Jaded.. Jadded
udah ah, daripade kebanyakan bacot, mending langsung cekidot.
oye, atu lagi. Ini cerita ga pure sex melolo, jadi kalo ada member yang ngarep bakal ngaceng sengaceng-ngacengnya ngaceng, mending turning back, dan gausah dibaca. karena disamping itu cerita ini juga agak sedikit “mindfuck” muehehehe (lagi). yeaa.. anggaplah begitu.
- Obsession
Hujan di sepanjang hari tadi meninggalkan banyak genangan air di jalan-jalan dan lapangan baseball, sesekali semilir angin yang berhembus menghantarkan bau-bau basah dari tanah dan bebungaan yang lunglai. Tepat pukul 17.00, ia datang, dengan balutan blazer hitam yang membuat sosoknya tampak menggoda sekaligus elegant. Tumben, rambutnya sudah tergelung sore ini, dikuncir ikat rambut warna cokelat muda, seperti sengaja memperlihatkan putih tengkuknya yang ditumbuhi banyak bulu-bulu halus. Dan seperti yang sudah-sudah, seakan tak ada lagi opsi table baginya selain di table 13, nomor favourite dengan view outdoor menghadap lapangan baseball yang basah dan becek. Ia begitu menikmati tempat duduknya itu. Dan, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, pesanannya juga nyaris tak pernah berbeda : secangkir cappuccino panas dan sebungkus rokok, rokok putih yang menjadi kegemaran ku juga saat ini. Marlboro Light.
Segera kubuatkan dua cangkir cappuccino paling special untuk dia yang ter-istimewa, dan selekas mungkin kuantarkan sekalian tak lupa kubawakan sedikit kudapan, croissant, meski ia tak memesan itu.
“silakan”, ku letakan pelan-pelan secangkir cappuccino yang masih mengepul di mejanya tersebut, disusul croissant dan rokok tentunya.
“masih dari boss-mu?”tanyanya seraya melirik pada seporsi croissant yang tersaji diatas sebuah piring persegi cantik berwarna Jade (hijau cerah seperti jamrud)
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “sampaikan terima kasihku padanya” ucapnya lagi.
Aku mengangguk untuk kedua kalinya, lantas berbalik namun ia memanggilku lagi.
“umm.. sorry”
“apakah ia.. maksudku, boss-mu akan membayar bill ku kali ini juga?”
“mungkin iya” jawabku sekenanya.
Ah, betapa beruntungnya dia yang pernah mengecup bibir yang indah tersebut. Dipulas gincu warna jambon lembut yang selalu terlihat basah. Pasti lebih memabukan dibanding jejeran vodka dan wine yang terpajang yang tiap malam menemaniku pada mimpi panjang tentangnya, tentang dia, si brunette “pemilik” table 13.
Ia akan menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk ngopi-ngopi seraya.. entah apa yang ia kerjakan dengan laptopnya, jari-jarinya selalu terlihat sibuk menari di atas keyboard. Selama ini juga tak pernah ku lihat ia datang bersama seorang teman atau siapapun, ia selalu datang sendiri, duduk di bangku yang sama, memesan pesanan yang sama, datang di waktu yang sama seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Herannya rasa penasaranku untuk bisa mengenalnya lebih jauh makin tinggi tiap harinya. Ingin aku sekedar menyapa, atau kalau perlu duduk di bangku kosong di tablenya. Berkenalan dengannya, berbincang dan.. entahlah, aku ingin sekali menghadiri primere debut film sahabatku bersamanya atau sekedar berkeliling kota, menyaksikan gemerlapnya Jakarta di malam hari.
Setengah jam sudah. Ku lirik ia yang tengah merapikan laptop dan segala tetek-bengek yang berserakan di meja. Untuk kesekian kalinya, ia sulut lagi rokok putihnya. Hmm… perokok berat juga dia.
Ia melambaikan tangan, memanggil waiter
“Bill-nya sudah dilunasi mbak”, ucapku begitu sampai di tablenya.
Sejenak ia bergeming. Ku lihat mata cantiknya memicing menerawang ke salah satu sudut dinding, lalu..
“Bisa aku bertemu dengan boss-mu?”Tanyanya kemudian
“kebetulan ia tak ada, um maksudku ia baru saja keluar beberapa menit yang lalu”
“apakah aku mengenal boss-mu?” sudah ku duga, ia akan semakin penasaran.
Aku menggeleng, tak tahu harus menjawab apa.
“apa maksud boss-mu selalu melunasi bill-ku. Bilang padanya aku ingin bertemu dengannya besok.”
“siap mbak!” aku mengangguk pasti. Ia pun beranjak dan seperti biasa, selalu ada uang tip beberapa lembar rupiah dibawah cangkir kopi. 20.000. Nominal ini tak pernah berubah. Seakan ia secara sengaja sudah menyiapkan cash untuk tips. 100 ribu sudah ku dapatkan darinya.
Tak boleh ada tangan lain yang membersihkan table bekasnya. Bekas tissue, puntung rokok dan semua tentangnya ku bedakan dengan sesampahan lainnya. Cangkir maupun piring bekasnya ku bedakan dengan yang lain,harus aku yang mencuci dan meminum kopi bekasnya yeap.. perlakukanlah yang istimewa yang hal-hal yang istimewa. Ku simpan lalu ku bawa pulang tissue dan puntung rokok bekasnya dalam kantung yang sudah kupersiapkan. Tak akan kubiarkan semua tentangnya berbaur dengan sampah-sampah lain. Ia special bagiku. The perfect creature! Bagiku ia merupakan masterpiece terindah, mahakarya Tuhan dengan nilai seni yang tertinggi.
Selagi membersihkan meja bekasnya, mataku menangkap sebuah kartu akses yang terjatuh di kolong bangku. Inikah dia? Jadded namanya. Tinggal di apartment yang sama denganku, hanya saja ia di tower baru, dan aku di tower lama. Aha!! Ternyata tempat tinggal kami tak berjauhan, hanya berbeda tower. Ah.. dasar.. hahaha. Namun yang tepenting saat ini adalah, access card ini, harus sesegera mungkin ku sembunyikan sebelum ia kembali dan menanyakannya.
Setelah beres membersihkan table bekasnya dan kebetulan sore ini tak seramai kemarin, lantas kuperintahkan karyawan-karyawanku agar tutup saja setengah jam lagi.
“Jhon! Sini”
“ntar jam 6 tutup aja deh ya”
“tutup pak? Ada apa Pak, bukannya malam ini ada live performance dari Jeanette?”
“tunda besok saja, OK?” ku tepuk pundak Jhon dan bergegas meraih jaket dan meminta Jhon untuk mengambil kunci mobilku secepatnya.
- Daydreaming
16.49 aku keluar kantor. Aku bergegas menuju basement dan lagi-lagi harus mengabaikan ajakan teman-teman mampir sejenak di coffee shop langganan mereka, aku sudah memiliki tempat favourite ku sendiri. Ya, tempat dimana aku bisa berinteraksi dengan Via, meski tak sebebas di kamar kami. Via bilang, selagi mood ku kencang, aku takkan menyianyiakannya. Segera kupacu Honda Jazz-ku menuju kedai kopi favourite kami. Entah lah aku dan Via merasa cukup nyaman disana.
“..aand lemme guess, pasti si waiter itu lagi yang bakal nganterin pesanan lo Jad”
Hehehe.Aku hanya terkekeh lalu menepikan mobil untuk membeli sebungkus rokok.
“Pak, Marlboro light dong! Satu aja!” ujarku seraya menyodorkan selembar uang 100.000 . “aku minta kembalianya dua puluhan ya?!”
Tak sampai 10 menit kami sampai. Hujan di sepanjang hari tadi meninggalkan banyak genangan air di jalan-jalan dan lapangan baseball, sesekali semilir angin yang berhembus menghantarkan bau-bau basah dari tanah dan bebungaan yang lunglai. Aku sudah terduduk manis di tempat favoriteku. Menatap petala langit sore yang basah, awan-awan tampak berarak pelan, menambah sendu gradasi warna yang perlahan menghitam. Tak lama kemudian, waiter pun datang mengantarkan pesananku. “silakan”. Ucapnya ramah.
Hey …kali ini.. dari mana ia tahu aku menyukainya. Ku lirik sebuah piring persegi yang cantik dimana telah bersolek seporsi croissant, begitu menggugah. Hmm.. jangan pernah bilang siapa-siapa jika aku sempat menelan ludah.
“masih dari boss-mu?” tanyaku tentang seporsi croissant tak ku pesan yang kini tersaji di hadapanku.
Waiter itu hanya mengangguk.pelan, disusul senyum.
“sampaikan terima kasihku padanya.”
..dan ia hanya mengagguk lagi. Sudah tak asing wajahnya bagiku, setiap pesananku pasti selalu ia yang mengantarkan, dan setiap aku melambaikan tangan, selalu ia yang datang, seolah ada sepasang mata tajam yang sengaja mengawasiku dari kejauhan. Begitu specialnya kah tip 20k yang kusisipkan dibalik cangkir setiap hari? Mungkin. Tapi kupikir, ia sebenarnya too sexy untuk menjadi seorang waiter. Badan yang atletis itu sangat menyokong wajah manisnya. Pasti menyenangkan bisa mengajaknya “bermain” bersama-sama. Ups..
“umm.. sorry” Panggilku lagi
“apakah ia.. maksudku, boss-mu akan membayar bill ku kali ini juga?” sejenak ia bergeming, sebelum menyahut.. “..ehmm”
“mungkin iya” Jawabnya begitu enteng, seakan ikut berbahagia mendapatiku makin penasaran tentang sosok dibalik semua ini. Fuck lah..
Setengah jam berlalu, hanya satu paragraph yang bisa kutuliskan sore ini. Malam ini aku tak bisa melanjutkannya, ada sesuatu istimewa yang tak boleh kusia-siakan. ”Via, khusus malam ini aku tak mau kau datang dulu, okey?” bisikku tepat di telinga Via. Ia mengangguk, tapi masih bisa kudapati sedikit kekecewaan dan cemburu di wajahnya. Ups, aku hampir saja melupakan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sudah kulakukan sejak kemarin. Selagi masih hangat di ingatan, segera ku rogoh tas dan mengeluarkan kartu akses apartment ku lalu meletakannya di kolong bangku. Berharap ia menemukannya.
Ku lambaikan tangan, memanggil waiter dan lagi-lagi kau pasti tahu siapa yang datang, kan?
“Bill-nya sudah dilunasi mbak.”ucapnya dengan senyum yang mengembang, memperlihatkan jejeran gigi putihnnya yang rapi.
Aku terdiam, seolah semua kosa kata yang kumiliki tak satu pun yang dapat mewakili apa yang kurasa.
“Bisa aku bertemu dengan boss-mu?”aku makin penasaran dengan sosok yang selalu melunasi pesananku.
“kebetulan ia tak ada, um maksudku ia baru saja keluar beberapa menit yang lalu”
“apakah aku mengenal boss-mu?” Ku mencoba menyelidiki
Tapi ia hanya menggeleng. Kuperhatikan raut wajahnya yang memang tak mengetahui apa-apa.
Oke
“apa maksud boss-mu selalu melunasi bill-ku. Bilang padanya aku ingin bertemu dengannya besok.” Nada bicara ku sedikit naik. Jujur saja aku agak kesal.
Aku beranjak dan lantas berlalu.
“Say, mana konci? Sini, biar gue yang bawa..” Via memaksa merogoh kunci mobil dari dalam tas kami.
##
Jarak dari mall ke apartment ku terbilang tak jauh, tapi dengan kemacetan ini. Ouh shit! 5 menit ku terbuang sia-sia karena rekayasa lalu lintas yang hanya menguntungkan satu jalur. Jaded, jaded, jaded. Access card-nya masih ditanganku, aku teramat penasaran dengan sosoknya. Makin hari, makin ingin ku menelusurinya terus ke dalam. Aku harus tau tentangnya
Akhirnya aku sampai juga di tempat yang kutuju. Tapi bukan ke towerku,melainkan menuju tower Apartment Jaded di sebelah. 12th floor 3b. seperti maling, aku menyusup apartementnya dengan kartu akses yang kutemukan tadi. Dan benar saja, ini memang flatnya. Aku melihat ada banyak foto-foto dalam figura yang cantik-cantik. Oh shit, setan apa yang merasukiku hingga berani-beraninya aku menyelinap masuk tempat tinggal orang lain, bukan.. bukan orang lain, tapi pelanggan setia kedai ku? Aahhh Gilaaa!!. Bagaimana bila ia memergoki? Habislah aku. Tapi ini sudah kadung basah. Rasa kagumku terhadapnya seakan mematikan logika, tak henti-hentinya kupandangi foto-fotonya yang terpajang nyaris di setiap bidang tembok.
Aku suka seleranya. Seleranya akan segala furniture, wallpaper, permadani dan hey.. lihat koleksi filmnya.. nama-nama sekelas David Lynch, Ingmar Bergman dan Kubrick mematahkan opiniku tentangnya yang kupikir melankolis. I like This!! Meski ada juga beberapa drama-romance baik Korea maupun Hollywood. Juga musiknya, sudah kuduga, tak mungkin ia tak menyukai Bennette dan sepertinya ia baru saja memutar “fly me to the moon” sebelum pergi tadi pagi. Klik! Ku tekan tombol play, dan mengalunlah ia..
Aku melangkah ke dapur dan menemukan dua buah gelap tulip dengan masih tersisa bekas minuman di dalamnya. Hmm.. Chateau Gruaud-Lareso, tak asing aromanya bagiku. Salah satu wine terbaik dari Bordeaux, Perancis, yang juga merupakan “kawan” favoriteku.
Lantas, apa yang hendak ku lakukan disini? I don’t know. Mungkin ada sesuatu yang bisa ku ambil. Pakaian? Lingerie? Thong? Atau foto-fotonya? Halah. Ku sisir pandangan, mencari letak kamar utamanya. Sebelah kiri berpintu kayu, pasti disana. Setengah berlari aku beranjak.
Ku pikir ini kamar yang cukup besar untuk seseorang yang tinggal seorang diri, jadi, mungkin ia memang tak tinggal seorang diri. Namun mengapa dalam foto-fotonya ia selalu tampak sendiri? Dimana fotonya bersama sang suami, dimana foto-foto pernikahannya, atau foto bersama seorang yang tinggal bersamanya? Ada terdapat seunit ranjang double dan lemari besar berpintu kisi-kisi berbahan kayu jati. Makin membuatku yakin ia tak tinggal seorang diri.
Ouh shit!! Kudengar ada suara langkah mendekat. Detik itu juga jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Fuck.. dimana aku harus sembunyi????
Beberapa jam lagi usia Faye genap 26, aku akan membuatkan sebuah dine and wine yang teramat special baginya. Bukan perayaan yang mewah memang, hanya aku dan dia, berdua. Sebuah dinner sederhana dengan menu iga bakar kesukaannya, dengan wine terbaik, tentu saja.
“but, beib.. masih ada banyak waktu untuk kita berdua dulu. Come on.. ” Rayu Via. Tangannya yang nakal tiba-tiba saja menggerayang ke balik kemejaku dan meremas satu payudaraku yang masih terbungkus. “ntar dulu dong, aku ganti baju dulu”.
Di dalam kamar, tangan Via sudah tak sabaran. Berulang kali ia sesapkan kedua tangannya ke dalam kemeja yang pada akhirnya tak sempat ku salin. Masih dengan kemeja ini, ia melepaskan pengait bra ku, lalu membuka satu persatu kancing-kancing kemeja. Entah apa yang membuat nya begitu bernafsu sekali malam ini. Begitu rakus dan buasnya ia kulum payudaraku secara bergantian.
“ssscchhh.. what the fuck…”
Puas membasahi kedua payudaraku dengan ludah dan lidahnya, ia mengempaskanku ke atas ranjang. Dan ya, seperti biasa, aku akan “pasrah”, menikmati tiap sentuhannya, menikmati bagaimana caranya menelanjangiku. Melucuti satu persatu pakaianku dengan aktingnya yang kinky tapi menggemaskan hingga…
“sscchh… aaachhh..” ia selalu saja mendahuluinya dengan mengulum clitorisku. Dengan satu jari ia mainkan di lubang senggama, lidahnya gesit menyapu tiap pori bagian paling sensitive dari seorang wanita. Tak terkecuali lubang pelepasanku, hahaha.. ujung-ujung lidahnya begitu terasa menari-nari dan sedikit menusuk anusku. “ich, jorok” tak ia hiraukan kata-kata ku. Ia justru semakin asyik dengan lidah dan ludahnya, melumasi seluruh permukaan dari vagina hingga anus.
Kini saatnya ia mengangkangiku, diusapkannya seluruh wajahku dengan vaginanya yang sudah tak terbalut apapun. Aku selalu suka melihat ekspresi wajahnya saat ku lumat habis clitoris mungilnya ini. Ia tampak lucu dan menggairahkan.
Via membisikiku “use dildo?”
Aku menggeleng
“ya sudah”. Balasnya lalu beringsut turun ke selangkanganku dan mengepitkan kepalanya diantara kedua pangkal pahaku.
“oouuuffftttt…..” dihabisinya aku.
Dari sedikit celah pintu lemarinya, aku bisa melihat dia datang memasuki kamarnya. Tapi.. oh.. jelas kulihat ia meremas payudaranya sendiri. kedua tangannya ia masukan ke dalam kemeja, lantas tak lama kemudian, ia pun melepaskan pengait bra-nya, hingga.. oh my God. Apa ku bilang, dia adalah masterpiece karya terindah bernilai seni tinggi. Lihat bentuk payudaranya yang membulat padat dengan puting kecoklatan dalam areola yang kecil. Itu begitu sempurna. Ingin rasanya ku tenggak bulat-bulat, bermandikan air susu yang mengalir dari ujung puting-putingnya hingga kepayang dan basah kuyup. Lihat bibir itu, bibir tipis yang masih menyisakan warna jambon bekas pulas gincu yang pelan-pelan menjilat dan mengulum puncak payudaranya sendiri. Ouucchh.. give me some more beib. Bisikku dalam hati berharap adegan selanjutnya bakal lebih “menyesakkan”.
Benar saja, ia lucuti semua pakaiannya hingga tak ada lagi yang tersisa selain bulu-bulu yang menutupi kemaluannya. Sembari mengempaskan tubuh moleknya ke atas ranjang, satu mataku yang mengintip tak ingin mengedip sedetikpun tatkala ku pandang ia berkali-kali menusuk-nusukan vaginanya sendiri dengan jemari yang sudah dibasahi ludahnya. Ia mendesah.. mendesis.. sesekali pinggulnya bergoyang, atau punggungnya yang melengkung, hingga semua itu diakhiri lenguh kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang tak keruan diiringi cairan squirt yang membuncah hebat membasahi cover bed, kurasa ia baru saja mendapati orgasmennya yang pertama. Nice..
kalo ada waktu, mudah-mudahan bisa gue panjangin alias disambung lagi.