Istriku dan Mang Tukang Sayur
Sudah menjadi rahasia umum kalau malam Jumat adalah malam yang sakral untuk pasangan suami istri. karena di malam inilah pasangan yang sudah menikah dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual sesuai dengan perintah agama. Biasanya banyak yang menyebutnya dengan sebutan Sunnah Rasul. Aku pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya suamiku tidak menyentuhku sama sekali.
Kesibukannya di kantor menyita banyak waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan waktu dengan tidur saja. Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus
lembur di kantornya. Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan malam sabtu. Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya. Mungkin saja dia lebih merasa kesepian daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal yang romantis sebagai pasangan suami istri.
Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya suamiku ditelepon
Minta apaan bi?” Tanyaku.
Umi kirimin foto bugil dong buat
Abi
Aku terkejut mendengar
permintaan aneh yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?” tanyaku heran.
Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.
Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?” tanyaku penuh selidik.
Kan ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain.
Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan dilihat orang gimana?
Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi.
Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!
Jadi Umi gak mau nih??
Nggak mau lah” jawabku singkat.
Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak patuh.
Lantas setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin❞ ucapku singkat.
Beneran ya Mi?” suara suamiku bersemangat.
Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati, jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.
Iya sayangku. Abi janji akan berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.
Kami pun kemudian berbicara sebentar sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto bugilku sesuai permintaannya tadi.
Setelah selesai menelepon, aku pun segera beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung melakukannya.
Karena itu aku memutuskan untuk tidak langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah kancing baju gamisku di bagian dada dan
memperlihatkan sedikit BHku dari luar lalu memfotonya.
Berapa menit setelah aku mengirimkannya kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.
Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang memuji-mujiku dari tampilan fisik.
Aku hanya tersenyum membaca balasannya tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali kepada suamiku.
Tak berapa lama suamikupun kembali membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku ini.
Aku sampai menoleh ke arah cermin di sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar. Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.
Harus diakui memang kalau badanku tidak semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana. Namun badanku terlihat proposional dengan payudara kecil dan pinggul yang
membulat kencang. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.
Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana, aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.
Mungkin karena itu jugalah aku mulai dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit dikepalaku saja.
Tak lama kemudian, suamiku kembali mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.
Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.
Aku menyangga HPku dengan bantal dan menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan berpose ala-ala perempuan seksi.
Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.
Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh dari kategori Alim.
Padahal aku masih memakai hijabku namun aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.
Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.
Umi seksi banget kayak model.
Umi bener-bener wanita idaman laki-laki.
Istriku binal banget.
Begitulah kira-kira pesan chat suamiku yang tak berhenti-henti dia kirimkan.
Dan akupun juga tak mau kalah dengan kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya.
Entah kenapa, semakin aku di puji oleh suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang. Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat gatal dan basah.
Aku mencoba menyerahkan semuanya pada naluri hewaniahku sendiri dengan
menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian luar bibir vaginaku karena terasa gatal.
Namun ketika tanganku bersentuhan dengan kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan diri diatas kasur.
Perasaan yang kudapat begitu aneh namun sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.
Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180 derajat begitu berbeda.
Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar mulai merubah gerakan
mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan ritme yang lumayan kencang.
Saat itu juga mataku terpejam menahan nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan suamiku.
Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.
Aku langsung terkikik sejenak karena terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.
Jadilah aku menunda sejenak kegiatan
yang mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP ku.
“Malam Mbak Liya sayang” tulis Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.
“Malam juga Mang Dedi sayang” balasku tak kalah mesra.
Ini adalah pertama kalinya aku memanggil Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk tidak melakukannya.
Mungkin keadaanku yang sedang horny dan terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang. Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.
“Asik nih udah di panggil sayang. Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh” balas Mang Dedi dengan candaannya seperti biasa.
Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang dari aku?” Tanyaku lagi.
“Ya mau dong Mbak cantik”
Nih aku kasih” balasku sambil mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.
Foto tersebut hanya menampakkan bagian kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.
Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku. Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa horny.
Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju?? Abis ena-ena sama suaminya ya??” Balas Mang Dedi tak berapa lama.
Sontak saja aku terlonjak kaget dengan balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.
Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah kembali mengirim pesan. “Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa liat punggung sama pantatnya Mbak”
ASTAGFIRULLAHH!!!!! teriakku sangat kencang. Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan bayangan punggung dan garis pantatku.
Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.
Oh tidak!!! Gimana ini??????
Bersambung ….
Sudah seminggu berlalu semenjak kejadian foto selfie yang tak disengaja, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, saya mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.
Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA saya, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut. Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau sekedar menanyakan kabarku.
Tapi karena aku masih dirundung rasa malu yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya balik sebagaimana aku dulu.
Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku tersebut.
Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan senyuman.
“Pagi Mbak Liya” sapa Mang Dedi dalam pesannya.
“Pagi juga Mang” balasku singkat.
“Apa kabar hari ini??”
“Alhamdulillah baik Mang”
“Puji tuhan baguslah.. Mbak gak belanja lagi nih??
“Enggak Mang”
“Yahh.. padahal sayur saya udah kangen dibeli sama Mbak” balasnya masih dengan candaan.
“Aku juga kangen kamu Mang” Ucapku dalam hati.
Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.
“Mamang boleh nanya sesuatu gak sama Mbak Liya?” Tanya Mang Dedi.
“Tanya apa?”
“Mbak Liya marah ya sama Mamang??”
“Enggak Mang, aku gak marah sama mamang” balasku.
Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar gitu?”
Aku malu Mang” balasku lagi. Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.
Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku “Loh? Mbak Liya malu kenapa?”
“Malu aja Mang, sama foto kemarin”
“Foto yang keliatan punggungnya itu?”
“Tuhkan Mamang inget” balasku.
“Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang kelewatan”
Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan aku” balasku lagi.
Ah. Udahsama-sama gede ini kok sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas. Gimana??”
“Ih jangan atuh Mang” balasku lagi.
Tapi dalam benakku justru malah ingin sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.
Namun dengan cepat aku buang pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.
Diluar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.
Astagfirullah” teriakku melemparkan hp ke atas kasur.
Aku menarik nafasku sebentar mencoba menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.
Foto tersebut hanya menampakkan bagian badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin membuatku begitu penasaran.
“Mamang ih fotonya porno!” Balasku dengan secepat mungkin.
Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi di dalam celana Mang Dedi
tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara langsung.
Porno gimana Mbak Liyaku sayang??? Itu kan cuma foto badan Mamang” balas Mang Dedi setelahnya.
Tapi itu ada yang menonjol dibawah Mang” jawabku berterus terang.
Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas pesanku, “Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama suami Mbak”
“Iya tapi gak segede itu” balasku secara tidak sadar.
Entah apa yang aku pikirkan, aku malah semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski sudah sangat melanggar
normaku sebagai seorang istri dari pria lain.
kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala karena Mang Dedi begitu pandai membawa suasana, menciptakan humor, rasa penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak hal.
Sehingga lama kelamaan, akupun kembali terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.
Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai besok aku akan kembali berbelanja
di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan berbincang denganku.
kami berpamitan, aku pun menutup telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah. Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.
Aku tersenyum senang, kembali aku cek pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto penis besar miliknya masih
terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.
Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis besar itu di smarphoneku.
“Lumayan buat kenang-kenangan.. Hihihihihihihihi”
Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.
Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.
Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.
Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.
Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.
Lalu terbesit lah dalam benakku untuk
memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.
Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.
Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.
Bersambung
Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan.
Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.
Hari ini juga aku mulai punya keinginan untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur itu.
“Umi mau kemana??” Kaget suamiku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
Akupun hanya tersenyum sambil terus merias wajahku, “Mau belanja Bi! Buat sarapan kita” balasku.
Tumben pake dandan segala, biasanya mah kamu pake daster doang” ledek suamiku.
“Gak ada salahnya dong tampil cantik” ucapku percaya diri.
Suamiku tertawa mendengarnya, “Iya, tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???” ledeknya lagi.
“Ya gapapa lah Bi! Mending dandan depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi”
Lah kok gitu Mi?” Tanya suamiku heran.
Aku membalik badan dan mencibir suamiku, “Iya, percuma dandan kalau gak
diajak jalan” ucapku meledek.
Suamikupun tertawa terbahak-bahak mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana.
Awas nanti kamu diajak jalan sama tukang sayur loh” ucap suamiku masih becanda.
“Asalkan tukang sayurnya baik mah gapapa” balasku beranjak dari meja rias.
Dengar perkataan ku tersebut, suamiku tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan bengong seperti orang yang terkena hipnotis.
Beruntung aku cepat menyadari situasi dan menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, “Canda suamiku sayang” ucapku
sambil mengecup pipinya.
“Hampir jantungan aku Mi” balasnya masih tak percaya.
Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku yang tampak mengelus-elus dadanya “Salah sendiri becandanya begitu” Ucapku beranjak dari kasur.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.
Kemudian dengan perasaan senang dan berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.
Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan berjualan disana karena lokasinya yang
strategis berada di dekat dengan jalur akses masuk dan keluar perumahan.
Disana juga terdapat sebuah pos yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.
“Pagi Mang!” Sapaku tersenyum melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.
“Waduh, ada bidadari mau belanja sayuran nih” balasnya sumringah melihat kehadiranku.
Akupun bersemu merah mendengar pujian pria itu dan menunduk malu-malu, ” Mamang bisa aja ih” ucapku yang sebenernya sangat-sangat senang.
kok dipanggil Mamang lagi sih? Kemaren kan kita udah sepakat atuh” Protes Mang Dedi padaku.
“Eh iya lupa Mas” balasku terkekeh.
“nah gitu dong adem” tawa Mang Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan “Mas”
“Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan buat Mas Dedi” ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku bawa dari rumah tadi.
Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat aku menawarkan sarapan untuknya, Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas” jawabnya menyambut makanan dariku.
“Iya Mas sama-sama. Dimakan ya” balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan pemberianku.
“Duduk sini Dek! Nanti kamu capek berdiri terus disana” tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada di sebelahnya.
Akupun dengan sedikit sungkan dan malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran lumayan besar.
Pos tersebut juga terbuka dengan bagian dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.
Sambil celingak-celinguk akupun memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.
“Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada belanja tadi” ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.
“kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam
7 ini” tanyaku melirik jam di tangan.
“Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi ada acara acara senam massal??”
Aku menggeleng, “Enggak Mas” jawabku singkat.
“Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini” balas Mang Dedi sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.
“Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak banget” lanjutnya begitu senang.
Akupun tertawa melihat reaksinya yang berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, “Spesial buat Mas Dedi” balasku.
“Hehehe. Makasih ya Dek Liya sayang” ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.
Namun bukannya protes, aku malah membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.
Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk bersikap biasa saja di depannya.
“Waduhh.. enak banget nih nasih gorengnya” ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
“Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja
kok itu” jawabku merendah.
Mang Dedi lalu menggeleng, Kayaknya ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta” rayu Mang Dedi padaku. 11
“Mang Dedi bisa aja” senyumku makin merasa senang.
Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.
Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak ada orang.
“Lain kali Dek Liya coba ikut deh sama suami. Itung-itung buat refreshing” saran
Mang Dedi padaku.
“Suamiku mana mau Mas ikut acara kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga” jawabku teringat momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.
“Kalau gitu sama Mas aja gimana??”
Tawar Mang Dedi tiba-tiba.
Aku tersenyum senang mendengarnya, ” Boleh sih Mas, tapi Mas kan jualan” jawabku tak mau terlalu berterus terang.
“Demi menemani bidadari, aku rela tak jualan sayur sehari” candanya dengan wajah serius.
“Paan sih Mas!! Kamu gaje” tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.
Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana kemari tanpa sadar sudah
menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah yang jorok.
Aku dengan sedikit malu-malu tetap meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.
“Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya banyak pasti orangnya napsuan” lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita tentang masalah keintiman.
“Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak tapi gak napsuan tuh” jawabku membantah.
Mang Dedi menggeleng, “Kamu belum sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di kamar mandi. Iya kan??”
“Masturbasi apaan?” Tanyaku bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.
“Itu! Yang main-main sama punya kamu sendiri” ucapnya dengan frontal.
Sontak aku kaget dan langsung teringat dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku sampai becek dan basah.
Bersambung
“Tuh kan pernah” ucap Mang Dedi dengan percaya diri.
Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya,
“Iya tapikan gak sering juga” balasku sewot.
“Aku yakin sering” angguk-angguk Mang Dedi menuduhku.
“Mas kali yang sering begitu” balasku mengalihkan pembicaraan.
“Mas, kita tida–mpphhhhh”
Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya mengunci bibirku. Namun untuk kali ini bibir kasarnya tersebut tidak hanya sekedar menyentuh seperti tadi. Ciuman Mang Dedi mulai berani melumat bibirku dengan halus dan penuh gairah.
Aku langsung tahu, kalau aku sudah tidak bisa menghindar. Maka yang aku lakukan justru menutup mataku, menikmati setiap getaran tabu yang dialirkan oleh Mang Dedi lewat ciumannya yang begitu lembut.
Kalo mau jujur, aku juga ikut menikmatinya. Bahkan beberapa saat secara refleks aku juga membalas melumat bibir Mang Dedi, mengisyaratkan kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan.
“Maaf Dek. Aku terlalu nekat” ucap Mang Dedi menghentikan ciumannya.
“Jangan minta maaf Mas” balasku melumat balik bibirnya.
Akal sehatku saat itu hilang, terkubur dalam bahasa tubuh yang menginginkan sesuatu yang sebenarnya sudah melanggar semua kode etik ku sebagai seorang istri dan seorang wanita yang agamis.
Kami hanyut dalam cumbuan tabu itu. Rasanya hangat dan lembut, namun masih ada keragu-raguan yang membayanginya.
Mang Dedipun membalas melumat bibirku dengan penuh kehati-hatian. Aku bisa merasakan bahwa kami berdua sedang mencoba meluapkan emosi dengan saling melumat dan mencium satu sama lain.
Bibirku mengunci bibir Mang Dedi agar tak lepas dari ciuman itu, mengisyaratkan kalau aku tidak ingin melepaskan momen ini secepat mungkin. Pun kemudian diapun membalas dengan sebuah lumatan yang tak kalah hebat penuh gairah seperti berkata kalau dia juga menginginkan hal yang sama.
Katakan aku gila, tapi merasakan cumbuan dari laki-laki lain selain suamiku justru memang sungguh-sungguh nikmat dan memberikan sensasi yang berbeda. Apalagi ketika melakukannya di tempat terbuka seperti ini. BIsa saja, seseorang tiba-tiba datang dan akhirnya memergoki kami yang sedang mencumbu satu sama lain.
“Kamu cantik Dek Liya. Sayang bukan milikku” ucap Mang Dedi menahan daguku dengan jari-jarinya.
Kami menghentikan cumbuan itu. Berdiam diri sejenak, mengatur nafas dan menarik oksigen yang habis menipis. Saling tatap dan tersenyum meledek. Seolah-olah kami tau kalau apa yang kami lakukan adalah sebuah kegilaan yang benar-benar gila.
“Mas nakal!!” ungkapku menepuk pelan dadanya.
Aku tersipu malu. Mengalihkan pandanganku yang tak berani menatapnya lama-lama.
“Kamu yang agresif loh ya!” Balas Mang Dedi meledekku.
Akupun kembali tersenyum mendengar perkataannya. Kemudian, aku bangkit dari lesehan tersebut dan duduk membelakangi Mang Dedi.
“Mau kemana??” Tanya Mang Dedi memegang tanganku.
“Pulang” balasku singkat.
Namun dari posisi belakang itu, Mang Dedi tiba-tiba memeluk tubuhku dengan kuat, “Jangan dulu” tahannya memelas.
“Lepasin Mas! nanti dilihat orang loh” protesku berusaha melepaskan diri.
“Kalau begitu ayo tiduran lagi sayang!” Ajak Mang Dedi padaku.
Aku menggeleng menolaknya, “Sudah Mas! Nanti ketahuan sama orang ih” Ucapku.
Untungnya, Mang Dedi pun tampak sadar dengan situasi yang sudah semakin siang tersebut dan sebentar lagi akan banyak kendaraan yang berlalu lalang.
Tapi sebelum melepaskan pelukannya, Mang Dedi kembali memajukan wajahnya kearah wajahku. “CUPPPPPP” sebuah ciuman kembali mendarat di bibirku. Bahkan dia langsung melumatnya begitu saja.
Akupun menggeliat memprotesnya dan mencoba melepaskan diri, tapi kali ini ciuman Mang Dedi itu sedikit lebih intens dari yang pertama dan terkesan sangat bernafsu.
Tidak hanya melumat bibirku, lidah Mang Dedi pun mulai ikut masuk dan menggelitik setiap rongga mulutku. Aku bisa merasakan kelembutan dari lidah Pria penjual sayur itu bermain-main dalam mulutku. Bahkan terkadang ia berusaha melilit lidahku dan menarik-nariknya sehingga tak lama lidah kamipun bertautan dan saling bertukar air liur.
Untuk kesekian kalinya, akupun kembali berciuman dengan Mang Dedi tanpa ada lagi penolakan yang berarti. Bahkan untuk berhenti saja rasanya aku enggan karena pikiranku sudah tidak selaras dengan nafsu yang mengambil alih tubuhku.
Tapi disisi lain aku tau kalau semua ini sudah melewati batas kenormaan yang aku yakini. Ini salah dan Ini adalah dosa. Hanya saja, pembenaran demi pembenaran telah aku lakukan sejak pertama kali Mang Dedi menciumku. Sehingga tak ada lagi jalan balik yang dapat ku tempuh untuk kembali seperti semula.
Tanpa sadar badanku kembali ditarik oleh Mang Dedi ke lesehan bambu yang ada disana sehingga mau tak mau aku jatuh memutar badanku dan berada dalam posisi miring saling peluk dan berhadap-hadapan.
Aku tidak berkata apa-apa untuk memprotesnya, malah aku menutup mataku dan tersenyum menantikan cumbuannya kembali. Mang Dedipun tampak tak menyia-nyiakan waktunya dengan langsung memajukan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami kembali berciuman dengan lembut dan mesra.
“cllpp… cllppp… cllpp…” Begitulah suara perpaduan bibir kami berdua yang terdengar basah dan begitu menggairahkan di telingaku.
Perlahan tapi pasti, nafsu birahi mulai mengambil alih dan semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Mang Dedi sangat pandai memainkan ritme dalam kecupan-kecupannya sehingga aku terhanyut dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun, aku belum pernah merasakan rangsangan sehebat ini.
Akupun tidak tau kemana ombak birahi ini akan membawaku hanyut. Tapi yang pasti, perasaan dan hatiku lama-lama menjadi tenang meski tadinya aku sempat merasa gelisah karena keadaan dan tempat aku berada saat ini.
“Dek, Mas mau minta sesuatu boleh gak?” tanya Mang Dedi menghentikan ciumannya.
Aku mengangkat alisku, “Minta apa Mas?” tanyaku penasaran.
“Ini sayang!” ucap Mang dedi tiba-tiba saja memindahkan tangannya dari pinggangku menuju ke bagian buah dadaku.
Aku betul-betul kaget dan terkejut. Tanganku secara reflek menahan tangan Mang Dedi, “Jangan Mas! Jangan disitu” ucapku meminta pengertiannya.
Mang Dedi kemudian benar-benar
menjauhkan tangannya dari buah dadaku, Akan tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat itu kembali beranjak memeluk pinggang rampingku dengan erat dan memaksaku untuk semakin merapat.
“Kenapa Sayang?? Apa aku gak berhak ??” tanya Mang Dedi setengah berbisik dan memelas.
Ada perasaan bersalah saat aku mendengar pertanyaan Mang Dedi tersebut. Dalam hati aku ikut bertanya kenapa aku melarangnya. Bukankah daritadi aku juga sudah mengikhlaskan bagian tubuhku yang lain untuk dinikmatinya. Lalu apa yang membuat ini menjadi berbeda??
Entahlah. Rasanya aku masih ragu untuk memberikan raga dan hatiku untuknya. Karena akupun tau kalau aku tak akan pernah bisa melakukan hal tersebut. Sebab aku adalah wanita yang sudah mengikat janji suci bersama pria lain. Itu berarti, tak peduli seberapa inginnya aku menghamburkan diriku pada Mang Dedi, separuh dari apa yang aku dia inginkan saat ini tetaplah menjadi milik dari suamiku.
“Aku istri orang Mas!” ucapku memasang tembok pertahanan yang tinggi untuknya.
Namun bukannya mundur, Mang Dedi malah tersenyum mendengar hal tersebut, ” Apa bedanya Dek Liya?? aku dan kamu sama-sama menginginkan ini bukan??” Ucap Mang Dedi kembali menciumku.
Aku lagi-lagi terbawa, terbius oleh kata-kata dan perbuatan Mang Dedi yang semakin pandai memainkan emosi dan meruntuhkan pertahananku. Bahkan permainan tarik ulur yang dimainkannya ini telah sukses membuatku berpikir kalau tak ada lagi yang perlu aku sesali.
Aku meraih tangan Mang Dedi yang tadi berada di pinggangku. Kuarahkan tangan tersebut tepat dibagian dada, seolah mengisyaratkan padanya bahwa aku telah memberikan izin untuk kepadanya untuk menyentuh gundukan gunung kembar milikku itu.
Mang Dedi tersenyum, mengecupku pelan beberapa kali hingga dia mulai menggerakkan tangannya didadaku. Pelan dia menggenggam bongkahan daging mungil yang tak pernah disentuh oleh laki-laki lain selain suamiku itu. Bahkan tak sampai menggenggam, tangan Mang Dedi itupun memijat-mijat kedua buah dadaku dan meremas-remasnya bergantian.
“Masshh–” aku langsung menutup mulutku dengan tanganku sendiri. Hampir saja aku kelepasan dan mendesah akibat perbuatan Mang Dedi tersebut.
Namun Mang Dedi tak mempedulikan, dia terus melancarkan aksi mesumnya pada
tubuhku dengan terus bergerak nakal. Satu tangannya bahkan beralih ke area bokongku dan juga ikut meremasnya.
“Ohh tuhan ini nikmat sekali” kataku dalam hati.
Aku terbawa suasana, aku menikmati ini dan bahkan aku mulai agresif menyodorkan tubuhku agar dapat digerayangi oleh tangan kasar Mang Dedi. Dibawah sana, pangkal pahaku juga sudah terasa panas dan basah, seperti ada sesuatu mengalir keluar. Rasanya geli sekali, seolah-olah tingkat sesitifitasnya meningkat berkali-kali lipat.
“Acccchhhhhh..” Tanpa disengaja, aku memekikkan desahan yang lumayan keras. Cukup keras hingga Mang Dedi terpaksa berhenti melancarkan aksinya.
“Hmmm…Kamu basah sayang??” tanya Mang Dedi yang tanpa aba-aba menyentuh
selangkanganku dari balik baju gamis yang aku gunakan.
Aku terpekik kaget merasakannya. Tapi apa yang terjadi, badanku malah tak mau beranjak dan tanganku tak mau bergerak untuk mencegah tangan Mang Dedi. Malah rasanya semakin lama semakin nikmat saat Mang Dedipun mulai bergerak pelan mengelusnya.
“Gatell Masshh…” ucapku yang tanpa sadar menggesek balik bagian selangkanganku di tangannya.
Tak cukup itu saja, rangsangan tangan Mang Dedi di selangkanganku tersebut dibarengi dengan sodokan-sodokan sebuah benda keras yang menyundul-nyundul pangkal pahaku. Nampaknya Mang Dedipun juga sudah mulai terangsang.
Aku dapat merasakan napasnya mulai terengah-engah. Sementara aku sendiri
semakin tidak kuat untuk menahan erangan meski aku sadar kalau saat ini kami masih berada di dalam pos ronda. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mendesis-desis untuk meredam kenikmatan yang mulai membakar kesadaranku.
Bersambung