si manusia paling sial di muka bumi yang mengalami berbagai cobaan sepanjang hidupnya.

Tentang Arjuna. Pecahan si kembar lima yang mencoba mencari jati diri hingga merelakan segalanya demi menuntaskan rasa penasaran sebuah rasa bernama cinta.

Anomali seorang wanita yang melahirkan kembar lima identik. Bersamaan dengan datangnya awan gelap membawa berkah sekaligus musibah menuju timur Pulau Naga. Berlokasi di sebuah desa terpencil di kaki gunung syarat akan adat istiadat leluhur yang kental.

Pecah tangisan suara kelima bayi berwarna merah pekat memekakkan telinga orang-orang di dalam kamar berukuran sedang, termasuk sang dukun beranak.

Tangisan itu menjadi awal pembuka hujan badai semalam suntuk. Disusul kemudian gempa bumi berskala 5 SR. Memporak-porandakan bangunan-bangunan desa, berikut orang-orang di dalamnya.

Semua panik. Semua cemas. Kalang kabut mencoba menyelamatkan diri. Ada yang keluar bertelanjang dada. Ada yang sambil menggendong anaknya. Ada pula yang sibuk mengurus ayam. Macam-macam pokoknya.

Hingga beberapa saat kekacauan yang entah darimana datangnya itu dalam hitungan menit sanggup mengegerkan warga di sekitaran kaki gunung. Hingga di satu kesempatan, salah satu warga mendengar tangisan bayi yang melengking. Bersahut-sahutan satu sama lain. Tak hanya satu. Tapi lima.

Dirundung rasa penasaran, beberapa warga mengesampingkan kepanikan sejenak dan lebih memilih mndekati sebuah rumah bambu yang mereka tahu pemiliknya adalah sepasang pasutri muda yang baru beberapa tahun lalu pindah ke desa ini.

“Mas, Mbak! Gempa!” sambil berteriak nyaring, seorang bapak-bapak masuk tanpa permisi. Namun, yang ia dapati adalah raut wajah serius tiga orang dewasa. Yang mana, masing-masing menggendong bayi. Sementara dua bayi lainnya diletakkan di atas ranjang persalinan begitu saja.

“Onok opo tho sak jane iki?” (Ada apa sih sebenarnya ini?) tanya seorang bapak-bapak lainnya yang langsung nyerebot masuk. Ia mengatakan itu berharap mendapat jawaban dari para orang dewasa di sana.

Sayang, hanya keheningan yang mereka dapatkan. Mereka kompak berdiam diri untuk beberapa waktu. Membiarkan ribuan pertanyaan mengendap di kepala orang-orang.

Sampai di mana jeda keheningan segera cair manakala sang dukun beranak memberi titah dengan suara tegas. Bahwasanya, lima bayi tak berdosa ini harus dipisahkan sejauh mungkin. Sebab, bencana yang terjadi malam ini atas kehendak Sang Pencipta melalui kelahiran si kembar lima. Satu bayi bermata hitam akan sang dukun beranak rawat sendiri di sini. Untuk bayi bermata merah dalam dekapan sang ibu dibawa ke utara. Sementara bayi bermata biru dalam rengkuhan sang ayah dibawa ke selatan. Urusan kedua bayi yang masing-masing berwarna hijau dan kuning di atas ranjang akan dinserahkan kepada masing-masing bapak untuk dibawa ke barat dan timur. Tak lupa sang dukun beranak memberi masing-masing nama kepada kelima Pandawa cilik. Lima sosok yang kelak akan membawa perubahan besar di Pulau Naga. Entah menuju zaman keemasan, atau pun kehancuran. Sekarang tergantung mereka, para titisan dewa.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, semua orang segera bergerak mengikuti wasiat sang dukun beranak.

Manakala semua orang telah menyebar ke segala penjuru, sang dukun beranak membelai lembut surai hitam bayi mungil yang perlahan mulai terlelap.

Sambil berjalan pelan menuju teras depan yang hancur berantakan akibat gempa yang sudah berhenti beberapa waktu lalu, sang dukun beranak menimang si bayi bermanik hitam seraya menatap langit malam bertabur bintang mengepung purnama kuning keeemasan. Bibirnya menggumamkan suatu kalimat yang mana hanya dirinya, si bayi bermata hitam, dan semesta yang tahu.