Jamuan seks di pedalaman sulawesi
Jika ada kesamaan nama dan tempat, mohon dimaafkan, ini bukan kesengajaan. Nubi hanya share saja apa yang ada dalam ilusi nubi.
Dalam hal penulisan dari segi apapun, nubi mohon arahannya.
Dua tahun yang lalu, saat aku masih kuliah semester akhir dan sedang menyelesaikan skripsiku. Oleh Dosen pembimbing, aku disarankan mendatangi salah satu daerah di pedalaman yang masih terhitung daerah yang tertinggal, baik dari segi ekonominya maupun pendidikannya. Sebagai mahasiswa jurusan Fisika, aku disarankan khusus untuk meneliti tentang keadaan alamnya lalu berusaha menciptakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk di daerah itu.
Untuk menentukan daerah mana yang harus aku datangi, aku berusaha mencari informasi dari berbagai seumber. Tak ada yang cocok dengan hati dan keinginanku. Emang sih, untuk menentukan daerah mana yang akan aku jadikan objek tak perlu menggunakan hati dan keinginanku, tapi yang dibtuhkan adalah kesamaan kultur daerah itu dengan apa yang disarankan oleh Dosen Pembimbing.
Setelah mengacak-ngacak kediamannya mbah google, akupun menemukan satu daerah yang kulturnya sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Dosen Pembimbingku. Daerah itu terletak di pedalaman Sulawesi. Sebuah Dusun yang dihuni oleh suku yang mempunyai budaya dan peradaban berbeda dengan penduduk lain di belahan bumi Nusantara. Dusun Lihito (nama Dusun ini aku samarkan) terletak di perbatasan Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Setelah berhasil mengumpulkan bahan dan literatur tentang daerah itu serta menyiapkan segala kebutuhan selama melakukan penelitian, akupun siap untuk berangkat. Perjalanan kesana kuperkirakan akan memakan waktu selama 3 hari, dengan menggunakan bis antar kota.
Aku berangkat dari terminal Kota Makassar menggunakan bis antar kota, 1 hari lamanya aku tiba di terminal Palu, lalu perjalanan kulanjutkan ke daerah tujuanku, perbatasan Gorontalo. Perjalanan kesana pun memakkan waktu sehari semalam. Tengah hari esoknya aku tiba di perbatasan daerah itu, Desa Moutong (nama Desa ini juga aku samarkan). Sesuai petunjuk yang kudapat, Dusun Lihito terletak di daerah kepolisian Desa Moutong.
Setelah melapor kepada Ayahanda (Istilah yang dipakai untuk menyebut Kepala Desa di daerah itu) dan menjelaskan maksud kedatanganku, Ayahanda pun menyambut baik apa yang akan aku lakukan di Dusun itu. Akupun dipersilahkan untuk menginap di rumahnya, karena perjalanan ke Dusun itu akan memakan waktu sekitar 4 jam jalan kaki. Tak ada kenderaan yang bisa digunakan kesana. Artinya jika aku memaksakan diri pergi kesana sekarang, maka bisa dipastikan akan tiba disana menjelang Magrib.
Tak perlu aku ceritakan secara detail proses aku menginap dirumah Ayahanda malam itu. Pagi harinya akupun berangkat dengan ditemani Pak Juna, salah satu penduduk Desa Moutong yang ditugaskan oleh Ayahanda mengantarkan aku ke Dusun Lihito.
Perjalanan kesana sangat menguras tenagaku. Jalannya berbatu dan kadang harus memanjat pohon besar yang tumbang ditengah jalan. Empat jam kemudian kami sampai ke Dusun Lihito. Ternyata Dusun Lihito adalah Dusun yang terletak dilembah sebuah gunung.
Lembah itu adalah lembah yang subur, dengan pepohonan hijau yang berderet dari puncak gunung hingga lereng gunung. Sebuah danau dengan airnya yang sejuk membelah pemukiman penduduk yang rata-rata adalah petani, dilihat dari banyaknya perkebunan dan sawah-sawah di pemukiman itu. Rumah-rumah yang sederhana ala perkampungan pedalaman berjejer tak begitu beraturan di sepanjang danau. Jalan-jalan berbatu yang hanya berupa rintisan-rintisan kecil tanpa aspal memanjang diantara deretan rumah. Perkebunan yang sebagian besar hanya ditanami umbi, rumbia juga pohon-pohon yang mirip pohon ganja serta kandang-kandang ayam yang ada disetiap samping rumah penduduk menambah kesan bahwa pemukiman ini adalah sebuah Dusun yang cukup subur, namun sayang jauh dari kehidupan kota.
Jika pandangan diarahkan kebawah dari puncak gunung, nampaklah sebuah pemandangan alam yang sangat luar biasa indahnya. Lebih-lebih pegunungan hijaunya, makin menambah indahnya suasana alam di pemukiman yang dihuni oleh kurang lebih 100 KK itu.
Penduduk dipemukiman itu masih tergolong terbelakang dalam segala hal. Para lelakinya tak beraktivitas apapun. Mereka hanya duduk-duduk saja sambil merokok lintingan tembakau diteras rumah yang rata-rata dindingnya terbuat dari pelepah rumbia yang disusun dan beratap daun rumbia yang dianyam sedemikian rupa dijadikan atap. Para wanitalah yang sibuk bekerja, melakukan aktivitas yang rata-rata di wilayah Indonesia dilakukan oleh para pria. Keadaan disini seperti terbalik, pria dirumah dan wanita bekerja.
Cara berpakaian penduduk disinipun agak aneh dan cukup membuat yang hidup didaerah perkotaan akan merasa janggal melihatnya. Para wanita berpakaian seadanya, hanya memakai secarik kain yang cukup menutupi payudara mereka, semacam celemek, hanya bagian depan saja yang ditutupi sementara bagian punggungnya kelihatan. Rok yang mereka pakai pun boleh dibilang sangat minim, hanya berupa tiras-tiras kain tanpa dijahit satu sama lain, yang hanya menutupi sejengkal saja dari pangkal paha, sehingga jika saat berjalan rok itu ditiup angin maka akan kelihatan pangkal paha dan pantat mereka . Sepatu yang hanya berupa kulit kayu membungkus kaki sebatas lutut diikat tali-tali dari ijuk. Sementara Para prianya memakai pakaian yang utuh. Celana sebatas betis dan kemeja yang menutupi seluruh badan.
Agak janggal memang, tapi itulah kehidupan dan tradisi disana yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun.
Aku berjalan menyusuri jalan berbatu dengan terseok-seok. Peluh terus mengucur diseluruh tubuhku. Didepanku Pak Juna berjalan dengan langkah panjang, tak nampak kelelahan ditubuhnya, padahal usianya sudah sekitaran 50 tahunan.
Kita sudah sampai. Nak Anton akan saya antarkan kerumah Kepala Suku disini. Ucap Pak Juna sambil terus berjalan. Aku mengikutinya dari belakang. Sesekali Pak Juna menyapa orang-orang yang lewat, sebagian besar para wanita dengan pakaian seperti yang aku gambarkan, akupun menganggukkan kepala memberi salam pada mereka yang dibalas dengan senyuman. Sebagian dari mereka ada yang menatapku dengan heran, ada yang saling berbisik dalam bahasa yang tak ku mengerti sambil cekikan. Sama seperti cekikan wanita yang lagi membicarakan hal-hal seronok tentang seorang pria. Aku tak peduli dengan tingkah mereka.
Di tengah-tengah perkampungan itu berdiri sebuah rumah yang agak besar dengan sebuah bangunan seperti balai pertemuan yang terletak terpisah dari rumah. Kami berjalan ke arah situ. Tempat itulah yang disebut-sebut oleh Pak Juna sebagai tempat tujuan kami.
Kedatangan kami disambut oleh seorang pria bertubuh besar dengan pakaian kebesaran. Kepalanya memakai penutup kepala dari kain warna hitam, agak membumbung seperti topi feel comander marching band. Dipinggiran topi itu dihiasi seperti renda kain dipadukan dengan bulu-bulu burung. Bagian tengahnya memanjang dari jidat hingga ke puncak bubungan topi dhiasi kain berwarna kuning keemasan yang ditatah dengan lempengan-lempengan kecil dari perak berjajar sepanjang kain itu. Tak jauh dari Pria itu seorang wanita cantik dengan pakaian yang kuyakini itu adalah pakaian kebesaran juga. Penutup kepalanya agak berbeda dengan yang dipakai oleh si Pria. Kepalanya dililit oleh kain berwarna putih. Ditengah kain putih itu dililit lagi oleh kain berenda warna kuning emas, serta manik-manik mutiara warna-warni.
Aku meyakini pria itu adalah kepala Sukunya, dilihat dari penghormatan orang-orang yang ada disekitarnya, dan Wanita itu kuyakini juga adalah isterinya.
Setelah mengucapkan sesuatu yang aku tak mengerti apa maknanya, kamipun masuk ke dalam gedung itu mengikuti Sang Kepala Suku. Kami dipersilahkan duduk bersila diatas tikar pada ruangan luas ditengah rumah itu. Tak ada kursi atau bangku disitu, hanya tikar yang ada. Tak lama kemudian seorang wanita yang berpakaian setengah telanjang datang membawa baki dari anyaman bambu. Diatas baki terdapat minuman dan sedikit makanan khas suku itu. Setelah meletakkan baki, perempuan yang kuperkirakan berusia sekitar 35 tahun itu pergi meninggalkan baki dan seluruh isinya. Sejenak kuperhatikan wanita itu hanya memakai baju sekenanya lebih mirip celemek menutupi sebagian dadanya dan masih menampakkan gundukan payudaranya yang montok.
glekkk… aku menelan ludah. Ternyata ada juga wanita seksinya disini, pikirku mulai mesum.
Toduwolo… ucap kepala suku mempersilahkan dalam bahasa yang tak kumengerti apa artinya. Belakangan ku ketahui dari Pak Juna bahwa itu ucapan mempersilahan yang artinya dipersilahkan. Aku mengeluarkan buku dan bolpoint, mencatat setiap ucapan kepala dusun itu, dengan niat akan aku tanyakan pada Pak Juna nanti semua artinya.
Aku mengambil potongan ubi goreng dan kentang goreng lalu memasukkan ke dalam mulutku. Enak juga rasanya.
Tanu ma wolo palalu olanto dulota sambe ma yilumapalo ode diya, Ju ? (ada kepeluan apa anda berdua datang kesini tanya kepala dusun membuka percakapan diantara kami.
Selanjutnya aku akan tuliskan dalam bahasa Indonesia setiap ucapan semua warga suku ini, terjemahan ini aku dapat dari Pak Juna
Begini Tapulu, (seperti yang telah aku search lebih dahulu, bahwa tapulu adalah sebutan untuk seorang pemimpin di daerah ini) Aku hanya hendak mengantarkan adik ini kemari. Dia adalah seorang mahasiswa dari Makassar, hendak melakukan penelitian disini, siapa tau dapat sedikit membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduk disini Pak Juna mulai menjelaskan.
Oh begitu. Silahkan nak…. Tapulu memandangku
Anton, Tapulu… sambungku
Silahkan nak Anton. Tapi di sini semuanya terbatas. Tak seperti daerah perkotaan. Penduduk sini banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. Jadi harus bisa menyesuaikanlah
Aku manggut-manggut seperti orang yang mengerti saja. Pak Juna saat itu brtindak sebagai Juru Bahasaku.
Malam itu, Tapulu memberi tahu berbagai macam hal yang ada di Dusun ini. Dari perilaku warga dusun, cara mereka bertani, bergaul, dan segalanya yang berhubungan dengan kehidupan penduduk di Dusun ini.
Saat makan malam, aku dan Pak Juna disuguhkan makanan tradisional daerah itu. Ada makanan dari ubi kayu yang diparut lalu direbus yang di suku itu dinamakan soko, ada juga makanan dari sagu yang dibungkus daun pisang lalu dibakar, sungguh nikmat.
Dilantai beralas tikar, kami makan berenam. Aku, Pak Juna, Kepala Dusun, isterinya dan dua anak perempuannya. Ada sedikit hal aneh yang mereka lakukan. Air yang ku minum, makanan yang baru kugigit sebagian langsung diambil oleh mereka dan dibagi kepada isteri dan anak-anak sang kepala suku untuk dimakan. Mereka seperti berebutan. Aku tak mencoba bertanya kenapa itu mereka lakukan, dan Pak Juna pun tak menjelaskan kelakuan mereka padaku sama sekali. Ah, biarlah. Pikirku.
Rumah itu dihuni oleh keluarga yang diangkat menjadi kepala suku di pemukiman itu, mungkin lebih tepatnya disebut kepala suku. Dalam sehari-harinya kepala suku di panggil dengan sebutan Tapulu yang artinya Pemimpin atau Kepala atau Raja dalam suatu Kerajaan. Pakaian keluarga kepala suku berbeda dengan mereka yang hanya penduduk biasa. Pakaian kebesaran keluarga istana, seperti itulah kira-kira jika dalam sebuah kerajaan.
Cerita disingkat, sudah tiga hari aku tinggal di Pemukiman itu. Pak Juna sudah kembali, beliau hanya menemaniku selama dua hari, namun selama itu beliau selalu menemaniku melakukan pekerjaanku dan mengajariku bahasa daerah di pemukiman itu. Pak Juna berjanji akan kembali lagi dalam waktu dekat untuk menemaniku di dusun itu.
Tiga hari telah berlalu, aku mulai melakukan survei ke seluruh wilayah pemukiman. Untuk memudahkan pekerjaanku, aku dibuatkan tempat tinggal khusus di atas puncak gunung oleh kepala suku. Sebuah pondok yang agak lega dengan satu kamar. Dindingnya dibuat dari pelepah rumbia, lantainya dari pohon seperti kelapa, di suku itu dinamakan ombulo atau woka, yang dibelah-belah hingga bisa dijadikan alas. Untuk makanan dan minuman, putri-putri kepala suku selalu mengantarkan makanan dan minuman, kadangkala pula warga lain mengantarkannya. Setiap aku makan, pasti saja mereka minta untuk disisakan, lalu dengan berebutan mereka makan dan minum dari sisaku itu.
Seperti siang itu, saat aku baru tiba dipondokanku kulihat kedua putri kepala suku sudah ada disitu, menungguku. Mereka membawakan makanan untukku. Kedua putri kepala suku ini manis-manis dan cantik-cantik. Yang kakak bernama Muna dan adiknya bernama Muni. Kami sudah sering ngobrol bertiga. Ya, meskipun dalam mengucapkan bahasa Indonesia mereka masih kaku, tapi bisa mengerti apa yang aku ucapkan. Begitu juga aku, meskipun dalam berbahasa suku ini aku masih belum fasih, tapi setidaknya aku mengerti apa yang mereka ucapkan.
Kenapa kalian selalu memperebutkan sisa makanan dan minumanku ? Tanyaku pada mereka setelah aku selesai makan, dan sisa makananku kembali diperebutkan oleh mereka.
Ini tradisi kak. Kami yakin bahwa sisa makanan dan minuman orang berpengetahuan seperti kakak membawa berkah bagi yang memakannya ataupun meminumnya jawab Muna menjelaskan dalam Bahasa suku itu.
Aku terkekeh. Sungguh warga suku ini sangat percaya pada mitos seperti itu. Dilihat dari aktivitas mereka, dari tradisi mereka atau dari sudut pandang agama, nampaknya suku ini tidak memeluk agama manapun. Mereka hanya mempercayai apa yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
Orang seperti kakak itu mestinya dimuliakan disini. Segala keperluan kakak harus kami sediakan. Dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan juga wanita untuk menemani kakak setiap tidur Muni adik Muna memberi penjelasan lagi…
Menemani tidur ? aku heran dan sedikit takjub (dan ngacceng… hehehehe) dengan penjelasan yang satu itu.
cobalah kakak berkunjung ke salah satu rumah warga di dusun ini tambah Muni.
Oh, aku baru faham sekarang. Dua hari yang lalu……………