Kampus untold stories

“Setangkai Kembang Teratai”
Part 1 : Bukan bunga yang itu

Berjalan di atas duri, ciptakan senyum damai dalam ruang imaji. Seolah memilikimu adalah tabu.”

Setidaknya begitu kalimat yang tertulis di balik pamflet pentas seni di beranda gedung jurusanku. Pamflet itu terlepas separuh. Baru kupasang kemarin, juga di beberapa titik lainya. Alasan macam apa yang mendasari orang menulis kalimat seperti ini di balik pamflet yang baru dipasang? Ditulis pakai pena merah pula, dengan rapi dan meyakinkan. Sabotase kah? Ah, tidak. Pamflet di titik yang lain masih terpampang sempurna meskipun diterjang hujan semalaman.

“ Kamu nggak perlu khawatir, jon!” Budi menepuk bahuku dari belakang. Sejurus kemudian ia lemparkan senyum ala kadarnya itu dan kembali menasehatiku seperti orang tua. “ Aku yakin ini cuma cara lain dari dia buat nunjukin eksistensinya ke kamu.”. “ Tapi kenapa musti terus-terusan sih, Bud?” tanyaku dengan nada jenuh. Budi tertawa menunjukan gigi susunya yang njepat setengah itu. “Lha wong kamu nggak peka-peka kok,jon! Di mana-mana yang mulai itu cowok duluan. Coba lihat! Apa coba kurangnya si Fia?”

Mendengar namanya disebut, Fia kembali mampir di pikiranku. Hah, udah otak cupet begini buat mikir persiapan acara pentas seni besok aja udah hang. Ngapain pula si Fia menuh-menuhin nih gundul. Fia memang bukan cewek yang everybody loved, tapi bagiku dia perpaduan sempurna, kayak teh panas di dalam poci tanah liat pada pagi hari dan lunturan gula batunya. Dia suka puisi. Dulu jaman aku masih sama dia, eh, bukan, masih deket sama dia, dia sering ngirimin aku puisi-puisinya ke WAku. Ya, saat-saat yang sehangat selimut di ujung pagi. Sayang, sesuatu telah terjadi dan menjauhkan kami kembali layaknya puncak dan lembah.

“ Hei, apaan sih? Kalian cowok tapi suka ngegosip yaa?” Mbak Santi tiba-tiba nyelonong di belakang kami berdua. Kagetlah aku sampai kakiku menginjak anak tangga di bawahku, hingga aku sedikit limbung. Beruntung Budi memegangku. Tapi baik Budi maupun Mbak Santi adalah contoh teman laknat yang tertawa diatas penderitaan kawan. Aku bersungut-sungut kesal sambil sedikit mengumpat. “ Lagian sampeyan ngagetin nggak bilang-bilang Mbak.” sahutku. “Salah sendiri ngegosip nggak ngajakin. Ada apaan sih?” tanya Mbak Santi. “Ini lho, Mbak. Si Joni ini dapet teror cinta dari cewek. Lha tapi Jontor satu ini nggak peka-peka. Tiap hari ada aja puisi ditulis buat dia. Di mana-mana. Di pamflet kek, di buku kuliah kek, ato cuma lembaran kertas yang ditaruh dimejanya. Keterlaluan kan sampe kagak ada responya.” sahut Budi ngasal.
Mbak Santi tertawa lepas. Di akhir tawanya, ia membetulkan jilbab ungunya yang agak bergeser. Menyeka sedikit keringat di keningnya. Kemudian ia memegang bahuku. Menatapku dengan senyuman khasnya yang berarti satu kata buatku, “tabahlah!”. Dia memang selalu begitu. Hangat dan nyaman. Citra dirinya yang dewasa membuat aku sering menghabiskan waktu bersamanya untuk bertukar pikiran. Kakak tingkat yang cerdas dan berprestasi. Sering kudengar namanya masuk seleksi mahasiswa berprestasi di kampus ini. Begitu pula tutur katanya. Enak didengar. Tak pelak ia kerja part time mengisi program di radio lokal.

“ Kok kamu nggak bilang mbakmu ini to, Jon? Aku tahu kamu masih newbie soal cewek. Makanya, mbak pasti bantu kok kalo kamu cerita.”. “ Siapa, Bud? Cewek yang nulis-nulis puisi itu?” tanya Mbak Santi. “ Fia mbak. Fiana Mahadewi prodi sebelah.” jawab Budi meyakinkan. “Oalah, Fia yang rambutnya sebahu itu to.” gumam Mbak Santi sambil memandang kosong ke atas. “Entahlah, kamu musti mikir dulu kalo sama dia. Soalnya dia itu…” Mbak Santi tidak meneruskan kata-katanya. Suaranya terambang pelan, matanya melirikku. “Dia kenapa mbak?” tanya Budi.
“Heh, udah-udah! Malah jadi beneran ngegosip nih.” sahutku menghentikan pergunjingan mereka. Tentu saja diakhiri tawa-tawa kejam yang menusuk jomblo ngenes bernama Joni ini. “Oh iya, malah lupa.” kata Mbak Santi seperti teringat sesuatu. “Ini, rundown buat besok. Tolong ntar dikasih ke MC nya ya.” lanjutnya. “Siap mbak. Besok MC mulai make up jam berapa?” tanyaku. “Sore lah, sekitar jam 3an. Nanti aku juga ikut bantu rias bareng penari-penari.”jawaban Mbak Santi melegakanku, karena aku bisa lebih santai mempersiapkan yang lain. “Oke mbak. Nanti kabar-kabar lagi ya mbak kalo ada sesuatu.”. “Sip, oke Joni. Udah ya, mbak mau ke fakultas dulu ngurus ijin buat besok” kata Mbak Santi. “Kamu yang semangat, Jon. Tapi tetep waspada. Mbak selalu mendukungmu.” Bisiknya sambil berlalu. “Daaah” teriaknya sambil melambaikan tanganya.
Mbak Santi berjalan agak cepat. Aku memahami bahwa tugasku di acara besok gak seberat dirinya yang sie acara. Kepiawaian dan pengalamanya berorganisasi di kampus ini membuatnya dipercaya mengisi posisi itu. “Naah, cari istri itu minimal kayak Mbak Santi itu jon.” Budi tiba-tiba berkata. “Udah cantik, pinter, alim lagi. Dia itu udah kayak teratai di tengah lumpur. Teratainya dia, lumpurnya kita. Hahahaha.” Budi terpingkal sambil memegang perut buncitnya. “ Daripada si Fia yang kuliah aja gak jelas. Noh, lagian kamu dan Mbak Santi itu udah cocok. Kerja bareng, nugas bareng, pentas bareng. Yang belom cuma ngentot bareng, hahahaha” seloroh Budi asal-asalan. Mulut Budi emang terkadang sebusuk comberan.

“Huusss! Kamu itu! Jangan bilang yang begituan sama Mbak Santi.” hardikku pada Budi. “Hahahaha, namanya juga cewek, Jon. Pasti butuh dientotin. Entah besok ato nanti.” jawab Budi tak kalah ngawurnya. “Udah ah! Jangan gitu! Eman-eman , Mbak Santi terlalu perfect buat sekedar entot-entotan. Lagipula Mbak Santi itu udah kuanggap kakakku sendiri.” sahutku membela Mbak Santi.
Budi tersenyum mafhum. Karena memang dia tahu aku segan pada Mbak Santi. Mbak Santi memang orang yang kuhormati, juga kukagumi. Segala dari dirinya terlalu sempurna, sehingga aku tidak tega mendekati atau menjamahnya. Kami sudah sering melewati suatu proses bersama sejak aku baru masuk kuliah. Jadilah kami mengerti satu sama lain. Meskipun selisih umur kami cuma satu tahun, namun karena kekagumanku padanyalah yang menempatkanya sebagai kakakku. Pikiran pikiran dan wawasanya sering menjadi lifesaver bagi kehidupanku di kampus ini. Akan aneh kalo aku sampe bercinta sama Mbak Santi. Kualat. Lebih kualat, eh, yaa saingan lah sama kualatnya Sangkuriang.
………………………….

Petang sudah mulai semakin pekat. Kerumunan orang berbaju batik sudah berdatangan dan duduk di kursi-kursi yang disediakan. Aku mengintip dari balik panggung sesaat hingga kemudian kembali masuk ke ruang transit. Teman-teman crew sibuk sekali mengeck kabel, microphone dan tetek bengeknya. Tugasku di sini sekarang hanyalah ikut bantu-bantu crew. Karena tugas publikasi dan mencarikan MC sudah terlaksana di hari sebelumnya.

Aku masuk ke ruang transit dan melihat banyak orang sedang menyelessaikan riasanya. Aku menghampiri MC yang sedang dirias Mbak Santi. “Udah selesai belum, Mbak” tanyaku pada Mbak Santi. “Sebentar, jon. Sedikit lagi. Tolong belikan mbak peniti di warung sebelah. Cepetan.” Kata Mbak Santi agak tergesa. Nafasnya cepat, peluhnya membasahi wajah. Matanya menatap terkonsentrasi wajah MC. “Siap, mbak.” Aku pun segera cabut. Aku tak mau Mbak Santi kerepotan.
Kerumunan crew dan penampil pentas kuterobos untuk keluar dari gedung ini. Sesak sekali seperti pasar malam. Aku selalu benci keramaian. Kuhela nafasku sesaat setelah berhasil keluar. Di luar masih banyak mahasiswa yang berjalan menuju gedung. Aku tak menghiraukan mereka. Bukanya sombong atau gimana. Akan repot kalau tiap ketemu orang yang dikenal harus nemanin mereka ngobrol dulu. Aku setengah berlari melewati mereka.

Aku bukanya tak tahu mereka-mereka itu siapa saja. Ada Beny dan komplotanya di pojok pagar, Sita dan cowok barunya yang tampangnya mirip bakul pecel pasar Gede, juga Fandri dan Obi, sepasang homo tak beradab yang dengan lancang mencoreng wajah Tuhan di kampus tercinta. Karena terlalu cepat berjalan aku sampai tak memperhatikan ada cewek berjalan di depanku. Hampir saja aku menabraknya kalau aku tak mengerem kakiku. Ku terpaksa mendongak dan melihat wajahnya. Sial. Itu Fia.

Mata Fia membelalak tajam. Ia pasti sama terkejutnya denganku. Secara otomatis mata kami saling berbalas makna. Kami terdiam, seperti lama. Bagaimanpun juga sudah enam bulan lebih kami tak saling bicara.Berkelebat pertanyaan-pertanyaan dan kata-kata yang ingin sekali kusampaikan. Namun tetap senyap mulut kami. Masa bodoh. Penitinya segera ditunggu. Aku kembali menunduk dan melewati Fia. Aku tidak berani menoleh, aku yakin begitupun denganya.

Setelah mendapat peniti dari warung, aku bergegas kembali ke gedung dan menyerahkanya kepada Mbak Santi. Mbak Santi mengambilnya segera dan memasangkan beberapa ke baju dan setelan MC. Kulihat Mbak Santi benar-benar kepayahan. Selain mengurus ini itu, merias di tempat seramai ini membuat keringantya bercucuran di mana-mana. Ia melepas jilbab birunya. Rambutnya yang dikucir itu terjuntai ke belakang kepalanya. Dengan keringat yang mengucur deras, rambut hitam indah, dan ekspresi kelelahanya, membuat Mbak Santi berlipat-lipat lebih perfect. Aku mengambil tisu dan secara refleks ku usapkan di kening dan wajah Mbak Santi. Dia berhenti sejenak dan menolehku. Ia masih sempat memberi senyum hangat yang biasanya meskipun sedang lelah. “Thank’s, Jon” Ketika dia melanjutkan merias MC, kulanjutkan usapanku pada leher dan dagunya. Damn it! Apa yang sedang kulakukan?

Segera setelah keringat Mbak Santi sedikit mengering aku menyudahinya. Kubisiikan kata-kata di telinganya. Dekat sekali, setengah berhembus. “Semangat mbak! Kamu yang terbaik, aku dibelakangmu.”. Mbak Santi sedikit tergidik ketika aku melakukanya. Dia menoleh dan kembali tersenyum. Aku pun segera meninggalkanya. Aku tidak mau berlarut-larut dalam perasaan seperti tadi. Mbak Santi tetap kakakku. Lagipula, biar dia cepat selesai.

Jam menunjukkan pukul 9. Pentas Seni menginjak acara penutup berupa pagelaran wayang semalam suntuk. Panitia dan crew yang bertugas bisa sedikit bersantai karena memang pentas wayang memakan waktu hingga pagi hari. Keperluan yang dibutuhkan boleh jadi hanya konsumsi maupun sekedar rokok buat para pengrawit dan dalang. Aku duduk di belakang layar wayang sambil termenung. Mengapa aku sampai hati melakukan hal semacam itu kepada Mbak Santi? Bukankah aku selalu segan dan menghormatinya? Mungkin saja perasaan tadi adalah imbas pertemuanku dengan Fia. Tidak berguna memang. Cowok jones macam aku ini selalu dalam tingkat baper yang tinggi. Sampe sekarang aku belum berani menemui Mbak Santi lagi. Takut, kalau aksiku tadi menyinggung dia.

“Jon! Bengong aja lu. Ini, nguntal dulu… Kata Mbak Santi, ini jatah buat kita berdua.” Budi datang dari belakang gedung membawa dua kardus snack yang memang dibagikan kepada panitia. Aku yang memang sudah laper maksimal langsung membuka dan menggasak arem-arem di dalamnya. Dalam 10 detik sudah tiga gigitan ukuran medium menggerogoti tubuh montok arem-arem ini. Tanganku sedikit gemetar. Arem-arem ini rasanya jadi enak sekali. Apa aku kelaparan? Atau? “Hahahha, Jon. Nyantai dikit aja kenapa? Masih sampe pagi sob. Hahahaha”. Budi tertawa seperti biasanya.

Tentu saja kuacuhkan tawa sahabatku yang konyol ini. Aku merasa seret, kuambil air minum gelas di dalam kardus ku. Ketika air minum itu terangkat dari tempatnya, aku melihat tulisan berwarna merah di dasar bagian dalam kardus. Ah, jangan-jangan? Kubongkar semua isi kardus. Risoles dan kacang telur kekeluarkan. Sementara roti bolunya kulempar ke muka Budi. Aku yakin, tidak salah lagi. Segera ku jumpai beberapa baris kata yang membentuk kalimat.
“ Lelaki berkabut sendu. Tanganmu laksana candu. Bergelora ciptakan rindu.”
Tidak salah lagi! Puisinya, kata-kata yang digunakan, pena merah yang dituliskanya. Ini jelas dari si cewek peneror. Aku celingukan menoleh ke sana kemari. Cewek itu pasti juga hadir di sini.

“Bud, lihat!” kataku pada Budi mengagetkanya. “Siapa yang nulis puisi ini di kardus snack ku? Apa ada orang yang ngambil ini dari kamu sebelumnya?”. “Kagak jon. Dari tadi pertama kubawa, tetep tak pegang sampe sini” jawabnya agak panik. “Cewek itu pasti di sini, Bud. Siapa? Oh, Fia, Fia! Aku ketemu dia tadi di luar.” Sergahku bersemangat, seperti bocah main detektif-detektifan. “Bisa jadi Jon. Kan emang tersangkanya dia doang.” Budi benar juga. Aku bodoh. Tentu saja ini benar-benar Fia seperti dugaanku.
“ Kamu tunggu di sini, Bud!”. “Lah, mau ke mana?” Budi menarik tanganku. “Aku mau cari si Fia. Kali ini dia nggak bisa sembunyi lagi. Aku mau dia ketangkep basah.” Kataku sambil cepat berlalu. Budi melepaskan tangaku dan berteriak memberiku semangat. “Cepetan balik, ntar snack lu aku habisin lho!”. Cih, masih saja makanan yang dipikirkanya. Dasar babi jantan.

Kususuri lorong sayap gedung ini. Banyak mahasiswa maupun masyrakat non undangan yang tidak kebagian kursi berdiri di sepanjang lorong. Ada juga bakul kacang dan wedangan. Aku menebar pandangan ke keramaian di tengah gedung. Banyak cewek berambut pendek tapi mereka bukan Fia. Sampe kulihat di pojok belakang barisan kursi penonton, berseberangan dengaku. Fia memandangku dengan ekspresi terkejut. Seperti terduga korupsi melihat mobil KPK mendekatinya. Baru saja aku mau melambaikan tangaku, Fia berdiri dari kursinya dan berjalan cepat meninggalkan kerumunan. Sial! Aneh juga. Kenapa Fia musti lari?

Aku mengejarnya keluar gedung. Fia sedikit menoleh dan mempercepat langkahnya. “Hei! Kamu!” teriakku memanggilnya. Fia malah berlari semakin jauh. Aku pun bersusah payah mengejarnya. Dari dulu lariku tidak sekencang teman-temanku. Fia membelok ke gedung sebelah. Aku berjalan lurus dan mencegatnya dari belakang gedung. “Fia, tunggu dulu! Aku mau bicara.” Teriakku ketika berhasil mencegatnya. Dia putar arah dan masuk ke dalam gedung. Aku ikut masuk ke dalamnya. Di dalam aku tidak dapat menemukan Fia. Tapi aku mendengar langkah kakinya yang berlari di seponjong lorong gedung.

Fia mengarah ke sektor barat pasti. Aku mengejarnya ke sana. Fia terlihat masih berlari. Ia belok ke kiri. Di kiri hanya ada toilet dan ruang untuk BEM fakultas yang jarang digunakan. Ketika aku ikut belok kiri, suara langkah kaki Fia terhenti. Aku jelas mengecek toilet. Tak ada siapapun? Cepat-cepat kubuka ruang BEM itu. Tak terkunci! Seseorang pasti telah membukanya dan masuk ke sini.
Aku memasukinya. Ruangan itu terang benderang. Masih sama seperti terakhir aku, Mbak Santi dan teman-teman BEM lainya rapat di sini. Ada karpet dan meja untuk duduk lesehan di tengahnya. Sofa bekas dipinggir dekat lemari, beserta tumpukan buku dan kertas bertumpuk di bawah mini whiteboard tergantung. Kusisir setiap penjuru ruangan, tak ada siapapun. Di dalam ada ruang kecil semacam gudang untuk menyimpan barang-barang. Aku berniat mengeceknya, meskipun Fia tidak mungkin masuk kesitu. Itu terlalu gelap buatnya. Lagipula pintunya tertutup.

Namun kemudian ekor mataku menangkap benda-benda yang sepertinya ku kenal. Ada sebuah buku kecil yang terbuka di pojok ruangan. Pena merah tergeletak di tengahnya. Jangan-jangan?
Kuraih buku itu. Tertulis penuh dengan kata puisi di setiap lembarnya. Ya, aku kenal semua puisi-puisi ini. Sebagian besar pernah dikirimkan si cewek peneror kepadaku. Rima-rimanya, pemilihan katanya. Aku hapal betul. Inilah blueprint tersangka peneror untuk menjalankan aksinya. Akhirnya! Setelah berbulan-bulan penantian panjang. Aku benar-benar sedekat ini dengan penerorku. Aku yakin ini adalah homebasenya untuk merencanakan semuanya. Karena itulah Fia lari ke sini!
Aku membuka setiap halamanya. Semakin yakin aku Fia yang melakukanya. Kata-kata tentang kerinduan, patah hati, dan keniscayaan untuk saling bersatu adalah tema yang ditampilkan puisi-puisi ini. Jarak yang kami ciptakan setelah mengalami kedekatan pasti membuat Fia mencurahkan semua kegalauanya dalam buku ini. Aku menutup buku itu untuk melihat sampulnya, dan mencari nama Fiana Mahadewi di situ. Tak ada, kosong. Kubuka lembar pertama. Dan tertulis nama di tengahnya dengan tulisan indah.

“ Susanti Widyaswari”

Deg!!! Darahku berdesir kencang. Sesuatu seperti menghantam dadaku. Apa ini? Apa maksudnya? Di saat kumencari Fia sebagai jawaban, kenapa malah Mbak Santi yang dikirimkan ke sini? Pikiranku kacau. Kasusnya jadi tidak nyambung! Ini pasti sebuah kesalahan. Mbak Santi, puisi, dan pena merah? Tidak, tidak mungkin. Mbak Santi tidak akan melakukan hal seperti ini terhadapku. Tapi, kenapa? Namanya malah berkait dengan puisi-puisi itu!

Jegleg! Suara pintu tertutup membuyarkan pemikiran kerasku. Ku berbalik dan melihat Mbak Santi di situ. Nampaknya ia habis mengganti pakaianya yang basah karena keringat tadi di dalam ruang gudang. Mbak Santi menatapku dalam. Aku belum pernah melihat tatapan itu sebelumnya. Mulutnya sedikit terbuka. Dia hendak berkata-kata. Namun melihatku menenteng buku kecilnya, agaknya membisukan bibirnya.

Aku maju dua langkah. “Mbak, jelaskan ke aku, apa ini?” tanyaku dengan nada getir. Mbak Santi semakin menatapku dalam. Melow sekali. “Jon…”. “Kenapa ada namamu di sini? Apa maksudmu neror aku dengan puisi-puisi ini?” potongku. “A… aku..” katanya terbata-bata. Tatapanya beralih menunduk. Kulangkahkan kakiku mendekati Mbak Santi. “Apa mbak sengaja biar aku semakin baper sama si Fia? Asal kamu tahu, Mbak, aku selalu baru bisa tidur jam 6 pagi cuman karena aku baper sama puisi-puisi ini. Dan sekarang aku harus nerima kenyataan kalo kamu yang ngelakuin ini ke aku. Iya, kamu mbak! Kamu itu kakakku, kamu itu…” Ssssttt. Mbak Santi meletakkan telunjuknya ke bibirku. Telunjuknya bergetar. Mbak Santi menatapku dalam

“ Maafin mbak, Jon” bisiknya lirih. Dia kemudian memelukku. Erat sekali. Hangat rasanya. Aku meleleh. Sangat meleleh. Ketika dia menggerakkan dagunya, kehangatan berubah menjadi kenyamanan istimewa. Rasanya senikmat kue pancong setengah mateng rasa coklat keju susu. Legit dan mengenyangkan. Mbak Santi membelai rambutku. Aku mau tidak mau harus melingkarkan kedua tanganku seerat-eratnya kepunggungnya. Aku tidak perlu membungkuk, karena Mbak Santi cukup tinggi, sedikit di bawah keningku. Kurasakan kehangatan kakakku ini dengan hikmat. Dan tenggelam bersamanya.

“Kamu tahu Jon? Mbak sudah lebih dari sekedar nulis puisi buat kamu. Mbak kasih semuanya ke kamu.” katanya lirih. Aku terhipnotis olehnya. Dia mengendorkan pelukanya. Kedua tanganya mengait leherku dan pundakku. Dihadapnya wajahku dengan tatapan syahdu. “Tapi sampai mana seorang cewek bisa meraih semuanya, Jon. Kamu harus tahu, rasanya nggak dianggap itu menyakitkan.”. Mbak Santi mengatakanya dengan nada sedih dan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Oh tidak, Mbak Santi ku…
Aku tidak mau Mbak Santi meneteskan air matanya. Ku belai lembut pipinya dengan jariku, menurut garis jilbabnya. “Aku minta maaf, Mbak. Semua ini aku yang salah. Aku cuma cowok lemah yang nggak tau mesti ngapain. Bantu aku, Mbak. Seperti yang kamu lakukan ke aku dan kehidupanku selama ini.” ucapku pelan. Syukurlah, Mbak Santi kembali tersenyum, meski kali ini berat dan bergetar sendu. Kurambatkan jari-jariku menyusuri pipi hingga dagunya. Ibu jariku menyeka keringat di bibirnya.
Tiba tiba Mbak Santi menciumku! Aku gelagapan dibuatnya. Dia menciumku begitu ganas. Dihisapnya bibir dan lidahku kuat-kuat. Berkali-kali dan dengan nafas yang memburu. Aku tak mau diam. Mbak Santi tidak akan kecewa padaku. Kubelit lidahnya dengan lidahku. Air liur kami saling bertukar. Dengan cepat silih berganti kami saling menghisap bibir dan lidah. Mbak Santi sampai tersengal-sengal. Perlahan dia mendorongku hingga terduduk ke sofa. Aku yang belum siap kembali diburu ciuman ganas Mbak Santi. Lidahku dihisapnya kuat-kuat, sampai aku hampir tersedak. Untunglah dia segera melepasnya.

“Mmmpph… Ahhh… Joon, Ahhmmmpp…” Mbak Santi mendesah dan kembali berpagutan denganku. Setiap kali lidah kami saling bersentuhan, kepalaku mencipta bayangan kenangan kami ketika saling bersama selama ini. Aku dan Mbak Santi. Setiap hisapan Mbak Santi laksana perhatian dan kasih sayang yang diberikanya kepadaku selama ini. Setiap kali aku memagut lidah dan gigi-giginya, aku mengingat saat-saat indah kami berdua. Melewati kesusahan bersama-sama, sabar dan berjuang bersama dalam saling menyayangi. Setiap kali Mbak Santi mendesah ketika mengambil nafas, adalah gambaran yang menyadarkanku, bahwa selama ini yang kami lalui adalah cinta!

Pagutan kami semakin intens. Mulut rasanya basah kuyup. Benar-benar syahdu dan melarutkanku dalam kelaki-lakianku. Kuremas bongkahan dadanya yang cuma tertutup kaos hitam berlengan panjang itu. Mbak Santi tersengat dan mendesah dalam eratnya pagutan kami. Ah, perfect sekali toket Mbak Santi. Tidak terlalu besar namun cukup sekepalan tanganku. Aku meremas-remasnya kuat. Kusentil putingnya yang tak terhalang bra. Mbak Santi menggelinjang dan sempat melepaskan pagutanya. “Uuuchh, Joniii, nakal kamuuu! Mppph…” desah Mbak Santi sembari kembali menghisap lidahku.

Kunaikkan kaos Mbak Santi hingga terpampang lah dua toket sempurna. Aku kembali meremas dan memainkan putingnya. Tangan kiriku kini berusaha menerobos di balik celana jeans nya. Kutelusupkan di balik cd nya. Jembut Mbak Santi cukup lebat, tapi tercukur rapi. Ku mencari celah sempit di bawahnya. Setelah kutemukan, langsung saja kukobel memek Mbak Santi sekuat dan secepat mungkin. “Ahhhh,,, Jooon,,, sssst… ka..kamuu… ahhh.” Mbak Santi mendongak dan melepas pagutanya. Kobelan jariku tampaknya membuatnya menggelinjang maksimal. Aku berhenti memagutnya, kini toketnya yang kucium dan kuemut pentilnya. Jariku yang mengobel memeknya, kini menemukan klitorisnya dan memainkanya, bergantian dengan gerakan jariku mengocok tempik Mbak Santi. Jadilah Mbak Santi, mahasiswi berjilbab yang alim dan berprestasi ini mengejang melolong seperti jalang.

“Uuuhhh,,, stop… stop dulu joon…” teriak Mbak Santi tiba-tiba sambil memegang kedua tanganku. Mungkin dia kelelahan, atau takut orgasme dini. Sejenak dia mengatur nafasnya. Begitu juga aku. “Lanjut mbak? Nanggung nih…” protesku. “Haah,,,haah… gantian dong Jonii ku sayang” pintanya manja. Kini dibukalah resleting celanaku, berikut celan jeans ku yang terlepas. Mbak Santi menurunkan sempakku, dan munculah jagoan malam ini. Mengacung tegak keras di depan wajah Mbak Santi. Dia tertegun membelalakkan matanya yang bulat indah itu. Kontolku mengangguk-angguk menerpa hidung Mbak Santi.
Mbak Santi mencengkram kontolku dan mulai menjilatinya cepat-cepat, mirip lidah ular. “Slleerp,, Kontolmu spesial Joni… Mbak nggak nyangka bisa segede gini. Bisa jebol tempikku nanti digenjot kontol ini. Sllluuurpp” katanya sembari melahap seluruh batang kontolku. Mbak Santi memainkan lidahnya menyusuri setiap centi batang dan pucuk kontolku. Ahhh,,, ini sensasi surgawi! Nikmat sekali. Teknik blowjobnya benar-benar lihai dan istimewa. Maknyuss sekali.

Mbak Santi menggerakkan kepalanya maju mundur dengan cepat. Sekarang Mbak Santi lebih mirip bintang bokep barat yang memblowjob kontol dengan ganas. Hanya saja dengan jilbab di kepalanya.”Uhhh… Mbak Santiii… emut kontolku mbaak… Aaah enaak tenaan emutanmu mbaak. Teruus,,, joos,,, mantaap jiwa” racauku terus menurus yang malah ditanggapi Mbak Santi dengan mempercepat kulumanya. Kupegangi kepalanya yang terbungkus jilbab hitam, kumaju mundurkan, seolah-olah kini kontolku sedang menyetubuhi mulut Mbak Santi. Saking panjangnya, pucuk kontolku sering mentok ke pangkal telak Mbak Santi. Kalau sudah mentok, aku memilih menahan kepala Mbak Santi untuk men deepthroat kontolku. Tak jua kulepas, sampai Mbak Santi tersengal-sengal.

“Mmmmppp…mpphhh….Aaaah” lenguhnya ketika berhasil melepas kontolku. “Kamu tahu, Jon? Kayaknya mulutku ini emang jodoh sama kontolmu. Sluuurp…Mmmpph” kata Mbak Santi singkat dan kemudian kembali mendeepthroat kontolku kuat-kuat. Aku menekan-nekan kepalanya dan meracau. “Uuuuh, teruus Mbak Santi. Emuttin kontolku setiap pagi besok kalo udah rumah tangga yaaa,,, ahhh”. Mbak Santi semakin gencar mendeepthroat kontolku. Setiap sepuluh detik sekali dilepas dan dikulum maju mundur sebentar, baru deepthroat lagi.

Mbak Santi mungkin berusaha meminum pejuh ku. Tapi aku tidak akan membiarkanya. Kulepas kuluman Mbak Santi. Kubantu ia mencopot jilbab hitamnya, kaos, dan celanya. Mbak Santi telanjang bulat kali ini. Badanya benar-benar perfect. Kubaringkan Mbak Santi di sofa. Kedua kakinya kukangkangkan. Aku membenamkan kepalaku menjilati tempiknya. Mbak Santi melenguh nikmat.”Ahhh,,, Jooon, uuunch, nikmat joon, terusin, jangan dilepas. Mbak suka bangeet…uuuh.” begitu lenguhnya berkali-kali memenuhi ruangan ini. Semakin cepat gerakan lidahku, semakin aktif gerakan tubuh Mbak Santi menggeliat nikmat. Hingga kemudian tubuhnya agak bergetar. Kuintenskan emutanku. Mbak Santi mengejang.
“Ahhh,,, Jooon,,, Joniiii…Ahhh…” lolong Mbak Santi kencang sekali. Mbak Santi meraih orgasme pertamanya. Pejunya muncrat cukup deras. Kujilati cairan kewanitaanya, semuanya. Kemudian aku mencium Mbak Santi yang masih terengah-engah dan bertukar pejuhnya dimulut kami. Pelan dan kembali syahdu. Membantu Mbak Santi untuk kembali on dan siap ku entot. Nafas Mbak Santi sudah mulai tenang. Kulepaskan ciuman kami. Aku kembali berdiri dan mempersiapkan kontolku.

Kupegang kontolku yang telah mengacung keras. Ujungnya sudah kutempelkan di bibir tempik Mbak Santi. Aku menatap Mbak Santi yang kini berekspresi sayu. Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Aku akan mengentot Mbak Santi, orang yang selama ini kusegani sebagai kakakku sendiri. Aku melanggar ucapku kepada Budi tempo hari. Budi benar, aku dan Mbak Santi sudah saling bersama, tinggal ngentot bersama saja yang belum. Akhirnya aku kualat juga. Lebih kualat dari Sangkuriang. Darahku pun berdesir kencang. Jantungku berdegup cepat. Emosiku meledak. Aku menggila karena Mbak Santi!

“ BLESSSS!!!”. Kontol besarku kutusukkan seketika menembus selaput dara Mbak Santi. “Aaaaarghhh!!! Sakiiit!! Uuuh!!!” Mbak Santi berteriak tapi melenguh nikmat. Kudiamkan kontolku yang dilelehi darah perawan Mbak Santi. Tempik Mbak Santi ketat sekali. Kontol besarku benar-benar terjepit sempit sekali. Dinding vaginanya berdenyut cepat. Kontolku rasanya seperti dipijat. Enaaak sekalii. Mbak Santi memberiku surga.

“Aduuh Joon, cepetan! Mbak nggak sabar nih!” Mbak Santi merengek manja sekali. Aku yang tersadar pun langsung menggerakkan kontolku cepat. “Eh…eh eeeh… Pelan dong Jon…” pekik Mbak Santi karena mungkin tempiknya masih sakit. Aku kembali melumat bibirnya. Mbak Santi menjadi sedikit tenang. Aku mulai kembali menggenjotkan kontolku keluar masuk dalam tempik sempit mbak kesayanganku ini. Setiap tusukan pelanku menyebabkan nafas Mbak Santi mendengus seksi. Aku pun melepas pagutanku dan menikmati wajah ayu Mbak Santi saat kugenjot.

“Uuuh,, Parah Mbak… Tempikmu seretnya nggak ketulungan…mmmphh” aku melenguh sambil mempercepat genjotanku. Mbak Santi pun semakin terlarut dalam setiap gerakanku. Semakin cepat genjotanku, semakin keras suara nafasnya menjadi semacam rintihan nikmat ala ala bokep jepang. “ Emmpp,,Ehhh…Ahhh…Gi..gii..gimanaah?” Mbak Santi berusaha bicara di sela-sela derasnya genjotan kontolku. “ Aaahmmp,,, apanya Mbak?” tanyaku balik.

“Tem…ahh,…tempik…tempikku,,ahhhh….e…ennaaak…aaah.enak nggak?” Mbak Santi benar-benar kepayahan untuk sekedar bicara. “UUUUeeenaaak mbaak! Kamu bidadariku sayaang… tempikmuu nikmat nggak ada duanya. Uuuuaaah…aaah!!” aku tak kalah menggila.

Genjotanku sudah semakin diambang batas maksimal. Setiap detik serasa lebih cepat. Hingga kecepatan genjotanku sekarang kira-kira 4 kali per detik. Kupastikan setiap tusukkan palkonku menembus mentok ke rahim Mbak Santi. Tapi semakin cepat membuat pegal juga. Ketika itu terjadi, aku memagut bibir Mbak Santi dan meremas payudaranya, sementara genjotanku berhenti sejenak 30 detikan. Baik Mbak Santi dan aku mempergunakan itu untuk mengatur nafas. Selepas itu aku kembali tancap gas menjebol tempik Mbak Santi. Mbak Santi bahkan sampai berteriak dan melolong keras. Kalo ada orang 20 meter dari gedung ini saja pasti sudah dapat mendengar lolongan Mbak Santi yang dihujam kontol besarku.

Ternyata interval jeda setiap genjotan itu membuat kami lupa waktu. Ketika aku melirik jam di atas lemari, jarum jam menunjuk angka 12, itu berarti hampir satu jam sejak kita mulai berciuman. Kurasakan tempik Mbak Santi semakin nyaman saja. Dindingnya berdenyut lebih cepat. Tubuh Mbak Santi pun sedikit bergeliat. “Aaaaahmmp,,,Joon,,, Kamu hebaat….Mbak hampiiir…aaah Samp….pee”. Mendengar itu aku semakin mempercepat tusukkan kontolku. “Keluarin ajaaah,,, Mbak ku sayaang… Joni selalu untukmuuu…aaah”. “Teruuushh Jooon…aaah,,,, Mbaak…ahah… Mbaaaak… AAAAAAAAAHHHH!!!!” Mbak Santi berteriak panjang dan keras sekali.

Kurasakan cairan pekat deras menyembur di dalam tempiknya. Aku pun mengistirahatkan kontolku, menikmati orgasme Mbak Santi yang cukup lama. Entahlah, rasanya puas, tapi aneh. Mengingat yang kubikin kelonjotan karena tusukkan kontol ini adalah orang yang sangat kusegani selama ini. Mahasiswi jilbab berprestasi yang kuanggap kakak sendiri itu kini tengah menggelinjang nikmat karena dientot habis-habisan oleh kontol juniornya. Kukecup kening dan bibirnya sebentar, kemudian kubelai rambut panjangnya perlahan seperti kisah-kisah klasik kekasih daratan dongeng. Naluriku benar-benar ingin memberikan rasa nyaman dan aman kepada kakak tingkatku ini. Membiarkanya larut dan lupa soal status kami.

“Mmmpphh,,, Jonii…” Mbak Santi berkata lirih. “Ada apa Mbakku sayang?”
“Kontol gedemu belum keluar yaah?”
“Hehehe… tau aja. Habisnya tempikmu maha nikmat Mbakku sayaang, jadi pengen lama-lama” sahutku seraya mengecup bibirnya sebentar.
Mbak Santi tersenyum tulus sekali. Pasrah dan bahagia
“ Kamu bener-bener hebat jon. Nggak salah mbak pilih kamu…”
“Weiits,,, dipilih jadi apa nih?” candaku garing
“Jadi tuanku..” ia mengatakanya sambil tersenyum maniiis sekali. Uuh gua jadiin istri lama-lama nih cewek.
“Kok jadi tuan sih? Hehehe”
“Iya, soalnya aku mau jadi budak seks kamu… selaaaamanya” amboi makin manis pula nih cewek.
“Aduh kebalik Mbak Santi,,,”protesku. “Kontolku ini yang selalu siap melayani kamu”.

Mbak Santi tertawa kecil. Aku juga ikut tertawa. Momen ini terasa begitu hangat. Ini adalah muntahan dari rasa sayang kami yang terpendam di dasar dan lama tertutup keseganan kami.

“Mungkin emang tempikku sudah ditakdirkan, diciptakan Tuhan buat njepit kontol besarmu itu….”. aku tak mau kalah. “Dan kontolku ini ditakdirkan buat selalu nyodokin tempikmu sampe hamiil Mbak Santiku sayaang….” Syadu.

“Kalo gitu, kapan lagi kamu mau nggenjotin tempikku?”

Itu adalah tantangan. Aku melepas kontolku. Membalik tubuh Mbak Santi. Mengajaknya setengah berdiri bertumpu pada meja BEM di depanya. Aku siapkan peluruku tepat mengarah pada lubang sempit itu. Mbak Santi senyum senyum binal.

“Ayo, pria ku sayang.. .genjot aku sampe jebol tempikku…” rintih Mbak Santi menggoda. Aku bagai tersulut sumbu petasan. Dengan sigap kucengkeram pantat sekal mantap Mbak Santi kencang-kencang. Kutarik napas dalam-dalam, dan. …

JLEBBBB !!! Kontol besarku melesat amblas dalam tempik sempit Mbak Santi. Dia langsung berteriak keraas sekali. Langsung saja kusodok tubuhnya sampe berguncang-guncang kedua belah payudara sekalnya. Sodokan kontolku seperti kuda jingkrak kesetanan sehingga membuat Mbak Santi melonjak lonjak kegirangan. Kali ini tak kuberi ampun Mbak ku yang satu ini. Dia harus diberi pelajaran. Yaaa, pelajaran Kontol.

“Oooh…ahh ahhh ahhh. .Aaaaaah” desah Mbak Santi cepat putus-putus. Setiap genjotan kontol ku pasti terasa menghujam rahimnya dalam dalam. Jleb jleb jleb. . .Bless bless blesss. ..dan suara tepukan pantat Mbak Santi dengan pahaku. ..plak plak plak plak. …Bergema bercampur desahan kami memenuhi ruangan BEM ini membuat keringat kami semakin menggila tercampur satu sama lain karena hebatnya persetubuhan kami. Persetubuham Susanti Widyaswari dan Joni Saputro yang begitu panas. . .

“Mmmppphh.. ..Tempikku kamu apain joon? Aaaahh. ..enak nggak ketulungaaan.. .Aaah..” lenguh Mbak Santi keenakkan ketika kuvariasi gerakan hujaman kontolku memutar seperti mengaduk-aduk tempik mbak kesayanganku ini. “Ini namanya kontol pengaduk tempik, Mbaaak. ..aaah…pengaduk tempik jilbaban kayak kamuuuh. ..Aaah. .” lenguhku. Gerakan mem bor tempik ini begitu nikmat. Aku juga sampe melotot ke langit-langit saking nikmatnya. Gerakan itu kuseling dengan hujaman dalam sampe mentok rahim Mbak Santi. Tak pelak Mbak Santi kembali menggelinjang setelah itu. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Kuremas kedua payudara sekalnya yang menggantung, sambil menolehkan wajah Mbak Santi. Sambil terus menyodok tubuhnya dari belakang, aku pun susah payah melahap bibir Mbak Santi. Paling tidak meredam suara lenguhanya biar nggak terlalu berisik.

“Eeeehh Aaahh… Teruuus Jonii… Perkosa akuuh. ..aaah. ..Aku mau keluaar.. .” jerit Mbak Santi ketika kulepas pagutanya. Mendengar itu aku segera menghentikan genjotanku. “haah. ..Haaah…kenapa berenti sih? Mbak pengen.. .cepet.. “Mbak Santi merengek manja manja binal. Tubuhnya digoyang2kan. Lidahnya menjilat bibirnya sendiri. Aku bukanya bermaksud membuat Mbak Santi menderita. Tapi aku mau orgasme bareng dengan suasana yang lebih syahdu.

Kucabut kontolku dari cengkeraman tempiknya. Aku duduk di sofa bekas ruangan BEM ini. Mbak Santi mengerti apa maksudku. Aku menuntunya naik ke sofa dan mengangkangiku. Aku ingin WOT sama Mbak kesayanganku ini. Kulihat Mbak Santi menggapai kontolku dan berusaha memasuknaya tergesa-gesa. Agaknya orgasmenya masih diujung tanduk. Aku membantunya mengarahkan ke lubang tempiknya. Dengan satu sentakan Mbak Santi mengamblaskan kontolku ke dalam tempiknya.

Slebbbb! “Aaaah.. .aku binal banget ya joonn” ucap Mbak Santi tiba-tiba sebelum mengaduk tempiknya. “Lumayan sih mbak. Tapi kalo kamu mau jadi budakku, harus bisa lebih liaaar lagi goyangya. ..Ayo..goyang lonteku sayaang” jawabku agak kasar. Agak kepikiran juga setelah itu gimana kalo Mbak Santi tersinggung. Tapi dia malah senyum lebar, kayak senyumnya penjahat penjahat superhero amerika. “Belum tau kamu Joni sayang. . Ini goyangan maut ala Susanti Widyaswari. Pastiin kamu hamilin aku yaa, karna kamu bakalan crot di sini.. .” kata Mbak Santi sambil menggenjot kontolku secara cepat dan tiba-tiba.

Aku kaget karena Mbak Santi jauh lebih liar dariku. Sangat berbanding jauh dari dirinya yang kukenal sebagai mahasiswa berjilbab yang selalu santun. Aku tenggelam dalam kebengonganku dan semakin menggila karna goyangan maut Mbak Santi. Diputarnya pantat sekal itu, seperti membiarkan kontolku yang mengacung tegak mengaduk liang tempiknya yang nikmat tiada tara itu. Semenit kemudian genjotan vertikal yang mantap dan cepat. Aaah gantian aku yang melenguh-lenguh keras karena diperkosa Mbak Santi. Aku nggak berdaya. Rasanya speema ku sudah mengantre di ujung palkon. Tapi aku nggak mau kalah. Aku sodok-sodokan kontolku ke atas sambil memeluk dan meremasi payudara Mbak Santi. Dia langsung merespon dengan melilit lidahku. Kombinasi genjotan dan liyukan tempik Mbak Santi, beserta pagutan heboh kami berdua, membuat aku merasa ingin terus memeluk Mbak Santi.

“Mmmpph. .Lumplpepmmoop. .Mmpph” begitulah kata kata yang keluar dari mulut kami karena saking panasnya pagutan kami. Kehangatan dan kenyamanan ini membuat aku semakin menggilu. Kupercepat sodokan kontolku. Membuat persetubuhan kami menjadi lebih cepat. Mbak Santi mulai meliuk-liuk. Dia akan orgasme. Kuimbangi. Aku ingin meraih orgasme bersama Mbak Santi ku sayang. Kulepas kulumanya sesaat dan kukatakan kepadanya. “Ahh. ..Bareng Mbak.. .”. Mbak Santi mengangguk kecil. Genjotak kami semakin cepat. Nafas kami semakin menderu. Kami kembali berpagutan mesra. Jleb jleb jleb jleb jleb jleb.. . ..CROOOT CROOOOT CROOOOT

Muncratlah berliter-liter pejuh yang beberapa hari ini nggak ku coli kan. Bebarengan dengan lelehan pejuh Mbak Santi yang tinggal sedikit. Kuresapi setiap tembakan sperma yang memenuhi rahim Mbak Santi. Setiap tembakan itu pula menghantarkanku pada kilasan memori kami berdua. Mbak Santi yang membantuku, menerima keluh kesahku, bekerja bersama-sama, dan selalu tersenyum untukku. Aku baru paham, dia benar-benar tercipta untukku. Sosok yang kucari cari bukan bunga yang itu, atau yang itu. Bukan yang jauh, atau yang di sana-sana. Tapi berada sedekat ini, menjelma hari-hariku, Mbak Santi. ..

Setelah orgasme, Mbak Santi ambruk menindihku. Nafasnya tersengal-sengal. Tetapi ia tak mengatakan apa-apa. Kulihat jam menunjukan pukul 4. Sebentar lagi pagelaran wayang akan usai dan kami harus ikut membereskan semuanya. Ingin ku segers beranjak dan mencari pakaianku. Tapi pelukan Mbak Santi yang begitu hangat membuatku kembali hanyut dalam romantika tanpa kata. Dalam pejamnya, Mbak Santi tersenyum. Kecil namun tulus. Ia berkat kata pelan.

“Joni.. .lelaki yang berkabut sendu itu sudah kutemukan. Ah bukan. Ia yang menemukanku. Harus kuapakan dia? ”

Aku kembali tersenyum
“Simpan saja di buku catatanmu. Biar besok bisa kau lihat lagi. ”

Kami tersenyum, dan kembali berciuman mesra.
…………………….

Fia berlari keluar gedung. Yang dilihatnya di dalam gedung tadi mebuatnya sesak. Bagaimanapun lelaki yang bernama Joni itu masih spesial baginya.

bersambung