Kung-Cum-Fu: Terlentang di Negeri Orang
EPISODE 1
Suatu hari, di sebuah tempat…
Matahari yang bersinar terik membuat siang itu terasa panas, angin meniup kencang, akar-akar pohon tumbuh melintang dan jalan kecil berliku. Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang memecahkan keheningan. Beberapa orang tawanan kerajaan melangkah terseok-seok, tangan dan kaki mereka dibelengu oleh rantai besi yang besar dan berat, “CTARRR…!! CTARRRR….!! CTARRRRR…!!!”, terdengar suara cambukan keras disusul oleh keluh kesakitan ketika seorang tentara kerajaan mencambuk punggung seorang tawanan yang usianya baru sekitar 12 tahunan, tanpa ampun si anak jatuh tersungkur.
(Red : jati diri si anak ada di episode sekiannya yang bakal keluar nanti he he)
“Kejamm….!! hentikannn…!! dia hanyalah seorang anak kecil…!!”.
Seorang tawanan berusia senja melindungi anak itu, dengan gagah berani ia menghadang lecutan cambuk hingga pakaiannya sobek dan darahnya mengucur. Iblis Seribu pedang, itulah biasanya orang-orang memanggil sebutan si kakek tua itu.
(Red : mau tau tentang Kakek Seribu Pedang? Saksikan di KBB TV episode: XX).
Beberapa cambukan kembali mampir ditubuhnya namun sedikitpun ia tidak mengeluarkan suara, sinar matanya menatap tajam dengan penuh nafsu birahi liar… %^&*$#%^, hingga si prajurit bergidik seyem dibuatnya, “Brrrrrrrrhhh…!!”.
——————————
Kakek Seribu Pedang : “Cuttttttt…!!! Oiiiiiiii…!!Anak setan.!! Emang gua cowo apaan??!!”.
Pendekar Maboek : “Aduh gue nggak ikut-ikut nih Kek, Sumpah!!! Sis Yo tuh…!!”.
Yohana : “E-ehh… maap-maap, maksudku penuh dengan nafsu membunuh…!!”.
Kakek Seribu Pedang : Ngehe he he, nah gitu doong…! Lanjutkan…!! LANJUTKAN…!!”.
——————————
“Hihhh…!! BUKKKK…”.
Seorang pengawal kerajaan melayangkan tendangannya kearah ulu hati Iblis Seribu Pedang. Lelaki tua namun bertubuh kekar itu menjadi terhunyung dan sesaat kemudian langsung roboh ke belakang. Seorang pengawal menghampirinya. Kakinya terangkat dan tampaknya sebuah tendangan akan kembali dihadiahkan oleh salah seorang pengawal kerajaan ke selangkangan si kakek.
“Hauhhh… OAHHH…!!”.
Tiba-tiba saja pinggul si pengawal terdorong kedepan, tangannya menggapai-gapai ke belakang. Matanya membeliak kesakitan setengah mati, sementara… ehmmmm, mari kita pantau bersama ke belakang bokong si pengawal tadi, Wekss…!! Seorang anak kecil menggigit pantatnya, Hrrrr… Hrrrrrrr… GRRRHHHH!!!
“Had-duhh… AKHH…”.
“Heiii…!! Bukkkkkkk…. Gubrakkkkkk….!!” .
Seorang pengawal lain melayangkan tendangannya ke arah pinggang si anak. Tubuh kecil itu pun bergulingan dibuatnya. Belum juga habis rasa sakitnya, sebuah tendangan meluncur ke arah wajahnya. “Bukkkkkk…!!”, kepalanya yang botak pelontos benjut kebiruan.
“Sialan, minta di hajarrr…!! Bakk-buk-bak-bukkk…”.
Si anak menutup kedua matanya sepertinya ini akhir dari semuanya, selamat tinggal dunia… selamat tinggal semua… uhhh, aneh sama sekali tidak terasa sakit? Anak kecil itu pun dengan perlahan kembali membuka matanya. Sesosok tubuh berada diatas tubuhnya, melindunginya dari tendangan-tendangan empat orang pengawal berbaju hitam. Habis sudah Iblis Seribu Pedang, tubuhnya serasa remuk akibat dianiaya oleh keempat orang pengawal yang mengejeknya sambil menendang tubuh rentanya.
“Ha Ha Ha… inikah yang namanya Iblis Seribu Pedang yang tersohor itu??”, teriak seorang pengawal bertubuh kekar dan berjambang lebat, sambil terus menendangi tubuh renta si kakek tua.
“Seharusnya diberi gelar Iblis Bengek saja ha ha ha….”, sahut pengawal lainnya menimpali.
“Benar-benar seorang lelaki tua yang tidak berguna… Tolol…”.
“Nyawa sudah di ujung tanduk masih berlagak bak pahlawan, melindungi diri sendiri saja tidak bisa apalagi melindungi orang lain… ha ha ha ha”, ejek seorang pengawal yang bertubuh sedikit lebih kecil di antara keempat yang lain.
“Sudah, sudah….!! bantu mereka berdiri… kita harus sampai di pelabuhan sebelum jam 12 siang…!! CEPATTTT…..”, kini laki-laki berjambang itu memerintahkan ketiga pengawal lainnya. Rupanya ia adalah pemimpin dari para pengawal penjaga penjara tersebut.
Dengan kasar para pengawal itu membantu Iblis Seribu Pedang dan anak kecil itu untuk berdiri. Sesekali tubuh mereka berdua kembali tersungkur karena didorong-dorong dari belakang. Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai juga di pelabuhan yang menjadi tempat tujuan mereka. Sebuah kapal mendekat dan merapat. Seorang gadis bermata sipit melangkah dengan gemulai menuruni tangga kapal. Para tahanan dan juga para pengawal kerajaan melotot bagaikan serigala-serigala yang kelaparan yang melihat mangsa. Dari perawakannya yang mungil, nampaknya si gadis cantik masih berusia sekitar 17 tahunan. Tubuh sintalnya berbalut pakaian berwarna cerah yang terbuat dari kain sutra. Sebuah pedang nampak terselip dipinggangnya yang ramping. Sungguh seorang pendekar wanita muda yang mempesona.
(Red : wah siapa pula nihh yang bening… ini?? Ikuti terus di KBB FM).
“Bagaimana Nona?? Apakah mereka sesuai dengan pesanan Nona??”, tanya pemimpin dari para pengawal kerajaan.
“Hemmm… apakah mereka bisa berbahasa Mandarin??”.
“Tentu saja Nona, kami sudah mengajari mereka…”.
“Baiklah kalau begitu… ini bayaran untuk kalian…”, gadis cantik itu melemparkan sebuah kantung kain kecil yang berisikan batu-batuan berharga.
“Eh, Nona… kami sudah dengan susah payah mencari guru yang dapat mengajari mereka bahasa Mandarin…”.
“Lalu…??”.
“Ya… kami minta lebih… he he he he…”, si pengawal berjambang itu tertawa cengengesan.
“Cihhh… dasar anjing kerajaan…!! Memangnya aku bodoh, seharusnya mereka ini dihukum pancung…!! kalian sudah sangat beruntung sekali dengan upah yang kuberikan dan sekarang kalian malah meminta lebih…?? Lagipula hanya mengajari bahasa saja, apanya yang susah…!!”.
“Lebihnya bukan dalam bentuk uang Nonaaaa… he he he”, seorang pengawal kerajaan lainnya yang bernama Djarot melangkah kedepan sambil berusaha mencuil dagu si gadis cantik. Tindakannya ini langsung mendapatkan sorak-sorai dari pengawal-pengawal lainnya.
“Plakkkk…!!!” Djarot terhunyung ke belakang ketika wajahnya terkena tamparan.
Di saat yang hampir bersamaan Djarot merasakan perutnya pedih bukan main. Entah kapan gadis cantik itu mengeluarkan pedangnya, karena tidak ada seorang pun yang ada disana yang mampu melihatnya. Mata Djarot memelototi pedang ditangan gadis cantik itu. Ada cairan kemerahan yang membasahi pedang tajam tersebut, cairan apakah itu??
“HU..!! WHUAAAa… Aa…!!!”, Djarot menjerit ngeri saat melihat ke arah perutnya sendiri. Ia berteriak keras kesakitan sambil memegangi perutnya yang sobek besar. Tubuh besar laki-laki itu pun tak lama kemudian tersungkur ke tanah. Teman-teman pengawal Djarot yang melihat kejadian itu dengan segera mengepung si gadis cantik yang tersenyum mengejek.
“Kalian mau mati juga? Ayoo… maju semuanya!!!”, ucap gadis cantik itu mengacungkan pedangnya sambil memasang kuda-kuda.
Sebanyak sepuluh orang pengawal berdiri mengelilingi si gadis. Namun hanya dua pengawal yang kemudian langsung maju menyerang gadis cantik tersebut. Orang-orang lain yang kebetulan berada di pelabuhan langsung berlarian dari tempat itu untuk mengamankan diri. Mereka berlarian agar tidak sampai menjadi korban dari pertarungan yang kini sedang berlangsung. Namun di antara orang-orang itu yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan dan kuli angkut barang, memilih hanya bersembunyi di tempat aman sambil mengamati pertarungan yang nampak tidak berimbang tersebut.
“HIAAAT…!!”, si gadis meloncat ketika dua orang pengawal menyabetkan pedang ke arah kakinya. Sambil meloncat si gadis ikut mengayunkan pedangnya sehingga tepat mengenai dada dua pengawal tersebut dan mereka pun tersungkur.
Kini tiga orang pengawal lagi maju berbarengan menyerbu si gadis. “TIING… TING… TIIING…”, suara nyaring beberapa kali terdengar ketika pedang mereka berempat saling beradu. Si gadis dengan lincah meliuk-liukan tubuh moleknya berusaha menghindari tusukan dan sabetan pedang ketiga pengawal tersebut. Gadis cantik nampak dengan santainya menahan serangan demi serangan yang dilancarkan oleh para pengawal. Terlihat sekali kalau ilmu mereka tidak sebanding, sehingga dengan mudahnya si gadis menangkis segala serangan yang menyerbunya. Sementara ketiga pengawal dengan sangar dan brutal terus berusaha menyerang dan melumpuhkan si gadis cantik.
“TRRAANG…!!”, pedang seorang pengawal terlempar dan terjatuh ke air. Sedetik kemudian tubuh pengawal tersebut sudah tersungkur ke tanah akibat pedang si gadis yang menembus perutnya. Lalu gadis itu memutar tubuhnya dengan cepat menghindari tusukan dari seorang pengawal.
“Hiiiaat…”, dengan sigap si gadis langsung menyabet kaki pengawal tersebut sehingga pengawal itu langsung terjatuh sambil memegangi kakinya yang berdarah.
“Kenapa kalian diam saja…?!! Ayoo… serang gadis itu!!!”, Si komandan prajurit menghardik kesal ke arah lima anak buahnya yang masih tersisa yang hanya terlihat berdiri terpaku.
Mendengar teriakan komandannya, kelima orang pengawal yang tadinya hanya berdiam diri kini dengan segera maju menyerang si gadis bersamaan. Kini si gadis harus membagi konsentrasi untuk menghadapi enam orang laki-laki secara bersamaan. Rupanya hal ini bukanlah sesuatu yang sulit bagi si gadis. Dengan gerakan lincah ia mampu menghindari serangan demi serangan yang mengarah kepadanya, walaupun pengawal yang kini menyerangnya juga menggunakan golok dan tombak. Ilmu yang dimiliki oleh si pendekar wanita muda nampaknya sudah cukup tinggi.
“TIING… TING… TIIING…”, kembali terdengar suara dentingan nyaring ketika senjata mereka saling beradu. “DUUK… DEESS… AAkkh…!!”, suara teriakan kesakitan juga terus terdengar ketika pukulan atau tendangan si gadis mendarat telah di kepala, dada atau perut para pengawal tersebut.
Tanpa perlu waktu lama akhirnya si gadis cantik, berhasil mengatasi perlawanan keenam pengawal tersebut. Kini beberapa dari pengawal tersebut nampak terbaring tewas bersimbah darah, sementara beberapa dari yang lainnya yang masih hidup nampak mengerang kesakitan sambil memegangi bagian tubuh mereka yang terluka. Kini dengan keadaan mematung melihat anak buahnya yang dibuat kocar-kacir, di hadapan gadis cantik itu yang masih bisa berdiri tegak hanya satu orang laki-laki, yaitu si komandan prajurit.
“Bagaimana? Masih mau menagih kelebihan pembayaran yang tadi?”, si gadis menyeringai. Pedangnya yang masih berlumuran darah diacungkannya ke arah si laki-laki berjambang tersebut.
“Jangan sombong dulu gadis cantik, akan kubuat kau takluk dan memohon ampun di hadapanku!!! HIIAAAT…!!!”laki-laki bertubuh besar itu langsung mencabut pedangnya dan menyerang si gadis.
Pertarungan keduanya berlangsung cukup alot karena ilmu keduanya nampak sepadan. “TIING… TING… TIIING…”, senjata keduanya beradu cukup keras, sehingga beberapa kali terlihat memercikkan api. Namun rupanya sekuat-kuatnya gadis tersebut, tenaga si komandan pasukan masih lebih kuat. ‘TRRAANG…!!”, pedang si gadis terlepas dari genggamannya ketika pedang mereka kembali beradu. Si gadis pun kemudian meloncat dan berkelit ke belakang beberapa langkah.
“Ha ha ha… bagaimana cantik? Masih mau melawan?? Kau tidak akan bisa menghadapi aku karena aku adalah Bagaspati, si komandan pengawal kerajaan, jadi lebih baik kau menyerahkan diri baik-baik dan biarkan aku menikmati tubuh sintalmu itu ha ha ha…”.
“Puuiih… lebih baik aku mati daripada membiarkan laki-laki busuk macam kamu menyentuh tubuhku!”.
“Ha ha ha kalau begitu aku harus menggunakan cara kasar untuk mendapatkanmu, HIIAAT!!!”, kembali si laki-laki yang mengaku bernama Bagaspati, itu berlari dan menyerang si gadis.
Tanpa pedangnya kini si pendekar wanita muda hanya bisa menghindar. Beberapa kali gadis itu harus bersalto, melompat, menunduk dan menggerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri guna menghindari serangan pedang si komandan pasukan.
“TEES…!!”, akhirnya pedang si laki-laki berjambang berhasil mengenai pakaian si gadis, sehingga mengakibatkan pakaian sutra yang dikenakannya robek tepat di bagian dada. Kembali si gadis harus melompat mundur, guna sedikit mencuri waktu guna memasang kuda-kuda.
Semua mata laki-laki yang berada di tempat itu langsung terbelalak melihat bagian pakaian si gadis yang robek. Belahan dada padat milik si gadis menjadi ter-expose. Belahan itu terlihat begitu sempurna, sehingga bisa dibayangkan bagaimana indahnya bentuk payudara dari gadis cantik tersebut. Menyadari kalau semua mata nakal kini sedang menyorot ke arah dadanya, si gadis dengan cekatan menutup bagian robek tersebut dan dengan segera mengikatnya kembali.
“Ha ha ha… menyerahlah cantik, aku sebenarnya tidak mau melukai kulit putih mulusmu itu, tapi kalau kau memaksa aku terpaksa harus melakukannya”, dengan angkuhnya Bagaspati tertawa dengan lantang.
“HIIAAT…!!!”, tanpa disadari oleh laki-laki itu, si gadis langsung meloncat dengan ilmu meringankan tubuh guna mengambil kembali pedang miliknya yang tergeletak. Si komandan pasukan terkejut melihat gerakan tiba-tiba dari gadis tersebut. Ia kemudian ikut melompat guna berusaha menghalanginya. Namun terlambat, si gadis sudah terlebih dahulu menyambar pedang miliknya.
“TRRAANG…!!”, pedang keduanya kembali beradu. Kali ini dengan gesit si gadis melancarkan sebuah tendangan yang tepat mengenai perut si komandan pasukan.
“AAAkkH…!!”, laki-laki itu pun tersungkur ke tanah.
“Ku… kurang ajar!!!”, umpat si laki-laki sambil memegangi perutnya. Dengan segera laki-laki bertubuh besar itu bangkit dan kembali berdiri. Namun belum sempat ia mengeluarkan kuda-kuda, si gadis telah terlebih dahulu menyerangnya.
“SRREET… SREET… SREEET…!!!”, dengan lincah si gadis mengayunkan pedangnya ke arah si komandan prajurit dan berhasil merobek pakaian yang dikenakannya. Akhirnya setelah beberapa kali ayunan pedang, pakaian yang dikenakan laki-laki tersebut pun tercobak-cabik. Tubuh atas laki-laki itu pun kini nampak bugil. “TAASS…!!”, beberapa detik kemudian celana yang dikenakan laki-laki itu melorot turun karena pedang si gadis berhasil memotong sabuk kain yang dikenakannya. Si gadis akhirnya berhasil membalas perbuatan si laki-laki yang tadi juga merobek pakaiannya.
“HUAA… HAAA… HAA… HAA…”, suara tawa riuh langsung terdengar di seluruh pelabuhan. Mereka yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak bisa menahan tawa melihat si komandan prajurit kini yang tadinya nampak angkuh, namun kini hanya mengenakan sebuah celana kolor kusam. Suara tawa juga terdengar dari para tawanan, termasuk si Kakek Seribu Pedang dan si anak kecil.
Dengan wajah memerah si komandan prajurit langsung menaikkan kembali celananya.
“Ini belum berakhir Nona, kau dengar? Ini belum berakhir…!!”, langsung saja laki-laki itu berlari terbirit-birit diikuti oleh beberapa anak buahnya yang masih hidup.
Melihat lawan-lawanya berlarian tunggang-langgang, wajah cantik si gadis muda terlihat tersenyum manis. Kemudian pendekar wanita muda itu menyarungkan kembali pedang ditangannya, sementara tubuh-tubuh prajurit kerajaan nampak bergeletakan disana-sini. Dengan gemulai gadis itu berjalan mendekati Kakek Seribu Pedang dan si anak kecil yang berada di sampingnya. Kakek Seribu Pedang meleletkan lidah membasahi bibirnya, sekan terpesona dengan sosok anggun yang kini mendekatinya. Kecantikan yang luar biasa, matanya yang sipit begitu indah, bibirnya bak buah delima, ingin rasanya sang kakek menghisap bibir gadis itu. Namun sayang, lamunan “indah” si kakek terpaksa kandas, ketika ternyata sang gadis malah tersenyum manis pada si anak kecil.
“Siapa namamu??”.
“Saya… Wiro…”.
——————————
“Hahhh?? Wiro penulis CCS…!! Wahh kenalan donggg, kakek juga suka baca CCS… yaaa, tapi masih berupa stensilan sih, dapet nyalin dari temen, kalau dikumpul-kumpul cerita koleksi kakek bisa dijait jadi sebuah kitab loh…!!”, Kakek Seribu Pedang begitu antusias begitu si anak menyebutkan namanya.
“Wah saya sih lebih sering baca KBB Kekk… pake internet…”, sahut si anak polos.
“KBB…?? Kok baru denger sih?”.
“Aaah… kakek kurang gaul nih! Masa KBB aja ngga tau sih?”, Pendekar Maboek ikutan nimbrung.
Yohana : Guys… guys… back to the topic pleaseee…!!! Ikutin benang merahnya dong, jangan ngelantur!!”.
“He he he… siap komandan!!!”.
——————————
“Cici yang cantik, tolong lepaskan saya, sakit nihhhh…”.
Wiro merajuk dengan manja pada si gadis. Si gadis sendiri hanya tersenyum sambil mengusap kepala si anak.
“Kasihan kamu, sini Cici lepasin…”.
Wiro tersenyum ketika si gadis melepaskannya. Sang kakek tidak mau kalah ia pun kemudian ikut merajuk sambil cengengesan dengan rasa percaya diri yang mengebu-gebu.
“Nona yang cantikkkkk, tolong lepasin kakek juga dongggg, sakit nih, pengen pipissss…, kakek ngak ku-ku…”
Kakek Seribu Pedang tersenyum manis menurut ukuran sang kakek sendiri, namun apa hendak di kata sang gadis salah menangkap arti senyuman sang kakek sebagai sebuah senyuman mesum…
“PLAKKKK…!! Dasar tua bangka… Edan!! Tua-tua keladi…!! Makin tua makin JADI…!!”, dengan spontan gadis cantik itu menampar wajah si kakek.
“Haaaahhhhh..??!!” .
Begitu wajahnya terlempar ke samping, sang kakek hanya bisa bengong tanpa dapat berkata-kata apa-apa lagi, istilah sononya “speechless”, kacian deh Kakek Seribu Pedang yang kena gampar.
“HUA HA HA HA HA HA HA”. Wiro tertawa ngangkak, sementara sang kakek menghardiknya.
“Anak sialan…!! cepat lepaskan ikatan ditanganku…”.
“Wiro biarkan dia…!! Ayo sini….”, sahut si gadis cantik. Wiro pun menurut dan mendekati si gadis.
Beberapa orang wanita gemuk turun dari atas kapal. Salah seorang dari mereka memanggul tubuh kurus si kakek.
“E-ehhh, Pelan-pelann ADOWWW…..!!”, ringis si kakek.
Sementara beberapa orang lainnya menggiring para tawanan naik keatas kapal, Kakek Seribu Pedang masih sempat mencuri pandang kearah seorang gadis cantik jelita, yang masih belum begitu jelas jati dirinya. Wiro pun ikut terlena menatap kecantikan si gadis. Setelah mereka semua telah masuk ke dalam kapal, kapal itu pun kemudian berangkat untuk kembali berlayar. Entah kemana tujuan kapal tersebut, yang jelas Wiro, Kakek Seribu Pedang dan para tawanan bisa bernafas lega tidak harus berakhir di tiang gantungan. Malam pun mulai beranjak semakin larut. Sementara itu di atas kapal, tepatnya di dalam sebuah kabin terlihat Wiro sedang diobati oleh si gadis cantik. Beberapa saat setelah kapal berlayar tadi sebenarnya Wiro sudah berusaha untuk mendekati gadis cantik tersebut.
Ketika kini ada kesempatan berduaan maka dengan sigap Wiro mendekati gadis cantik itu kemudian dengan sopan bertanya pada si gadis.
“Nama Cici siapa….??”.
“Namaku Liu Yi Qi…”.
“Wiro, duduk disini…”, gadis cantik yang mengaku bernama Li Yi Qi itu menepuk-nepuk kursi yang berada di sampingnya.
Yi Qi menuangkan secangkir teh yang langsung diminum habis oleh Wiro yang memang sangat kehausan. Si gundul cengengesan sambil terus memperhatikan wajah Yi Qi yang kecantikannya pasti akan membuai lelaki manapun yang menatapnya. Mata Wiro kemudian tak sengaja tertuju pada sebuah plakat yang tergantung dipinggang Yi Qi.
“Itu gambar apaan sich Ci??”
“Ini plakat batu giok, hmmm, Wiro! mengapa kamu menatapku seperti itu?”.
“Ehh, enggak Ci, ngak apa-apa… kok”, Wiro tersipu malu karena ketahuan beberapa kali menatap ke arah tubuh sintal Yi Qi.
Yi Qi menegur Wiro, karena sepertinya ia merasa kurang nyaman oleh tatapan mata si gundul yang berbinar-binar ke arah beberapa bagian tubuhnya. Walaupun masih kecil, namun Wiro tetaplah seorang laki-laki dan itulah yang membuatnya risih. Sementara itu tangan Yi Qi terlihat sibuk mengoleskan obat di kepala Wiro yang terluka. Setelah baluran obat itu rata dan tertutup sempurna oleh kain, Yi Qi berdiri untuk menaruh botol obat tersebut di atas meja di ikuti oleh Wiro yang berjalan di belakangnya. Tiba-tiba saja sebuah ombak besar yang teramat besar lewat hingga keduanya hilang keseimbangan.
“Ahhhhh…”, gadis itu menjerit.
“WHUAAAA…”, Wiro pun tak kalah lantang menjerit kaget.
Liu Yi Qi jatuh terlentang dan Wiro jatuh di atasnya, tepat di dalam pelukan si cantik. Keduanya terdiam karena kaget tanpa bergerak. Kedua tangan Wiro terlihat membentuk cakar di sepasang buah dada Yi Qi. Gadis cantik itu nampak marah atas perbuatan Wiro, namun ia sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuhnya guna menepis kedua tangan anak kecil tersebut. Rupanya tanpa sengaja jari Wiro tadi telah menotok jalan darah Yi Qi. Walau sebelumnya belum pernah melakukannya, namun isting laki-lakinya membuat tangan Wiro dengan refleks meremas-remas gundukan ranum yang terasa hangat dan kenyal milik Yi Qi. Remasan-remasan tangan Wiro secara perlahan ternyata dapat memudarkan sorot sinar kemarahan yang tadinya terpancar dari mata gadis cantik itu. Wiro sama sekali tidak menyadari kalau perbuatannya itu telah memancing bangkitnya gairah birahi Yi Qi.
“Hhhhh… Hhhhhhhhhhhhhhhhh…”.
Di antara helaan nafas panjang Yi Qi yang berat, Wiro mulai semakin nakal melepaskan ikatan kancing pakaian Yi Qi yang terbuat dari bahan sutra. Rupaya rasa kenyal dan padat ketika meremas payudara gadis cantik itu, menggugah rasa ingin tahu Wiro apa sebenarnya yang berada di balik pakaian yang dikenakan Yi Qi. Begitu pakaian itu terbuka, terpampanglah dengan jelas di hadapan Wiro sepasang payudara miliki seorang gadis muda. Wajah Yi Qi nampak memerah melihat tatapan tajam Wiro ke arah dadanya. Sedangkan Wiro masih nampak keheranan dengan bongkahan daging tersebut, karena ia sendiri tidak memiliki bulatan padat seperti itu di dadanya. Tangan mungilnya perlahan mulai mengelus bukit buah dada Yi Qi. Dengan polosnya ia juga memainkan jari-jarinya di kedua puting payudara gadis cantik tersebut. Di dalam pikiran Wiro karena tidak ada penolakan dari Yi Qi, maka pastilah gadis itu sama sekali tidak berkeberatan atas apa yang sedang dilakukan olehnya. Hal inilah yang membuat Wiro menjadi semakin berani meremas-remas kedua payudara Yi Qi. Sementara wajah Yi Qi nampak semakin memerah, karena selain menahan malu kini ia juga harus menahan birahi yang semakin meninggi.
“Padet banget sih Ci? Ini yang namanya susu cewek ya Ci?”, ucap Wiro polos.
Selama di dalam penjara sering sekali para tawanan bercerita tentang pengalaman mesum mereka yang tak sengaja didengar oleh si botak gundul. Wiro kerap mendengar kata-kata “susu” dan “memek” wanita yang kata para tawanan itu rasanya begitu nikmat. Bocah itu sendiri sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh mereka. Yang bisa ditangkapnya hanyalah kalau “susu” itu adanya di bagian dada dan “memek” itu tempatnya di antara paha. Sungguh sebuah lingkungan yang kurang kondusif untuk ukuran anak-anak. Inilah yang akhirnya membuat Wiro menjadi matang sebelum waktunya.
“Aihhhh, lembutnyaaaaa…”, pikir Wiro dalam hati ketika kedua tangannya kian kuat meremas kedua payudara Yi Qi.
“Aaah…!!”, sedangkan Yi Qi sendiri hanya bisa mendesah pelan, tanpa bisa melakukan apa-apa untuk menghentikan kenakalan bocah gundul tersebut.
Tangan mungil Wiro terus mengusapi bongkahan buah dada Yi Qi yang membuntal padat. Puting susunya semakin lama terlihat semakin meruncing keras, seiring semakin tingginya gairah birahi yang membelenggu dirinya.
Mata sipit gadis cantik itu semakin sayu saat Wiro kembali meremasi induk payudaranya. Kemudian dengan sedikit keraguan bocah kecil itu pun melahap puting payudara Yi Qi dan mulai menyusu. Hisapan Wiro memang masih terlihat amatiran, namun semua itu sudah cukup untuk menghantarkan getaran–getaran nikmat yang membuat Yi Qi mulai merasa gelisah di landa birahi.
“nyoottt.. nyotttt.. huuummmhhh huummmmm”
Cukup lumayan lama Wiro berpuas-puas menghisapi payudara yi Qi. Bocah kecil itu nampak seperti seorang bayi yang sedang menyusu kepada ibunya. Payudara kiri Yi Qi terus menerus dihisapi oleh Wiro, sementara payudara kanannya terus diremas-remas oleh tangan mungil bocah tersebut. Yi Qi sendiri terlihat semakin tersiksa dalam birahinya. Gadis cantik itu merasakan rasa nikmat sekaligus geli yang menggelitik terus menerus menyerang buntalan payudaranya.
“OOOHHHH…”, gadis cantik itu gelisah merasakan sesuatu akan meledak dari dalam dirinya seiring hisapan-hisapan Wiro di puting payudaranya. Hisapan itu terus dilakukan Wiro hingga akhirnya si botak tertidur kelelahan. Hisapan dan remasan pun berhenti saat itu juga.
“hhhhhh…!!!”
Kurang lebih 15 menit berlalu dari waktu Wiro tertidur tadi. Terdengar suara helaan pendek yang keras keluar dari mulut Yi Qi. Rupanya pengaruh totokan ditubuh Yi Qi telah terlepas. Perlahan gadis cantik itu menggeser tubuh Wiro yang masih menindih tubuhnya. Ia lalu merapikan kembali pakaiannya yang tadi terbuka lebar. Kemudian Yi Qi tersenyum kecil ke arah Wiro yang telah tertidur pulas. Dengan lembut ia membelai kepala Wiro yang botak. Tak ada lagi pancaran rasa marah dari mata Yi Qi. Yang ada kini hanya pancaran kasih sayang. Gadis cantik itu tahu kalau apa yang dilakukan Wiro tadi sama sekali tidak disadarinya, hanya berdasarkan insting belaka, namun Bagaimanapun Wiro ternyata adalah laki-laki pertama yang memberikannya kenikmatan dari persetubuhan, yang selama ini hanya bisa ia dengar dari beberapa orang. Gadis itu pun kemudian mengangkat tubuh Wiro dan membaringkannya di ranjang. Kemudian ia pun berbaring di samping tubuh Wiro, memeluk tubuh bocah tersebut dan tertidur pulas. Tanpa sama sekali disadarinya, selangkangan si gadis telah basah oleh lelehan lendir yang beraroma harum.
********
Setelah mampir diberbagai tempat yang entah dimana…
Akhirnya, kapal itu berlayar semakin mendekati Dataran Tiongkok. Sejak kejadian “ketidak sengajaan” malam itu Wiro semakin disayang oleh Yi Qi. Hari ini si bocah gundul nampak tersenyum-senyum sambil memijati betis si gadis cantik. Sementara sang kakek terlihat manyun dengan bibir meruncing melihat “kemesraan” yang ditunjukkan oleh Wiro dan Yi Qi. Memang kini di kapal tersebut hanya tinggal Wiro dan si kakek yang berjenis kelamin laki-laki, karena para tawanan lainnya sudah laku dijual sebagai budak dengan harga yang tinggi. Ketika Yi Qi mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat dari hasil penjualan para tawanan, namun dirinya cukup kesal kenapa si kakek tua sama sekali tidak laku. Malah ia sama sekali belum pernah ditawar oleh seorang pembelipun. Tentunya ini adalah sebuah kerugian bagi Yi Qi karena harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk makanan si Kakek Seribu Pedang. Apalagi kakek tersebut ternyata makannya tidaklah sedikit.
“Wiro, jangan nakal begitu ahh…!!”, saat semua orang terlengah tangan mungil Wiro merayap keatas. Gadis cantik itu menepiskan tangan Wiro yang merayap nakal menuju kedua pahanya.
“Emang nakal, tapi cici suka dinakalin sama Wiro kan he he he…??”.
“Udah ah geli tau, lagian masih siang nih, masih banyak orang”.
Wiro pun menghentikan “kenakalan”-nya. Kemudian bocah gundul itu berbisik pelan.
“Eh Cici, si kakek gimana tuhhh??”.
Wiro menanyakan nasib si kakek tua yang kini terlihat berjongkok beberapa meter dari tempat mereka berada. Terikat oleh rantai dan sama sekali tak berdaya.
“Hemm, buang saja, barang tua…. tidak berguna”.
“Emmhh, tapi Cii, kasihan kan kakekkk…”.
Wiro tertunduk sedih, masih teringat jelas dalam ingatannya ketika Kakek Seribu pedang melindunginya mati-matian dari keberingasan para prajurit kerajaan. No mother, no father, just seorang kakek peot saja yang menemaninya dan saling bahu-membahu dengan dirinya yang botak gundul menghadapi kezaliman para puggawa kerajaan.
“Ya sudah… untuk urusan yang satu ini biar Wiro saja yang mengurus ya…”, gadis cantik itu berkata sambil mengelus-elus kepala Wiro yang plontos. Si bocah pun langsung melompat gembira.
“Horeeee… Makasih Ciii, makasihhhh…”, Wiro lalu beranjak berdiri dan berteriak lantang. “Kakekkkkk….!!”.
Wiro kemudian berlari dan memeluk tubuh Kakek Seribu Pedang. Wiro lalu menyampaikan kabar gembira kalau Yi Qi memperbolehkannya tinggal dan menemani dirinya. Laki-laki tua itu pun kemudian menangis sesegukan. Seumur hidup sang kakek selalu hidup sendirian, kesepian tanpa sanak keluarga, siapa menyangka kalau tiba-tiba kini dirinya mempunyai seorang cucu, walaupun tidak jelas cucu botak itu datang dari mana. Kakek Seribu Pedang lalu langsung memeluk Wiro dan mereka pun tertawa penuh kegembiraan sambil meloncat-loncat. Setelah puas meloncat-loncat kegirangan, Wiro kemudian berjongkok dan berusaha melepaskan rantai yang membelenggu kedua kaki si kakek.
“Wiroo, ini kuncinya… cringg cringggg”, Yi Qi yang masih duduk di tempatnya semula, mengacungkan beberapa anak kunci yang terikat menjadi satu ke arah Wiro.
Si bocah gundul lalu berlari ke arah Yi Qi. “Ehhh… iya Ci, Wiro pantesan tadi aku coba tarik-tarik kok rantai kakek nggak mau lepas-lepas juga he he he??”.
Tangannya yang mungil kemudian meraih kunci dari tangan Yi Qi. Gadis cantik itu hanya tersenyum melihat kepolosan Wiro. “Iya dong, kalau mau buka itu ya musti pake kunci”.
“Tapi kok waktu ini Wiro buka baju Cici nggak perlu pakai kunci??”, sahut Wiro mencoba menggoda si gadis cantik.
Wajah Yi Qi langsung nampak merah merona menahan malu. Wiro mendekatkan mulutnya ke telinga Yi Qi dan kemudian berbisik pelan. Setelah itu sambil mengedipkan mata kirinya ia kemudian berbalik dan berjalan mendekati si kakek. Bocah gundul itu lalu melepaskan belengu besi yang membelengu kedua tangan dan kaki Kakek Seribu Pedang. Liu Yi Qi sendiri terlihat menolehkan wajahnya kekiri dan kekanan dengan gelisah. Untung saja tadi suara deburan ombak menyamarkan suara Wiro yang berbisik kepadanya. Setelah selesai melepaskan ikatan rantai si kakek, Wiro kembali berjalan mendekati si gadis cantik. Beberapa saat kemudian Liu Yi Qi terlihat menuntun Wiro naik ke geladak. Entah apa yang akan terjadi di dalam sana? Hanya mereka berdualah yang benar-benar mengetahuinya.
********
Malam itu bulan bercahaya penuh, sehingga membuat air laut nampak berwarna kemerah-merahan dan memantulkan bayang-bayang yang amat indahnya. Di tepi laut tampak sunyi, hanya terlihat perahu-perahu nelayan berderet-deret rapi di pinggir pantai siap untuk diberangkatkan besok pagi-pagi sebelum fajar menyingsing. Para nelayan telah mengaso karena besok pagi-pagi mereka sudah harus mulai dengan pekerjaan mereka. Di ujung barat nampak sebuah perahu besar dengan layar tergulung. Tali-temali layar nampak jelas di bawah sinar bulan pernama sebuah bendera berkibar dipuncak tiang kayu. Perahu itu diam tak bergerak dan nampak sunyi sekali. Perlahan-lahan rombongan Yi Qi turun dari atas perahu. Semuanya berjumlah 22 orang termasuk Wiro dan si kakek. Si kakek sengaja berjalan dibelakang Yi Qi agar matanya bisa dengan bebas melirik dan merayapi bokong gadis cantik itu. Tatapan mata laki-laki tua itu terlihat begitu tajam seakan-akan mencoba mengabadikan setiap goyangan tubuh molek gadis itu ke dalam sel-sel otaknya.
“Mayan, buat coli entar malem, hi hi hi hi…”, pikir Kakek Seribu Pedang dalam hati.
Kakek Seribu Pedang yang mempunyai nama asli Mbah Sentot, terlihat cengengesan nggak puguh. Berkali-kali cuping hidungnya menarik nafas dalam-dalam, sedalam yang ia bisa hanya untuk menghirup harumnya aroma tubuh Liu Yi Qi yang berjalan di depannya. Jakunnya bergerak turun naik saat membayangkan kemesuman yang fenomenal antara seorang kakek tua dan seorang gadis jelita yang tentu saja hasil sebuah rekayasa di dalam ruangan otaknya.
“SERBUUUU…!! SERANGGGGG…!!”. tiba-tiba terdengar seruan keras yang mengagetkan.
“Colokkkkkk…!!! E-ehhh…hah??!!”, Mbah Sentot berseru spontan.
(Red : waduh lagi ngehayal nyolok apaan nih si kakek??).
Mata tua Mbah Sentot memandang tajam berkeliling. Laki-laki tua berjuluk Iblis Seribu Pedang itu mengambil sikap waspada sambil melangkah perlahan mendekati Yi Qi dan Wiro. Tangan tuanya mengepal, sebuah tenaga dalam yang hebat perlahan mengaliri tangannya yang keriput. Rombongan Yi Qi kini dikurung oleh puluhan orang berpakaian serba hitam. Seorang laki-laki bermata picak melompat turun dari atas genting. Dari gerakannya dapat dipastikan kalau orang itu berilmu cukup tinggi. Dalam dunia persilatan ia biasa dikenal dengan nama Mo Gei, Si Harimau Gila, satu-satunya murid dari Lin San, kepala gerombolan perampok.
“He he he he he, selamat malam gadis manissss…”.
“Hmm, ada perlu apakah kiranya sampai tuan-tuan sekalian menghalangi perjalanan rombongan kami?”, ucap Yi Qi cetus.
“Oo, tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mencari teman, siapa namamu Nona manis??”, senyum mesum tersungging di bibir Mo Gei.
“Namaku Liu Yi Qi”.
“HA HA HA… nama yang bagus, bagaimana kalau kau menemaniku minum malam ini?”.
“Maaf, tapi aku tidak bisa minum arak, permisi…”.
Dengan halus Yi Qi menolak tawaran Mo Gei. Setelah menempelkan kepalan tangan kanan pada telapak tangan kirinya, Yi Qi memberi isyarat agar rombongannya meneruskan perjalanan.
“Eitttt… nanti dulu manis… maksudku bukan minum arak…”.
Mo Gei mencegat langkah Yi Qi. Jari telunjuk laki-laki itu hendak mencoel dagu Yi Qi, namun saat itu juga dengan sigap Wiro mendorong perut Mo Gei sehingga si mata picak terdorong sedikit kebelakang.
“Jangan kurang ajar ya….!! Di kepret siah kuaing!!”.
Mata calon pendekar cilik kita beradu pandang dengan mata Mo Gei.
“Dasar kunyuk gundul…!!”, Mo Gei memaki pendekar cilik kita.
“E-ehhh, Babon Dekil…!!”, Wiro balas memaki Mo Gei.
“Tuyul sialan…”, makian Wiro dibalas kembali oleh Mo Gei.
“Hehhh..!! Mata picak !! jangan sekali-kali kau berani menghina cucuku, Bah…!!”.
Mbah Sentot maju untuk membela Wiro. Sedang asik-asiknya acara saling maki dan caci tengah berlangsung tiba-tiba terdengar suara tawa serak. Sesosok tubuh bersalto beberapa kali di udara. Gerakannya terlihat jauh lebih ringan dari gerakan tubuh Mo Gei, Si Harimau Gila. Begitu sosok misterius itu mendaratkan kakinya, puluhan orang yang mengurung rombongan Yi Qi mendadak langsung menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah. Rupanya sosok misterius itu adalah Lim San, kepala gerombolan perampok.
“Mo Gei…”.
“Ya guru…”.
“Untuk apa kau memakai segala macam tata krama, aku sudah kedinginan sekali malam ini dan tentunya aku membutuhkan seorang teman untuk menemaniku… bawa gadis itu…!!”.
“Serangggg….!!”, langsung saja Mo Gei memberikan perintah kepada anak buahnya.
“Maju Kekkkkk….!! lawannnn….”. Wiro berteriak keras dan kemudian si bocah botak itu mundur dengan cepat.
“Mampus dah!! jangan dorong-dorong pantatku Wiro…!!”.
Kakek Seribu pedang maju menghadang seorang penyerang berbaju hitam, gerakannya terlihat agak terganggu karena Wiro mendorong-dorong pantatnya dari arah belakang. Si prajurit berbaju hitam menyabetkan cakarnya ke arah tulang iga Mbah Sentot. Si Kakek berlaku waspada, ia menggeser kaki kirinya kebelakang hingga cakaran lawan lewat di samping iganya. Mbah Sentot lalu membalikkan badan, menggeser kaki kanan ke belakang, lalu dengan tiba-tiba berbalik memajukan kaki kanan itu sambil mengayun kepalan tangan kiri keatas. Sedetik kemudian laki-laki tua itu lalu meloncat setindak ke depan dan memukul dengan tangan kanannya. Serangan ini begitu cepat datangnya dan benar-benar tak terduga. Sesosok tubuh terjungkal dengan keras dihantam pukulan si kakek. Lim San mengernyitkan keningnya. Seorang muridnya yang sudah senior dikalahkan hanya dalam sekali gebrakan. Sudah jelas sekali kalau si kakek tua itu tidak boleh dianggap enteng dan tidak boleh diperlakukan gegabah. Lim San memberikan isyarat kepada beberapa muridnya yang senior untuk ikut mengurung Mbah Sentot.
“Utssssshhhh, gelooo…!! Masa maen gangbang begini?? Oiiii, kira–kira donggg…!! Walahhhhh, Mampus dahh…Whueittttt…!!”.
Mulut Mbah Sentot komat-kamit. Dirinya kewalahan juga dikeroyok oleh Lim San dan tujuh orang muridnya yang sudah senior. Lawannya memakai pedang dan golok sedangkan dirinya hanya mengandalkan tangan kosong belaka. Si Iblis Seribu Pedang lalu terlihat tertawa mengakak seperti orang gila. Tubuhnya berkelebat dengan cepat menggedor dada seorang murid Lim San yang tidak waspada. Dengan cepat kemudian tangan Mbah Sentot merebut pedang di tangan orang yang roboh dengan darah bersemburan dari mulutnya tadi. Pukulan-pukulan dan tusukan-tusukan dilakukan dengan gerakan-gerakan mematikan! Lengah sedikit saja maka akan putuslah nyawa lawan. Suara dentingan pedang yang saling beradu diselingi oleh suara jerit kematian yang mengerikan, korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.
“Wiroo awasss… tranggggg…!!”.
Liu Yi Qi menangkis sabetan pedang yang mengarah ke leher Wiro. Kemudian pedang di tangan Yi Qi langsung membabat dengan cepat ke arah pinggang si penyerang yang langsung roboh berkelojotan merenggang nyawa. Wiro sendiri jatuh duduk di samping mayat seorang wanita gemuk.
“Bukkkk…!! Ahhhh…”. Mo Gei tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia mempergunakan kesempatan emas ini untuk memukulkan ujung tongkatnya ke pergelangan tangan Yi Qi.
Gadis cantik itu mengeluh dan pedang ditangannya terlepas terlempar ke udara. Saat itu Liu Yi Qi merasakan kesakitan yang luar biasa.
“Ha ha ha ha… kau milikku gadis manis…”
Jari Mo Gei mengarah untuk menotok jalan darah Yi Qi. Disaat yang genting itulah dengan kecepatan luar biasa Wiro menyerudukkan kepalanya yang botak ke arah selangkangan Mo Gei. Sebenarnya Mo Gei adalah seorang jago silat kawakan, namun ia terlalu gegabah dan memandang remeh pada si botak yang nekatnya setengah mati. Akhirnya Mo Gei terpaksa menerima kenyataan pahit, totokannya gagal total malah kini selangkangannya yang “ditotok” oleh kepala si bocah gundul.
“Jedakkkkkk…!! OWAHHHH…!! PECAHHHH…!!”.
Saat tubuh Mo Gei terbungkuk dan wajah buruknya maju kedepan, Liu Yi Qi mengeluarkan jurus tingkat Pertama Istana Suci bernama Jurus Dewi Rembulan Menghantam Bumi. Tubuh Yi Qi bergerak indah seperti sedang menari. Telapak tangannya bergerak cepat membentuk lingkaran kemudian menghantam kedepan. Sebuah pukulan telapak tangan yang berisi tenaga dalam tingkat tinggi menghantam tepat di wajah Mo Gei. Tiga buah gigi depan laki-laki bermata picak itu rontok dan hidungnya patah terkena pukulan telapak tangan Liu Yi Qi.
“HUAKHHH…!!”.
Mo Gei memegangi kepalanya yang terasa dingin. Rasa dingin itu terus menjalar menyelimuti dari kepala turun tubuhnya hingga ia menggigil kedinginan. Nafasnya terasa berat dan semakin sesak. Mulut Mo Gei termegap-megap berusaha mengambil udara yang sedikitpun tidak mampu untuk dihirup oleh hidung dan mulutnya. Yang ada kini Mo Gei terlihat tersengal-sengal.
“Ha Ha Ha HA.. Whut… Whutttt…!!”. Kakek Seribu Pedang tertawa ngakak.
Pedang di tangannya mengebut kesana kemari dalam Jurus Ombak Pedang Menyapu Pantai. Lima kali suara jeritan terdengar mengerikan saat pedangnya berkelebat dengan cepat. Suaranya pedang ditangan Mbah Sentot mirip seperti suara gulungan ombak yang sedang mengamuk menyapu pasir dipantai. Dua jeritan kematian segera menyusul. Lim San terlihat kewalahan menghadapi serangan Iblis Seribu Pedang alias Mbah sentot.
Dalam lima jurus pedang saja Mbah sentot sudah mampu mempecundangi Lim San. Pedang ditangan si kakek mengebut ke arah leher. Saat Lim San melompat kebelakang, Mbah sentot melancarkan Jurus Tendangan Kaki Iblis Dari Neraka.
“Arrrggghhhh…!! BRAKKKKKK…!!”.
Tubuh Lim San melabrak jendela. Mbah Sentot sama sekali tidak mengendurkan serangan. Kakek tua itu pun ikut menerjang masuk.
“Whuahhhh??!! Whewwww… ceglukkkk, alamakkkk…”.
Mata Si kakek melotot pada sesosok tubuh mulus yang terlentang di atas ranjang tanpa selembar benangpun dalam keadaan tertotok. Beberapa bekas gigitan menghiasi gundukan buah dadanya. Mbah sentot segera menangkap apa yang telah dilakukan oleh Lim San dan gerombolannya terhadap gadis cantik itu.
“Keparat… Hearrrghhhhh…!!”.
Dengan geram Mbah sentot melemparkan pedang ditangannya kearah Lim San yang berdiri limbung. Sebuah jeritan keras mengakhiri nyawa–nya.
“Jangan takut… aku tidak akan melukaimu, tokkkk tokkk…”
Mbah Sentot melepaskan totokan ditubuh gadis muda itu. Seiring dengan lepasnya totokan ditubuhnya gadis cantik itu langsung meringkuk ketakutan. Isak tangisnya semakin keras terdengar. Mbah sentot kemudian membalikkan tubuhnya mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuh mulus gadis itu.
“Kekkkk, Wiro datang Kekkkk…”.
“Hahhh?? J-Jangannn, nggak usahhh…”.
Wiro menerobos masuk, ia tercenggang.
“WIROOO… Keluar…!! Kamu belum cukup umur buat liat yang bening-bening…”, Mbah Sentot mengusir Wiro keluar.
“Kalian berdua KELUARRRR…!! Dasar laki-laki…”, Liu Yi Qi menyusul masuk kemudian menjewer kuping si kakek dan Wiro sekaligus.
Yi Qi menarik kuping Mbah Sentot dan Wiro keluar kemudian ia membalikkan tubuhnya masuk ke dalam membantu gadis muda itu untuk berpakaian. Mbah sentot mondar mandir dengan tidak sabaran, mirip seperti orang yang sedang menantikan kehadiran si jabang bayi. Cuma ini bedanya Kakek Seribu Pedang tengah menanti kehadiran seorang gadis cantik yang sempat mencuri hatinya. Wajah si kakek tampak cerah saat Yi Qi memapah seorang gadis cantik yang kini sudah berpakaian lengkap.
“Sini Kakek bantuu….”, Mbah sentot menawarkan jasa baiknya. Ia mengambil posisi membungkuk seperti orang yang akan bersiap-siap untuk menggendong.
“Aduhh kakek baik dehh, Wiro emang udah cape nihhh…”.
Wiro melompat ke punggung Mbah Sentot. Bibir Mbah Sentot langsung meruncing. “Bukan ini maksudnya, bukan ini yang mau digendong…!! Sama sekali bukan yang iniiiiiiiii…!!!”.
“Ya sudah, kalau begitu biar Wiro di gendong kakek aja yaaa…”.
Liu Yi Qi mengelus kepala Wiro yang rebahan di pundak Kakek Seribu Pedang. Dengan manyun si kakek pun dengan terpaksa menggendong Wiro. Akhirnya, gadis manis itu pun ikut ke dalam rombongan Liu Yi Qi. Selama perjalanan Mbah Sentot terus berusaha untuk mencari-cari kesempatan agar dapat berkenalan dengan gadis cantik itu. Setelah berjuang ekstra keras dan pantang menyerah, si kakek pun akhirnya mengetahui kalau gadis manis itu ternyata bernama Xiao Ching. Segala kesempatan sesempit apapun Mbah Sentot berusaha untuk terus mendekati Xiao Ching. Sering kali si Kakek Seribu Pedang menghibur hati Xiao Ching yang masih shock akibat perkosaan yang dialaminya. Lama-kelamaan hubungan keduanya nampak semakin akrab.
********
Saat keduanya sedang berjalan-jalan berduaan di malam yang indah.
“Kek Ngentot berasal dari daerah mana?? Tampaknya kakek bukan orang sini ya??”.
Wajah si kakek langsung memerah mendengar kata-kata polos Xiao Ching tadi, “Walahhhh?? emm, a-anuu Nona Xiao Ching, nama saya Sentot, b-bukan Ngentot… it-ituhh artinya lain”.
“Artinya lain?? Apa artinya Kek??”.
“Ehh, itu, kurang baik emm, kurang…begitu… begitu”, Mbah Sentot nampak kebingungan memberikan jawaban atas pertanyaan gadis cantik tersebut.
“Maaf saya kurang mengerti maksud kakek…”.
“Sini saya bisikin…”, Mbah Sentot mendekatkan mulutnya ke telinga Xiao Ching, “Nah itu tuh artinya…”.
“Ahhhh !! m-maaf, maaf, saya sungguh tidak tahu.., maaf…”.
Kini giliran wajah cantik Xiao Ching yang merona merah karena jengah. Sedangkan wajah Kakek 1000 pedang sendiri juga masih terlihat merah padam karena menahan birahi. Bagaimana tidak, kini dirinya sedang berduaan dengan seorang gadis berparas cantik luar biasa dan memiliki tubuh sintal bak seorang bidadari. Mencium aroma wangi tubuh Xiao Ching saja sudah mampu membangkitkan hasrat terliar dari simpul syaraf otaknya, apalagi jika dirinya bisa menyentuh permukaan kulit sang gadis yang terlihat sedemikian mulus dan halus bak pualam.
“Me… memang Nona Xiao Ching be… benar tidak tahu??”, si kakek berucap terbata-bata memecah kebisuan diantara mereka.
Si Gadis hanya menunduk malu sambil memainkan jari-jari tangannya sendiri. Wajahnya masih terlihat merah merona. Perlahan gadis cantik itu menggelengkan kepalanya. Melihat tingkah Xiao Ching yang masih malu-malu, semakin menstimulus otak mesum Mbah Sentot dengan birahi tingkat tinggi. Laki-laki tua itu nampak menelan ludah beberapa kali sebelum melanjutkan kata-katanya.
“Nona Xiao Ching, be… belum pernah gi… gituan ya?”, Si kakek tua langsung memalingkan wajahnya begitu selesai mengucapkan kata-katanya tersebut. Sebagai seorang laki-laki tua berotak mesum berpengalaman, rupanya ia mencoba memakai gaya jinak-jinak kuda liar menghadapi Xiao Ching yang baru beberapa hari dikenalnya ini.
“Gituan Kek?? Mak… maksudnya??”.
Entah benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, tapi gaya polos Xiao Ching membuat Si Kakek Seribu Pedang semakin salah tingkah.
“Hhhmm… gi… gimana ya Nona Xiao Ching, saya juga bingung menjelaskannya”, sejenak Mbah Sentot berdiam. Agaknya ia memikirkan bagaimana caranya mengungkapkan maksud kata-katanya dengan jelas namun dilain pihak ia mencoba agar si gadis tidak tersinggung dibuatnya. “Gini lo, maksud saya, Nona Xiao Ching pernah beginian…??”.
Kali ini Mbah Sentot menggunakan isyarat tangan untuk mengungkapkan maksud hatinya. Ia memasukkan jempol jari tangannya diantara jari tengah dan jari tengah, kemudian mendorongnya keluar masuk. Xiao Ching rupanya tidak benar-benar sepolos yang diduga Mbah Sentot, karena melihat isyarat tangan tersebut wajah si gadis cantik kembali nampak memerah. Ia langsung menundukkan kepalanya, seolah-olah mengerti apa maksud yang ingin disampaikan oleh si kakek. Kakek Seribu Pedang benar-benar tidak menyangka melihat ekspresi wajah Xiao Ching. Rupanya ia mengira kalau si gadis akan marah atau paling tidak tersinggung melihat isyarat tangannya tadi. Akhirnya laki-laki tua itu mulai memberanikan diri untuk melancarkan rayuan mautnya ke tingkat yang lebih jauh.
“Per… pernah Nona Xiao Ching…??”, sedikit senyuman mesum tersungging di bibir Mbah Sentot, sikakek pura-pura bodoh, ngak ngeh, atas kejadian apa yang pernah dialami oleh Xiao Ching saat gadis itu menjadi korban keganasan Lim San dan gerombolannya.
Dengan gaya jinak-jinak merpati, Xiao Ching tetap menundukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian tanpa diduga dan tanpa disangka, gadis cantik itu justru menganggukkan kepalanya.
“DUUAAR…!!!”, hati si Kakek 1000 Pedang langsung berbinar bak tersengat listrik ribuan volt. Saking bahagianya, kakinya kini seperti melayang tak menginjak bumi. Bagaimana tidak berbahagia? Mendengar kenyataan bahwa Xiao Ching ternyata telah “berpengalaman” tentunya akan lebih mudah bagi dirinya untuk mewujudkan fantasi liarnya ketimbang apabila si gadis ternyata masih perawan. Dengan sedikit jurus-jurus yang tepat, si kakek yakin bisa merasakan kehangatan tubuh molek Xiao Ching sebagaimana diimpi-impikannya sejak pertemuan pertama.
“Jadi be… beneran pernah Nona Xiao Ching?”, si kakek rupanya masih merasa perlu untuk mengkonfirmasi arti anggukan kepala si gadis tadi.
“Aaaah… kakek!!! Saya kan maluuuu…”, Xiao Ching hanya tersenyum kecil dengan wajah yang masih tertunduk. Kini kedua tangan gadis cantik itu terlihat mengusap-usap kedua pahanya. Sebuah perbuatan yang justru kian memancing birahi si kakek tua.
Tangan si kakek kemudian menyentuh tangan si gadis cantik. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, wajah Xiao Ching dan Mbah Sentot saling mendekat. Tangan keriput Mbah Sentot melingkari pinggul Xiao Ching. Cuping hidung sang kakek terlihat kembang kempia. Dalam jarak sedekat ini si kakek dapat mencium aroma wangi yang lembut menggairahkan. Perlahan Mbah Sentot merengkuh tubuh mungil Xiao Ching kedalam pelukannya.
“Mmmmmm-hhh…!!”.
Xiao Ching mendorong dada Mbah Sentot saat bibirnya hendak dikecup oleh si kakek. Keduanya saling menatap dengan tatapan sayu. Xiao Ching menarik mundur wajahnya saat Mbah Sentot mengejar kembali bibirnya. Darah muda Xiao Ching memanas saat Mbah Sentot memeluk tubuhnya semakin erat. Akhirnya setelah terus berusaha bibir Mbah Sentot berhasil melumat lembut bibir Xiao Ching hingga si gadis gemetar dalam sebuah kehangatan yang menghanyutkan.
Kakek Seribu Pedang memeluk erat saat si gadis berontak termegap berusaha keluar dari jerat nafsunya. Perlahan Kakek Seribu Pedang menarik dan membaringkan Xiao Ching dibalik rimbunnya semak-semak diantara dua pohon besar yang menaungi. Hanya suara nafas Xiao Ching saja yang terdengar saat Kakek Seribu Pedang mulai beraksi menelanjangi tubuh-nya. Mata Mbah Sentot melotot ketika pakaian terakhir terlepas dari tubuh si gadis. Tangannya mulai merayap, menjamah dan mengusapi kedua paha Xiao Ching.
“Snifffhhh… snifffffhhh hhhhhh hhhhhhh”.
“Kekk, aku… akuuu ahhhh…”.
“Kau cantik sekali Nona Xiao Ching… cupphh cupphhhh”.
Berkali-kali tubuh Xiao Ching menggelepar diatas hamparan pakaiannya sendiri yang terbuat dari kain sutra, saat kecupan-kecupan gencar Mbah sentot mendarat diperutnya dan terus menjalar keatas. Tubuh Xiao Ching tersentak saat lidah Mbah Sentot menjilat induk payudaranya sebelah bawah. Bagaikan orang kesetanan Mbah Sentot mencumbui sepasang bukit putih yang membuntal padat karena terangsang dengan bernafsu.
“Auhhh, hsssshhhh kak… khekkkk… ahhh”.
“Nyottttt… nyootttt… nyootttttt”.
Mulut Mbah Sentot mencapluk puncak payudara Xiao Ching. Dikemut-kemutnya puncak buah dada Xiao Ching yang wangi. Lidah Mbah Sentot menari melingkari puting susu Xiao Ching yang sudah sangat mengeras. Terdengar suara rintihan tertahan saat Mbah Sentot menggigit tonjolan kecil buah ranum di dada Xiao Ching.
“Ohhh… kekkkk… nnhhhh… auhhh hssshh hssshhh”.
Xiao Ching memberi ruang lebih saat Mbah Sentot memburu lehernya yang jenjang. Ia mendesis-desis menikmati cumbuan seorang kakek tua berwajah buruk yang begitu lihai mencekokinya dengan kenikmatan yang membuat darah mudanya mendidih. Tubuhnya menggeliat-geliat resah di bawah tindihan tubuh seorang laki-laki yang usianya sudah senja. Mbah Sentot melumat bibir Xiao Ching yang sedikit merekah. Cukup lama sang kakek mengulum dan memanguti bibir si gadis hingga Xiao Ching semakin terlena dan memasrahkan tubuhnya untuk dinikmati.
“Oughh, nona xiau chinggg, muachh cuppp…”.
Mbah sentot mengecup bibir Xiao Ching kemudian cumbuannya merayap turun melewati dada dan perut, terusss turun semakin kebawah. Mbah Sentot membeliak saat kedua kaki Xiao Ching menekuk mengangkang pasrah mempertontonkan kemolekan wilayah tubuhnya yang terintim.
“Nnnnggguhhh… hssshhh hsssshhh hsssshhh…”.
Xiao Ching terus melenguh dan mendesah. Kecupan-kecupan Mbah Sentot semakin gencar mencumbui wilayahnya yang terintim. Si gadis tak sanggup lagi menahan jeritan kecilnya saat lidah si kakek mulai mengulasi bibir vaginanya yang sudah becek. Perlahan jari Mbah Sentot menyibakkan bibir vagina Xiao Ching. Dijilatinya lelehan cairan gurih yang beraroma khas yang keluar dari dalam lubang kenikmatan tersebut.
“Sllccck ckkk slllccckkk ck ckk sllccckkk”.
Suara decakan mulut Mbah Sentot berbaur dengan desah gelisah Xiao Ching. Jilatan-jilatan lidah Mbah Sentot yang basah dan hangat terasa menggelitik dan semakin menaikkan gairah kewanitaannya. Tubuh Xao Ching menggelepar keenakan saat Mbah Sentot dengan telaten mengemut-ngemut vaginanya.
“Ohhhh….?”.
Xiao Ching menelan ludah saat Mbah Sentot berdiri dan melepaskan pakaian di tubuh rentanya. Sebuah benda mengacung perkasa di selangkangan si kakek. Benda panjang besar itu turun dan menggesek belahan vagina si gadis manis. Nafas Xiao Ching terdengar semakin deras saat Mbah Sentot menekankan ujung penisnya. Kepala kemaluan si kakek berjuang keras untuk memasuki himpitan liang Xiao Ching yang masih peret.
“Enn-nhhhh, nhhhh… Auhhh…”.
Suara rintih dan keluhan Xiao Ching terdengar menggairahkan saat perlahan-lahan kepala kemaluan Mbah Sentot amblas memasuki belahan liang vaginanya. Si kakek melotot menikmati jepitan otot vagina Xiao Ching yang “menggigit” kuat leher penisnya.
“Kekk sent… thottt… afffhhh”.
“Ouggh, Xiao Chinggggg…”.
Xiao Ching gelisah karena kepala kemaluan si kakek menyesaki liang mungilnya. Ia sulit menggerakkan tubuhnya bagian bawah yang ditancap oleh batang si kakek. Sementara Mbah Sentot meringis keenakan saat liang vagina Xiao Ching seperti sedang meremas-remas kepala penisnya yang peka terhadap sentuhan.
“Aaa… Ahhhh… aaahhh… aaaaa…”.
Beberapa tusukan kuat membuat buah dada Xiao Ching terguncang-guncang hebat. Batang Mbah Sentot semakin dalam tenggelam ke dalam liang vagina Xiao Ching. Mata Mbah Sentot menikmati gerakan buah dada Xiao Ching yang terguncang indah. Suara rintihan saling berganti dengan suara pekik kecil saat batang di selangkangan Mbah Sentot bergerak keluar masuk mengocok-ngocok liang vagina mungil milik si gadis.
“Aaaaa… crruttt currtttt… crutttt…”.
Dengan wajah yang renyah Xiao Ching nyengir merasakan semburan puncak klimaks. Cairan kewanitaannya meleleh dalam kenikmatan yang membuat detak jantungnya berdegup-degup dengan keras. Mbah Sentot menindih sambil tetap membenamkan batangnya dalam-dalam hingga selangkangannya mendesak selangkangan Xiao Ching. Tangan si kakek membelit tubuh Xiao Ching, kemudian sambil menghempas-hempaskan batang penisnya menumbuki belahan liang vagina si gadis. Mbah Sentot mengecupi bibir Xiao Ching yang berdesahan. Gairah keduanya semakin membara saat Xiao Ching mulai berani membalas pangutan dan kuluman Mbah Sentot. Seorang kakek tua tampak asik menikmati kemudaan dan kemulusan tubuh seorang gadis cantik jelita yang berpeluh, sungguh pemandangan yang aneh bagi mereka yang melihatnya. Untuk sesaat Xiao Ching menahan pinggul Mbah Sentot karena tak sanggup menahan nikmat akibat tumbukan-tumbukan keras penis si kakek.
“Sakit??”.
Mbah Sentot menghentikan gerakan kasarnya. Dengan khawatir si kakek bertanya pada Xiao Ching, sebuah senyum mengembang lebar saat Xiao Ching menggelengkan kepala kemudian tersenyum, sambil mengalungkan kedua tangannya pada leher si kakek.
“Cleppp Pefffhh Peppphhh… cleppppphhh”.
Senyum Xiao Ching tadi seolah-olah menjadi lampu hijau. Dengan gencar Mbah Sentot menembakkan batang penisnya. Tubuh Xiao Ching terdesak-desak dibawah tindihan Mbah Sentot. Keringatpun membajiri tubuh keduanya. Mbah Sentot memeluk Xiao Ching dengan erat. Gerakan penisnya semakin liar mengocok-ngocok dan mengaduk-aduk kasar. Tiba-tiba tak beberapa kemudian Xiao Ching memekik dan Mbah Sentot mengeluh panjang.
“Aaaawhhh crrutttt… cruutttt…”.
Mata sipit Xiao Ching membeliak. Vaginanya berkedutan dengan nikmat. Nafasnya berdengusan tanpa dapat diatur dan pandangannya terasa sedikit nanar saat cairan vaginanya membanjir. Batang besar Mbah Sentot masih beraksi dengan ganas memompa liang vagina Xiao Ching yang becek hingga menimbulkan suara berdecakan yang keras.
“Cleppp CLEPPP… CLepppp… Cleppphhhh… HH… peefffhhh”.
Selama ini Mbah Sentot di kurung di dalam penjara yang gelap dan dingin. Hari ini kebuasan-nya bebas sebebas-bebasnya menikmati tubuh mulus seorang gadis berkulit putih dan berparas jelita sehingga membuat si gadis kewalahan menghadapi keganasan si kakek. Sambil mencumbu Mbah Sentot merayu Xiao Ching agar bersedia naik keatas tubuh tuanya yang terlentang pasrah. Dengan malu Xiao Ching menuruti keinginan Mbah Sentot.
“Ssshhhhhh ssssshhhhhh…”.
Xiao Ching mendesis saat mengusahakan vaginanya agar tetap masih mampu menerima batang Mbah Sentot. Wajahnya yang jelita terangkat keatas saat ia menurunkan pinggulnya kebawah. Perlahan batang besar Mbah Sentot amblas memasuki belahan vagina Xiao Ching yang sudah memar kemerahan. Untuk menjaga keseimbangan jemari Xiao Ching saling bertautan dengan jari Mbah Sentot.
“Ahhh aaaa ahhh ooohhhh…”.
Liang vagina Xiao Ching menjepit kuat batang penis Mbah Sentot yang menyentak-nyentak keatas. Saat penis panjang Mbah Sentot menusuk ke atas. Xiao Ching menyambut dengan menekankan vaginanya ke bawah hingga batang panjang itu amblas semakin dalam. Indahnya rembulan menjadi saksi gerakan dua anak manusia berbeda generasi yang tengah mencari kenikmatan tersebut. Lelehan peluh kian deras mengucur tiada henti hingga akhirnya terdengar suara keluhan tertahan dari mulut keduanya.
“Ennnhhh… cruuuutt cruttttt… cruttt… ohhhhhhhhh”.
“Ouuggghh kecrotttt croottt crooottthhh arrrgghhh..!!”.
Mbah Sentot menggulingkan tubuhnya dan tidur terlentang. Sementara Xiao Ching merebahkan kepalanya di dada si kakek. Tidak terdengar lagi suara pekik dan rintihan lirih si gadis. Yang ada hanya suara helaan nafasnya yang semakin teratur saling membalas dengan suara helaan nafas Mbah Sentot. Si kakek tersenyum puas sambil memeluk tubuh Xiao Ching. Betapa nikmatnya terlentang di negeri orang, begitulah pikiran Iblis Seribu Pedang sambil tangannya menggerayang mengelus punggung dan pinggul Xiao Ching. Ditengah matanya yang tertutup, sekilas terlihat Xiao Ching juga tersenyum, Sebuah senyuman penuh arti.
TAMAT…