KOPI DARAT

Kopi darat pasangan online, yang sebelumnya sudah menyiapkan skenario “pelacur dan kliennya”.

DISCLAIMER
* Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca.
* Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan.
* Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata.
*Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan.
* Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun.

Diadaptasi dari beberapa sumber lain, terinspirasi beberapa kawan online.

Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca.

Kopi Darat
Ninja Gaijin

Setelah mematikan mesin mobil, kulirik jam di dasbor. Masih ada sejam lebih sebelum waktu yang dijanjikan. Lumayan, soalnya menyetir ke kota ini bisa lama kalau kena macet di jalan. Kalau lebih awal, ada waktu untuk berdandan dan mungkin minum dulu di kafe hotel.

Hotel J ini agak sepi karena sekarang bukan musim liburan. Kebanyakan tamu yang terlihat itu bapak-bapak berpakaian formal. Mungkin sedang ada konferensi atau semacamnya. Kadang aku ikut acara-acara seperti itu juga di kantorku. Rapat atau konferensi di luar kota. Aku juga tahu kadang teman-teman kantorku memanfaatkan kesempatan “jalan-jalan ke luar kota” itu untuk “jajan-jajan”. Luar kota memang lebih aman. Lebih kecil kemungkinan kepergok kenalan kalau mau berbuat macam-macam. Ironis ya. Aku sendiri janjian dengan pacar online-ku di kota ini, bukan kota tempat tinggal kami berdua, justru karena alasan itu: takut ketahuan!

Umurku 29 tahun—dengan status menikah, tapi pernikahanku bermasalah dan aku sudah pisah rumah dengan suamiku. Masalahnya? Kalau di luar kami bilang “tidak ada kecocokan” tapi sebenarnya masalahnya fisik, aku tak bisa dipuaskan oleh suamiku. Sesudah bertahun-tahun kehidupan seks tak bahagia, akhirnya aku tak tahan. Kami juga tak punya anak jadi tak ada beban ketika aku memutuskan menggugat cerai. Sekarang prosesnya sedang jalan. Dan tubuhku terus menginginkan kepuasan. Makanya aku cari-cari kesempatan.

Aku sudah pacaran di dunia maya dengan Marlon selama beberapa bulan. Dia sedikit lebih tua dariku, menjelang 40, pernikahannya tanpa cinta. Yang kami berdua cari itu sama: hubungan tanpa komitmen, sekadar mencari teman melampiaskan nafsu dan fantasi. Sesudah berbulan-bulan hanya kontak di internet dan sesekali telepon, akhirnya kami memutuskan untuk ketemuan. Aku dan Marlon beda kota, jadi kami bikin janji ketemu di kota ini, setengah jalan antara kotaku dan kotanya, tempat aman buat berdua, soalnya kami sama-sama khawatir bakal kepergok kalau berkencan di kota tempat tinggal.

Di internet memang aku pasang profil palsu yang bikin banyak cowok tertarik berkenalan. Tapi sebagian besarnya payah, sok pengalaman atau tidak sabaran. Banyak yang jomblo horny, yang belum apa-apa langsung minta no HP, minta ketemuan, sampai minta gituan. Semuanya dicoret. Ada beberapa yang menarik. Tapi aku akhirnya dekat dengan Marlon. Dia sebenarnya nggak ganteng. Tampangnya malah agak seram. (Itu kalau foto profilnya asli, ya). Cara bicaranya bisa kasar dan mesum. Jadi apa menariknya? Justru itu. Marlon terang-terangan bilang bahwa dia ingin kuasai aku, mendominasiku, memakaiku buat memuaskan nafsunya. Dan sebenarnya itu yang kucari-cari dari laki-laki. Suamiku terlalu pasif dan penakut, tidak pernah mengerti mauku.

Ide “gila” kami untuk kopi darat adalah bukan bertemu seperti orang pacaran. Marlon mengarahkanku untuk ikut skenario yang dia bikin. Aku akan ketemu dia di hotel, dengan berpenampilan seperti pelacur. Dia akan “booking” aku, dan aku harus melayani dia, mengikuti semua kemauan dia, hanya memuaskan nafsunya. Jadi buat persiapannya dia sudah mengatur cara berpakaianku.

Dan dia cukup rinci. Dia minta aku siapkan sejumlah pakaian yang menurutnya pas untuk peranku. Bra hitam berenda yang seksi. Kemeja tipis menerawang warna putih. Rok pendek. High heels 15 cm yang bikin pantatku menonjol waktu berdiri sambil memakainya. Anting-anting berbentuk lingkaran yang besar.

Aku sudah pernah mencoba memakai semua itu di depan webcam untuk dia lihat. Dia juga mengajariku cara berjalan dengan memakai high heels, jalan seksi, langkah kaki sedikit saling silang, sehingga pinggulku goyang-goyang. Dia bikin videonya ketika aku praktek jalan seperti itu membelakangi dan menjauhi webcam, lalu dia tunjukkan ke aku. Aku geli sendiri melihat pantatku bergeal-geol menggoda dia, sambil bangga karena Marlon mengaku dia ereksi ketika menonton goyangan pinggulku. Sayang aku sampai sekarang belum juga melihat dengan jelas wajahnya, karena webcam dia kurang jelas. Foto profil yang dia pakai juga itu-itu saja.

Waktu keluar dari mobil, aku sadar permainannya sudah mulai. Rasanya beda sekali dengan di depan komputer, di dalam rumah sendiri. Biarpun pakai kemeja transparan (ditutup jaket), rok mini, dan high heels, aku rasanya seperti telanjang waktu jalan dari tempat parkir ke pintu depan hotel. Pintu dibukakan pegawai yang bertanya sopan apa aku bawa barang yang perlu dia angkut, tapi aku bilang tidak ada. Dia mungkin tidak sadar, tapi aku bisa lihat matanya melotot. Aku deg-degan sendiri karena merasa mungkin aku bikin dia berpikir jorok. Muncul sepintas keinginan untuk pulang saja. Tapi sayang rasanya. Sudah sejauh ini.

Aku langsung ke lobby tanpa mampir ke meja resepsionis, padahal resepsionisnya sudah menyapa ramah “Ada yang bisa saya bantu?” Beberapa laki-laki di dekat resepsionis melihatku. Di depan lobby ada papan tanda dengan ucapan selamat datang buat peserta beberapa acara. Hotelnya selalu ramai untuk konferensi.

Jam 2 siang. Jam orang mulai check in. Lobby cukup ramai. Aku masuk lobby sambil berjalan seksi seperti yang diajarkan Marlon. Terasa ada orang-orang yang menatapku. Tujuanku toilet perempuan di seberang lobby. Di sana kulihat wajahku di cermin. Kupulas bibirku lagi dengan lipstik merah terang lalu kutambah gloss. Kusisir rambutku yang sebahu, supaya agak megar. Sambil melihat wajahku di cermin, aku sadar, aku sebenarnya bisa juga. Di luar kota tempat tinggalku, aku bisa saja berubah jadi PSK. Dan asyik juga rasanya dipandangi pakai nafsu…

Aku keluar dari toilet dan menuju bar di lobby. Di sana dan di dekatnya ada beberapa laki-laki, berpakaian santai. Beberapa kelihatannya memperhatikan aku masuk, lalu mencolek temannya untuk melihatku juga. Aku duduk di kursi paling ujung di depan bar. Bartender memberiku segelas minuman. Waktu mau kutolak, dia bilang itu welcome drink, gratis. Kubayar dia dengan senyum menggoda.

Salah satu laki-laki yang duduk di depan bar mendekat dan pindah duduk ke sebelahku. Basa-basi sebentar, dia ngajak kenalan. Lumayan gagah, umur 40-an, kepalanya botak. “Iskandar,” katanya, memperkenalkan diri.

”Krista,” kupakai nama samaran yang sudah kupersiapkan. Dia bertanya aku sedang ada urusan apa. Kujawab ada janji dengan klien.

”Kalau nggak keberatan, nanti sehabis urusan kamu dengan klien itu selesai, gimana kalau kita sambung lagi obrolannya? Saya tahu ada tempat makan yang pemandangannya indah dekat sini.”

“Makasih, kedengarannya asyik. Tapi saya mau pulang sesudah urusan dengan klien saya. Maaf ya.”

Kelihatannya semua orang di bar memperhatikan aku. Mungkin yang lain iri karena tidak seberani si Iskandar mengajakku kenalan? Iskandar sendiri tidak langsung pergi sesudah kutolak, malah mengajak ngobrol lebih lama, sambil matanya menatap ke arah dadaku dan pahaku.

Saat itu kulihat seorang laki-laki jangkung menuju ke arahku. Aku sudah pernah lihat fotonya. Itu Marlon. Dia kelihatan lebih tua dan gempal dibanding fotonya, tapi aku rasa itu benar dia karena begitu masuk dia langsung menatapku dan jalan ke arah aku. Kulempar senyum lebar ke arah dia.

“Sudah ya,” aku memotong obrolan dengan Iskandar, “Aku mesti ketemu klienku.”

Iskandar menoleh dan melihat Marlon mendekatiku. Dia langsung mundur dan pergi, sambil senyum ke arah kami.

“Kursi ini kosong kan?” tanya Marlon menunjuk kursi yang tadi diduduki Iskandar.

“Kosong. Silakan,” kuminta dia duduk. “Baru datang, ya?”

“Saya memang baru check in,” kata Marlon, dengan nada formal. Wajahnya kelihatan serius dan bicaranya seperti orang yang tidak akrab. Lalu aku ingat lagi skenario yang kami siapkan. Kami bukan bertemu sebagai teman.

Bartender menyuguhkan welcome drink untuk Marlon. Aku jadi kagok sendiri, tidak tahu harus apa. Dia memandangi aku, menghindari kontak mata. Akhirnya dia melanjutkan percakapan. “Kebetulan ke sini … mau nyari hiburan.”

Kubalas dengan menyentuh dan mengelus-elus tangannya yang ada di atas meja, sambil memberi dia senyum genit. Rasanya dengan penampilanku seperti ini, aku sudah pas masuk ke skenario kami. “Bisa kok…” bisikku, agak malu-malu karena aku tidak tahu apa pelacur betulan akan bicara seperti itu.”

“Masnya sukanya yang gimana?” sambil aku mencolek genit lengan Marlon.

“Sukanya yang bisa semuanya. Kamu bisa?” Marlon menjawab.

“Bisa dong Mas. Apa sih yang ngga bisa buat Mas…” Aku merasa badanku panas, karena mulai terbawa permainan, seolah-olah kembali ke kegenitanku ketika chatting dengan dia. Mulai asyik!

“Beneran? Kalau gitu bisa…” Tiba-tiba tangannya mengelus pahaku.

”Ehh… Mas dilihatin orang lho…” Aku malu, tapi berusaha menahan.

“Biarin aja… Kamu udah biasa kan?” katanya sambil mengeluarkan dompet dan uang 500 ribu dari dalamnya, lalu dia menaruhnya di depanku. “Kan aku bayar kamu.”

Marlon tersenyum. Aku ingat, minggu lalu waktu chatting dia juga ngomong begitu, “nanti aku bayar kamu.”

“Segini cukup kan?” dia lanjutkan, “Aku bisa kasih lebih asal kamu ikutin mauku. Aku ada rapat jam lima sore nanti, tapi boleh juga kamu temenin dulu sambil nunggu.”

“…Iya Mas,” jawabku ragu.

“Nama kamu siapa?”

“Krista,” kusebut nama samaranku. Selama ini dia kenal aku dengan nama asliku, Afda. “Namaku Alvin.” Dia juga pakai nama samaran rupanya.

“Oke. Mulai sekarang kamu baru boleh ngomong kalau kusuruh ngomong. Ngerti?” Aku mengangguk, dalam hati deg-degan karena permainan ini akhirnya mulai. Dia menghayati sekali perannya.

“Ayo ikut.” Dia mengantongi lagi uangnya, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan bar. Aku mengikuti dia, ke arah lift. Ketika menunggu lift, kurasakan dia memegang-megang pantatku. Tadi juga waktu kami jalan ke lift, orang-orang melihat kami.

Di dalam lift, dia makin berani. Dia angkat sedikit rokku sehingga setengah pantatku tidak tertutup. Aku coba turunkan lagi rokku untuk mengurangi rasa malu.

“Stop. Jangan sentuh rok kamu.” Aku mau memprotes, tapi tadi dia sudah melarangku bicara, jadi aku diam saja. Lagipula dia menahan tanganku.

Kami sampai di lantai 7. Waktu pintu lift terbuka, dia mendorongku pelan keluar lift dengan mencengkeram pantatku. Tidak ada yang dia bilang, tapi dia langsung belok kanan, aku mengikuti dia. Pastinya mau ke kamar. Kamar hotel dia… Sebentar lagi aku akan masuk ke kamar hotel pacar online-ku, pertemuan pertama di dunia nyata sesudah sebelumnya kami begitu mesra dan nakal di dunia maya. Aku yang sehari-hari perempuan baik-baik dan santun, sekarang jadi pelacur nakal yang mau melayani orang yang baru pertama kali kutemui.

Begitu masuk ke kamar hotelnya, Marlon langsung menuju jendela. Kulihat televisi kamar menyala, dan rupanya hotel ini menyediakan tayangan film porno: pasangan yang sedang bersetubuh di atas sofa. Tadinya Marlon kukira mau menutup tirai. Tapi dia malah membuka lebar vitrase di depan kaca, sehingga kaca jendela itu tidak terhalang apa-apa. Untung lantainya tinggi, jadi tidak ada yang bisa mengintip.

Dia lalu memerintahku. “Kamu jalan ke dekat jendela, aku mau lihat kamu.” Aku jalan pelan-pelan ke jendela, goyang pinggul seperti yang dia ajarkan. Aku lalu berputar agar dia bisa melihat seluruh sisi tubuhku. Dia mengangguk-angguk. “Sekarang aku mau kamu buka baju,” perintahnya.

Dia duduk di ujung ranjang, mengangkang, dan membuka resleting celananya, mengeluarkan penisnya yang setengah keras.

Aku menuruti perintahnya tanpa bicara. “Pelan-pelan saja,” perintahnya lagi. Rasanya agak aneh, menari pelan tanpa musik, tapi Marlon kelihatannya suka. Tanganku menggerayangi badanku sendiri, dan pelan-pelan kuangkat rokku buat dia, sampai celana dalamku kelihatan, lalu kuturunkan lagi. Kubelakangi dia, kusodorkan pantatku, sambil kubuka jaketku pelan-pelan. Waktu aku melihat ke arah dia, dia mulai mengocoki sendiri anunya. Kurasa kemaluanku sendiri membasah dan tanpa sadar aku mengelusnya.

Di film porno di TV kamar, aktrisnya sedang berposisi merangkang, mengisap burungnya si aktor. Celana dalamku pasti sudah basah di bagian yang kuelus-elus. Suara-suara mesum di film porno itu bikin aku makin horny.

“Ayo buka bajunya,” perintah dia, sesudah jaket kulepas. Aku merasa agak kagok, tapi sambil menahan malu kubuka juga blusku. Rupanya kelihatan juga kalau aku malu. “Hmm. Kok malu? Bukannya udah biasa?”

Aku menyilangkan lengan di depan dada, menutupi bra-ku. Dan dia langsung menyuruhku buka. “Buka lengan kamu. Aku mau lihat toket kamu.” Kuturunkan lengan.

“Hmm gede juga ya. Aku pengen lihat kamu goyang toket kamu.”

Aku mengingat goyangan penyanyi dangdut di TV dan coba-coba menirunya. Payudaraku ukurannya lumayan, tidak besar-besar amat tapi juga tidak kecil. Jadi lumayan berguncang-guncang di dalam bra waktu kugoyang badanku. Dia menjulurkan tangan dan mencolek lalu mencubit putingku. Sakit; aku meringis. Dia cubit lagi sampai aku merintih. “Ahh,” erangku. Tapi aku bisa merasakan juga selangkanganku membasah. Tangannya kembali ke kemaluannya, yang sudah tegak, dan dia suruh lagi, “Sekarang lepas beha-nya.”

Kulepas bra-ku pelan-pelan dengan menyilangkan tangan lalu mengangkatnya lewat atas kepala, lalu kulempar ke samping. Aku tak senyum, tapi malah memberi dia tatapan mengundang. Kucolek putingku sendiri. Kugoda dia lagi dengan kembali menggoyang badan, menggoyangkan susu.

“Bagus, bagus. Sekarang balik badan… copot roknya juga.” Menghadap jendela, aku memelorotkan rokku pelan-pelan, memamerkan pantatku di depan dia, yang kugoyang-goyangkan. Lalu aku balik badan, sehingga selangkanganku, masih di balik celana dalam, menghadap mukanya.

“Basah…” gumamnya. Lalu air mukanya berubah seperti baru dapat ide. “Sekarang kamu main sendiri sama memek kamu.”

Aku makin terbawa permainan, sehingga seperti terhipnotis tanganku menyelip ke balik celana dalamku dan meraba-raba kemaluanku. Dia memelorotkan celana dalamku sehingga aku tinggal memakai sepasang sepatu hak tinggiku. Kumainkan klitorisku, kucolok kemaluanku… memekku, tadi dia sebut, sambil tangan satunya meremas-remas payudaraku. Rasanya aneh sekali merangsang diri sendiri di depan laki-laki ini. Tapi lama-lama aku merasa ada sesuatu yang nikmat sedang membuncah dalam diriku.

“Bagus… Sekarang kamu sini, berlutut di depanku.” Kuikuti perintahnya. Dia terus mengocok penisnya, yang sudah ada di depan mukaku sekarang. Mungkin dia mau minta aku mengisapnya, tapi aku tidak berani gerak sendiri tanpa perintah dia.

“Cium,” perintahnya sambil menunjuk penis. Kukecup pelan batang keras itu. Hangat rasanya. Tapi dia malah memegang belakang kepalaku, merapatkan mukaku ke penisnya. Sesak dan malu rasanya, tapi darahku berdesir.

“Kamu lagi cium apa?” tanyanya.
“Burung Mas,” jawabku malu-malu.
“Bukan burung. KONTOL,” koreksinya. Seperti menegaskan aku salah, dia menggenggam rambutku sehingga wajahku tidak bisa menghindar, lalu menggerakkan pinggulnya. Kontolnya menampar pipiku!

Aku kaget. Tapi kemudian melihat batang besar keras itu, yang habis menamparku, berdiri gagah di depanku… dan dalam hati aku kagum dengan ukurannya. Dibanding punya suamiku, punya dia lebih panjang.

“Heh kenapa bengong aja? Ini apa namanya?” tanyanya lagi.

“Burung… eh kontol…” ucapku lirih.

“Apa? Malu-malu amat ngomongnya. Gak kedengeran.”

“KONTOL, Mas,” kataku agak keras. Aku tak pernah bicara jorok dalam kehidupan sehari-hari, jadi ketika dipaksa mengucap “kontol” keras-keras, aku merasa risi sekaligus… terangsang.

” Kenapa, kok kayak kaget ngelihat kontolku? Lonte kayak kamu udah biasa ngelihat kontol kan?” pancingnya, memperhatikan aku yang bengong (sebenarnya kagum).

“Eh… iya Mas… burung Mas gede… eh kontolnya…” Ah, makin becek rasanya karena nyebut kontol lagi!

“Emang kenapa? Lonte kayak kamu biasanya pake yang kecil ya?”

“mm…” gumamku, malu mengakui bahwa selama ini aku kenal kontol suamiku yang lebih kecil. Tapi dia mendesak terus.

“Kok diam aja? Ayo bilang. Biasanya sama kontol segede gimana?”

“Lebih kecil dari ini mas…”

“Pegang kontolku.” Kontolnya sudah tegak mengacung. Tanganku menggenggam kontolnya. Aihh, dalam pikiranku kata itu berulang-ulang terus! Ternyata tidak tergenggam semua dengan satu tangan.

“Kok cuma satu tangan? Biasanya cuma segitu ya?”

“Iya…” sambil aku memalingkan muka.

“Kamu punya suami?” Pertanyaan yang tidak kuduga. Apa harus dijawab sesuai peran, atau sesuai dunia nyata? Aku akhirnya mengangguk-angguk saja.

“Suka cium suami?” Aku mengangguk lagi.

“Yang kamu pake buat cium suami bibir yang mana?”

“Bibir yg mana maksudnya mas?” kutanya balik, agak genit.

“Yang kamu pake cium kontolku tadi bibir yang mana?”

“Yang ini mas,” kutunjuk bibirku sambil agak bingung.

“Sekarang kamu cium lagi.” Dia menunjuk kontolnya. Aku ragu-ragu.

“Dicium, Mas?”

“Iya. Cium. Anggap aja lagi nyium suami kamu. Kenapa? Emang kamu jijik ya ama bibir suami kamu?”

“Tapi kan ini bukan bibir suami aku…” rengekku manja… tapi pas aku buka mulut, kontolnya sudah disorongkan masuk!

“Huumf.”

“Anggap aja sama. Ga beda jauh kan?” sambil dia memaksaku mengoral. Dia masukkan sampai sedalam-dalamnya… aku tersedak dan terbatuk. Dia menarik keluar lagi kontolnya.

“Kenapa? Ga pernah nelen kontol ya?”

“Ga pernah mas… ga pernah sampai sepanjang itu…” aku mengaku.

“Ya udah. Sini kuajarin. Lonte harus bisa nyepong. Buka mulut kamu.”

“Iya mas…” sambil kubuka mulutku.

“Julurin lidah kamu,” perintahnya. Ragu-ragu. kubuka mulutku sambil julurkan lidah.

“Jilatin kontolku.” Kupejamkan mata sambil jilat ujung kepala kontolnya. “Ayo, jangan malu-malu gitu. Jilatin semuanya. Batangnya, bijinya. Semua harus kena.”

“Hmya,” kataku dengan lidah sibuk menjilati semua yang dia suruh. Malu sekali rasanya. Deg-degan. Terangsang. Merasa jadi pelacur betulan.

“Jangan merem gitu. Lihat aku. Sekarang buka mulut kamu. Aku mau masukin kontol ini ke dalam mulut kamu.” Dia sodorkan kontol lagi di depan mulutku, dan pelan memasukkan kontolnya ke mulutku. Mulutku sampai penuh. Tetep kutatap mata dia.

“Lonte tuh memeknya ada dua. Yang di bawah itu sama mulutnya. Ngerti?” Kepalaku mengangguk mengiyakan sambil mataku tetap menatap matanya.

“Sekarang kamu maju mundurin mulut kamu, gesek-gesek kontolku, bikin enak.” Kulakukan seperti perintahnya, tapi batang panjangnya cuma bisa masuk setengah.

“Belepotan tuh lipstiknya di kontolku. Kamu tebel amat pake lipstiknya?” Aku cuma bisa maju mundurin kepala. Memang dia membiasakanku seperti itu. Ketika chatting sebelumnya, dia selalu memujiku kalau aku mengirim fotoku yang sedang berlipstik.

Dia tarik kontolnya keluar. “Buka mulut, jangan gerak.”
Dia mengocok kontolnya di depanku…! Dia mendorong kontolnya ke depan mukaku… menyuruhku mengemut bijinya sambil dia terus mengocok. Angh… sial… aku makin nafsu karena dilecehkan seperti ini oleh pacar online-ku ini. Basah sekali memekku rasanya!

Dia pandangi mukaku yang ketempelan kontol. “Tau gak? Muka kamu itu cocoknya di dekat kontol kayak gini… Tapi lebih cakep kalau…”

“NGH!”
CROTT!

Dia crot di depan mukaku! Mani hangat kentalnya kena rambut, dahi, bibirku. Tangannya menjambak rambutku sehingga aku tidak bisa menghindar. Aku cuma bisa tutup mata, takut kecipratan semburannya. Mulutku juga kulepas dari bijinya.

“Eit. Belum selesai.” Ejakulasinya selesai, tapi peju berleleran di batangku. Dia menunjuknya. “Jilatin ini sampai bersih, lonte.”

Aku geleng-geleng kepala. Tapi dia memaksa. “Jilatin, LONTE. Kalo nggak, kamu keluar kamar SEKARANG.”

Ah, dia mau mengusirku dalam keadaan belepotan peju seperti ini? Aku sedikit gentar. “J-jangan, Mas.” Jadi aku tak melawan waktu dia menarik lagi mukaku ke dekat batangnya. Kujulurkan lidah sambil buka mulut. Dia senang memandangiku menjilati batangnya sampai bersih. Akhirnya bersih. Aku berbalik dan kuludahkan keluar sebagian peju yang kujilati. Mukaku berekspresi jijik.

“Enak jilatin pejunya?”
“Enggak…” jawabku lirih.

“Kok masih ada yang dalam mulut? Ayo telan,” perintahnya. Aku geleng-geleng kepala tidak mau menelan karena jijik, tapi dia ancam “Kalau ga mau telan, kamu keluar kamar, ga pake baju.” Buru-buru kutelan cairan kental itu.

“Bagus. Suka rasa peju?” Aku geleng kepala lagi, malu mengakui yang sebenarnya. “Lonte mesti suka rasa peju. Mesti mau nelen peju. Ngerti?”

Dia tidak menunggu jawabanku, dan langsung menggiringku ke kamar mandi. Dia suruh aku lihat mukaku sendiri yg belepotan peju

“Tuh lihat. Muka lonte tuh kayak gitu. Belepotan peju.” Dia tinggalkan aku di dalam kamar mandi di depan cermin, lalu dia balik lagi menaruh tasku di sana.

“Muka kamu berantakan, lonte. Aku kasih dua menit, bersihin muka, dandan lagi, terus keluar ke aku lagi, jangan telat!” Dia keluar lagi.
Aku menyeka semua peju tersisa dengan tisu, cuci muka buru-buru, mengeringkan wajah dengan handuk—handuk putih itu sampai bernoda merah dan biru dan krem karena make-up tebalku. Langsung kuperbaiki lagi riasan nakalku, bedak tebal, eye shadow biru, lipstik merah, benar-benar menor dan murahan. Aku buru-buru keluar karena waktu hampir habis.

“Terlambat 2 detik! Balik badan!” teriaknya waktu aku keluar.

“Maaf Mas!” jawabku sambil balik badan di depan dia. Dia duduk di ranjang.

PLAK! PLAK! Dia menampar pantatku dua kali, lalu memerintah, “Balik badan lagi, lihat aku. Sebagai lonte, kamu harus nurut aku dan puasin nafsuku saja. Ngerti?”

“Iya mas.”

“Sekarang duduk di kursi itu.” Dia menunjuk kursi hotel, yang menghadap TV.
TV-nya masih menayangkan film porno. Aku duduk di sana

“Kamu bisa duduk kayak lonte nggak?” tanyanya.

“Seperti apa Mas?” kutanya balik.

“Gini caranya.” Dia bergerak ke depanku lalu memegang kedua lututku. Aku dibuat mengangkang lebar, lalu kedua paha dan lututku diangkat sehingga kedua kakiku menapak ke sandaran kursi, posisi “M”. Saat itu aku tetap telanjang. Refleks, kututup kemaluanku dengan tangan karena malu

“Heh. Mau apa tangannya di situ. Mau ngobok memek sendiri ya? Dasar lonte.” Dia mencolek memekku, membuat jari-jarinya basah dengan cairan yang sudah ada di sana, lalu menyodorkan tangannya ke depan mukaku.

“Jilatin ini, perek,” perintahnya. Selagi kujilati cairan vaginaku sendiri di jarinya, dia komentar, “Lonte kok cepet basah. Kamu nikmatin yang tadi ya? Dasar mesum, cewek cabul murahan. Aku nggak peduli kamu nikmatin atau enggak. Kamu cewek bayaran.”

Dia mendekat dan mulai memain-mainkan putingku, yang langsung bereaksi. Dia mengelus ke bawah, ke pinggang dan perut, lalu sampai ke memekku lagi. Dia temukan klitorisku, lalu mulai memain-mainkannya. Biarpun tadi bilang tidak peduli kenikmatanku, dia malah merangsangku. Nafasku memburu, dan aku mulai mendesah-desah. Tapi waktu sedikit lagi orgasme, dia berhenti menggoda itilku. Dia lalu memain-mainkan pentilku lagi yang sudah mencuat keras. Dia menikmati memain-mainkan aku, mengendalikan pelacurnya, boneka seksnya.

Ahh… penasaran sekali rasanya. Aku nyaris orgasme tapi tidak dirangsang terus. Dia lalu memerintah lagi. “Berdiri. Ke sana, ke jendela, hadap jendela. Tangan di atas kepala, kaki ngangkang.” Aku bergerak ke sana. Silau karena matahari, kupejamkan mata. Apa ada yang bisa melihatku telanjang di depan kaca jendela?

Dia melangkah mendekatiku. Kurasakan dia menjamah dan meraba-raba payudaraku dari belakang, lalu menampar bokongku cukup keras sampai aku terlompat kaget. Dia memarahiku. “Hei, diam, jangan berubah posisi.”

Dia menampar pantatku beberapa kali lagi. Sakit, tapi aku tak boleh gerak. Tanganku tetap menapak ke kaca. Lalu dia berhenti menampar. Ganti kurasakan batangnya menempel ke kemaluanku. Kupikir, akhirnya terjadi juga… dia akan menyetubuhiku.

Dengan sekali tusuk, dia memasukiku. Ahh… enak rasanya waktu batangnya yang keras itu masuk. Aku sudah biasa dengan suamiku, yang anunya tidak sebesar dia. Aku memang sudah basah, tapi tidak menyangka batangnya bisa memenuhi seluruh liangku. Dia mulai menggenjot memekku dari belakang, keras-keras! Aku gelagapan menjaga keseimbangan, takut mukaku membentur kaca. Rasanya ujung kejantanannya sampai menyundul rahimku. Aku mulai mengerang-erang. “Aduhh… Ohh… Enhh…”

“Suka dikontolin ya, lonte?”

Aku tidak bisa jawab, hanya mengangguk-angguk. Genjotan dia makin kencang. Erangan dan desahanku juga. Dia tertawa, dan berkata melecehkanku, “Dasar perek!” Dia menggenggam pinggangku. Digempur terus-terusan oleh kontolnya yang mantap, aku mulai tak tahan. Nafsuku menggunung. Sudah lama aku tidak klimaks. Tapi aku tidak tahu apa dia akan membolehkanku. Kugigit bibir dan kutahan. Tapi kedutan-kedutan nikmatnya mulai muncul. Tidak bisa distop lagi, biarpun dia cabut kontolnya dari dalam memekku. Tanpa bisa menahan lagi, aku melolong keenakan. “Ohh… yahhh… aku dapeth….” Punggungku sampai melengkung karena enaknya. Gelombang rasa nikmatnya seperti setrum menyebar sampai ke ujung-ujung kuku. Tapi dia dengan cuek terus menggenjotku, tidak peduli aku sedang orgasme. Dia pasti membayangkan mencari kenikmatan sendiri, memakai kemaluan pelacur yang disewanya.

Kepalaku terasa berkunang-kunang sesudah orgasme dahsyat itu. “Berhenti… dulu…” pintaku.

Dia cabut senjatanya dari dalam tubuhku; aku merosot lunglai ke lantai. Tahu-tahu dia menjambakku, menarikku sehingga berdiri lagi, lalu berkata ke kupingku, “Aku belum puas. Aku bisa pake memek kamu semauku,” dan dia masukkan lagi kejantanannya. Dia melanjutkan perannya sebagai pembeliku dan menggenjotku tanpa ada tanda-tanda mau berhenti. Untungnya kekuatanku balik lagi. Kemudian dia cabut lagi. Kali ini dia pergi menjauh.

“Ayo sini,” panggilnya dari belakangku. Aku berbalik. Dia duduk mengangkang di ujung ranjang. Meski sudah cukup lama, ereksinya masih bertahan. Aku jadi melongo mengamati batang tegak yang tadi membuatku kelabakan itu. Selama ini suamiku cenderung cepat orgasme. Dan kalau suamiku sudah orgasme satu kali, bisa bangunnya lagi lama. Sementara pacar onlineku ini sudah crot satu kali tadi di mukaku.

“Sini, isap lagi. Sekarang pelan-pelan, yang halus.” Aku berlutut, membungkuk, mencium kontolnya. Sambil membayangkan bahwa batang itu beberapa menit lalu menusuk-nusuk kemaluanku. Kujilati sampai basah. Kukocok-kocok, kugenggam, kurasakan hangatnya. Kurasakan ukurannya. Kutimang-timang kantong pelirnya. Lalu kukulum pucuknya. Dia mendesah, merasa enak, memujiku “Bagus.” Kuservis kejantanannya dengan mulut nakalku… kuhisap, kusedot, kulahap sampai ke pangkal. Kuemut bijinya, satu-satu. Dia melenguh-lenguh keenakan. Dia genggam kepalaku sewaktu kukulum lagi batangnya. Dia tahan dalam posisi sedalam-dalamnya. Aku sampai nyaris sesak. Akhirnya dia lepas kepalaku. Aku terbatuk.

Selama ini kami berkomunikasi lewat internet. Chatting. Saling goda. Saling kirim gambar porno. Kadang kupikir aneh juga hubungan kami. Dasarnya seks—atau setidaknya harapan bahwa suatu saat ujungnya seks. Kopi darat pertama ini, langsung urusan seks. Bahkan kencan juga bukan. Tapi sejak idenya pertama kali tercetus, aku merasa nakal dan penasaran. Aku suka membayangkan bertingkah seperti perempuan nakal yang jual diri, membuka paha buat siapapun yang bayar.

Dan sekarang itu yang kulakukan. Aku yang aslinya wanita karier yang konservatif, sopan, dan rada kaku berubah jadi liar, nakal, menarik perhatian laki-laki, memancing nafsu.

Dia berdiri, menyuruhku telentang di atas ranjang. Lalu dia menyentuh tubuhku, perutku. Kupandangi wajahnya. Aku senang, akhirnya kami bertemu juga dan saling sentuh. Sebenarnya aku ingin ngobrol juga dengan dia, tapi saat ini kami sedang dalam permainan, dan aku ingin mainkan dulu peranku sampai tuntas. Sebenarnya dalam keadaan berhadapan seperti itu, aku mulai merasa dia banyak bedanya dengan foto-fotonya yang pernah kulihat, tapi kupikir itu karena kepalaku mulai ngaco sesudah orgasme. Kuberi dia senyum sambil kubalas meraba selangkangannya.

“Ayo… jangan godain aku terus… Aku pengen dientot. Aku pengen dimasukin kontol…” Sebenarnya itu yang ingin kukatakan. Tapi aku dilarang bicara sebelum disuruh oleh dia. Jadilah aku hanya memegang-megang burungnya sambil menatap matanya penuh harap. Tapi sepertinya dia tidak keberatan kali ini aku yang berinisiatif menggoda kemaluannya. Sambil kupegang batang itu, kusadari bahwa seharian ini kami baru bicara sebentar tapi sudah saling bergumul, saling memberi kenikmatan. Sekarang aku memegang senjatanya, mempersiapkan dia menyetubuhiku lagi. Sementara dia mulai meremas-remas payudaraku. Kucoba lebih menikmati semuanya, remasan tangannya yang kuat, bau tubuhnya yang maskulin. Kontol dia sudah sekeras-kerasnya, siap masuk memekku lagi…

Aku cuma bisa meminta dengan ekspresiku. Sepertinya dia mengerti. Atau dia sendiri yang mau. Bukannya kami lagi main-main dan dia jadi tamu yang membookingku? Kuelus-elus memekku waktu dia taruh kepala burungnya di rekahanku. Dia gosok-gosokkan kepala burung yang lumayan besar itu di sana. Lalu dia masukkan lagi… anhh. Kuraih pantatnya dan kudorong agar cepat masuk. Kurangkul pinggulnya dengan kakiku. Saking rapatnya, aku sampai bisa merasakan tulang panggulnya, kantong pelirnya di badanku. Dia membalas dengan mencengkeram pantatku.

Penisnya mulai bergerak-gerak di dalamku. Enak sekali rasa batangnya di dalam liangku. Ahh… dia yang mengajari aku jadi nakal, jadi lonte. Dan bagaimana tidak nakal? Baru pertama kali ketemu kami sudah tidur bareng! Makin aku merasa nakal, makin horny rasanya. “Ohh… yahhh… terus… entot aku…” ocehku, tak peduli lagi dengan perintah dia supaya aku tak bicara duluan.

Sekarang genjotannya makin mantap mengguncang diriku. Dari selangkanganku terdengar bunyi kecipak-kecipak dari penis yang mengobok memek becekku. Aku dan dia sama-sama mendesah dan mengerang.

Bisa kurasa badanku mulai tegang dilanda rasa enak yang menyebar dari vaginaku. Aku makin tidak tahan menerima semua sodokan dia. Aku juga tahu pasanganku keenakan juga, melihat wajahnya dan mendengar suaranya. Dia juga pasti sudah tidak bisa menahan lagi. Jadi kudorong dia dengan kata-kata nakal. “Ayo Mas… Entot aku Mas… Yang kerash… Aku pengen dikontolin Mas… dicrotin… anhh…”

Tapi malah aku duluan yang orgasme! Vaginaku kejang-kejang, menjepit-jepit kontol dia, pinggulku bergetar, eranganku keras dan tak terkendali. “Aaaahhn aah ah ah ahhhnggh….”

Sewaktu klimaksku mulai reda, ganti dia yang menuju orgasme, desahannya makin tak terkendali dan cepat, begitu juga gerakannya makin liar. Dia lalu menindihku sambil melenguh keras, “Uuhhhh,” dan terasa semburan di dalam kewanitaanku. Dia sedang orgasme, menumpahkan gairah nafsunya di dalam diriku. Rasanya hangat sewaktu cairan laki-lakinya menyebar dalam kemaluanku. Akhirnya dia ambruk di atasku, lega.

Sambil masih tertancap ke badanku, dia mengungkapkan kepuasannya. “Hmmhh… enak banget ngecrot di dalam kamu.” Dia lalu mencabut burungnya, membiarkanku telanjang telentang dengan kemaluan penuh peju. Dia bangun, masuk ke kamar mandi, sepertinya bebersih sebentar; aku masih capek karena persetubuhan yang intens dan meneruskan berbaring sambil tersenyum-senyum sendiri dengan permainan panas yang baru kami lakukan.

Dia keluar lagi dari kamar mandi ke arah meja, mengambil dompetnya. Kulihat dia mengeluarkan beberapa lembar uang yang kemudian dia masukkan ke dalam tasku. Aku agak bingung. Apa kami masih bermain? Memang bagian ini tidak pernah kami bahas, tapi seharusnya dia tidak perlu membayarku betulan. Aku kan cuma main-main saja jadi pelacur? Aku sudah puas kok. Mestinya dia tahu.

Aku berdiri dan menuju dia yang ada di depan meja hotel, tempat tasku berada. Terlihat di cermin di atas meja itu, rambut dan makeupku acak-acakan, tapi ternyata bibirku tersenyum puas tanpa kusadari.

Kuambil tasku dan kulihat lembar-lembar uang yang tadi dia masukkan. Rasanya aneh sekaligus membuatku merinding: aku dibayar sesudah disetubuhi seperti WTS betulan. “Nggak usah, Mas,” kataku sambil merogoh ke dalam tas mengambil uang itu untuk kukembalikan. Tapi pada waktu yang sama HP di dalam tasku berbunyi.

Nama peneleponnya: “Marlon”.

Aku bengong. Kok dia menelepon padahal dia ada di dekatku? Kuterima panggilannya…

“Halo? Halo Afda? Akhirnya kamu jawab juga. Aku sudah di hotel J nih. Kamu ada di mana? Dari tadi teleponku tidak kamu jawab.”

Kuperhatikan wajah laki-laki yang barusan membayarku, yang berdiri di sebelahku. Lalu tiba-tiba aku sadar. Biarpun mirip, dia bukan pacar online-ku.

“AAAIIIIHHH!!!”

=====

TAMAT