INANG SILUMAN
Part 1
“Orang-orang desa memang keterlaluan! Persetan mereka semua!”
“Maafkan ibu pak, maafkan ibu!”, seorang nenek yang payah, terisak-isak parau, diselubung ketakutan yang amat mencekam. Ia berjongkok penuh harap, berdekap-dekapan kuat dengan suami yang kurus kerempeng dan terlihat membungkuk lemah. Malahan, si kakek yang berusaha tegar nan tangguh itu terus memaki-maki penduduk desa di tengah kobaran api yang melumat Gedak rumahnya. Sambaran api menggila, bambu-bambu penyanggah rubuh. Tumpukan daun nipah yang menjadi atap rumah itu nyaris menimpa tubuh kedua makhluk tak berdaya tersebut. Si kakek makin erat memeluk istrinya tercinta.
“Kkk.. kkalau bb.. bukan karena ibu, gg.. gak bakal terjadi seper… ttti ini pak…”
“Bbbu…. Iii.. ibu gak salah, oo.. orang-orang desa iii… itu yang mmm.. memang sialan….”, Nafas mereka berdua tersendat-sendat, pasangan suami istri diujung ajal. Asap mengepul-ngepul di dalam. Panas api mengepung kakek dan nenek. Api siap menyergap keduanya. Mulai kabur pula pandangan kakek dan nenek memandangi api yang telah menghanguskan satu demi satu perabotan rumah.
Burung Beranjangan beterbangan menghindari bara api. Api menjilat-jilat, menggilas habis Atap nipah rumah Syamsul dan Jamilah. Di Dusun Sukamundur telah terjadi peristiwa naas. Langit malam yang pekat, gemerlap bintang dan rembulan tidak hadir ketika penduduk desa mengerubungi rumah Syamsul dan Jamilah dalam keadaan penuh amarah. Mereka membawa obor. Sisanya balok kayu yang baru saja dilemparkan ke arah gubuk reot yang telah disirami minyak.
Raut kebencian begitu tecermin pada wajah tiap penduduk, kecuali anak-anak dan beberapa ibu mereka yang cuma melongo, ternganga karena belum pernah melihat peristiwa sedahsyat itu terjadi. Celaan terus menerus diucapkan para warga yang terlibat, meskipun mereka sudah merasa puas setelah mengetahui Syamsul dan Jamilah berada di dalam dan tak bisa meloloskan diri. Beringas para warga desa seakan-akan telah kehilangan kemanusiaan. Pak Jafar merengek dan menggeleng-geleng kepala. Matanya menyipit pijaran api kian terasa panas membakar kulit. Dia telah gagal menjadi pimpinan dusun yang bijak dan mampu memgontrol emosi warganya. Lelaki bersongkok itu pasrah, menggigit bibir, mengetahui ada dua orang warganya yang lansia di ambang kematian tak wajar.
“Sudah! sudah! hentikan! hentikan! Kalian semua apa sudah gila?! Kalian tidak boleh main hakim sendiri” seru pak jafar mengambil posisi terdepan.
“Biarkan saja pak! Mereka itu iblis! Mereka pembawa sial!”
“Iya pak! Sungguh pantas mereka berdua menerima itu! Benarkan warga-warga?!”
“Benar!…… benar!….benar!”
“Kalau pak jafar tidak setuju, lebih baik pak jafar diam saja!”
“Bukan begitu sodara-sodara! Tapi….”
“Sudahlah pak! Diam saja! Jangan ikut campur!”
Suara pak jafar kalah tinggi. Penduduk dusun berkerumun, berganti-gantian adu argumen dengan pimpinan dusun mereka yang dianggap terlampau lembek, tak mampu mengambil sikap. Bahkan, lelaki jangkung itu sempat ditimpukki batu kerikil yang berlancip. Pengadilan massa dianggap paling adil sekarang. Warga dusun Sukamundur berangasan melampiaskan kekesalan pada pasangan Syamsul dan Jamilah. Mereka terus mengutuk-ngutuk suami-istri tersebut. Padahal keduanya sudah menghitam, dilalap api yang tak kalah ganas.
Berat kelopak mata Johari untuk mencelang. Tubuhnya berguling-guling semrawut di atas gemeletak ranjang kayu. Mendekap kuat bantal layaknya seorang istri. Berontak hati Johari diusik telinga oleh gegar derum ponselnya yang berlomba-lomba dengan keruyuk ayam tetangga yang terkungkung kelaparan. Merdu kumandang azan Subuh turut berlalu. Menggaung meliak-liuk, melantunkan suara serak basah yang membahana panggilan bagi jiwa yang lalai.
Johari mengedap-ngedip sekalipun kantuk nyaris terjaga. Terkesan luyu kedua matanya ditempel belek, bersicepat ia menyegerakan diri untuk bingkas dari ranjang. Johari melawan bujuk rayu setan yang tak kenal pagi, siang hingga malam. Ia menyelak selubung sarung, tergopoh-gopoh menuju kamar mandi untuk mengambil Wudhu.
“Baru bangun kamu?”, tanya Pak Jumadi, senyum bercampur cerah kening bekerenyutnya. Ia menutupi kelimis rambut yang keperakan dengan kopiah hitam, menyorot basah wajah anak angkatnya yang baru keluar dari kamar mandi.
“Iya yah, hampir ketiduran”, jawab Johari, menyeka percik air dari muka seraya mengesat-ngesatkan kaki di sebuah keset.
“Ayah mau ke masjid kan? Duluan aja. Aku nanti nyusul”
“Hayuk bareng… pakek duluan-duluan…”, singgung pak jumadi. Kondisi renta kepala enam menambah rajin beliau agar semakin giat menambah amalan baik. Karena ajal lebih dekat pada senja walaupun tak mengenal usia.
“Kan ayah biasa berada di shaf pertama bareng sama pak ustad. Kalau bareng sama aku, bisa-bisa ngumpulnya sama bocah-bocah…”
“Sudah buruan sana, ayah tungguin kamu di depan. Jangan lama-lama. Keburu Iqamat nanti…”
“Hemm ayah… duluan aja yah”, johari memberengut. Remaja kelas 3 SMP itu segera bergegas menuju kamarnya.
Pak Jumadi berjalan perlahan menuju ruang tamu. Terpampang di dinding foto ia duduk bersama almarhumah istrinya dalam bingkai yang berpelitur penuh kenangan. Ruang tamu itu diisi dua buah kursi kayu jati yang didampingi sebuah bangku memanjang. Diperantarai sebuah meja berkaca temaram yang bertindihkan sebuah vas berbungaan plastik. Pak jumadi menguak tirai berwarna jingga. Sambutan hijau nan asri tersibak dari taman mungil di dekat teras. Engsel jendela bergerak sedikit ke samping, memberi celah bagi udara pagi menghiasi ruang tamu. Kemudian pak jumadi mengayunkan pintu setelah membuka kuncinya, ia menghela nafas sembari menunggu Johari di sebuah kursi bambu di teras rumah.
Tangan seperti berhitung jari, berkamit-kamit pak jumadi melafazkan keagungan nama Ilahi. Pagelaran musik pagi rutinitas yang mafhum ia dapati. Burung-burung kutilang dan gereja saing-menyaingi mencecet di atas genting rumah. Kawanan kelelawar beterjangan mencari tempat sembunyi usai begadang semalaman. Dipandanginya tanaman palem sekilas beberapa tetangga yang mengenakan sarung dan koko melintasi halaman depan rumah pak jumadi.
“Assalamu’alaykum Pak jumadi….. hayuk bareng..”, sapa salah seorang tetangga dengan senyum memanggut. Kebetulan ia menoleh ke arah rumah pak jumadi dan lekas berhenti.
“Alaykumussalam. Iya, duluan saja pak syarif… duluan… saya masih menunggu Johari”
“Oh begitu, yuk mari pak jumadi…Assalamu’alaykum“, kembali si tetangga meengangguk muka. Sebuah senyuman kembali terhaturkan.
“Alaykumussalam wa rahmatullah….”
Ditinggal tetangga yang hendak mengajaknya berbarengan ke masjid, pak jumadi celingak-celinguk ke arah dalam rumahnya, melalui sebuah kaca buram jendela. Kesabarannya menyusut. Tak ada tanda johari muncul.
“Jo! Johari! Sudah belum?! Lama sekali kamu!”, seru pak jumadi sontak berdiri.
“Sabar yah! Ini aku lagi benerin sarung dulu”, sahut johari berderap keluar dari kamar. Ruwet ia melingkari sarung di pinggang.
“Yasudah cepat, jangan lupa kamu kunci pintu”,
“Iya yah…”, tanggap johari memerhatikan ayah angkatnya menghampiri pagar besi rumah.
Sepasang manusia itu berangkat bersama, meski Johari lebih gesit, seperti ingin meninggalkan pak jumadi seorang diri. Pak jumadi diam mengamati. Dikira johari berusaha menyalip semua orang yang berada di depan. Kesemuanya hendak bergerak menuju masjid, termasuk tetangganya yang barusan melintas. Pak jumadi tidak mencegah johari pergi. Dia paham anak muda mempunyai semangat yang jauh berlebih ketimbang dirinya yang sudah melamban.
“Ish si ayah, katanya tadi buru-buru…”, ucap johari membelakangi.
“Kalau kamu mau duluan, duluan saja. Ayah tidak secepat kamu…”
“Hemm…”, johari mengendurkan langkah. Dia teringat Sabda Rasul kalaulah tidak perlu tergesa-gesa mengejar sholat jamaah.
“Kalau kamu ingin sampai lebih dulu, tunaikanlah… Sungguh Gusti Allah amat mencintai pemuda yang sholeh..”
“Enggak deh yah… kata Nabi kan gak boleh buru-buru”, timpal Johari. Ia berdiri sejajar dengan pak jumadi.
“Ucapan Nabi mengarah ke sholat, bukan masjid, nak”
“Udah ayah gapapa, masjid juga udah deket tuh…”, Kerucut bibir johari mengarah ke sebuah bangunan megah berkubah hijau, disandingi sebuah menara yang mencuar tinggi.
Nama gue Johari, biasa orang-orang sekitar nyapa gue Jojo. Akhir-akhir ini gue lebih nyaman tinggal bersama ayah angkat gue di daerah Pondok Gede. Untuk hal ini, sulit gue jelasin mengapa gue demen tidur di sini. Yang jelas di rumah ini gue gak pernah denger omelan papa dan cerewetnya mama.
Jumadi Syukur, itulah nama ayah angkat gue. Ceritanya beliau bisa jadi ayah angkat gue karena bokap merasa kurang bisa mendidik dan membimbing anak seperti gue ini. Ya diserahinlah segala pokok itu semua ke ayah angkat gue yang masih ada hubungan kerabat sama ayah dari bokap gue. Menurut gue bokap ngelakuin ini semua, cuma ngeles aja karena dia gak bisa ngaji dan gak pinter-pinter amat masalah agama. Bilangnya ke gue bisa, cuma kagak ada waktu. Oleh karena itu, bisa dibilang gue ‘mondok’ di rumah pak jumadi setiap akhir pekan. Kalau liburan sekolah, gue malah bisa berlama-lama.
Kebetulan habis pulang sekolah jumat sore kemarin gue langsung main ke sini. Gampang kangen gue sama ayah angkat gue. Karena selain orangnya sholeh, beliau ini baik banget. Kurang lebih 5 tahunan gue dibimbing dan diasuh sama ayah angkat gue. Perawakannya mirip orang-orang Islam radikal, tapi gue gak mau beranggapan dia teroris. Karena nyatanya emang kagak ada ilmu yang dia ajarin gue nyuruh-nyuruh ngebom dan segala yang berbau anarkis. Lagian, tampilan berjenggot lebat dan celana cingkrang itu gak bisa dilabelin tampilan teroris, karena teroris bisa dari kalangan mana aja.
Ayah angkat gue ini terkenal alim di lingkungannya. Ada yang bilang dia keturunan wali. Gue sih kurang tahu bener apa enggaknya. Tapi sih, kalau gue lihat-lihat cocok aja dibilang wali karena emang orangnya rendah hati suka menolong dan bla.. bla… Kurangnya dia satu. Belum punya gelar haji. Gue tanya kenapa belum berangkat. Beliau ngakunya sedang mengumpulkan uang untuk itu. Gue maklumin aja karena juga beliau cuma pensiunan pemda. Pernah gue usulin ke bokap untuk bantu, tapi bokap bilangnya oke oke nanti aja. Sampai hari ini belum juga usulan gue diterima.
Ayah angkat gue ini gak punya anak. Istrinya meninggal empat tahun yang lalu. Jadi, kehadiran gue di sini lumayan menolong. Membuat rumah yang sederhana tapi rapi ini tampak ramai. Kalau gue ngobrol sama ayah angkat gue biasanya ya curahan hati seorang anak muda yang sedang puber. Ya selalu pastinya beliau mengait-ngaitkan hal itu dengan agama.
Ayah angkat gue ini juga sakti loh. Waktu itu ada warga yang kesurupan. Terus dia yang dimintain tolong. Alhamdulillah warga yang kesurupan itu cepet sadar. Gue pernah nanya gimana bisa dapetin ilmu itu. Dia jawabnya dengan semakin mendekatkan diri pada Ilahi. Gue sendiri masih belum paham.
Pada dasarnya selama gue diasuh sama ayah angkat gue, perasaan gue jadi lebih tenang. Gak kayak waktu di rumah. Diri gue merasa tertekan. Kalau boleh dibilang, di rumah gue dimarahin bokap mulu. Apalagi kalau nilai ujian jelek rapot merah. Bokap pasti ngamuk. Nyokap juga yang ada malah ikutan bawel. Urgh. Beda sama ayah angkat gue. Dia lebih kalem. Lebih ke-bapak-an. Bisa mengayomi, gak perlu marah-marah ngasih nasihat.
To be continued.