Kutaklukkan Ibu Mertuaku

Kutaklukkan Ibu Mertuaku

HIDUP bersama mertua memang sangat merepotkan, apalagi seperti aku yang tidak bekerja dan mengharapkan belas kasihan dari istriku.

Aku sering dijadikan bahan cemoohan, bahan ejekan dan bahan olok-olokan oleh mertuaku, khususnya oleh ibu mertuaku, sedangkan bapak mertuaku tidak demikian, beliau baik-baik saja denganku.

“Sabar sajalah kau Toni…” kata bapak mertuaku dengan logat bahasa daerahnya yang medok dan keren. “Jangankan kau, Bapak juga diomeli kalau perempuannya gak Bapak puaskan… nggak usah ngajak bini kau pindah dari sini…. Bapak sangat mengerti, kau tidak bekerja bukan karena kemauan kau to…? Ajari saja bini kau, kalau sudah tua jangan cerewet seperti ibunya…”

Memang benar apa yang dikatakan oleh bapak mertuaku. Aku tidak bekerja bukan karena kemauanku. Aku adalah korban PHK. Aku ingin segera bekerja lagi, bukan tidak mau atau karena aku malas, seperti yang selama ini didengung-dengungkan oleh ibu mertuaku dalam setiap ocehannya, tetapi kesempatan itu belum datang saja padaku.

Sore itu aku pulang dari rumah temanku menanyakan lamaran pekerjaan yang pernah kutitipkan padanya beberapa waktu yang lalu. Sesampainya aku di depan pagar, aku tidak melihat mobil bapak mertuaku, mungkin diajak oleh bininya pergi ke rumah saudara, atau pergi belanja.

Aku dorong saja sepeda motorku masuk ke halaman rumah lalu mengeluarkan kunci rumah yang selalu kubawa dalam kantong celana jeansku. Untung aku belum memasukkan kunci ke dalam lubang kunci, karena aku dibuat kaget duluan.

Dari gordeng kaca di depan rumah yang tidak tertutup rapat, aku melihat ibu mertuaku yang baru selesai mandi sedang bertelanjang bulat di ruang tengah mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.

Barangkali ini adalah balasan dari permusuhannya denganku selama ini, batinku. Tidak perlu aku membalas sendiri, tetapi ada tangan yang tidak kelihatan yang membalasnya biar ketelanjangannya kelihatan olehku.

Berhubung dia tidak mengetahui kehadiranku, kupandangi saja dengan mata melotot tubuhnya yang telanjang itu dimulai dari teteknya.

Tetek ibu mertuaku masih menampakkan kejayaan masa lalunya. Tetek itu di masa dia masih segar-segarnya pasti montok sekali meskipun sekarang sudah menunduk lesuh tapi putingnya yang besar masih tampak menggairahkan minta disedot dan dikunyah.

Perutnya buncit dengan lembah yang dalam. Bayangan hitam menghiasi lembahnya itu, tapi sayang… memeknya tidak kelihatan. Tapi itu sudah cukup bagiku.

Aku segera meninggalkan tempat mengintipku dan hingga malam ketika istriku berada di rumah aku baru pulang ke rumah. Tentu kejadian tadi sore kupendam sendiri di dalam hatiku, tetapi bagaimanapun kupendam sebagai seorang laki-laki aku memandang ibu mertuaku jadi berbeda dan setiap kali aku melihatnya membuat pikiranku tersumbat dan ingin onani, sehingga frekwensi onaniku jadi bertambah. Biasanya hanya saat-saat istriku haid aku onani, tetapi sekarang istriku tidak haidpun aku sering onani.

°°°°°​
Pagi itu aku sudah mau berangkat mengantar surat lamaran lagi ke rumah temanku yang lain. Aku sudah memakai pakaian yang rapi dan siap berangkat. Sepeda motorku sudah aku panaskan sejak dari tadi pagi karena janji temanku yang satu ini untuk aku bisa diterima bekerja di tempat kerjanya meskipun hanya sebagai sopir forklip di gudang sangat meyakinkanku.

Tiba-tiba aku mendengar ibu mertuaku berteriak dengan suara lantang. “Toniiiiiiiiii……!!!” suara teriakan ibu mertuaku bukan suara teriakan marah tetapi suara teriakan minta tolong.

Masa aku tidak mau datang menolong dia sejahat-jahatnya dia padaku? Menurutku masih banyak kebaikkan ibu mertuaku di mataku. Yang aku makan setiap hari siapa yang masak? Pakaianku siapa yang cuci…

“Toni… kaki Ibu berdarah…” kata ibu mertuaku duduk di bangku yang berada di dapur.

“Berdarah…? Kenapa, Bu?” tanyaku kaget.

“Keinjek paku…”

“Ha…? Keinjek paku di mana Ibu?” tanyaku berjongkok dan mengangkat kaki ibu mertuaku melihat telapak kakinya.

“Masa di rumah tetangga, disinilah…” jawabnya masih mau ketus juga denganku.

Aduh… sakitnya telinga sampai menusuk ke jantung… tetapi aku tidak memasukkannya ke pikiranku.

Beberapa tetes darah kelihatan di lantai dan yang tertusuk paku adalah jempol kakinya. Aku ambil bangku pendek untuk menopang kaki ibu mertuaku, lalu segera aku pergi mencari alkohol dan plester obat di kotak obat.

Peristiwa ini terjadi, mungkin juga dari efek karena dia suka marah padaku, batinku. Ini hukuman agar dia segera bertobat.

“Tapi nggak parah banget kok lukanya Bu… Ibu gak usah panik…” kataku mencuci luka di kaki jempol ibu mertuaku dengan alkohol 70%.

Kuku kaki ibu mertuaku masih bagus dan rapi tidak seperti kuku kaki wanita yang seumuran dengan ibu mertuaku yang kebanyakan sudah somplak, atau malahan gundul tidak ada kukunya.

Selesai aku mencuci bersih dengan alkohol 70%, aku bilas dengan air hangat dan saat itulah terpikir olehku ingin kuhisap jempol kaki ibu mertuaku, lalu aku angkat kaki ibu mertuaku, jempolnya kumasukkan ke dalam mulutku, lalu kuhisap pelan-pelan sambil membayangkan tubuhnya yang telanjang yang pernah kulihat 2 minggu yang lalu.

Ibu mertuaku duduk tersandar di bangku dengan mata terpejam-pejam dan mungkin darahnya sedang berdesir-desir seperti darahku, penisku ikut tegang.

Kubersihkan lagi lukanya dengan alkohol 70% baru kemudian kubalut dengan plester obat. Kini suara ibu mertuaku jadi manis didengar. “Apa kamu mau pergi, nggak mau makan dulu?” tanya ibu mertuaku seusai kubalut luka di kaki jempolnya. “Ibu masak ikan asam manis kesukaanmu…”

“Toni pergi hanya sebentar kok Bu, hanya ngantar surat lamaran kerja.” jawabku.

Mulai hari itu terjadi banyak perubahan dari ibu mertuaku, banyak kata-kata manis yang keluar dari mulutnya daripada cemoohan dan ejekan, apalagi luka di kaki jempolnya itu tidak sampai infeksi malahan sembuh. Tapi terkadang dia masih suka ngomel juga di depan suaminya atau di depan istriku, namun menurutku dia hanya ingin menunjukkan wibawanya saja, sedangkan hatinya berkata lain.

Hari kembali sore.

“Bu, Toni pergi sebentar ya Bu… Toni pengen tau apakah lamaran kerja Toni diterima apa nggak…” kataku minta izin pada ibu mertuaku.

“Ya… Ton, biar cepat diterima ya.” jawab ibu mertuaku. “Pintunya dikunci, Ibu mau mandi…” pesannya.

Selesai mengunci pintu rumah, aku segera menstater sepeda motorku. Di tengah perjalanan baru aku teringat ingin mengisi bensin untuk ‘minuman’ sepeda motorku dan untung aku merogoh kantong celanaku sebelum aku masuk ke POM bensin. Ternyata aku lupa membawa SIM, STNK dan dompet. Mau nggak mau aku harus balik ke rumah.

“Payah…” kataku di dalam hati mengomeli diriku sendiri.

Tetapi tidak kusangka setiba aku di rumah, kejadian sekitar 3 minggu yang lalu kembali terulang. Ibu mertuaku duduk telanjang di sofa mengeringkan rambutnya yang basah, kali ini dengan hair dryer. Karena suara hair dryer yang bising ditambah suara televisi dan ditambah pula aku sengaja tidak mau mengetuk pintu.

Maka setelah anak kunci kucolok ke lubang kunci, anak kunci segera kuputar, dan gagang pintu juga sekalian ikut kuputar, krek…

“Ahh… Ibu…” jeritku pura-pura kaget.

Ibu mertuaku juga kaget dan panik entah mana yang mau dia ingin kerjakan dulu. Ambil sesuatu menutupi tubuhnya yang telanjang atau mematikan hair dyer. Dalam keadaan dia bingung, aku sudah duduk di sampingnya.

“Pintu dikunci lagi nggak?” tanyanya.

Aku bangun dari dudukku pergi mengunci pintu. “Kok kamu tau waktunya sih?” tanya ibu mertuaku selesai aku mengunci pintu.

“Tau waktu apa? Tau waktunya Ibu telanjang? Ha.. ha… Toni lupa bawa dompet Bu… berani sumpah.” jawabku tertawa, dan kelihatannya sekarang ibu mertuaku sudah sengaja menelanjangi tubuhnya di depan aku. Dia tidak berniat menutupi tubuhnya yang telanjang itu sama sekali. Hair dryernya masih terus dinyalakan.

Aku jadi berani.

Aku segera berjongkok di depan kaki ibu mertuaku yang terbuka lebar dan kucium rambut-rambut hitam lembab di selangkangannya. “Hmmm… menantu nakal…” katanya.

“Ayo… buka lebar-lebar paha Ibu… biar Toni puaskan Ibu…” kataku.

“Kau tau dari mana? Dengar dari bapakmu ya?”

“Ya… he..he..” jawabku tertawa senang.

Ibu mertuaku menaikkan kedua kakinya ke tempat duduk di kursi seraya membuka lebar kedua belah pahanya yang mulus dan putih menyerahkan rahasia kewanitaannya padaku. Wajah ibu mertuaku biasa-biasa saja, malahan kelihatan agak keras dan kaku, tetapi tubuhnya masih menjanjikan kenikmatan kalau si lelaki yang menggaulinya bisa me-manage-nya dengan baik.

Vaginanya masih basah ketika kubuka lebar bibir vaginanya dengan jari dan aroma vaginanya merangsang. Kujulurkan lidahku lalu menjilat.

“Hmmm… memek Ibu masih merangsang.” kataku. “Tapi kok rambutnya gak dibersihkan sih Bu…?” tanyaku.

“Kalau kamu mau bersihkan, silahkan saja…” jawab ibu mertuaku.

Segera kuambil foam untuk mencukur kumis dan jenggot. Kuoleskan foam berwarna putih itu ke seluruh bulu kemaluan ibu mertuaku dan dengan menadahkan koran bekas di bawah pantatnya, kucukur bulu kemaluan ibu mertuaku dengan pisau cukur.

Rahasia ibu mertuaku sekarang semuanya sudah terbuka di depan aku mau ditutup dengan pakaian semewah apapun, tetap sudah bukan rahasia lagi.

Sekitar 20 menit memek ibu mertuaku sudah bersih tanpa bulu sehingga memudahkan aku menjilat, mencolok lubangnya dengan jari dan kukocok-kocok sampai membanjir.

Ibu mertuaku menjerit dan mengerang apalagi ketika biji kelentitnya kuhisap, kutarik panjang dan kugigit kecil-kecil lembut, ibu mertuaku sudah tidak ingat siapa-siapa lagi. Tubuhnya mengejang, meronta meliuk-liuk dan basah oleh keringat disaat ia sedang sekarat menghadapi kenikmatan orgasmenya.

“Ooooooooooooooo…….. ooooooo….. ooooooo….” dengusnya panjang. “Huhhh… luar biasa, Toniii…”

Kutelanjangi tubuhku sendiri dan siap kusetubuhi ibu mertuaku di atas sofa dengan televisi yang masih menyala. Penisku yang keras dan tegang segera menusuk masuk lubang cinta ibu mertuaku. Sleeppp… sleeppp… blesssss…

“Ohh… Tonii… kontol besar kau, memek Ibu robek nggak nih…” kata ibu mertuaku.

“Kalau nggak robek, biar Toni bikin robek sekalian, soalnya nikmat sih memek Ibu…” jawabku mulai menarik dan mendorong penisku maju-mundur di ruang cinta ibu mertuaku yang licin basah dan sesak sehingga terasa banget nikmatnya ketika penisku keluar-masuk.

“Uhhh… aggghh… ouuughh…” kedua suara kami yang mendengus dan mengerang saling bersahut-sahutan.

Ibu mertuaku hanya duduk bersandar di sofa dengan pantatnya berada di pinggir tempat duduknya. “Ini baru namanya nikmat… bapakmu payah…” kata ibu mertuaku.

“Jangan ngomong gitu dong Ibu….” kataku. “Payah-payah juga dari memek Ibu lahir 3 orang anak juga ya kan. Dari siapa anak itu kalau bukan Bapak yang ngentot Ibu? Sekarang… Ibu harus hamil anakku…” ujarku. “Terimalah spermaku, Buuuu…. ooohhh….”

Sherrrr…. croootttt… crooottt… crootttt… kuserang rahim ibu mertuaku dengan tembakan air mani yang deras dan kencang.

Untuk sesaat kami masing-masing terdiam. Ada rasa malu terkandung dalam diriku. Kok bisa ya ibu mertuaku sendiri kusetubuhi?

Kulepaskan penisku. “Maaf ya, Bu.” kataku.

Kupandang vagina ibu mertuaku. Ingin aku tertawa melihat lelehan spermaku. Lalu kuambil tissu membersihkan vagina ibu mertuaku. Kukecup bibirnya dan kupeluk tubuhnya telanjang.

Kami ulangi lagi!

Sehingga mulai dari sore itu ibu mertuaku sudah menjadi bagian dari hidupku dan dia minta maaf padaku.

“Ibu kau tambah bergairah kali sekarang, Toni…” kata bapak mertuaku padaku. “Kau apakan Ibu kau?” tanya Bapak.

“Biasalah Pak… Bapak pernah bilang pada Toni Ibu gak pernah puaskan kan… sekarang sudah Toni puaskan…”

“Ha… ha…” Bapak tertawa sembari merangkul pundakku. “Kau hebat ya… boleh diteruskan… ha.. ha.. haaa…”

Aku bersyukur mendapat restu untuk menggauli Ibu dan Ibu sudah tidak marah-marah lagi malahan sebaliknya aku juga mendapatkan kemujuran dari hasil persetubuhan dengan ibu mertuaku. Setelah 2 bulan kemudian aku diterima bekerja di sebuah perusahaan pelayaran.

Dapat entotan, dapat pekerjaan pula.