Kisah Seribu Rupiah

“Ini bu, kembaliannya.” Jemari lentik mengusapku lembut. Tak berapa lama, aku mendapati diriku bersama teman teman, di sebuah lipatan kain yang longgar. Yap. Aku adalah selembar uang kusam. Tengah malam tadi, aku terbangun di dalam sebuah kotak kusam seorang pedagang sayur. Dan sekarang, aku tersenyum sendiri membayangkan ada di dalam dekapan saku daster seorang wanita cantik.
~0~​
” Buuunn…, aku lapaar.” Teriakan seorang anak berseragam SD kepada wanita tadi, ibunya. ” Loh, Inem mana tadi…. Neeem, suapin Aya duluu..” Badanku direnggut, diletakkan di atas pantry. Terkejap kulihat, rumah yang cukup bagus. Benar, kan? Wanita yang dipanggil Bunda tadi, cantik sekali. Dengan kerudung biru, berwajah bulat segar. Kulihat Bunda berjalan menjauhi pantry setelah meletakkan belanjaan di sampingku. Pinggulnya bergoyang indah di balik kain daster bermotif bunga. “Udah nem. Berangkat sana,suapin di jalan saja. Keburu terlambat nanti.” Wanita itu memberi perintah. “Injih Bu.. Ayo Mbak Aya…” perempuan kecil yang dipanggil Inem menyahut sambil membawakan tas sekolah di tangan kanan dan sepiring nasi berikut lauk di tangan kiri. Sepeninggal mereka berdua, Bunda nampak mengambil dan memilah milah belanjaan, membelakangi meja pantry. Seorang lelaki mengendap di belakangnya. Sedikit gempal dengan jenggot tipis di wajahnya, tiba tiba pria itu memeluk dari belakang. “Ayyaaaahh…. Bikin kaget aja ih… Untung nggak megang pisau ini…”, wanita sekal itu memekik. “Hihi…. Buund…. Ayah pengen ini…”, jemari pria yang hampir sama tinggi dengan istrinya itu menggerayang meraba raba pinggul dan perutnya. “Ayah nggak kerja?” sang istri mencoba mengalihkan perhatian. Namun, jemari sang suami segera menarik dagunya kesamping, lalu menyambar bibir merah sang istri dengan lembut. “mmmhh…. Kan masih jam segini Bund… mmmhh…” Bunda, tak menolak sedikitpun. Meski seakan masih ingin berkata sesuatu, namun senyumnya mengembang, dan membalas pagutan suaminya dari belakang. Tangannya memegang telapak sang suami yang menggerayang nakal hingga ke dada. “Ayyaahh…. Kok yang di bawah udah nyundul nyundul…hihi…mmmhh…hhh” Bunda terkikik lalu disusul dengan mendesah saat telapak tangan sang suami meremas dadanya. “hhh… Yaaah… ke kamar aja yuk..hhh… ” terengah wanita berkerudung biru itu berucap. ” Buun…mumpung sepi ini. Disini aja yuk.” “Ayaahh…nakal banget sih. Kalau ada tamu gimanaaa.. hh…” ” Nggak usah dilepas Bun..” Lelaki berisi tersebut mengambil jarak dari punggung istrinya, lalu perlahan menyingkap daster panjang wanita tersebut ke atas. “Ayah ih…” Sang istri menampakkan wajah bingung, antara menolak atau membiarkan tingkah lelakinya. Dalam satu tarikan, celana dalam putih istrinya di tarik ke bawah. Bunda masih membelakangi suaminya, memperlihatkan sepasang paha mulus yang mengumpul bulat di pinggul membentuk pantat di belakang. Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, sang ayah segera mencium bongkahan pantat montok di depannya. Aku tak bisa melihat dengan jelas, apa yang dilakukan sang ayah. Namun Bunda terlihat sedikit membungkukkan badan, bertumpu pada meja racik di depannya, lalu nafasnya terdengar semakin memburu. ” Yaah… Ayaah… sshh… Ayoo.. ” Bunda berbisik di sela desahannya. Pria yang mulai memutih rambutnya itu berdiri, tangannya menahan pundak istrinya yang hendak berbalik. ” Ahh…” desah sang Bunda. Aku tak bisa melihat, yang terlihat hanya badan sang ayah dari belakang, dengan celana sedikit melorot ke bawah. Pinggulnya bergoyang maju mundur. “uuh… Ayaah…. seb…sebentar…” Bunda terbata bata mendesah, meminta suaminya menghentikan gerakan. Bunda memutar badan hingga berhadapan dengan suaminya. Wajahnya menampakkan senyum cantik, senyuman cantik seorang istri yang sedang birahi. Si lelaki, berusaha mendekatkan wajah, mencium. Disambut dengan pagutan mesra. Bunda, mendorongkan badan, hingga memutar. Kini, sang Ayah didorongnya mepet ke meja racik. Ciuman mereka berhenti. Dua pasangan suami istri itu saling memandang dengan tatapan yang sangat indah. ” Ayah…diem dulu. ” Praktis, wanita montok itu sekarang membelakangiku. Aku tak bisa melihat wajahnya. Namun gerakan tangannya terlihat berusaha meraih punggung. Setelah beberapa gerakan lengan, dari dalam kain daster yang longgar terjatuhlah sepasang bra putih. Bunda menekuk kakinya, jongkok. Mengambil bra putih tadi, dan celana dalam yang tadi dilepas suaminya. Kali ini terlihat dengan jelas, batang penis suaminya mengacung persis di depan wajah sang istri yang masih membungkuk mengumpulkan pakaian dalamnya. “uuuhhh….” suami wanita montok itu tiba tiba mendesah. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukan Bunda di bawah sana. Hanya saja, kerudung biru itu terlihat bergerak maju mundur beberapa kali. ” Buuun…uuh..ayoo… ” Kali ini, Bunda kembali berdiri, dan membungkuk ke arahku. Dekat sekali denganku. Wanita berwajah bulat cantik itu menengok ke belakang, tangannya tampak berusaha membantu mengarahkan. Sedetik kemudian, tangan Bunda berbalik cepat, memegang pinggiran meja tempatku berada. Wajahnya mengernyit, matanya menyipit. “huuuffft…yaaahh…” Bibir merah itu bersuara. Tubuh Bunda bergoncang goncang, tangannya erat berpegangan di mejaku. Wajah cantiknya, terlihat semakin cantik. Matanya sayu menatap ke depan. “aahh…aaahhhhh….” matanya mengatup rapat, bibirnya digigit gemas. Badan wanita montok itu terlihat bergetar. Sepasang telapak tangan meremas dada Bunda dari belakang. Dan tak berapa lama, goyangan mejaku berhenti. Badan bunda masih sedikit bergetar. “Ayaahh..nakal ihh…pagi pagi jugaa…” sang istri bergumam sambil berusaha menata kembali dasternya ke bawah. “Bunda sih… Masih aja seksi.” Sang suami dengan lembut mencium kening istrinya persis di depanku. Andai aku punya bibir, aku pasti akan tersenyum. Terpancar sangat, rasa sayang diantara kedua insan tersebut.
~0~​
Selama beberapa waktu kemudian, aku menjadi saksi bisu diskusi kedua pasangan itu mengenai harga harga barang yang merangkak naik. Ditambah dengan biaya pendidikan yang juga menyusul. “Ayah.. Sudah hampir jam delapan loh. Mandi dulu, nanti telat. Jangan lupa keramas…hihi…” Bunda menggoda, dibalas dengan cubitan nakal di pinggang montoknya. “Bun… Keramasin dong…” Sang suami balik menggoda. Belum juga menjawab, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan, lalu tertawa sedikit terbahak.
~0~​
“Bunn, berangkat dulu yaa..” Sang suami berpamitan sambil mencium kening istrinya. ” Hati hati yaah…” ” Eh, ini uang kembalian dibawa saja yah, untuk Pak Sopir nanti di jalan.” Kembali badanku merasakan lembutnya tangan wanita cantik itu.
~0~​
Kotak kecil tempat aku ditekuk bersama teman temanku itu terletak di bawah panel radio system di mobil. Lama aku di dalam mobil itu, hingga sekitar tengah hari. Setelah itu, aku berjalan dengan cepat, dari tangan sopir sang ayah tadi, ke pengamen. Dari pengamen, ke warung rokok. Dari warung rokok, ke warung makan. Aku berganti ganti pemilik, hingga waktu mendekati senja. Akhirnya aku berhenti di tangan seorang anak kecil. Anak kecil yang memegang erat badanku, lalu menunjuk ke kotak permen, dan sekali lagi aku kembali berpindah ke dalam kotak penyimpanan sebuah warung kelontong. “Ini kembaliannya, Mas” Adzan Isya’ baru saja terdengar ketika aku kembali berpindah tangan ke seorang lelaki muda berpakaian necis. Setelan hem putih dan celana denim biru tua. Aku digenggam barengan dengan sebungkus rokok berlogo A hijau. Kembali aku diletakkan di dashboard mobil. ” Ini rokoknya ibu..” lelaki tadi mengangsurkan tangannya ke belakang. Di belakang mobil yang nampaknya mewah, eh bukan mewah lagi, sepertinya ini memang mobil supermewah. Lihat saja, semua serba otomatis. Terlihat di kursi belakang, seorang wanita muda. Berdandan ala wanita kaya. Rambut hasil salon, baju yang terlihat mahal, dan seperangkat perhiasan. “Ealah maass.. Sudah dibilang, jangan manggil Bu, kalo Cuma berdua gini.” Wanita tersebut menerima angsuran rokok, sambil mengelus pundak lelaki dari belakang. “Eh iya… Maya… daripada aku salah panggil di depan juragan, mending salah panggil di sini kaan.” Lelaki necis tadi menjawab. “Hihi… iya deeeh… ” wanita yang dipanggil Maya tadi menjawab. “Ini kemana May…” sang sopir bertanya sambil membelokkan mobil masuk ke jalan raya. ” Hmm…terserah mas. Malam tahun baru ini, aku nggak mau pulang.” ” Tapi .. kalau nanti juragan tanya gimana?” ” Alaah…bilang aja, kamu nganterin istrinya ke rumah saudara. Trus aku ketiduran di sana.” Perbincangan berikutnya membuatku kaget. Ternyata, Maya adalah istri dari seorang pejabat kaya. Lebih tepatnya, istri muda. Sang suami tinggal bersama istri sah nya, di sebuah rumah yang tak jauh dari rumah yang menjadi “jatah” untuk wanita muda itu. Sebagai wanita yang masih muda, bersuamikan lelaki yang pantas dipanggil ayah, memang tak gampang. Uang, segolongan dengan aku, nyata nyata jadi bahan pembicaraan malam itu di mobil antara Maya dengan Anton. Tak bakal mau dia diperistri jika suami nya tak kaya. Hal itu berulang ulang keluar dari bibir seksi Maya. Bahkan malam ini, dia sengaja pergi keluar rumah, dengan berbagai alasan, karena sang suami tergolek sakit di rumah istri tua-nya. Hingga akhirnya dia bingung juga, akan menghabiskan waktu dimana. “mas….mas Anton. Berhenti disitu aja.” “Loh..May… gimana dong.” “tuh liat jalanan di depan rame sekali.” ” Ya sudah…” Anton meminggirkan mobil besarnya. ” kerasin musiknya mas, aku agak pusing. ” ” Maya sih, minum apa tadi, kebanyakan kan…mabok itu.” Anton yang bertanggung jawab atas keselamatan istri muda juragannya terlihat sedikit kawatir. “mas…mas antoon…” Maya memanggil dari kursi belakang, sesaat setelah mobil diparkir di bawah lampu jalan. Sekitar dua ratus meter di depan, terlihat jalan utama kota yang sangat ramai, penuh motor bersuara keras, berpawai menyambut tahun baru. “iya May..” Anton menjawab tanpa menengok. “maas…dipanggil nggak nengok sih.” Maya menegaskan. “iyaa non Maya..” Anton menengok setelah mematikan lampu depan dan mesin mobil. Andai aku bisa berteriak, sudah kusuruh Anton untuk tetap memandang ke depan. Namun, apa yang bisa dilakukan selembar kertas. Anton pun menengok, sedikit kaget dia kembali melihat ke depan. “Non Maya..baru apa..” Wajar, karena di kursi belakang, Maya mengangkangkan kaki membuka. Satu tangannya berada di pangkal paha, menyingkap rok mini seksi yang dipakainya. Sementara tangan yang lain meremas payudaranya yang sudah terbebas. ” Ayoo…maaas… bantuin Maya doong. Maya udah kepengen banget ini.” Aku melihat lelaki necis itu bimbang. Namun, sorot mata tajamnya mengatakan kalau lelaki itu kuat, tak gampang digoda. “Maya…jangan… Aku jalan lagi saja ya.” Anton berusaha mengalihkan perhatian. Ding… Ding… Ding… Lampu dalam kabin penumpang menyala, bersamaan dengan pintu samping yang terbuka, membuat mesin tak bisa dinyalakan. Belum sempat Anton mencegah, Maya dengan limbung sudah berjalan keluar. Dengan payudara yang belum tertutup sempurna. “Maay… jangan..” Anton berusaha mencegah. Namun wanita muda itu terlanjur melambaikan tangan kepada sekelompok pemuda Punk yang kebetulan berjalan di samping mobil. Aku tak tau apa yang terjadi. Yang jelas, Anton akhirnya tersungkur di jalan aspal, sementara Maya terlihat dipapah oleh satu dari sekumpulan pemuda jalanan tadi. Lima detik lagi menuju tahun baru. Meski samar, terlihat kalo Maya sedang berdiri membungkuk. Di depan dan belakangnya berdiri dua pemuda. Aku sangat yakin, kalo Maya sedang digarap mereka. Beberapa pemuda yang lain berdiri mengelilinginya, sebagian sudah terlihat tanpa celana. Uang, iya.. Aku hanyalah selembar uang. Aku mendapatkan kesadaran untuk melihat dan berpikir, hanya di penghujung tahun. Tiga detik lagi, aku akan menghilang, tersisa selembar kertas tanpa jiwa. Namun, hanya dalam sehari ini, aku menyaksikan manusia dengan kehidupannya. Aku tak tau, harus bangga apa menangis. Sebagian besar kebobrokan terjadi, karena aku dan teman temanku.
TAMAT​