HELAAN TAKDIR

KATA PENGANTAR

Selamat malam, suhu2 sekalian. Newbie coba2 menulis cerita nih. Karya ane ini murni fiksi, walaupun nyenggol2 sejarah, maklum hobi baca2 tentang sejarah. Sebenarnya ane gak biasa nulis karya fiksi, biasanya sih bikin tulisan ilmiah macam penelitian atau artikel ilmiah gitu. Sebenarnya udah lama pengen bikin karya fiksi, cuma emang dasar anenya kena penyakit malas menahun ya begono deh. Biar kata cerita panas, tapi kemungkinan besar sex scene-nya jarang-jarang dan mungkin gak sebagus karya suhu2 sekalian, secara pengalaman seks ane minimal banget. Namanya juga anak alim, hu, hehehe. Kalau ada kaitan-kaitan sama agama jangan baper dan nganggap SARA yak, soalnya setting nya memang begitu. Gak ada maksud ceramah agama apa pun yak, hehe. Karena ane nulisnya di sela2 kesibukan RL ane dan hanya pas mood ane lagi cukup baik, jadi cerita ini sangat2 berpotensi macet. Tapi ane bertekad menyelesaikan cerita ane ini walaupun memakan waktu bertahun2, wkwkwk. Karena segala kekurangan ane itu, ane mohon saran, petunjuk, kripik pedas dan sokongan dari suhu2 sekalian, syukur2 ada yang mau bantu ngetikin, wkwkwkwkwk. Terima kasih banyak atas perhatian suhu2 semua.

Wassalaam,

DISCLAIMER

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk merangsang birahi para pembaca. Jika kentang dan berniat coli, banyak thread lain yang lebih pantas memenuhi selera para pembaca. Jika timbul birahi akibat membaca tulisan ini sepenuhnya di luar kekuasaan penulis. Jika timbul birahi dan benar-benar sange berat dianjurkan menyalurkannya dengan coli atau melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang sah. Jika setelah membaca tulisan ini ada yang melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak sah, harap menanggung dosanya masing-masing. dan jangan lupa mendokumentasikannya dengan rapi dan mengirimi TS melalui PM…

Tujuh belas Nopember tahun seribu delapan ratus enam puluh sembilan adalah hari yang telah mengubah dunia. Perubahan yang bagaikan putaran jarum waktu, tidak dapat diputar mundur kembali. Hari itulah saat air asin menggenang membelah padang gersang berbatu dan berpasir memisahkan dua benua dan menghubungkan dua samudera untuk selamanya. Ya, hari itu saat diresmikannya terusan Suez, jalan pintas antara Laut Tengah dan Laut Merah, mewujudkan mimpi panjang ribuan tahun sejak zaman para firaun hingga masa berjayanya sang jendral kecil Napoleon Bonaparte.

Dibukanya terusan Suez juga mengubah hubungan sebuah negara kecil bertanah rendah di tepian Laut Utara pinggiran Barat Laut benua Eropa, Nederland, dengan gundik istimewanya, negeri jajahannya, Hindia, sebuah kepulauan di sudut Tenggara benua Asia. Jalur pelayaran antara Nederland dengan Hindia yang menjadi lebih pendek, terpotong tujuh ribu kilometer oleh jalur pintas melalui terusan Suez, memudahkan Nederland, yang dipanggil warga negeri jajahannya sebagai Belanda itu, untuk lebih rakus memerkosa dan mengisap saripati Hindia sang gundik. Bukan hanya komoditas hasil bumi buah keringat anak negeri jajahannya yang semakin mudah dilayarkan ke negeri sang majikan, lalu lintas anak manusia di antaranya pun semakin mudah. Kota pelabuhan utama negeri Belanda, Rotterdam, juga ikut merasakan dampaknya. Kini jalan-jalannya bukan hanya dipadati orang-orang berkulit pucat penduduk asli negeri itu, berbagai warna kulit, rupa wajah, rambut dan bau ikut meramaikannya.

Banyak perantau beraneka warna kulit itu adalah para pelaut awak kapal-kapal dagang dan penumpang yang hilir mudik mengantar komoditas dan manusia dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Banyak di antara pelaut yang kesemuanya laki-laki itu memendam birahi yang tak terlampiaskan karena jauh dari istri dan pasangan mereka di kampung halaman. Terpaksalah mereka menyalurkan nafsu birahinya pada para wanita penjaja tubuh yang dapat mereka temui di jalanan Rotterdam atau di rumah-rumah pelesir di seantero kota itu.

Di antara wanita-wanita itu, tersebutlah seorang Magda, Magdalena de Vries nama lengkapnya. Keadaanlah yang memaksa Magda menukar jepitan hangat liang peranakannya dengan lembaran-lembaran gulden untuk membeli roti demi menghilangkan laparnya, pakaian demi melawan menusuknya musim dingin yang kejam dan membayar sewa bilik sempitnya yang setidaknya mencegah Magda mati beku di jalanan. Terpaksa ia meninggalkan kampung halamannya, sebuah desa nelayan kecil di Friesland di pantai Laut Utara. Magda yang lahir dalam kemiskinan berayah seorang nelayan kecil. Ayahnya hilang saat nekat memaksa diri sendirian melaut di tengah cuaca buruk, berharap mendapat tangkapan berlimpah untuk dijual demi membiayai sang istri berobat ke kota terdekat, Leuwardeen. Apa daya takdir berkata lain. Sang ayah tak pernah kembali. Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sangat mungkin ia hilang ditelan gulungan ombak Laut Utara yang kerap bergejolak. Ia pergi meninggalkan istrinya yang tergolek lemah gering di ranjang dan anak perempuan mereka, Magda.

Sesungguhnya Magda bukan anak tunggal, ada dua orang anak ayah ibunya yang mendahuluinya lahir ke dunia ini. Namun mereka terburu dijemput maut sebelum melampaui masa kanak-kanak. Magda yang saat itu masih muda remaja baru beranjak dewasa kehilangan akal untuk mencari cara memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua. Pendidikan rendahnya, yang hanya diperolehnya di sekolah Minggu, yang hanya memampukannya membaca, menulis dan berhitung sederhana, tak dapat menyelamatkannya dari suratan takdir kelam. Masa itu tak banyak pekerjaan berupah untuk wanita semacam dirinya. Memburuh pada orang lain bukanlah pilihan yang sesuai di desanya. Hampir semua tetangganya miskin papa, tak ada yang butuh tenaganya, lebih lagi, tak ada yang mampu mengupahnya. Magda terjebak berutang pada lintah darat yang berkeliling mencari mangsa di pelosok-pelosok Friesland yang miskin lagi putus asa. Dalam kekalutannya, Magda menjaminkan rumah reyotnya. Upaya tersebut tak berbuah manis. Dalam sebulan ibunya yang badannya habis mengurus tinggal tulang berbalut kulit dimakan geringnya itu menyusul ayahnya. Tak ada yang tahu pasti penyakit ibunya, hanya bisik-bisik tetangga mengatakan ada kemungkinan tering biang keladinya, penyakit yang perlahan menyeret penderitanya ke depan pintu gerbang kematian.

Uang yang dipinjam Magda dalam sekejap habis tak bersisa. Lembar-lembar gulden terakhirnya terpakai untuk mengupah orang memakamkan jasad ibunya di pemakaman desa. Untuk seonggok nisan pun Magda sudah tak punya biaya. Makam basah ibunya itu hanya ditandai dua papan kayu sisa bahan lambung perahu yang dipakukan membentuk lambang salib yang ditulisi memakai sisa-sisa cat perahu. Hanya seorang tetangga tuanya yang sedikit lebih banyak hafal ayat-ayat kitab suci memberikan doa dan penghormatan terakhir bagi almarhumah. Tanpa uang penebus, rumah peninggalan orangtuanya segera berpindah tangan ke si lintah darat.

Dalam usia yang sangat belia, Magda nyaris kehilangan segalanya. Ia tidak punya pilihan lain lagi, kampung halamannya tak menyisakan apa pun untuk dirinya. Untunglah ada seorang tetangganya yang selama ini merantau ke Rotterdam. Tetangganya yang terlihat berhati emas itu menawarkan tumpangan kereta kudanya untuk membawa Magda ke kota mencari pekerjaan. Semula Magda tak tahu dan tak mau tahu apa pekerjaan tetangganya itu di kota. Malang tak dapat ditolak, nasib Magda bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ternyata tetangganya itu berhati culas, kesempitan Magda dijadikan kesempatan olehnya.

Tetangganya tergiur kemolekan wajah dan tubuh gadis itu. Magda memang cantik, rambut pirangnya panjang sepunggung, matanya indah beriris biru gelap dibingkai kelopak berbulu mata lentik, kedua alisnya cokelat proporsional tak terlalu tipis, tak juga terlalu tebal, pipinya putih bersemu kemerahan, bibirnya tipis merah delima segar, dagunya berlekuk indah tanpa celah. Perawakannya tidak terlalu tinggi untuk ukuran wanita Frisia yang biasanya terkenal tinggi bahkan untuk ukuran wanita Eropa. Tubuhnya sintal dengan dua buah dada bulat penuh yang membusung, pinggulnya bahenol melekuk indah bagai sang dewi asmara Aphrodite. Seluruh kulit tubuhnya putih bagaikan pualam namun tak pucat, halus lembut bak sutra Kathay, kecuali kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya yang sedikit kasar buah kerja keras membantu ayah ibunya.

Magda dipaksa menyerahkan hartanya yang tersisa, kesucian dan kehormatannya. Tak ada peluang ia menolaknya, penolakannya dapat berakibat terpisahnya nyawa dari raganya. Seandainya diturunkan sendirian di tengah hutan yang meranggas, Magda bisa tewas beku oleh tiupan kencang angin dingin musim gugur. Magda terpaksa menukar kehormatannnya dengan keselamatannya. Dalam gelap dan dinginnya malam Magda terisak tertahan menahan perih terobeknya selaput dara yang dijaga selama ini dikoyak batang kelamin pejantan bejat itu. Sedu sedan paraunya tertelan kelamnya malam, sekelam perjalananan hidupnya. Rintihan pedihnya tenggelam dalam dengusan napas dan lenguhan lelaki bejat berbadan tinggi besar berperut buncit tetangganya itu. Air mata Magda mengalir deras, hingga nyaris kering. Hancurnya perasaan Magda membuatnya tak lagi menghayati rudapaksa itu. Di dalam lautan kesialan yang seakan tak bertepi itu masih tersisa keberuntungan bagi Magda, ia tak hamil oleh tetangga cabulnya itu, walaupun penis lelaki iblis itu memuntahkan seluruh cairan kenikmatan kentalnya ke dalam liang rahim Magda malam itu.

Sesampainya di Rotterdam, akhirnya Magda tahu apa pekerjaan si tetangga. Lelaki sangar nan bejat itu ternyata bekerja sebagai tukang pukul penjaga rumah bordil. Magda yang tak punya keahlian apa pun ditawari sang pemilik rumah bordil bekerja sebagai wanita penghibur di situ. Magda yang rapuh setelah kehilangan semuanya akhirnya luluh menerima pekerjaan itu. Pekerjaan yang semula dilakukannya dengan terpaksa, akhirnya Magda nikmati juga. Rangsangan pada titik-titik sensitif di tubuhnya lama- kelamaan membangkitkan syahwatnya. Magda jadi menyukai sentuhan lelaki dan ia tak perlu menunggu lama untuk memuaskan dirinya karena tiap hari ada saja lelaki yang membayar untuk beradu kelamin dengannya. Akhirnya Magda sadar ia masih punya harta yang sangat berharga, yaitu tubuhnya yang dapat ia pakai mencari uang. Pekerjaan apa lagi yang lebih menyenangkan? Sudahlah birahinya terpuaskan, lembaran-lembaran gulden pun ia dapatkan, walau tetap ia harus setorkan sebagian ke sang pemilik rumah bordil.

Tiga tahun sudah Magda menekuni profesinya sebagai wanita penghibur, saat itu keremajaannya telah bermetamorfosis menjadi kematangan seorang wanita. Tubuhnya telah matang menjadi wanita dewasa, keahlian melayani di ranjangnya pun sudah semakin mumpuni, menjadikan Magda seorang primadona. Para pelanggan mengantri untuk mencicipi liang kenikmatannya. Berbeda dengan banyak pola interaksi lain kala itu yang amat bergantung pada kelas sosial dan diskriminasi ras, bisnis syahwat tak mengenal hal-hal tersebut, syahwat tak kenal warna kulit, asal banyaknya gulden yang dibayarkan sesuai kesepakatan, transaksi pertukaran lendir pasti dilaksanakan. Magda yang ramah berusaha tak membeda-bedakan pelanggannya, ia sadar dirinya merangkak dari jurang kemiskinan, sehingga Magda bersedia menerima berbagai macam penis yang mengaduk liang vaginanya. Ada penis putih pria lokal, penis kekuningan orang-orang Timur Jauh, penis hitam besar orang-orang Afrika dan penis sawo matang bersunat orang-orang Hindia.

Setelah tiga tahun menjadi penjaja kenikmatan, tiba- tiba Magda merasakan sesuatu yang tak biasa pada dirinya, perutnya mual, lambungnya memuntahkan isinya, payudaranya terasa bertambah penuh, keluarnya darah dari liang peranakannya yang rutin mendatanginya tiap bulan tiba- tiba berhenti. Magda tak tahu mengapa, ini pengalaman baru bagi dirinya. Empat bulan kemudian bukan hanya Magda, namun seisi rumah bordil mengetahui bahwa perutnya membuncit. Dipanggillah ia oleh sang pemilik rumah bordil, nyatalah jika Magda hamil. Sungguh kaget Magda menghadapi kenyataan ini, tak diduga kecerobohannya membiarkan banyak pria membuang air mani sembarangan dalam lubang kemaluannya berakibat seperti ini. Bahkan Magda tak tahu siapa ayah janin yang dikandungnya. Kehamilan tentu mengubah bentuk tubuh seorang wanita, hal yang sama berlaku pada Magda. Hamilnya Magda menyebabkan Magda dianggap tak lagi mampu mengundang nafsu para pelanggan. Akhirnya sang pemilik rumah bordil memberhentikan Magda dan mengusirnya dari rumah bordil.

Kehamilan Magda mungkin menjadi kenaasan terbaru dalam deretan nasib buruk yang menghampirinya, namun di pihak lain hal itu menjadi keberuntungan bagi ruh yang menghuni janin, inilah kesempatan bagi si ruh untuk menikmati hangatnya sinar mentari, belaian angin dan buaian keindahan dunia fana. Bagi Magda kehamilannya bukan sesuatu yang harus ditakutkan, justru sesuatu yang harus disyukuri. Dalam hidupnya yang sebatang kara, kini Magda menemukan anggota keluarga, harta sekaligus warisannya, yakni darah dagingnya. Demi anak yang dikandungnya, Magda yang telah lama lupa Tuhannya dan menenggelamkan diri dalam lumpur maksiat mencoba berdoa agar dicarikan jalan keluar bagi masalahnya. Tuhan segera menjawab doanya, Magda tak perlu berlama-lama kedinginan tidur di pinggiran jalan-jalan kota Rotterdam. Seorang kawannya yang iba melihat nasibnya, mengabarinya bahwa ada deretan penginapan murah yang biasa disewa para pelaut tak jauh dari pelabuhan. Ternyata kehamilannya membawa keberuntungan. Magda segera menemukan bilik kosong berpenghangat dengan harga sangat bersahabat, yang segera ia sewa untuk setahun ke depan dengan uang tabungannya yang tersisa.

Sebagai penghuni baru, Magda merasa berkewajiban memperkenalkan dirinya ke para tetangga. Tak diduga di samping penginapan yang ditinggalinya terdapat sebuah panti asuhan Katolik. Tidak menunggu waktu lama Magda menjadi dekat dengan pimpinan panti, Zuster Eisinga seorang wanita awal tiga puluhan tahun. Kedekatan itu mungkin karena keduanya sama-sama berasal dari Friesland. Kerinduan Magda bercakap-cakap dalam bahasa ibunya pun terlampiaskan. Keduanya akrab bagai kakak beradik walau berbeda keyakinan dan profesi. Sang pelacur yang berkubang dosa bersahabat dengan sang pengantin Tuhan nan suci, hanyalah kerinduan akan kampung halaman dan cinta kasih kemanusiaan yang tulus menyatukan mereka berdua.

Magda cukup beruntung masih mendapat sokongan finansial dari beberapa pelanggan setianya yang tak peduli stigma kehamilan. Selain itu Magda pun masih menjual tubuhnya ke para lelaki yang memiliki fetish bersetubuh dengan wanita hamil. Hari demi hari, perut Magda pun semakin membuncit menuju pengujung kehamilannya. Tepat tiga tahun setelah dibukanya Terusan Suez yang mengubah sejarah, Magda bertaruh nyawa demi buah hatinya, jeritan kesakitan menyayat tengah malam yang sepi, ia mengejan hebat, diremas kuat-kuat seprai ranjangnya, basah kasurnya oleh air ketuban. Sahabatnya Zuster Eisinga dan dua orang biarawati yunior mendampinginya. Akhirnya, menjelang pengujung malam, suara tangisan kuat memecah kesunyian malam yang jauh lebih terang dari biasanya karena sang Bulan menampakkan wajah bulat penuhnya malam itu dalam wujud purnama. Ya, sang Bulan seakan menyambut bayi merah dalam gendongan sang ibunda, Magda yang sangat bahagia. Bayi merah itulah yang akan tumbuh dewasa menjadi seorang lelaki, lelaki yang akan menjadi poros dari cerita ini.

To be continued…