Harem
Aku bisa diterima disitu, karena sebelumnya kenal dengan ibu kost karena bisnis MLM. Dia kebetulan up link ku. Soal ini kalau diceritakan cukup panjang dan kurang menarik pastinya. Namun yang jelas ketika dia membinaku, akhirnya pembicaraan sampai ke masalah kost. Mungkin dia terkesan pada pribadiku sehingga dia menawarkan aku kost saja di tempatnya. Padahal dia selama ini belum pernah menerima kost laki-laki.
Sebagian besar yang indekos disitu adalah anak yang kuliah di akademi sekretaris. Akademi itu memang tidak jauh, jauhnya jika jalan kaki mungkin sekitar sepuluh menit. Sekolah itu sejak lama terkenal di Jakarta Selatan.
Rumah induk mempunyai kamar cukup banyak maka sebagian besar mereka berada di dalam rumah induk. Yang di luar hanya kamarku dan kamar bekas garasi yang dihuni dua cewek. Aku bebas membawa cewekku ke kamar jika hari minggu. Biasanya kami berendam di kamar dari jam sebelas siang sampai jam tiga sore. Ya semua yang seharusnya tidak terjadi, terjadilah. Mungkin kalau diceritakan kurang seru, karena sama pacar sendiri.
Setelah sekitar tiga bulan aku baru mulai mengenal para penghuni kos. Mereka semua ada delapan orang. Diantara mereka tinggalnya di Jakarta ini juga, tapi memang jauh dari sekolah mereka. Mungkin kurang praktis jika pulang pergi dari rumah ke sekolah. Jadinya setiap Sabtu dan Minggu rumah kos itu sepi karena sebagian besar penghuninya pulang ke rumah mereka masing-masing. Yang tinggal hanya anak-anak dari luar kota, ada dari Cirebon, Bandung dan Lampung.
Suatu malam aku lupa hari apa, listrik padam dan hujan turun sangat deras. Aku tidak bisa melakukan apa pun kecuali tiduran. Mata melek sama merem tidak ada bedanya, gelap gulita. Mungkin sudah jam sepuluh malam, tiba-tiba ada yang mengetok kamarku.
Jay, bukain dong, cepetan, kayak suara Dewi anak Bandung yang tinggal di kamar di bawahku.
Aku segera membuka pintu, memang benar, Dewi dan Ana datang berkerudung selimut dan bawa bantal segala.
Jay, aku numpang tidur dong di kamarmu, Kami takut di bawah gelap dan petirnya keras banget. Kamarku memang cukup luas, Ya sekitar 6 x 5 m dengan satu tempat tidur yang muat dua orang atau kalau dipaksakan juga cukup bertiga.
Aku tidak mungkin bisa menolak mereka, lagian ngapain rezeki gini ditolak. Mereka pun tanpa persetujuan dariku sudah mengambil posisi di tempat tidur. Tempat tidurku berada di pojok di ruangan, jadi bagian kepala dan salah satu sisinya merapat ke dinding. Dewi mengambil posisi ditengah, Ana dipinggir merapat ke tembok aku disisakan tempat di tepi.
Lampu mati kali ini cukup lama sejak hujan deras tadi mungkin sekitar jam delapan. Sampai hampir jam sebelas malam belum juga nyala. Hujan masih terus deras. Untung kamar gelap, sehingga tempat tidurku yang berantakan spreinya tidak kelihatan. Kamar bujangan mana mungkin rapi, apa lagi aku malas sekali merapikan kamar.
Mereka berdua langsung membujur, aku menempati posisi yang tersisa. Mana mungkin bisa ngantuk, tidur bertiga dengan dua cewek gitu lho, cakep-cakep lagi. Yang kupikirkan apa yang bakal terjadi dan apa pula yang harus terjadi. Apakah aku harus memulai, aku ragu apakah Dewi yang ada di dekatku suka dengan aku. Bagaimana kalau tanganku ditepis, wah malu banget rasanya. Tapi pendapat lain seperti memanas-manasi. Jangan-jangan mereka menunggu inisiatif dariku. Laki-laki kan sepantasnya yang berinisiatif. Aduh bingung aku dengan dua pendapat ini.
Akhirnya aku tidur telentang pasrah menunggu bergulirnya sejarah. Kami tidur berhimpitan, karena tempat tidur kapasitas dua orang ditempati bertiga. Dewi yang mulanya tidur miring membelakangiku, kemudian ganti posisi telentang. Lha aku kan bingung, dimana harus kuletakkan tangan kanan, agar tidak menyentuh Dewi. Tangan kananku yang memang dari tadi lurus ke bawah tidak dihindari jadi ketindih tangan kiri Dewi. Apa boleh buat, pegel terpaksa ditahan biar tidak bergerak. Aku khawatir kalau tanganku bergerak bisa menimbulkan kecurigaan, atau kalau melakukan gerakan menghindar bisa disangka aku jual mahal. Repot deh.
Diam mematung dalam keadaan spaning tentu tidak mudah. Tapi itulah tantanganku di dalam kegelapan. Tangan Dewi kemudian kurasakan mulai meremas tanganku. Aku segera paham bahwa sinyal sudah mulai dinyalakan. Untuk menyambut keramahannya, aku pun membalas meremas tangannya. Hanya sebatas itu saja aku berani bertindak.
Dewi berubah posisi lagi, kali ini miring menghadapku dan dia memelukku ibarat aku ini guling. Ya ampun, tanganku belum sempat berubah posisi dan kejadiannya tangan ini tertindih selangkangannya. Aku harus bagaimana sekarang, karena tanganku menempel dibagian paling vital Dewi, tentu aku tidak berdaya. Kalau jariku begerak sedikit saja, pasti akan memberi kesan meremas memeknya. Aduh aku nggak mau dikesankan orang yang kurang ajar. Tanganku mulai kesemutan, karena aliran darah tertahan akibat ditindih. Apa boleh buat aku harus bertahan sekuat mungkin.
Aku tidak tahu tangan dewi yang sebelah lagi ada dimana, tetapi tangan kanannya ada di atas dadaku. Dia mengelus-elus dadaku dan hidung serta mulutnya dekat sekali dengan telingaku. Sehingga aku bisa jelas memantau hembusan nafasnya. Dari pemindaianku nafasnya mulai tidak teratur, bahkan cenderung rada cepat. Ini kan nafas kalau cewek mulai diliputi nafsu birahi.
Dia menarik kepalaku lebih rapat dan diciuminya pipiku. Dia tempel terus hidungnya ke pipiku. Aku jadi mulai mendidih. Bukan hanya panas karena tubuh kami rapat, tetapi tensi birahiku juga naik. Dimiringkannya kepalaku lalu bibirnya menyusuri wajahku dan pencariannya berhenti ketika menemukan bibirku. Kami jadi berciuman dan panjang sekali rasanya.Sinyal-sinyal yang dihidupkannya mensyaratkan aku harus segera meresponnya. Tangan ku yang tadi tertindih mulai bergerak mencari sasaran.
Gundukan dibalik dasternya tentu saja menjadi sasaran. Aku remas-remas gundukan di selangkangannya. Dewi merespon dengan gerakan pinggulnya menekan-nekan tanganku. Jari yang tadi tertindih mulai mendapat tugas untuk mencari jalan. Perlahan-lahan kutarik keatas dasternya sampai jariku bisa merasakan celana dalamnya. Dewi malah membantu agar kerja jariku lebih mudah menguak penutup.
Aku meremas kambali gundukan yang kini hanya terlindung oleh celana dalam. Tidak ada ruang untuk aku menarik tanganku agar bisa masuk menyusupkan telapak tangan kananku masuk dari celah atas celana dalamnya. Satu-satunya jalan hanya menguak celdamnya dari samping. Jari ku seperti ular mencari sarangnya, jari tengah lebih trampil dari jari lainnya dalam mencari belahan vital Dewi.
Jari tengahku mulai merasakan kehangatan sekaligus kelembaban di balik bulu-bulu keriting yang ternyata sangat lebat. Si jari tengah ternyata sangat trampil dalam pencariannya, karena clitoris Dewi mulai ditemukan. Daging kecil itu sudah mengeras, sehingga mudah mencarinya. Aku segera berkosentrasi pada bagian itu.
Dewi tidak mampu menahan kenikmatan akibat gelitikan jariku di clitorisnya, sehingga walau dia berusaha menahan gerakan, sesekali dia lepas kontrol juga. Masalahnya mungkin rikuhlah karena ada Ana di sebelah yang sedang terbaring. Kan gak enak rasanya bercumbu disamping teman akrabnya tanpa ada komitmen sebelumnya.
Dewi makin erat memelukku dan aku makin intensif memainkan jariku di clitorisnya. Aku tidak bisa memperkirakan berapa lama jariku bermain di clitoris Dewi. Dia akhirnya mengejang dan ditekankannya badannya ke kakiku, sambil kurasa gerakan kontraksi di sekujur kemaluannya. Dia mencapai kepuasan. Dia lalu melemas dan aku segera menarik tanganku dari tindihannya dan kuposisikan memeluk dengan menyelinap di bawah lehernya. Tangan kananku berada dibagian belakang badannya yang miring menghadapku.
Dewi sudah jatuh tertidur. Dia mendengkur halus dekat sekali dengan telingaku. Aku jadi serba sulit, barangku jadi terabaikan, padahal sudah siap diluncurkan. Tapi mau diluncurkan bagaimana, sebab situasinya sangat tidak memungkinkan.
Listrik belum juga nyala, hujan masih deras. Wah kalau gini situasinya bakal sampai besok pagi listrik akan padam. Dalam keadaan tanpa harapan aku berusaha menidurkan diri dan menyabarkan hasratku yang cenggur (ngaceng nganggur).
Nah lho, tanganku ada yang meremas dibelakang punggung Dewi, tangan siapa lagi kalau bukan Ana. Dia tidak hanya meremas, tapi juga mencium dan bahkan menjilati jari-jariku. Aduh mak, jari-jariku kan tadi bekas terkena cairan si Dewi, pasti punya aroma khas. Tapi Ana rasanya menikmati sekali jari-jariku. Dicium dan dilomot-lomotnya jariku. Aku yang tadinya kosentrasi menuju ngantuk, jadi siuman lagi.
Tangan kulemaskan mengikuti arah yang dimaui Ana. Dia membimbing tanganku mengusap-usapkan tanganku ke wajahnya, lehernya dan ke dadanya lalu ke teteknya dari luar daster. Diberi peluang menangkap tetek, tentunya segera kurespon dengan gerakan meremas. Tangan Ana ikut membantu tanganku meremas teteknya. Tebal benar tetek Ana ini. Baru kusadari sekarang kalau tetek Ana cukup besar. Kelak kalau keadaan sudah terang aku jadi ingin menegaskan berapa besar sih tetek Ana. Sebelum ini aku tidak pernah memperhatikan tetek Ana.
Tanganku lalu dibimbing lagi menelusup ke balik daster dan langsung dibalik BHnya. Memang terasa benar besarnya. Cengkeraman tanganku terasa kurang besar terhadap tetek Ana. Kuremas-remas tetek Ana dari sebelah ke sebelah. Tugasku berikutnya adalah mencari tombol-tombol di kedua tetek itu. Pencarian tidak terlalu sulit, karena Ana memberi ruang untuk keleluasaan tanganku. Kupilin lalu kuusap. Gerakan itu terus menerus secara bergantian.
Ana yang tadi diam saja sekarang badannya terasa lasak. Bahunya bergoyang-goyang terus. Aku tentu saja khawatir, perselingkuhan tanganku ini bakal membangunkan Dewi. Tapi Ana kelihatannya sudah turun kesadaran lingkungannya.
Tanganku tiba-tiba ditarik menjauh dari teteknya. Aku segera berkesimpulan bahwa Ana tiba-tiba waras kembali otaknya. Aku turuti saja dengan melemaskan tanganku. Tapi tangan Ana tetap saja memegang tanganku. Aku merasa ada gerakan bahwa Ana mengubah posisi tidurnya. Telapak tanganku merasa menyentuh kulit lembut dan dari analisa data di otakku. Tangan ini menyentuh kulit perut.
Aku segera memindai posisi tanganku tepatnya berada dibagian apa? Memang benar, telapak tanganku menemukan pusat (udel). Ana melepas tanganku dan aku dibiarkan sendiri mencari jalan. Aku segera mengerti bahwa Ana sudah mengangkat dasternya dan memposisikan tanganku untuk mencari jalan yang benar.
Arahan itu tentu saja mudah kupahami, tanganku segera merayap ke bawah dan menemukan garis celana dalamnya. Tanganku berusaha merayap terus ke bawah sampai kutemukan bulu-bulu halus. Jangkauanku kini maksimal, padahal target belum tercapai. Ana rupanya paham, dinaikkannya badannya sedikit dan kini jari-jariku bisa mencapai belahan memeknya. Ternyata memeknya sudah basah, sehingga jari tengahku dengan mudah menyusup ke dalam dan menemukan clitoris yang sudah mengeras. Ini tentu saja membantuku menemukan sasaran yang tepat.
Aku lalu memainkan jari tengahku. Ana yang kini telentang, pinggulnya mengikuti irama sentuhan jari tengahku. Dia menggelinjang, ketika bagian paling sensitifnya tersentuh. Sesungguhnya posisi tanganku kurang nyaman, tapi aku mencoba terus bertahan, paling tidak sampai Ana puas. Aku kurang bisa memperkirakan waktu, karena gelap dan tanganku terasa pegal sekali. Aku merasa lama sekali aku mengorek kemaluan Ana ini sampai kemudian dia menjepit tanganku dan memeknya berkontraksi. Dia puas dan setelah usai kontraksinya tanganku ditariknya keluar.
Aku turuti saja dan tanganku memang pegel dengan posisi itu tadi. Dia melepaskan tanganku sementara membenahi dasternya yang terangkat tinggi. Aku menempatkan posisi tanganku pada posisi yang paling nyaman.
Ana membawa tanganku agar berada di posisi di bawah lehernya dan menerobos kebelakang punggungnya. Aku bagaikan memeluk dua wanita sekaligus. Mereka berdua puas dan tertidur, sementara aku cenggur makin parah. Tapi kutentramkan hasratku, dan itung-itung pengorbanan untuk investasi masa depan.
Paginya aku terbangun karena mereka berdua menciumi pipiku sambil mengucapkan terima kasih lalu mereka keluar kamar. Aku berkesimpulan jalan sudah terbuka, tinggal aku mengatur bagaimana melanjutkan alur yang sudah terbangun. Mereka berdua sebenarnya tahu kalau aku punya cewek yang setiap Minggu selalu aku benam di kamarku. Tapi nampaknya itu tidak menghalangi keakraban mereka denganku.
Penyelinapan Dewi, sama sekali tidak diketahui oleh penghuni kost yang lain. Jadi kami menjalankan akting biasa-biasa saja di depan teman-temannya. Setelah aku berkesempatan memompa Dewi di lain kesempatan ketika Dewi menginap di rumah saudaranya, Ana lah yang menyelinap ke kamarku. Kami juga memuaskan diri sampai pagi. Kedua bersahabat ini benar-benar tangguh di ranjang.
Aku tidak mengorek keterangan apakah hubungan mereka denganku yang demikian intim itu diketahui masing-masing, atau mereka melakukan peran diam-diam. Aku ingin menikmati saja hidangan yang tersedia, tanpa repot-repot menyelidik. Toh nanti bakal ketemu juga jawabannya, tanpa aku bertanya.
Dalam usiaku yang 20 tahun, aku memang dikaruniai kelebihan, yaitu muka yang manis (kata cewek-cewek) badan yang atletis (padahal jarang olahraga) dan kesehatan yang baik. Aku selalu berusaha menjadi anak manis dan sebisa mungkin menjauhkan diri dari kesan anak yang kurang ajar. Cool, istilah yang sering cewek-cewek sebutkan mengenai perilakuku.
Aku kurang jelas umur Dewi dan Ana, tetapi dari jenjang pendidikannya kuterka mereka lebih tua setahun atau sebaya denganku. Dewi kulitnya agak gelap, rambutnya keriting, badannya ramping dan teteknya kecil (ukuran 32 mungkin). Sedang Ana bodinya rata-rata saja, teteknya mungkin agak besar, tetapi tidak terlalu mencolok. Mukanya manis dan rambutnya hitam lurus.
Kami sering tidur bertiga di kamarku. Tidak setiap kali kami bertiga selalu melakukan aktivitas sex, kadang-kadang ya hanya tidur biasa saja. Yang membedakan dari situasi yang pertama, adalah aku selalu diminta tidur diantara mereka berdua. Kalau pun kami melakukan aktivitas sex ketika mereka berdua di sampingku, aku hanya melakukan raba-rabaan, tanpa coitus. Dan itu selalu dimainkan tanpa sepengetahuan Dewi. Ana tau tapi Ana berusaha menyembunyikannya dari Dewi. Mungkin itu kode etik diantara mereka.
***
Hampir setahun aku menetap di rumah kost itu, dan penghuninya nyaris masih tetap seperti yang dulu. Tempat kos ini memang enak dan tentram, Pemiliknya janda yang kutaksir usianya sekitar 40 tahun. Tidak terlalu cantik, tetapi manis dan kelihatan sekali dia berasal dari Jawa. Dia memliki wajah keibuan yang berwibawa. Badannya tidak gemuk seperti umumnya wanita diusia 40 tahunan. Dia tinggal sendiri di rumah itu.
Aku makin akrab dengan cewek seisi rumah itu. Kalau malam minggu kadang-kadang mereka mengajakku berkumpul di ruang tengah di rumah induk. Dari sekedar ngobrol sampai kadang-kadang main kartu remi.
Penghuni baru adalah Mbak Ratih yang kutaksir usianya sekitar 27 atau 28. Dia masih single, badannya agak gemuk dan putih. Dia tipikal wanita Jawa banget.
Suatu malam ketika aku tidak kebagian ikut main kartu dan Mbak Ratih sibuk merajut kruistik, dia menselonjorkan kakinya di sofa ke dekatku. “Dik, mbok mbak dipijetin kakinya daripada bengong,” katanya.
Permintaannya segera aku penuhi dengan memijat-mijat kakinya. Aku memang cukup piawai memijat, karena ketika aku masih tinggal di rumah orang tuaku, ibuku sering meminta aku memijat kakinya. Selain itu aku pernah belajar pijat refleksi dari teman yang bekeja di pijat refleksi dan akupresur. Selanjutnya aku mengoleksi buku-buku mengenai seni dan cara memijat.
Pertama-tama aku menekan titik syaraf di telapak kakinya. Kadang-kadang Mbak Ratih menjerit ketika titik syaraf tertentu kutekan. Kalau sudah begitu aku mulai membual, “Wah, mbak ini kelihatannya ada gangguan di ginjal lah atau di pencernaan, atau di hati.” Padahal aku kurang tau pasti. Ini hanya kira-kira saja dari yang kuingat-ingat ketika membaca buku-buku akupuntur atau buku pijat. Aku kalau iseng memang suka membaca buku seperti itu.
Namun yang kuingat benar adalah simpul syaraf birahi. Bagian ini aku berusaha menghafal benar letaknya di sebelah mana. Jadi di tengah pijatan refleksiku, aku iseng menekan-tekan simpul birahi mbak Ratih, di dekat mata kakinya.
“Aduh, dik, rasanya nyer-nyeran kalau situ yang ditekan,” katanya. Aku cuek saja seolah tidak memahami apa yang dimaksud nyer-neran itu. Padahal aku tahu pasti, itu adalah nyer-nyer di liang vaginanya.
“Mbak, kalau ada lotion, aku bisa urut betisnya biar uratnya lemes.” kataku.
“Ada, dik, tolong ambilkan di meja dekat tempat tidurku,” katanya.
Aku segera bangkit dan kembali dengan body lotion. Aku menseriusi pijatan itu bukan karena aku rajin, tapi aku ingin merangsang mbak Ratih melalui pijatanku.
Mbak Ratih berhenti menyulam, dan menikmati pijatanku. “Ternyata kamu jago mijet ya, dik. Ototku yang kaku jadi lemes semua,” katanya.
Kenikmatan pijatanku membuat spontanitas Mbak Ratih keluar begitu saja dan dia nyerocos terus tentang kepintaranku. Ini tentu saja menggugah perhatian cewek-cewek lain yang sedang main kartu.
“Aku daftar ah, minta dipijeti juga,” kata Nia. Yang lainnya latah langsung ikut-ikutan minta dipijat juga. Sampai semuanya pada minta dipijat.
“Kalau satu orang 100 ribu, lumayan untuk bayar kos dan jajan gue,” kataku bercanda.
“Wooo, matre nih,” kata mereka beramai-ramai.
“Enggak kok, gratislah,” jawabku sambil tersenyum.
“Dik, badanku kok jadi pegal ya, kamu bisa mijat badan juga kan?” kata Mbak Ratih. Padahal bukan karena kakinya dipijat lalu badannya jadi pegal. Tapi kayaknya dia minta diservis pijat seluruh badan, karena dianggap aku mengerti urat. “Sorry ya, aku mau pijat dulu ke kamar, dengan cah bagus ini,” kata Mbak Ratih sambil menggandengku ke kamarnya.
“Woo curang, mau dikuasai sendiri,” kata cewek-cewek yang lain. Aku cengar-cengir saja. Habis posisiku jadi serba salah sih.
Aku masuk kamar mbak Ratih. Entah sengaja apa nggak, pintunya kemudian ditutup. “Aku telentang atau tengkurep, dik?” kata mbak Ratih bertanya.
“Tengkurep aja dulu, mbak,” jawabku. Aku kembali memijat kakinya, dari mulai telapak kaki sampai ke paha. Dia kelihatannya tidak perduli kalau dasternya sudah terangkat tinggi sekali sampai menampakkan celana dalamnya. Aku sengaja memainkan pijatan erotisku, terutama di bagian paha sebelah dalam.
“Aduh, dik, enak tapi geli,” kata Mbak Ratih setiap kali kusentuh pahanya sebelah dalam. Pahanya menggairahkan karena besar dan putih. Aku tau dia sudah terangsang dengan pijatanku, tetapi aku pura-pura biasa saja. Pijatanku beralih ke pantat dan punggungnya. Bagian ini masih tertutup daster.
“Mbak, punggungnya mau diurut pakai krim juga apa enggak?” tanyaku. “Tapi dasternya mbak lepas dulu biar ngurutnya bisa rata.”
“Oh gitu, kamu tidak malu kan melihat tubuhku?” katanya lalu bangkit melepas dasternya.
“Kok saya yang malu sih, mbak? Kan mbak yang buka baju,” sahutku.
Mbak Ratih menyisakan celana dalam dan BH-nya lalu kembali telungkup. Pijatanku mulai dari bagian bahu. Aku mengambil posisi mengangkangi badan mbak Ratih. “Aduh, enak, dik. Kamu pintar ya, coba dari dulu ngomong kalau kamu bisa mijet.” katanya. Badannya diliputi lemak yang cukup tebal. Aku tidak memaksa dia untuk membuka BH-nya, biar saja, nanti bakal terbuka dengan kemauannya sendiri. Ini untuk menghindari kesan bahwa itu bukan dari kemauanku.
Meski tertutup BH tapi telapak tanganku bebas menelusuri bagian belakang badannya di balik tali BH sampai ke samping dan menyentuh bagian pinggir teteknya. Aku tentunya berlagak sebagai pemijat professional. Setelah bahu dan punggung, kini pijatanku mengarah ke bongkahan pantatnya yang bahenol. Mulanya aku memijat dari luar celananya, tapi pengurutan tanganku sesekali menerobos di bawah celana dalamnya dan menekan-nekan titik erotis di bagian pantatnya. Mbak Ratih mulai mendesis-desis menandakan dia makin terangsang.
“Aduh, dik. Enak, dik. Aku jadi merinding saking enaknya.” katanya.
Aku diam saja dan pijatan mulai mengekploitir bagian pantat dan pangkal paha, di bagian ini rangsangan yang dirasakan perempuan pasti makin tinggi. Jariku sudah berhasil mencapai belahan pantatnya dan hampir menyentuh kemalauannya. Mbak Ratih sudah tidak perduli dengan jamahanku, birahinya mulai tinggi sehingga kesadarannya mulai rendah. Pada posisi terangsang yang tinggi aku minta dia telentang. Mbak Ratih pasrah dan telentang sambil menutup mata. Aku mulai lagi dari bahu, untuk melemaskan bagian itu. Perlahan-lahan lalu turun ke bawah mendekati bongkahan susunya. Susunya memang sangat besar.
“Mbak, maaf ya, apa bagian ini mau dipijet juga apa nggak?” kataku sambil menangkupkan tanganku di susunya dari luar BH.
“Kamu bisa mijet susu? Susuku nggak pernah dipijet, enak apa nggak ya, dik?” kata Mbak Ratih.
“Ya dicoba dulu, mbak. Nanti baru tau rasanya,” kataku.
“Ya sudah kalau gitu,” katanya lalu bangkit membuka BH-nya. Kini terpampang sepasang susu yang cukup besar. Pijatanku dimulai dari bagian pinggir, dengan gerakan halus. Bagian ini paling sensitif, sehingga aku tidak boleh ceroboh. Pentilnya tampak mengeras, dan sesekali aku memilin.
“Maaf ya, mbak, ini untuk merangsang syaraf supaya lemes,” kataku mengesankan keahlian professional. Aku minta dia menarik nafas ketika kupilin putingnya lalu pelan-pelan menghembuskannya saat kurengkuh kedua susunya dari samping.
“Aduh, dik, rasanya jadi nggak karuan, merinding semua badanku,” katanya menyamarkan rasa rangsangan yang tinggi.
“Mbak, geli itu adalah bagian dari cara mengaktifkan syaraf untuk bekerja normal,” kataku membual. Setelah puas meremas tetek mbak Ratih, aku mulai turun ke perut. “Mbak sering pipis, ato kalau batuk dan ketawa suka keluar pipis dikit ya?” kataku bertanya.
“Iya, dik. Kamu kok tahu?” katanya kagum. Dia makin percaya.
“Ini lho, mbak, perutnya agak turun dikit,” kataku sok tau.
Aku lalu menekan bagian bawah perutnya untuk kusorong ke atas. Gerakan yang sangat pelan dan hati-hati ini tampak dia nikmati sekali. Mbak Ratih tampaknya sudah percaya penuh pada keahlian pijatanku, sehingga tidak perduli lagi kalau jembutnya ada yang keluar dari celananya. Dari perut aku mulai menelusur ke bawah sampai menyentuh jembutnya, tapi tentunya dengan gerakan memijat. Dia pasrah saja. Aku mengesankan pijatanku terganggu oleh celana dalamnya.
“Dik, buka saja kalo itu mengganggu. Kamu tidak malu kan?”
“Ya terserah, mbak, tapi memang sebaiknya dibuka biar tuntas mijetnya,” kataku sungguh-sungguh.
Mbak Ratih tidur telentang telanjang bulat. Aku jadi leluasa, dan kini aku berusaha merangsangnya agar dia makin tinggi lagi nafsunya. Untuk mengesankan tidak berbuat kurang ajar, aku minta ijin tanganku masuk ke bagian memeknya.
“Mbak, maaf ya, jariku agak masuk ke dalam untuk mijet lubang pipisnya supaya nggak beser (sering kencing),” kataku.
“Iya, dik, terserah. Pokoknya aku segar dan enak,” katanya.
Ini hanya taktikku saja untuk meraba clitoris dan G-spotnya. Mana mungkin lubang pipis bisa dipijet. Jari tengahku perlahan-lahan masuk ke vagina mbak Ratih sementara jempol mencari posisi clitoris. Mbak Ratih sudah tidak bisa menahan desisan dan erangan karena rangsangan hebat. Dua bagian paling sensitif kini aku rangsang. Tidak sampai tiga menit dia mengerang panjang sambil menjepit kakinya. Mbak Ratih mencapai dua orgasme sekaligus, orgasme clitoris dan G-spot.
Setelah kontraksinya selesai, kucabut jariku dari kemaluannyanya. Jariku belepotan cairan vaginanya yang banjir. Dia telentang lemas. “Aduh, dik, kamu memang benar-benar pintar. Kamu apa nggak ngaceng nggarap aku seperti ini, kok kelihatannya tenang-tenang saja?” katanya takjub atas ketenanganku.
“Ya ngaceng, mbak. Masih muda masak nggak greng? Tapi aku kan menghormati mbak, jadi mana berani kurang ajar,” kataku kalem.
Mbak Ratih kelihatannya jadi merasa berhutang setelah dipuaskan. “Sudah, gantian kamu kupijat. Lepas semua bajumu.” katanya sambil berusaha membuka semua pakaianku.
Aku turuti semua kemauannya sampai aku akhirnya bugil. Disuruhnya aku telentang dan tangannya segera menggenggam penisku. Di kocok sebentar lalu dia mengambil posisi di antara kedua kakiku. Diciuminya sekitar alat vitalku dan aku menggelinjang kegelian. Dia lalu melahap batangku dan dihisapnya kuat-kuat. Dijilatinya seluruh bagian vitalku sampai ke lubang matahari.
Aku yang dari tadi sudah terangsang berat, tidak mampu menahan desakan ejakulasi. Ketika akan meletus, aku berusaha mengangkat mulut Mbak Ratih tetapi dia bersikeras tetap mengulum penisku. Aku tidak mampu membendung, maka pecahlah ejakulasi di mulutnya. Dia menelan semua air maniku, sehingga diakhir ejakulasiku aku merasa sangat geli dan ngilu.
Batangku masih tegang, mbak Ratih dengan segera menuntun barangku masuk ke liang vaginanya. Dia mengambil posisi di atasku dan melakukan gerakan maju mundur. Batangku yang masih keras sehabis ejakulasi mulai menurun kekerasannya. Namun Mbak Ratih cukup piawai, dia berusaha mempertahankan batangku agar tetap berada di dalam vaginanya. Dia menghentikan gerakannya lalu melakukan aksi kontraksi. Batangku yang hampir melemas total jadi urung karena merasa dipijat oleh liang vaginanya. Rangsangan kedutan liang vagina mbak Ratih luar biasa, sehingga batangku mulai mengeras lagi.
Merasa kekerasan batangku memadai dia mulai melakukan gerakan maju mundur lagi, sampai batangku keras mendekati sempurna. Mbak Ratih mulai bergerak liar dan dia tiba-tiba ambruk memeluk diriku. Vaginanya berkedut menandakan dia mencapai puncak. Aku dimintanya berganti posisi. Setelah aku di atas gantian kini aku menggenjot mbak Ratih sambil mencari posisi yang memberi rangsangan paling maksimal terhadap kemaluannya. Setelah memperhatikan responnya, aku bertahan di satu posisi itu. Tidak sampai lima menit mbak Ratih menjerit lirih sambil menahan gerakanku, dia dapet orgasme lagi. Aku masih belum merasa tanda-tanda. Kini aku memusatkan perhatian pada rangsangan maksimalku untuk segera mendapat orgasme. Aku menggenjot cepat.
Mbak Ratih malah teriak, “Dik, kasari aku, dik. Kasari!”
Aku makin liar menggenjot tubuhnya, aku merasa titik tertinggi sudah makin dekat. Mbak Ratih kelihatannya juga hampir nyampe. Pada satu titik aku akan segera meledakkan laharku dan ketika akan kucabut malah ditahan sama mbak Ratih. Rupanya dia merasa tanggung sebab juga akan muncak, Akhirnya kami nyampe berbarengan. Aku istirahat sebentar, lalu kembali berpakaian.
Aku diciumi Mbak Ratih seperti anak kesayangannya. “Dik, kamu hebat banget, jangan kapok yo, kelihatannya kalem, tapi luar biasa pinter.”
Aku hanya senyum-senyum, lalu keluar meninggalkan Mbak Ratih.
Karena mulutku asem dari tadi nggak merokok, inilah kesempatanku ngrokok sambil nemenin si Nia nonton TV. Aku berjingkat pelan dengan langkah tanpa suara dan mencolek bahu Nia. Dia menoleh ke arah yang salah, ketika dia melihat ke arah sebaliknya, dia kaget.
“Sialan, lu, ngagetin gua,” katanya. “Nah lho, lu apain si Ratih, lama bener?” tambahnya sambil bernada curiga menggoda.
“Ya mijet lah,” sahutku.
“Mijet, apa mijet?” tanyanya menyelidik.
“Ya mijet aja,” kataku sambil menyalakan rokok lalu duduk di sebelahnya. “Bagus filmnya?” tanyaku.
“Seru nih, mau tidur jadi nanggung,” katanya. “Jay, masih kuat mijet gue kan?” katanya berharap.
“Sepuluh lagi juga masih,” kataku menyombongkan diri. Padahal jujur aja aku sudah lemes.
“Kalau gitu tolong dong, bahuku dipijet, ” katanya sambil mengubah posisi.
“Tunggu ya, kuhabiskan dulu rokok ini,” kataku. Selesai merokok, kuraih bahunya lalu aku mulai melancarkan pijatan. Nia ini orangnya manis.. Badannya lembut sekali dan rambutnya wangi. “Wah, boleh juga ini kugarap,” batinku. Perasaan lemes tadi jadi hilang berganti semangat berbalut penasaran.
“Kaku banget nih ototnya, gak pernah dipijet kali ya?” ujarku.
“Iya, aku udah lama nggak pernah pijet lagi, biasanya kalau di rumah aku punya langganan sih,” katanya. Nia kutaksir umurnya sekitar 24 tahun. Dia sudah selesai kuliah, dan sekarang bekerja di salah satu kedutaan asing.
Leher dan bahunya mulai lemes. Kini aku menekan-nekan punggungnya, dia menggeliat-geliat merasakan nikmatnya pijatanku. Sesekali dia bersendawa. “Wah, masuk angin nih, kalau dikerok pasti merah,” kataku asal kena.
“Emang lu bisa ngerok, gue sih hobi banget dikerokin,” katanya.
“Itu sih enteng,” kataku.
“Bener nih, tolong dong kerokin gue,” katanya.
“Disini?” tanyaku.
“Ya enggaklah, di kamar gua noh,” katanya sambil berdiri menarik tanganku. Rumah sudah sepi dan gelap. Aku digelandang masuk ke kamar Nia. Dia menyewa kamar sendiri. Kamarnya rapi dan baunya harum.
“Kerokannya pakai apa, Jay?” tanyanya.
“Pakai garpu kalau ada,” candaku.
“Hah, gila lu, nih pakai koin aja,” katanya.
“Ya pakai inilah, tapi jangan pakai balsem, pakai lotion aja,” kataku.
“Lho biasanya aku pake balsem, tapi ya terserah lu deh,” katanya sambil menyodorkan koin dan hand body lotion. Ada maksud tersembunyi makanya aku menyarankan pake lotion. Mudahlah kalian menebaknya.
“Nia, aku nggak bisa ngerok kalau kamu pake daster gitu. Dengan segala hormat, kamu harus buka dasternya,” kataku.
“Paham, bos, paham. Sabar napa,” katanya sambil berdiri membelakangiku membuka dasternya. Dia ternyata nggak pake BH. Daster tadi ditutupkan ke teteknya lalu dia tidur telungkup.
Aku mulai beraksi mengerok punggungnya yang putih mulus. Hasil kerokanku memang merah bahkan cenderung merah tua. Dia ternyata masuk angin serius. Tadinya kukira dia hanya masuk angin bohong-bohong saja.
“Wah, ini sih masuk angin berat, pasti semua badanmu pegel-pegel ya?” kataku.
“Emang bener sih, malah rasanya rada panas dingin gitu, kayak orang mau demam,” katanya.
Sekitar 15 menit, selesai sudah semua punggungnya dikerok. Aku menawarkan untuk dipijet sekalian biar otot-ototnya gak kaku. “Emang kamu nggak capek habis mijet mbak Ratih? Kalau kuat sih dengan senang hati dong,” katanya.
Aku mengambil posisi menduduki pantatnya yang bahenol, “Sorry ya, aku duduki,” kataku. Kenyal bener pantat si Nia. Aku mulai melancarkan pijatan serius.
Dia terus menerus melontarkan pujian mengenai nikmatnya pijatanku sambil sesekali berkomentar, “Ya, ya, situ pegel banget. Aduh, kamu kok pinter, tau urat segala sih?” katanya.
“Kakinya mau sekalian dipijet apa, gimana?” tanyaku.
“Aduh, mau dong. Kebetulan kakiku pegel bener,” katanya.
Aku memulai dari telapak kaki, mencari simpul-simpul syaraf. Beberapa simpul aku tekan, dia menjerit kesakitan. Disini aku mulai lagi membual kalau beberapa organnya agak terganggu.
Satu simpul erotis aku tekan, dia menjerit. “Aduh, apaan tuh, kok sakit banget?” katanya.
“Jangan tersinggung ya, aku boleh terus terang nggak?” pancingku.
“Iya, ngomong aja terus terang, kok pake nanya tersinggung segala,” katanya sambil meringis kesakitan.
“Bener ya? Ini simpul syaraf kalau sakit ditekan, mungkin nih, sekali lagi mungkin, lu rada frigid, atau dingin ama cowo. Nggak usah dijawab kalo malu,” ujarku.
“Eh, lu kok tau aja sih? Sejak gua putus ama pacar gua yang dulu, gua jadi benci ama cowo, makanya gua rada kurang suka aja kalau ada cowo deket-deketin gua. Wah, lu ternyata jago beneran nih, gua jadi nggak bisa nutup-nutupin rahasia nih. Eh, tapi sekarang udah gak sakit lagi kok, mencetnya dipelanin ya,” katanya.
Padahal aku makin keras menekannya. Kalau rasa sakitnya berkurang, berarti dia mulai cair dan bisa bergairah lagi. “Yang begituan jangan ditahan-tahan, lu bisa migren sampe mata lu merah sebelah,” kataku.
“Eh, gila, lu! Bener juga, gua suka migren. Kalau lagi kambuh, ampun sakitnya. Eh, dimana tuh syarafnya, bisa diilangin nggak penyakit gua yang suka kambuh itu?” katanya.
“Asal lu ijinin gua coba, sebab titik syarafnya tidak hanya di kaki tapi juga di pantat, tangan dan di bawah perut, dan di punggung.” kataku.
“Tolong dong sekalian, gua pasrah aja deh ama lu, kayaknya lu udah pakar banget sih,” dia mengharap.
Aku mulai memainkan titik-titik syaraf yang merangsang sambil juga titik syaraf migren. Sekitar 10 menit titik migren sudah mulai lemes, kini tinggal syaraf perangsangan yang aku mainkan. Ketika bagian pantat aku tekan-tekan dan beberapa titik di paha di bagian dalam, dia mulai mendesis.
“Gila lu, gua jadi konak, udah lama gua nggak ngrasain kayak gini, lu apain sih gua? Lu kerjain kali ya?”
“Tadi kan gua udah minta ijin, akibatnya kalau syaraf frigid di terapi kalau berhasil yang dingin jadinya panas, ya udah kalo gitu gua brenti aja sekarang,” kataku menantang.
“Eh, jangan-jangan. Nggak pa-pa, gua nikmati koq, lu terusin aja. Gua masih banyak ingin berkonsultasi ama lu, jangan marah yaa,” dia merayu. “Kepala gua sekarang kok jadi pusing sih, kayak penuh gitu lho, badan gua juga rasanya kayak merinding-merinding, kenapa sih gua ini?” ujarnya sambil menggeliat-geliatkan badannya.
Aku tahu Nia berusaha melawan rangsangan dirinya sendiri. Selama titik-titik sensual aku serang terus, dia bakalan makin konak. Aku menekan-nekan pantatnya. Dia mendesis-desis, entah sadar atau tidak tapi disertai pula dengan gerakan pantat ke kiri dan ke kanan. Kemudian dia kuminta telentang. Aku kembali mulai dari bahu. Nia masih malu sehingga teteknya masih ditutupinya dengan dasternya. Kubiarkan saja dia mempertahankan rasa malunya. Tapi aku yakin nanti akan dia buka atas kemauannya sendiri. Pijatanku mulai ke bawah di seputar teteknya, mulai kuurut dengan gerakan halus, naik turun, kadang melingkar dan sesekali naik sampai ke putingnya.
“Aduh, Jay, enak banget,” Dia jadi tidak perduli bahwa penutup teteknya sudah tidak berfungsi lagi, sebab semua teteknya sudah menyembul keluar. Teteknya bulat padat dan cukup gembung, pentilnya kecil dan aerolanya tidak lebar, berwarna coklat muda.
“Maaf ya, Nia, ini untuk melancarkan peredaran darah sekitar toketmu, kalau dia menggumpal, bisa-bisa menjadi tumor. Aku mau kurang ajar dikit nih untuk mengaktifkan semua saraf di dadamu, kuterusin apa boleh?” tanyaku serius sambil berhenti memijat.
“Apa aja deh terserah, gua udah pasrah banget ama lu,” katanya sambil terengah-engah.
Putingnya aku sentuh dengan jari telunjuk lalu aku putar-putar dengan gerakan halus. “Rasa geli yang kamu rasakan itu ibarat mengaktifkan aliran listrik di semua syaraf yang bersimpul di puting. Jadi dengan rasa geli ini semua syaraf jadi tergugah dan aliran darah di sekitarnya makin lancar,” ini asli aku ngarang, sebab sebenarnya ini hanya trikku untuk lebih merangsang dia. Dan Nia rupanya mempunyai kelemahan di putingnya. Dia tidak mampu menahan rangsangan jika putingnya disentuh-sentuh.
“Aduh, Jay, sumpah gua jadi kepengen, gua jadi pusing. Aduh, gimana ini? Tolongin dong gua, Jay,” katanya memelas.
“Sabar ya, sayang, kita selesaikan dulu ini.” kataku. Pijat urutku mulai turun ke bawah. Bagian perutnya aku urut pelan lalu turun terus sampai ke pangkal pahanya. Jariku bebas menelusup ke bawah celana dalamnya. Dia sudah membiarkan saja aksiku meski seluruh permukaan mekinya sudah terjamah. Aku berlagak repot dengan celana dalam itu, sehingga Nia kemudian meloloskan celana dalamnya. Urat malunya udah kendor. Terpampanglah memek dengan bulu halus yang rapi dengan gundukan yang cukup gemuk. Aku kagum dengan bentuk memek Nia yang menggairahkan ini. Mungkin inilah yang disebut ‘turuk mentul’.
“Bagaimana, masih pusing?” tanyaku.
“Iya, Jay, gimana dong?” katanya.
“Wah, ini simpul sarafnya sulit tempatnya, karena adanya di tempat yang paling rahasia,” kataku sambil berhenti mengurut.
“Dimana sih?” katanya mendesah.
“Di dalam sini,” kataku sambil menepuk memeknya. “Kalau kamu ijinkan gue urut juga biar pusingnya hilang, tapi itu terserah kamu, aku sih ikut apa yang kamu mau,” ujarku dengan nada dingin.
“Iya, boleh-boleh. Please, dooooong,” katanya mengiba.
“Maaf ya,” aku minta ijin lalu jempolku menekan clitorisnya dan aku putar-putar lalu perlahan-lahan jari tengahku menyusup ke dalam liang vaginanya mencari titik G-spot.
G-spotnya sudah menyembul menandakan dia sudah sangat tinggi terangsang. Ibarat pria kalau dikocok sedikit saja pasti muncrat. Dia menggelinjang hebat ketika dua simpul sarafnya yang paling peka aku mainkan. Baru sekitar dua menit aku melakukan aksi itu, dia sudah mengerang dan akhirnya melengking panjang sambil menjepit kedua kakinya. Tapi tertahan oleh badanku yang berada di antara kedua kakinya. Kulepas jempolku dari posisi sentuhan ke clitorisnya, sementara jari tengah masih tetap berada di dalam. Liang vaginanya berkedut dan tiba-tiba memancar cairan agak kental sampai sekitar jarak sepuluh cm. Nia orgasme disertai ejakulasi. Pancarannya sekitar 4 sampai 5 kali seirama dengan kontraksi otot di dalam vaginanya. Nia lalu tergolek lemas.
“Aduh, Jay, seumur-umur gua baru ngrasain ini, gua tadi ngompol ya.” tanya Nia dengan mata yang terbuka sedikit dengan pandangan sayu.
“Iya, itu tadi kamu mencapai orgasme sempurna. Gimana, sekarang masih pusing?” tanyaku.
“Wah, sekarang plong banget rasanya, dunia tambah terang kelihatannya. Cuma badanku jadi lemes banget, ngantuk sekali.”
“Ya udah, tidurlah,” lalu aku membantu menyelimuti badannya.
“Tunggu, Jay, rasanya ibarat makan sudah kenyang tapi kurang mantep kalau nggak makan nasi,”
“Apa laper mau makan nasi?” tanyaku bingung.
“Bukan, sini deh, Jay.” tanganku ditariknya dan aku terduduk, lalu dia bangun memeluk badanku sembari menariknya tidur diatas badannya. Nia lalu dengan ganas sekali menciumi seluruh wajahku lalu dia menyosor mulutku. Aku dibawanya berguling sehingga dia sekarang menindih tubuhku. Nia duduk di atas badanku lalu dia memohon. “Jay, mau kan tolongin aku sekali lagi aja,” katanya mengiba.
“Apa pun yang tuan putri kehendaki, hamba siap, tuan putri,” kataku sambil tersenyum.
“Jay, puasin aku lagi yaaaaaa?” katanya sambil menarik t-shirtku ke atas lalu dia beralih duduk dan dengan sekali sentak ditariknya celana pendek dan celana dalamku, sehingga lepaslah kekangan penisku hingga benda itu segera mengacung ke atas. Nia lalu menyergap batangku dan dilumatnya habis dengan penuh nafsu. Dia menjilati semua bagian kemaluanku seperti anak-anak menjilat ice cream horn. Aku pasrah dan menutup mata. Dua ronde sebelum ini membuat aku mampu bertahan dan menenangkan kobaran nafsuku.
Nia sudah tidak sabar lagi lalu jongkok di atas burungku dan dengan panduan tangannya dituntunnya batangku masuk ke dalam lubang vaginanya. Perlahan-lahan sampai semua tertelan habis. Nia melakukan gerakan naik turun. Posisi ini sebenarnya kurang membuat dia bergerak bebas dan cepat melelahkan, makanya tidak lama kemudian dia mendudukiku dan melakukan gerakan maju mundur. Nia kelihatannya memposisikan sentuhan penisku ke pusat-pusat saraf kenikmatannya, baik itu clitoris dengan dibenturkan ke permukaan jembutku maupun G-spot dengan batangku. Dia berjuang dengan gerakan maju mundur sekitar lima menit mungkin sebelum akhirnya mengerang dan ambruk ke badanku. Nafasnya tersengal-sengal. Vaginanya berkedut cukup lama, meskipun makin lama makin jauh tenggang waktu gerak kontraksinya.
“Aduh, enak banget, Jay, makasih ya,”
“Aku belum bisa membalas terima kasih kembali,” kataku sambil tersenyum.
Nia tidak mengerti, dia mengernyitkan dahinya. Aku tidak memberi kesempatan dia berpikir panjang , aku segera membalikkan posisi sehingga di tidur telentang dan aku menindihnya. Setelah posisi agak leluasa aku mulai menggenjot dengan gerakan lambat dan konstan.
“Aduh, Jay, cepet dikit donk, aku udah terasa diujung nih.” rintihnya.
Aku tidak menuruti kemauannya, sehingga dia tertunda-tunda pencapaian orgasmenya. Sampai titik dimana aku sudah merasakan rangsangan hebat aku segera mempercepat genjotanku dengan menabrak-nabrakkan gumpalan memeknya keras-keras.
“Aku nyampe! Aku nyampe, aaaaaaa!” erangnya.
Mendengar itu, aku makin terangsang dan meletuslah spermaku menyemprot liang memeknya. Aku tidak sempat menarik keluar karena pantatku ditahan tangan Nia dengan tarikan yang kuat sekali. Aku telentang terbujur disampingnya. Nia memelukku.
“Jay, kamu tadi sama mbak Ratih gini juga ya?” tanya Nia.
“Ah, itu kode etik, nggak bisa diceritakan. Apa mau permainan ini aku ceritakan ke orang lain juga?” tanyaku.
“Sorry, aku terbawa perasaan. Iya deh, aku paham. Btw, aku thanks banget ama kamu ya.” katanya.
Aku bangkit kembali berpakaian dan kuselimuti Nia. Sebelum keluar kamarnya kukecup keningnya, “Bobo ya, sayang,” kataku singkat yang sepertinya klise, tapi jika dilantunkan pada saat yang tepat, dia menjadi mantera yang ampuh.
Saat kami sedang bercengkerama, ibu kost bergabung ikut ngrumpi sambil nonton TV. “Dik Jay ini dipuji-puji abis ama Mbak Ratih dan Nia, katanya jago mijet dan tahu susunan syaraf, belajar dimana sih, dik?” tanya bu Rini.
“Ah, mereka memang suka melebih-lebihkan, bu. Saya cuma belajar dari buku-buku aja kok, belum mahir bener, baru taraf pemula,” kataku mencoba merendah.
“Bohong, bu, dia sok merendah,” kata Nia.
“Aku jadi ketagihan dan rasanya aku belum pernah nemu tukang pijat sepinter Jay, bu,” tambah Mbak Ratih.
“Wah, perlu dibuktikan nih,” kata bu Rini. Mata Mbak Ratih dan Nia langsung memandangku dengan penuh arti. Aku belagak bego aja sambil senyum ditahan.
“Kristin kemana kok nggak keliatan?” tanya bu Rini.
“Ada di kamar, dia lagi kambuh sakit magnya,” kata Juli yang juga gadis keturunan Cina seperti Kristin.
“Udah diobati apa belum?” tanya Bu Rini.
“Udah sih, tadi dikasih obat mag, tapi masih sakit,” kata Juli lagi.
“Jay, kamu bisa bantu Kristin nggak untuk ngurangi rasa sakit? Kasihan dia,” kata Mbak Ratih.
“Kristin kan nggak suka dipijet, katanya dia itu penggeli,” kataku berkilah.
Bu Rini lalu masuk ke kamar Kristin diikuti Mbak Ratih dan Juli. Entah apa yang dibicarakan, nggak lama kemudian Mbak Ratih keluar. “Jay, tolong dong. Kristin kasihan, dia merintih kesakitan tuh perutnya, dia udah pasrah, pokoknya rasa sakitnya bisa berkurang,” katanya.
Aku pun masuk ke kamar Kristin. Dia terbujur tidur berselimut sambil cengar-cengir menahan rasa sakit akibat magnya kambuh. Aku minta Kristin duduk dan kupegang tangan kanannya. Badannya agak panas, mungkin akibat dia menahan rasa sakit. Kuraba telapak tangan kanannya. Mukanya pucat, matanya berair. Aku mencari celah antara jempol dan jari telunjuknya kutekan pelan.
Kristin berteriak, “Sakit…!”
Aku menjelaskan, bagian itu memang sakit sekali jika ditekan manakala mag sedang bermasalah. Kalau dia bisa menahan rasa sakit, mudah-mudahan rasa saakit dilambungnya akan berangsur-angsur berkurang. “Kamu bisa tahan sakit nggak, atau tinggal pilih mau sakit terus di lambung atau nahan sakit disini?” kataku.
“Aduh, sakit sekali di situ, tapi cobalah aku tahan, daripada magku yang sakit, dari tadi kok rasanya makin sakit,” kata Kristin.
Aku mulai menekan celah di telapak tangannya dengan tekanan pelan sekali. Meskipun begitu, dia sudah merasakan kesakitan. Setiap kali kutekan, dia melonjak menahan rasa sakit. Sekitar 5 menit tangannya kugarap, dia minta istirahat sebentar untuk menetralisir sakit di tangannya.
“Di kepala rasanya pyar-pyar, agak mending nih sakitnya di lambung, nggak kayak tadi lagi,” kata Kristin.
“Sabar ya, Kris, aku harus pelan-pelan terapinya, karena sakit sekali kalau kutekan. Kamu kalau mau bersendawa jangan ditahan, atau kalau terasa mau buang angin dilepas aja. Nanti kalau sudah bisa kentut dan bersendawa, rasa sakitnya akan hilang, jangan malu-malu,” kataku.
Bu Rini lalu menggiring Mbak Ratih dan Juli agar keluar kamar untuk memberi kesempatan aku melakukan terapi pada Kristin. Lagian kalau ada mereka mungkin Kristin malu mau buang angin. Setelah 15 menit kutekan telapak tangannya, dia mulai merasa tahan dengan tekanan yang lebih keras. Ini menandakan berangsur-angsur rasa sakit magnya mulai berkurang.
“Aduh, Jay, aku pengin kentut, sorry ya,” Kristin lalu memiringkan pantatnya dan meletuslah angin dari pantatnya panjang sekali. “Aduh, sorry yaaa, aaah… bau apa nggak nanti ya?” katanya dengan nada khawatir.
“Relaks aja, Kris, yang penting kamu sembuh, bau juga nggak apa-apa, normal-normal aja, orang cantik kentutnya gak harus wangi kan?” kataku menggoda. Kristin memang cantik. Gadis Cina dengan postur agak tinggi dan rambut lurus dipotong pendek seleher.
Kristin juga berkali-kali bersendawa. Tangan kiri dan kanannya kini kupencet sudah tidak terlalu sakit lagi. Padahal tekananku cukup kuat. “Ilang, Jay, sakitnya, wah salut aku ama kamu, hebat, kenapa gak dari dulu kamu bilang?” katanya.
“Orang kamu gak nanya, masak aku ngojok-ngojokin diri?” kataku. “Sini, duduk membelakangiku, kepalamu kan masih tegang bekas nahan sakit tadi,”
“Kamu kok tau sih?” katanya lalu memutar badannya membelakangiku.
Aku lalu memijat kepalanya dengan gerakan yang tidak terlalu keras, untuk merelakskan otot-otot yang tadi menegang. Lehernya mendapat giliran berikutnya lalu bahu dan lengannya. Di leher bagian belakang juga ada simpul syaraf erotik. Aku iseng menekan simpul itu. Pastinya Kristin tidak sadar kalau aku sedang mengisengi dirinya.
“Aduh, Jay, enak tapi agak geli, badanku jadi kemrenyeng semua, merinding nih, Jay, tanganku,” kata Kristin.
Aku tahu itu adalah reaksi normal jika rangsangan mulai menjalar ke tubuhnya. Pasti memeknya juga mulai basah. Aku minta dia tidur tengkurap dan telapak kakinya aku garap sekalian untuk menuntaskan terapi magnya dan juga menambah stimulan erotisnya. Titik erotis yang kuat sebenarnya ada di bagian pahanya. Tapi nantilah. Aku memijat sekujur kakinya dengan sebelumnya menekan syaraf yang membuatnya bisa menahan rasa geli.
“Aku kok jadi gak geli ya, Jay? Biasanya aku penggeli banget, kamu bisa aja, Jay. Aku jadi makin kemrenyeng gini sih, Jay?” katanya. Kristin memang Cina Cirebon, sehingga dia gak sadar kalau bahasa daerahnya nyampur ke bahasa Indonesia.
“Badannya mau sekalian nggak?” kataku menawarkan diri.
“Boleh, Jay, kamu pinter sih mijetnya. Aku kok gak ngrasain geli lagi ya?” kata Kristin yang tidur telungkup dengan masih lengkap terbalut piyamanya.
Sifat isengku adalah kelemahanku, jadi kesempatan ini pun aku menggarap Kristin dengan tekanan-tekanan simpul erotis di punggungnya. Aku menyiksanya dengan meninggalkan rangsangan yang tidak bakal terlampiaskan, jika tidak aku tuntaskan. “Rasain, looo!” kataku membatin. Tapi di balik semuanya rangsangan itu, juga untuk menyirnakan ketegangan akibat deraan sakit mag tadi.
Setelah sekitar sejam setengah, tuntaslah sudah terapi untuk Kristin. Aku segera pamit keluar.Tapi Kristin menarikku. Dia berdiri lalu mencium pipiku kiri dan kanan. Aku merasa ini bukan ciuman biasa, karena sambil mencium dia memelukku erat sekali. Aku ikuti saja maunya dan aku pasif saja.
“Makasih banget ya, Jay,” bisiknya.
Aku lalu keluar kamar. Gak lama kemudian Kristin juga ikut keluar. Mukanya segar bahkan air mukanya agak merah. Kesegaran itu mungkin karena dia sudah pulih dari rasa sakit dan juga ada rangsangan yang masih terbenam di dalam tubuhnya yang belum tersalurkan.
“Untung ada Jay, Bu, kalau nggak, mungkin saya sudah mati kesakitan,” katanya sambil tersenyum renyah.
“Ah, ibu jadi makin penasaran pengin mbuktikan nih,” kata Bu Rini.
“Coba deh, bu, sekali-kali ibu mesti nyoba biar gak penasaran,” kata Nia dengan senyum penuh arti sambil memandangku. Mbak Ratih juga ikut tersenyum sambil melirik.
“Sialan nih cewek-cewek, aku jadi malu dipromosikan begitu dan rasanya dibalik promosi itu ada makna yang terpendam,” batinku.
Jam di dinding sudah menunjukkan jam 10 malam.
“Jay, masih kuat gak? Ibu juga pengin dong dipijet, tadi kebetulan manggil mbok pijet dia-nya lagi sakit. Badan ibu memang rada nggak enak sih,” kata Bu Rini sambil memeluk pundakku.
“Ah, lima lagi juga masih kuat, bu, orang tadi gak keluar tenaga banyak. Kristin gak kuat dipijat soalnya.” kataku.
Aku lalu digandeng Bu Rini menuju kamarnya. Mbak Ratih dan Nia menatapku sambil tersenyum penuh arti. Kamar Bu Rini dingin sekali. Dia katanya suka tidur di hawa yang dingin.
“Apa nya yang sakit, bu?” tanyaku.
“Ah, badanku pegel semua,” katanya. Dia lalu tanya bagaimana aku memijatnya. Aku menimpali, bagaimana biasanya dia dipijat sama mbok pijet. Katanya dia biasa pakai sarung aja. lalu kusarankan dia seperti biasanya dipijat.
“Kalau pegel yang ibu rasakan ini sebenarnya bukan karena cape kerja, tapi ini efek dari ibu tidur di ruangan yang terlalu dingin. Kalau di luar panas, lalu masuk ke kamar dingin dan keluar lagi panas, efeknya pori-pori tidak mampu secara segera menyesuaikan suhu, bu,” kataku seperti dokter memberi konsultasi.
“Ah, adik ini apa pernah kuliah di kedokteran apa, kok ngerti begituan?” tanyanya.
“Nggak kok, bu, itu hanya pengetahuan umum saja, badan ibu sudah bukan badan remaja lagi yang elastis, jadi kalau pori-pori tidak menciut sempurna untuk menahan suhu badan maka dampaknya ibu merasa pegel semua. Begitulah kira-kira, bu.” kataku.
“Terus harusnya gimana, dik?” tanyanya.
“Ibu hanya perlu berkeringat agar pori-porinya mengembang kembali, kalau sudah berkeringat pasti pegelnya ilang. Biasanya orang mengambil jalan pintas dengan dikerok, tapi sebenarnya tanpa dikerok juga bisa mengembangkan pori-pori,” kataku.
“Lha terus gimana jadinya?” kata Bu Rini.
“Kalau ibu ijinkan, AC-nya harus dimatikan,” kataku.
“Ya sudah, matikan saja,” katanya. “Tapi kan masih dingin to, dik?” tanya bu Rini.
“Iya, nanti kita buat biar berkeringat,” kataku.
“Sini, bu, coba tengkurep, nanti saya cari simpul-simpul sarafnya yang bisa bikin ibu kemeringet,” Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf kakinya. Beberapa bagian dia menjerit kesakitan. Aku minta dia menahan sedikit sakitnya. “Ini, bu, ini adalah tanda kalau ibu punya darah rendah, jadi kalau lagi drop ibu pasti suka ngantuk dan lehernya agak kaku,” kataku.
“Iya, dik. Bener, dik, aku memang darah rendah, dan aku sering ngrasa cekot-cekot di leher bagian belakang, tapi itu sakit sekali, apa nekennya bisa agak pelan dikit biar gak sakit,” pintanya.
“Tahan sebentar, bu, Ibu karena nahan sakit pasti nanti berkeringat dan mudah-mudahan darahnya nggak mudah drop.”
Bu Rini menjerit-jerit kesakitan, dan badannya mulai berkuah alias berkeringat. Dia merasa kamarnya jadi gerah. Padahal sisa dinginnya AC tadi masih cukup kuat. “Wah, bener, dik. Aku jadi kemringet dan badanku juga gak pegel lagi. Kok bisa ilang pegelnya ya, padahal belum dipijet?” katanya.
Dari satu titik, aku pindah ke titik-titik simpul saraf lainnya sampai Bu Rini benar-benar kuyup oleh keringetnya. Karena dia berselimut sarung maka penguapan keringetnya jadi terhalang.
“Bu, kalo ibu kerudungan sarung terus nanti gerah, kalo ibu gak keberatan, buka aja sarungnya,” saranku.
Bu Rini agak ragu membuka sarungnya, tapi akhirnya dia buka juga dan ternyata beliau tidak pakai BH. Dia tungkrupkan sarung di bagian depan lalu kembali telungkup. Badan Bu Rini cukup terawat meskipun ada selulit dipaha dan di bokongnya. Pahanya besar, dan bokongnya gempal banget. Bu Rini memiliki tulang pinggul yang besar, sehingga dalam usia STW, dia masih kelihatan berpinggang.
Body STW menggairahkan juga rupanya. Terus terang aku belum punya pengalaman ML sama STW. Kira-kira longgar apa gimana ya. Sambil aku melakukan terapi aku juga menekan simpul-simpul syaraf erotis Bu Rini. Biasanya kalau syaraf erotis ditekan, rasa malu perempuan agak berkurang, karena nafsu birahinya bangkit. Bu Rini kelihatannya sudah lama menjanda, bagaimana dia memenuhi kebutuhan sexnya. Aku agak penasaran dengan misteri ini.
Reaksi dari pijatan di simpul syaraf erotis mulai menampakkan hasilnya. Bu Rini mulai agak gelisah. “Aduh, dik, pijatan refleksimu enak juga, kamu belajar dimana kok ngerti refleksi segala?” tanya bu Rini.
“Dulu saya punya teman kerja di pijat refleksi, saya iseng-iseng belajar bu, saya juga belajar dari buku-buku, saya sih belum mahir sebetulnya, masih taraf pemula,” kataku merendah.
“Tapi keliatannya kamu paham benar bisa menerangkan sampai soal darah rendah, kamu berbakat lho, dik,” katanya.
Setelah semua simpul syaraf di bagian telapak kaki kugarap, aku mulai merambat naik ke atas kaki. Sebelumnya sekujur kakinya aku usap dengan lotion agar lancar mengurut. Paha Bu Rini termasuk besar, tetapi tumitnya ramping. Konon wanita yang memiliki tumit ramping, barangnya berasa legit. Beberapa simpul syaraf erotis di bagian betis dan paha kugarap tuntas sambil mengurut untuk melemaskan otot-ototnya. Bu Rini sudah tidak merasa sakit lagi. Dia malah menikmati sekali urut-urutan di kakinya.
Aku mulai memusatkan pijatan di bagian paha, terutama bagian dalam. Kenyal sekali paha Bu Rini. Aku suka menekan lemak-lemak tebal perempuan, karena empuk dan halus. Bu Rini mulai mendesis sambil sesekali bergumam, kadang-kadang gak jelas apa yang diucapkannya. Aku hanya mendengar, “Aduh enak-e, dik.”
Kelihatannya Bu Rini sudah mulai bangkit nafsu birahinya. Kuabaikan saja dengan pura-pura memijat serius dan tidak memusatakan pijatan di bagian yang kontak dengan syaraf syur. Aku mulai memijat badannya dimulai dari bahu, leher terus di bawah. Bagian pantat aku sisakan. Nanti akan kugarap khusus.
Bu Rini memujiku terus menerus, sampai dia mengatakan pijatanku lebih enak dari langganan mbok-pijetnya. Aku hanya sederhana saja berpikir, pekerjaan memijat meskipun sederhana, kalau dilakukan dengan tekun serius dan suka melakukannya pasti hasilnya maksimal. Memijat juga memerlukan pengembangan pengetahuan, dan aku rajin mempelajari teknik memijat dari buku-buku yang kubeli di pasar loakan.
Sekarang giliran pantat. Bokong bu Rini hanya terbungkus celana dalam, sehingga bongkahan daging tebal pantatnya jelas terlihat dari luar celana dalamnya. Aku mulai melancarkan serangan pijatan erotis. Pertama kutekan dan dengan gerakan lambat aku memutar tekanan jariku. Pijatan ini biasanya akan mentriger vagina dan akibatnya lubang senggama bisa basah kuyup. Sambil menyusupkan kedua tanganku ke balik celana dalamnya sehingga langsung bisa menyentuh kulit bokong. Aku melakukan gerakan seperti mengumpulkan sesuatu dan kudorong bongkahan daging kedua belah pantatnya ke atas lalu kuperintahkan Bu Rini untuk mengencangkan otot kegelnya selama mungkin. Namun dia tidak sanggup, baru sebentar sudah dilepas lagi.
“Nggak kuat, dik,” katanya. Kuminta berkali-kali tetapi dia tetap tidak mampu bertahan lebih dari 30 detik.
“Bu, kelihatannya ibu punya kelemahan dalam hal menahan pipis.”
“Bener, dik, koq adik bisa tahu sih?” katanya heran.
“Ibu juga mungkin kalau pipis gak bisa tuntas, suka ada yang ketinggalan keluar sedikit setelah pakai celana.” kataku menebak-nebak.
“Aduh, bener banget, dik, itu makanya ibu kadang-kadang suka risih, bisa diterapi gak dik yang begituan?” katanya penuh harap.
Aku lalu menyarankan dia untuk berlatih sejenak mengencangkan otot kegelnya. “Coba, bu, kita latih sebentar,” kataku. Aku memintanya menahan otot kegelnya ketika bongkahan pantatnya kudorong ke atas sambil menarik nafas, dan melemaskannya ketika aku melepas dorongan tanganku ke pantatnya. Sampai hitungan ke tiga puluh dia masih mampu, selanjutnya di menyerah.
“Capek, dik,” katanya.
“Latihan otot ini kalau tidak ada stimulannya memang cepet capek,” kataku.
“Stimulannya apa to, dik, kok latihan pake stimulan segala?” tanyanya penasaran.
“Nanti, bu, selesai pijet aku jelaskan,” kataku sambil memintanya berbalik badan menjadi telentang.
Aku tau di dalam tubuh Bu Rini sedang membara api sekam birahinya. Dia kelihatannya berusaha menekan, tetapi setiap kali mengendur aku tambah stimulant, sehingga bukannya makin reda malah makin menjadi. Dalam tidur telentang, Bu Rini masih berusaha menutup kedua payudaranya dengan sarung. Aku melihat ini hanya sikap basa-basinya saja, jadi kubiarkan saja dia mempertahankan martabatnya. Hal kecil gini kalau dikutik bisa jadi masalah besar.
Misalnya kalau kukomentari, “Sudahlah, bu, gak usah ditutupi,” pasti akan muncul perlawanan dan otaknya memproses sehingga aku diposisikannya sebagai lawan yang harus diwaspadai.
Sebenarnya Bu Rini sudah pasrah, urat malunya tinggal sedikit saja yang nyambung, disentil aja urat itu bakal putus. Yang ada hasrat birahi yang membara, marak di dalam dadanya. Aku mulai memijat bahunya dari bagian atas. Otot-otot di bahunya sudah melemas, tidak kaku seperti pertama kupegang tadi. Kemudian merayap mendekati dadanya. Aku berhenti sejenak.
“Bu, BDnya mau diurut juga apa gak?” tanyaku.
“Apa bisa to susu diurut, biar apa to, dik?” tanyanya penasaran.
“Biar lancar peredaran darahnya, kalau tidak lancar bisa menggumpal dan lama-lama bisa jadi bibit tumor,” kataku berusaha bicara datar untuk meyakinkannya. Padahal ini 100 persen cuma ngarang aja.
“Boleh lah, dik,” katanya.
Kedua belah tanganku mulai menyelusup di bawah kain penutup dadanya. Dadanya sangat kenyal, bahkan gumpalannya cukup besar. Gerakanku mengurut, otomatis perlahan-lahan membuka semua penutup dadanya. Kutaksir Bu Rini berusia di atas 40, tetapi buah dadanya masih utuh menggumpal. Yang membedakannya dengan gadis ABG mungkin hanya putingnya yang lebih besar dan lingkaran aerolanya yang agak lebar. Kedua puting Bu Rini kelihatan menegang. Ketika kusentuh dia mendesis. Itu adalah spontanitas yang kadang sulit dikendalikan atau disembunyikan, dari wanita yang terangsang. Aku menduga, perempuan yang mendesis adalah mereka yang mulai kurang mampu mengontrol perilakunya akibat rangsangan sex. Jika wanita bisa mengontrol perilakunya , pastilah malu memperdengarkan desahan, karena bunyi-bunyi itu dirasa bisa merendahkan martabat.
“Bu, maaf ya, aku sentuh pentilnya, ini untuk merangsang syaraf geli agar aliran listrik di semua syaraf yang berpusat di puting bisa merangsang peredaran darah ke seluruh bagian payudara.” kataku.
“Sudah, dik, jangan sungkan, ibu udah pasrah, kamu kelihatannya paham betul. Ibu malah jadi belajar ama kamu sekarang,” katanya pasrah.
Dengan pelan kupilin dan kuusap putingnya dengan gerakan memutar, maka rangsangan birahi yang dirasakan Bu Rini makin kuat, dia makin gelisah dan menggelinjang, pinggulnya tidak bisa tenang selalu bergerak ke kiri dan kanan. Setelah rangsangan kurasa maksimal aku pindah mengurut bagian perutnya, lalu ke bagian bawah perutnya.
“Bu, kalau bagian ini kutekan, ibu bisa kebelet pipis, coba rasakan,” kataku.
“Iya, dik, aku jadi kebelet pipis nih, jangan-jangan sudah ada yang keluar sedikit? Dik, aku permisi dulu ke kamar mandi sebentar, mau pipis,” kata Bu Rini buru-buru bangkit menuju kamar mandi. Dia melenggang hanya mengenakan celana dalam. Tidak ada lagi kebutuhan untuk menutup badannya dengan sarung. Sekembalinya dari kamar mandi dia juga dengan santai berjalan nobra hanya mengenakan celana dalam kembali berbaring.
“Sekarang udah lega, dik. Kok bisa gitu ya?” ujarnya.
Aku meneruskan mengurut bagian bawah perut Bu Rini dan sekali-kali menerobos masuk ke bawah celana dalamnya sampai menyentuh rambut kemaluannya. Bu Rini tampaknya tidak perduli lagi atas apa yang kulakukan, dia terbakar birahi dan mempercayai kemahiranku 100 persen. Aku juga makin berani mengurut sampai ke gundukan kemaluannya. Bahkan gundukan itu aku urut secara khusus.
“Bu, maaf ya. Apa boleh saya teruskan mengurut di bagian sini?” tanyaku.
Bu Rini tidak berkomentar, hanya mengangguk saja. Aku mengurut terus sampai ke bawah ke bagian selangkangannya. Sentuhan tangan pria di sekitar kemaluan, pastinya menimbulkan rangsangan yang makin dahsyat. Bu Rini kini sudah mendesah dan mendesis seperti layaknya melakukan hubungan badan. Celana dalamnya sekarang sudah melorot ke bawah sehingga tidak lagi menutupi segi tiga yang lebat ditumbuhi bulu.
“Dik, buka aja kalau ngrepoti,” katanya tiba-tiba. Dia mengangkat pinggulnya dan celananya kuloloskan ke bawah lepas dari kedua belah kakinya. Ibu Rini sudah telanjang bulat dihadapanku sambil matanya terpejam. Aku memusatkan urutan merangsang dirinya tanpa mengesankan aku sedang merangsang dirinya.
“Gimana, bu, sekarang sudah selesai, perasaan ibu sekarang gimana?” tanyaku.
Ia tergugah, matanya terbuka sayu. “Enak sih, dik, tapi aku jadi merinding dan kepalaku jadi rada pusing, tapi kayak bukan pusing seperti biasa, kenapa ini ya, dik?” katanya.
“Coba ibu duduk membelakangiku, aku pijat sebentar bagian kepalanya.”
Pertama aku memijat biasa kepalanya, tetapi kemudian aku mengurut bagian tengkuknya, dimana syaraf syaraf erotik juga banyak simpulnya di sana. Bu Rini seperti tidak bertenaga, dia menyandarkan badannya ke badanku,seperti minta dipeluk. Aku jadi tidak bisa melakukan pijatan karena tidak ada ruang untuk melakukannya.
“Dik, gimana tadi mau nerangkan cara latihan yang katanya pake stimulan segala?” katanya.
“Sebenarnya saya kurang enak menjelaskannya pada ibu, karena penjelasannya kurang pantas didengar,” kataku dengan nada ragu.
“Udah lah, dik, saya open aja sama adik, orang saya udah telanjang di depan kamu saja saya gak rasa risih lagi kok, ayo dong.” katanya penuh harap.
“Gini, bu, latihan otot bagian dalam itu sebaiknya dilakukan oleh suami istri secara bersamaan,” kataku.
“Lha aku gak punya suami, jadi mau latihan sama siapa, dik? Latihannya gimana sih, ayo dong tunjukin saya,” katanya makin berharap.
“Maaf ya, bu, itu latihannya sambil berhubungan badan,” kataku.
“Coba, dik, tunjukin caranya,” katanya sambil tiba-tiba membalikkan badan dan mebuka kausku lalu menciumi leher dan mukaku. Aku didorongnya hingga telentang, lalu celanaku dipelorotkan. Batangku yang dari tadi sudah mengeras sempurna langsung mencuat.
Bu Rini lalu tidur telentang di sebelahku, “Ayo, dik. Coba, dik,” katanya.
Aku duduk dan Bu Rini kuminta duduk di pangkuanku. Dia rendahkan badannya perlahan lahan sambil mencari posisi yang tepat agar penisku masuk ke lubang vaginanya. Begitu semua penisku terbenam dia langsung bergumam, “Aduh, enak-e,”
Bu Rini kuminta tenang dulu sebentar untuk mendengar instruksiku. Aku meminta dia mengedutkan otot bagian dalam tubuhnya seperti jika dia menahan kencing atau mengontraksi ketika akan melahirkan anak. Aku juga akan melakukan hal yang sama tetapi secara bergantian. Kuminta dia mengedutkan otot kegelnya ketika sedang menarik nafas, dan mengendurkannya ketika menghembuskan nafas.
“Coba ya, bu, sekarang,” kataku.
Bu Rini mengedutkan ototnya, penisku serasa dicengkeram vaginanya, dan ketika dia mengendur, gantian aku mengeraskan penis. Kami terus melakukan olah tubuh itu sampai tiba-tiba Bu Rini mengerang, orgasme. Aku tidak lama kemudian juga dijalari kenikmatan yang memuncak, tetapi tidak sampai ejakulasi. Kami melanjutkan terus gerakan itu sampai sekitar 30 menit. Bu Rini entah berapa kali mencapai orgasme begitu juga aku. Tetapi tetap tidak ejakulasi. Bu Rini akhirnya minta berhenti karena katanya badannya lemas.
Kami sudahi permainan itu dan Bu Rini kubaringkan di tempat tidurnya dengan ditutupi selimut. AC kunyalakan kembali. Aku berpakaian dan mencium kening Bu Rini untuk berpamitan. Dia hanya mengangguk lemah dan membuka matanya dengan susah payah.
“Kok lama banget sih, aku udah nunggu dari tadi,” tanya Kristin.
“Bu Rini banyak penyakitnya jadi terapinya lama,” kataku ngawur.
“Jay, magku sakit lagi nih, Jay,” kata Kristin manja. Sementara penghuni rumah kos-kosan ini sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Maklum jam sudah menunjukkan 1.30 tengah malam.
Aku ditarik Kristin masuk ke kamarnya dan dia segera menutup pintu. Kami duduk di pinggir tempat tidurnya. Kristin mengeluh magnya kambuh lagi. Aku heran, karena belum pernah kutemui keadaan seperti itu, lalu coba kutekan bagian telapak tangannya. Dia tidak bereaksi menunjukkan kesakitan.
“Berarti dia bohong, nih.” kataku membatin. Mungkin serangan pijatan erotisku masih mengendap dalam tubuh Kristin, sehingga dia penasaran untuk dituntaskan. Dia berpura-pura kambuh magnya agar bisa menyeret aku masuk ke kamarnya lagi.
Nafsuku sebenarnya berada di titik terendah. Namun aku sulit sekali menolak permintaan, apalagi ini adalah cewek Cina, cakep, umurnya sekitar 22 tahun, rambutnya di cat agak coklat tua terurai. “Jay, kamu temenin aku dong disini, aku khawatir pagi-pagi kambuh lagi, sebab biasanya sekitar jam 4 – 5 magku kambuh, aku takut tidur sendiri kalau lagi sakit gini, mau yaaaa?” pinta Kristin penuh harap.
“Aku mau tidur dimana?” tanyaku.
“Disini, berdua bareng aku,” katanya.
Tempat tidur Kristin sebenarnya cukup untuk satu orang. Ukuran lebarnya kira-kira 90 cm. Kalau aku paksakan tentu bisa saja tapi sempit sekali nanti gak bisa bergerak. Lalu aku berpikir, kalau memang minta ditemani lebih baik Kristin ngungsi ke kamarku. Kamarku lebih besar dan ranjangnya juga lebar.
“Aku gak keberatan sih nemenin kamu tidur, tapi gimana kalau kamu nginep di kamarku aja, disana lebih tenang. Kalau disini besok pagi aku keluar dari kamarmu semua penghuni kos bisa ngliat, kalau di kamarku kan lebih leluasa,” aku membuka tawaran.
Kristin berpikir sebentar, lalu dia setuju. Dia lalu menarik aku keluar kamar dan menggandengku masuk ke kamarku diatas. Kamarku berantakan kayak kapal habis dirampok. Aku minta Kristin memaklumi, kamar lajang memang jarang rapi. Aku permisi sebentar turun mau pipis sekalian gosok gigi.
Sekembalinya aku masuk kamar, keadaan sudah rapi sampai ke meja belajarku. Buku-buku yang berantakan sudah rapi tersusun, lantai sudah pula disapu bersih. Aku berpikir ini bakal seminggu aku bebas tugas tidak merapikan kamar. Kristin duduk di meja belajarku. Wajahnya yang cantik sama sekali tidak menunjukkan dia ngantuk, padahal sudah hamper jam 2 malam. Sementara mataku sudah tinggal 5 watt.
“Aduh, Jay, aku seneng deh bisa tidur ditemeni kamu, aku jadi gak takut kambuh.” katanya sambil bangkit lalu duduk ditempat tidur di sampingku.
“Nanti kalau pacarmu tau kamu tidur bareng aku, apa nggak terjadi perang dunia?” godaku.
“Ah, biarin aja, dia gak bakal tau kalau gak ada yang kasi tau, ala udah ah, sebel ngomongi soal pacarku,” katanya.
Pacar Kristin, juga Cina dan tajir. Dia punya showroom mobil dan penampilannya selalu trendy. Aku memang sempat dikenalkan ketika Kristin dijemput, waktunya aku udah lupa kapan yaa. Aku jadi berpikir bahwa perempuan juga punya hasrat selingkuh. Kalau dilihat dari penampilan luar, Kristin termasuk cewek alim dan tentunya setia. Nyatanya dia minta tidur bareng aku malam ini. Jadi kesimpulannya apa yaa…
“Kamu mau tidur dimana, di pinggir atau di tengah?” tanyaku.
“Aku di tengah, kalau di pinggir nanti takut jatuh,” katanya manja.
Lampu kuredupkan, dan aku menempati posisiku yang tersisa. Tapi tempat yang disisakan untukku sempit sekali. Kristin membiarkan tempat tersisa di bagian dia cukup lebar. Jadi begitu badan kuhempaskan langsung berhimpitan dengan tubuh Kristin. Aku masih menerawang tidur membujur, tiba-tiba Kristin memelukku. Dia tidak memberi aku kesempatan aku langsung diciuminya. Bahkan mulutku dicucupnya sampai aku sesak nafas.
Rupanya bara birahi yang kutinggalkan di benak Kristin tadi masih terus nyala. Dia ganas bener. Badanku ditindihnya, tidak lama kemudian bangkit dan menduduki pas di atas burungku. Untung saja posisi burungku sedang menghadap ke bawah, jadi tidak tersiksa. Di dorong kausku ke atas lalu di kembali menciumi bagian dadaku, perutku lalu di tariknya pelan-pelan celanaku ke bawah.
Aku pasrah dan ingin menikmati woman domination. Kristin ganas sekali menyerangku, aku tidak diberinya kesempatan sedikit pun untuk membela diri atau membelainya. Akhirnya aku menutup mata saja menikmati babak selanjutnya.
Celana dalam pertahananku terakhir pun akhirnya di tarik kebawah. Aku sudah telanjang bulat, tetapi Kristin masih lengkap berpakaian. Aku berpikir, kalau dia terangsang, kenapa juga dia harus menyerangku habis-habisan. Wajarnya kalau dia yang konak ya dialah yang minta dipuaskan, bukan malah ingin memuaskan aku. Tapi aku diam saja menyimpan pertanyaan itu sambil menunggu jawabannya kelak.
Krsitin bangkit, dia membuka semua pakaiannya lalu tengkurap diantara kedua pahaku. Dia mulai menjilati kedua zakarku. Serangan ini membuat aku belingsatan. Batang yang sudah berdiri tegak menjadi target serangan berikutnya. Aku melenguh merasakan nikmatnya.
Dia kemudian bangkit lagi, mengubah posisinya. Dia merangkak di atasku dan mulai lagi melakukan serangan. Aku menangkap kemauannya. Dia minta dioral, sehingga dia mengatur posisi 69. Aku mulai melancarkan serangan dengan mengoralnya. Tapi posisiku tidak bisa bertahan lama. Dia terlalu tinggi, sehingga aku harus cukup tinggi mengangkat kepalaku. Kugapai bantal untuk mengganjal kepalaku sampai posisiku pas di depan mekinya.
Seranganku membuat dia mengerang dan mendesis. Barangku jadi terabaikan ketika dia mendapat kenikmatan oral dariku. Aku segera mengubah posisi, membalikkan badannya dan telungkup diantara kedua selangkangannya. Clitnya yang sudah mengeras dengan mudah ditemukan dan lidahku mulai mengulas ujung kelentit itu. Dia menjerit-jerit menahan kenikmatan. Gila bener, memeknya banjir bandang.
Sambil mengoral aku mengingat mitos bahwa cewe yang kulitnya putih, memeknya cenderung lebih banjir. Ini baru kubuktikan. Sambil menjilat aku mencolokkan jari tengah kananku ke dalam lubang vaginanya. Pelan-pelan kutekan, tidak ada halangan. Berarti dia sudah bolong. Aku lalu mencari G spot. Agak lama merabanya karena selain pinggulnya terus menerus bergoyang di dalam liangnya banyak sekali bentuk-bentuk daging yang susah digambarkan. Yang mana sih G Spot anak ini.
Aku mencoba berkonsentrasi sambil menahan pinggulnya agar tidak terus bergerak. Kutingkatkan kepekaan jari tengahku dengan lebih berkosentrasi, sampai kemudian kutemukan. Pantas agak susah, ternyata letaknya tidak tepat di posisi jam 12, dia di posisi 10.30. Untuk memastikan itu adalah G spot aku hentikan terpaan clitorisnya, lalu kumainkan G spot. Dia menggelinjang, berarti sudah kena sasarannya. Serangan dengan dua target aku gencarkan, sampai kemudian dia menyerah.
“Ampun! Ampun, ngilu…” katanya sesaat setelah orgasmenya tercapai. Dia menarikku ke atas.
Aku menindih badannya. Baru kusadari bahwa payudara Kristin ini ternyata tidak terlalu besar. Tapi bentuknya cukup menggairahkan. Kujilati kedua putingnya, dia kembali mengelinjang. Batangku yang keras aku tuntun untuk bertamu ke gua Kristin. Pelan-pelan kusorongkan dan terbenamlah sudah seluruh batang penisku. Meski banjir, tapi aku merasa memek kristin tetap sempit. Cairan vaginanya ternyata agak kelat, bukan encer. Jadi rasa batangku seperti menyelam di cairan perekat, atau lem. Ketika kumaju- mundurkan terasa sekali agak lengket. Aku berfikir, mungkin Kristin sedang berada di puncak masa subur, sehingga vaginanya mempersiapkan cairan terbaik untuk menjamu batang yang masuk. Kalau begitu aku harus menghindar menembak di dalam.
Aku mengatur posisi genjotan untuk menggali kembali orgasme Kristin. Hampir 5 menit dia sudah bersemangat membalas hentakanku. Makin cepat dan akhirnya dia menarik tubuhku keras-keras. Dia ternyata mencapai kepuasan. Padahal aku sudah berada di gigi 5 untuk siap tinggal landas. Jadi terpaksa berhenti lagi untuk sementara . Setelah kedutan orgasmenya reda aku mulai lagi menyerang, tapi bisa langsung gigi 3 sehingga melaju lebih cepat. Aku berkosentrasi penuh untuk mencapai kenikmatanku.
Aku abai saja terhadap Kristin apa nikmat apa tidak, toh dia sudah beberapa kali klimaks. Ketika hampir mencapai puncak tiba-tiba Kristin menahan pantatku untuk mempertahankan benaman maksimal batang bertopi baja ini. Padahal akau sudah hampir mencapai point no return. Bagaikan cangkir dia mengadukku, jadi bukan sendok yang mengaduk, keadaan sudah terbalik. Rupanya dia juga hampir sampai ke puncak everest. Batangku mendapat kejutan berupa kontraksi yang tidak mungkin lagi aku mampu menahan luapan lumpur seperti Lapindo. Maka akupun terpaksa meledak di dalam.
Sambil merasakan kenikmatan puncak, aku pun diliputi kekuatiran mengenai kemungkinan Kristin hamil membesarkan janin dari spermaku. Aduh sulit berfikir dalam keadaan nikmat begini, aku nikmati ajalah, soal kemungkinan itu bagaimana berikutnya sajalah.
Setelah ketegangan mereda, gencatan senjata ditandatangani. Aku memprotes Kristin kenapa dia tahan aku sehingga aku tidak bisa melepas ejakulasiku di luar. Risiko hamil sangat besar, dan itu bakal menjadi tanggunganku nanti.
“Tenang aja, Jay, aku kan dipasang spiral,” Meledaklah keheranan di kepalaku, sampai aku tidak sadar mangap lebar terlalu lama. “Mau tanya apa lagi lu, Jay?”
“Nggak punya pertanyaan lagi, aku ngantuk.” kataku
***
Punya banyak sasaran genjotan kalau di alam khayal rasanya nikmat banget, tapi mengalaminya di alam nyata tidak begitu. Meski aku sudah menelanjangi mereka, tetapi aku tetap menjaga perasaan mereka, sehingga aku menjaga diri untuk tidak mengambil inisiatif. Aku berusaha tampil lugu, bahkan cenderung culun.
Kelihatannya mereka masing-masing tau kalau aku sudah bermain di antara sesama kolega. Tapi karena konvensi, atau perjanjian yang tidak tertulis, mereka saling menjaga perasaan.
Namun ada hal-hal yang tidak bisa mereka tutupi atau tidak sadar melakukannya. Aku sering kali dilendoti dan diciumi (walaupun hanya di pipi). Entah kenapa setiap hari di awal pertemuan mereka selalu menciumku.
Aku jadi merasa rikuh kepada Juli, Ita dan Niar. Mereka tentunya tidak bisa seakrab teman-temannya yang pernah aku timpa. Mohon juga dipahami, aku tidak pula berusaha bernafsu menggarap mereka bertiga. Apakah jika aku bisa menggarap semua wanita di tempat kost ini aku bisa menepuk dada sebagai jagoan. Mau pamer ke siapa, lantas apa pula manfaatnya. Kurasa itu hanya kesombongan yang tidak bisa dibanggakan.
Sesungguhnya aku tidak ingin membeda-bedakan atau mengkotak-kotakkan pertemanan di rumah ini, antara yang sudah kugarap dengan yang belum. Aku berusaha akrab dengan semuanya tanpa membedakan mereka. Cewek-cewek di rumah ini masing-masing punya kelebihan, meski pun cantik dan ayunya berbeda-beda. Aku jamin lelaki siapa pun kalau disuruh memilih satu diantara mereka untuk dipacari pasti bingung. Sebab memang semuanya menarik.
Juli, Ita dan Niar termasuk gadis-gadis yang gila kerja. Di usia mereka sekitar 25 tahun, mereka mungkin sedang berada di jenjang karir yang menjanjikan. Dari penampilannya, terlihat gaji mereka cukup besar. Dulunya mereka kuliah di akademi sekretaris yang kuceritakan diawal kisah ini, tetapi karena merasa betah, sampai setelah bekerja pun mereka tetap bertahan di kos-kos ini.
Di antara ketiga orang ini, Ita lah yang mempunyai kelebihan daya tarik. Susunya besar sekali, seperti tidak seimbang dengan tubuhnya yang cenderung kurus. Temanku orang Jawa menyebutkan penampilan Ita sebagai Wongso Subali (Wong e Ora Sepiro, Susu ne sak Bal Voli / Orangnya tidak seberapa, tetapi payudaranya sebesar bola Voli). Kulitnya tidak putih cenderung sawo matang. Tingginya sekitar 160, cukup tinggi bagi rata-rata cewe melayu. Namun di balik kelebihannya itu, dia mempunyai kekurangan. Ketiaknya baunya kurang sedap, seperti bawang mentah. Apalagi kalau dia berkeringat, satu ruangan seperti terpenuhi oleh bau ketiaknya. Cewek-cewek yang kebetulan berada di ruangan itu, sebentar-sebentar menggesekkan hidung. Tapi Ita sepertinya tidak merasa, dia menjadi penyebab sumber polusi udara.
Mungkin tidak ada yang berani menegur, Ita. Masalah itu rasanya terlalu sensitive. Untungnya Ita tinggal di kamar sendiri, tidak berbagi (share) dengan yang lain. Kalau dia joinan sekamar dengan orang lain, pasti temennya mabuk kepayang.
Aku berpikir keras mencari cara untuk menyampaikan kekurangannya itu. Kesulitan yang kurasakan adalah Ita orangnya agak tertutup dan cenderung pendiam. Dia lebih sering mengurung diri di kamarnya daripada ngrumpi.
Suatu hari kami keluar dari rumah bersamaan menuju halte bus. Jaraknya halte memang tidak begitu jauh, karena ada jalan pintas melalui gang. Kami ngobrol tanpa isi, tetapi menjelang sampai halte aku melontarkan, “Ta, sebenarnya gue pengin nyampein sesuatu yang sangat penting untuk kamu.”
“Apa sih, sekarang aja kenapa?” jawabnya dengan wajah penasaran.
“Ntar aja lah, Ntar malam di rumah, pokoknya penting banget buat kamu,” kataku. Meski dia berkali-kali mendesak agar aku menceritakan secuil info yang akan aku sampaikan nanti, tapi aku tetap bertahan bahkan menambahkan kata-kata yang makin bikin dia penasaran.
Kami berpisah, karena bus kami masing-masing berbeda jurusan. Di dalam bus aku seperti orang melamun. Sebenarnya bukan melamun, tetapi sedang menyusun kata-kata yang nanti akan kusampaikan ke Ita. Aku pun masih belum menemukan kata pembuka.
Aku pulang agak telat, jam 8 malam aku baru sampai di rumah. Ita rupanya sudah sampai duluan. Dia melihatku sekelebat, ketika aku hendak naik ke kamarku. Aku diburunya dan dia mengekoriku ikut masuk ke kamar.
“Mau ngomong apaan sih? Gua jadi nggak tenang kerja seharian, gara-gara lu,” Ita mengkomplain.
“Sebenarnya bagi gue nggak terlalu penting, tapi buat kami rasanya penting banget.” Wah, ini kata-kata tidak pernah kupikirkan sebelumnya, kok meluncur begitu aja, kataku dalam hati. “Gini lho, Ta, kamu ini kan cakep, seksi, montok lagi,” kataku menggoda.
“Ya, terus kenapa?” katanya sambil matanya melotot seperti mau menelanku.
“Tapi ada kekurangan kecil yang sangat mengganggu,” kataku lalu aku diam.
“Apaan sih? Bikin orang tambah penasaran,” katanya.
“Aku mau jujur, tapi kamu mesti janji jangan marah dan jangan tersinggung ya, karena ini demi kamu juga,” kataku.
Ita makin kesal, tapi dia berjanji tidak akan marah padaku.
“Terus terang ya, kamu ini punya kelemahan di bau badanmu, rasanya sih bersumber dari sini,” kataku menunjuk ketiaknya.
Ita tertunduk.
“Iya, Jay, aku sudah berusaha dengan berbagai cara bahkan pakai bedak badan yang anti bau badan, tapi gak berhasil juga. Aku malu jadinya, Jay, ama kamu. Tapi anyway, aku terima kasih, kamu berani terus terang begitu, kamu tau nggak caranya untuk ngilangi bau ketiakku ini?” tanyanya.
Aku menjelaskan bahwa aku dulu juga menghadapi masalah seperti itu. Aku kemudian menggunan tawas yang kuusapkan setiap kali selesai mandi. Ketika sedang mandi, aku selalu membawa handuk kecil untuk menggosok bagian ketiak sampai terasa benar-benar bersih. Aku meminta Ita mengikuti caraku.
“Tawas kayak gimana sih, belinya dimana tuh?” katanya.
Aku lalu menjelaskan bentuk tawas yang seperti es batu, dan belinya di toko kembang di Senen biasanya ada. Aku menawarkan diri untuk membelikan satu untuk dia. Ita senyum-senyum.
“Terima kasih ya, Jay, kamu ternyata sahabatku yang penuh perhatian.” katanya sambil mencium pipiku.
“Aduh, aku mabuk nih,” sambil menjatuhkan diri telentang ke tempat tidur.
“Hah, kenapa?” katanya terheran-heran.
“Bau ketiak,” kataku serius.
“Sialan lu, dasar brengsek,” katanya lalu keluar kamarku.
Anjuranku rupanya dituruti, sampai seminggu kemudian aku bertemu lagi di rumah. Ketika berpasasan kami sama sama berhenti. Aku langsung berusaha membaui badannya dan hidungku menuju ke kesalah satu ketiaknya. Tidak terasa ada bau.
“Ah, lu ngapain sih, bikin orang risih aja,” katanya sambil mendorong badanku.
“Sekarang nggak terasa ada bau bawang lagi, Ta,” kataku setengah bercanda.
“Iya nih, kayaknya resep lu berhasil, resep murah tapi hebat juga ya, Jay,” katanya.
Sejak saat itu Ita sudah tidak menjadi sumber polusi di rumah kami. Teman-teman ceweknya saling bergunjing. Juli yang hari itu melihat aku membaui ketiaknya menanyakan aku, apakah itu karena aku memberinya obat. Kuakui bahwa aku yang menegurnya soal bau ketiak. Kristin yang duduk di samping Juli langsung menanggapi,
“Emang kamu terus terang ngomong ama dia? Gila, lu nekat amat,” katanya.
Mbak Ratih tanya, “Trus, dia gimana reaksinya?”
“Ya dia malu, tapi nggak marah kok,” kataku.
Ita sejak keberhasilan itu makin dekat denganku. Aku bahkan sering dijadikan tong sampah untuk mengeluarkan isi hatinya. Aku sering digelandang ke kamarnya hanya untuk jadi pendengar. Kadang kadang dia menangis dan bersandar di dadaku sambil meluapkan kekesalannya. Meski aku lebih muda, tapi kalau menghadapi situasi seperti ini harus berperan sebagai laki-laki dewasa, sok tenang, sok kalem dan berlagak sebagai pengayom.
Kalau dia bersandar di dadaku, tidak bisa lain, teteknya juga menghimpit badanku. Rasanya kenyal sekali dan tebal. Biasanya nih sekali lagi umumnya, kalau perempuan tidak merasa malu payudaranya tersentuh laki-laki maka dia merasa laki-laki itu sangat dekat dengan dirinya.
Kalau dia menangis di dadaku maka aku hanya bisa mengelus-elus rambutnya dan mencium dahinya. Itu saja tidak lebih. Aku tidak berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan. Ini membuat Ita jadi makin dekat denganku, sampai kadang kadang dia memeluk tanganku sampai tanganku menekan susunya. Dia kelihatannya mengabaikan saja susunya tertekan, atau mungkin juga dia sengaja, yang mana yang benar aku cari jawabannya nanti.
Suatu hari aku ditariknya ke teras ke depan rumah. “Jay, aku mau minta tolong banget ama kamu, bisa nggak?” katanya.
“Nggak,” kataku berusaha bermuka serius.
“Ah, jangan gitu dong, serius nih,” katanya.
“Minta tolongnya apa? Belum tau aku sudah dikasi pilihan menjawab,” kataku.
“Lu emang susah, nggak bisa serius orangnya,” kata Ita sambil bermuka merajuk.
“Ada apa, tuan putri, apa ketiaknya bau lagi? Kayaknya sih sekarang malah wangi.” aku menggoda.
“Aku minta tolong lu nemenin gue menghadiri pesta perkawinan sahabat gue, tapi pestanya di Lampung, lu bisa kan? Kita berangkat hari Sabtu pagi, pulang lagi hari Minggu sore,” katanya.
“Kamu kan orang Lampung, kok pulang kampung minta dikawal?” jawabku.
“Rumah gue di Metro, masih jauh dari Bandar Lampung. Lagian kalau gua pulang ke rumah, repot terlalu jauh dan gak bisa nyampe di Jakarta lagi hari Minggu. Pokoknya lu tau bereslah, semua biaya gue yang tanggung,” katanya sungguh-sungguh.
“Gue mau lihat agenda gue dulu apa ada acara nggak sabtu sama minggu besok,” kataku berpura-pura serius.
“Gaya lu kayak pejabat Negara aja, pake periksa agenda. Udahlah, bisa ya?” Ita setengah memaksaku.
Aku memang tidak ada acara dan tidak ada kuliah sejak Jumat sampai Minggu. Sebenarnya aku tidak keberatan, tetapi rikuh jugalah ama temen-temen kost kalau aku pergi mengawal Ita. Aku minta kepergian kami dirahasiakan. Aku beralasan ke Bandung dan Ita ke Lampung. Ita kemudian mengubah rencana kami berangkat Jumat siang. Dia beralasan ada beberapa hal yang mau dicari di Bandar.
Kami sampai di Lampung sekitar jam 7 sore dan Ita berinisiatif mencari penginapan. Aku tidak mengenal Bandar Lampung, sehingga Italah yang berinisiatif mencari tempat penginapan. Ia mencari Hotel di tempat resepsi perkawinan temannya. Kami akhirnya mendapat kamar di hotel yang lumayan bagus. Kalau tidak salah hotel bintang empat. Ita hanya mengambil satu kamar untuk kami tempati berdua, tetapi tempat tidur di kamar kami hanya ada satu berukuran king size.
“Kamu kok tidak pesan kamar yang 2 bed, kalau begini kan kita kaya berbulan madu?” kataku.
“Ah, nggak apa-apa lah, hotel ini penuh. Syukur kita masih kebagian kamar, lagian ama kamu aja kok, kan kamu itu adikku,” katanya.
“Aku takut ketularan baunya,” kataku.
“Sekarang udah nggak lagi, weeeei… Sialan lu, ngeledek terus,” katanya sambil melempar bantal.
“Sekarang kita mandi, siapa duluan, lu apa gue?” katanya.
Aku memilih mandi dulu karena agak tersesak BAB. Setelah menyulut rokok aku segera masuk kamar mandi mencuci bath tub dan mengisinya dengan air hangat. Aku melampiaskan hajat sambil menunggu air penuh di bath tub. Setelah selesai dan air penuh aku mulai berendam. Pertama airnya tidak terlalu panas, karena aku tidak tahan. Setelah semua terendam, aku tambahkan air panas sampai sangat hangat. Nikmat sekali rasanya berendam di air panas. Entah kenapa batang jadi bangun ketika direndam. Aku jadi menerawang, apa kejadian yang bakal terjadi nanti malam, aku tidur satu bed dengan Ita yang bertetek besar. Rasanya bakal ada peristiwa penting nanti malam. Sejauh ini aku belum pernah mencumbu Ita, meskipun dia sudah sangat dekat dengan ku. Misalnya ia tidak risih lagi menekan susunya ke badanku atau ke lenganku. Aku selama ini aku cool aja.
Sedang enak-enaknya menghayal, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Ita muncul dengan daster berwarna pink. Buset dah, aku lupa menguncinya. Aku jadi kikuk juga sebab sedang telanjang bulat di dalam bak mandi. Ita berdiri di samping bak sambil ngomel,
“Mandinya lama amat sih? Aku udah kebelet pipis, nggak kuat lagi nunggu,” katanya sambil terus menurunkan celana dalamnya dan langsung duduk di toilet.
Aku tidak menyaksikan pemandangan apa-apa, karena dia menurunkan celana dalam tapi masih tertutup oleh dasternya. Suara mendesis nyaring sekali terdengar,.
“Buset, siulannya kenceng bener,” kataku.
Mendengar guruanku, dia malu, lalu segera menggelontorkan air agar suara pipisnya samar dengan gelontoran air.
“Dasar lu adik bandel, bikin gue malu aja.” katanya.
“Apa gue nggak lebih malu telanjang begini?” kataku.
“Enak ya ngerendem begitu, kok gue jadi pengen mandi juga ya?” katanya sambil mencelupkan tangannya di bak mandi.
“Ih, kok bangun sih tuh barang, lagi ngayalin gue ya? ” katanya setelah tangannya usil masuk ke bak mandi dan menggenggam barangku.
Aku tidak menyangka, sehingga terkejut dan senang juga kemudian. Ita melepas celana dalamnya sambil duduk di toilet lalu berdiri menyangkutkan di gantungan baju. Dia lalu mengangkat dasternya yang ternyata sudah tidak mengenakan BH lagi. Tanpa ada rasa rikuh dia berdiri menghadapku dalam keadaan bugil. Susunya memang ukuran ekstra large dan putingnya seperti terbenam di dalam gumpalan daging.Dia mencelupkan kaki satu persatu lalu membungkuk untuk meraih air menciprat-cipratkan ketubuhnya.
“Ih, panas bener sih airnya? Ntar telor lu mateng baru tau rasa,” katanya sambil tersenyum.
Posisinya yang membungkuk menghadapku membuat kedua payudaranya menggantung seperti pepaya Bangkok terhidang di depan mataku. Aku dalam posisi duduk di dekat keran, sedang Ita mengambil posisi dihadapanku. Dia pelan-pelan merendahkan badannya sambil cengar-cengir menahan panasnya air. Sampai posisi duduk , teteknya masih terpampang didepanku. Air bak kurang tinggi untuk menenggelamkan susu besar yang seperti pelampung itu.
Ita masih menciprat-cipratkan air panas ke badannya dan meraup mukanya. Ia lalu pelan pelan menurunkan badannya sampai tinggal mukanya saja yang diatas air. Gerakkannya itu menjadikan kakinya menyelusup ke bawah kakiku dan bagian vitalnya menerjang pantatku. Batangku jadi terangkat muncul ke atas air setengah tiang.
“Wah, teropong kapal selamnya muncul tuh, mau mengamati musuh ya, musuhnya ada di bawah kok,” kata Ita santai.
Dipegangnya batangku lalu ditarik kearahnya, akibatnya badanku jadi lengser kebawah. Pantatku bersetumpu di atas tetek Ita, dan punggungku bersandar di atas kemaluannya dengan jembut yang lumayan lebat. Nikmat sekali rasanya berendam di air hangat dengan cewek yang teteknya super besar.
Setelah berendam sekitar 10 menit aku kemudian berdiri untuk bersabun. Pertama aku menyabuni diriku sendiri. Ita ikut bangkit dan celakanya dia minta aku menyabuni dirinya. Aku meski dalam keadaan siaga satu, karena batangku terus menegang, dengan gaya cool mulai menyapukan tangan dengan sabun. Dimulai dari bahu, turun ketangan kanan, lalu kiri dan… mulai lah menyabuni teteknya kiri kanan. Susunya kenyal banget. Aku permainkan dengan meremas, tetapi tanganku tidak muat. Setelah itu turun ke bawah sampai ke perut lalu aku minta ia berbalik badan. Punggung dan pantatnya giliran berikutnya sampai turun ke kaki, lalu kuminta berbalik lagi kini kaki bagian depan lalu naik ke bagian vitalnya. Kugosok jembutnya sampai berbusa lalu aku menyelipkan jariku ke memeknya. Dengan gerakan mendadak jari tengahku menyelinap ke dalam lubangnya lalu segera kucium jari itu.
“Bau sabunnya kalah sama bau anumu,” kataku mengejek.
Ita gusar dan malu,
“sialan lu, memek gua gak bau lagi, sok tau lu,” katanya sambil ikut meraih memeknya sendiri lalu menciumnya.
“Benerkan, bau sabunnya ilangkan? Yang ada bau kecap ikan,” kataku kembali mengejek.
“Eh iya, bener juga,” katanya malu.
Aku lalu kembali menyabuni memeknya sampai ke lubang pantatnya. Bagian penting itu terbelai, akibatnya Ita mendesis.
“Oooiii sedapnya,” katanya sambil meraih badanku dan memeluknya.
Badan kami licin sekali dan karena air untuk kami berendam tadi aku buang akibatnya bak mandi juga jadi sangat licin. Khawatir jatuh aku mengajak Ita untuk pelan-pelan duduk. Badan kami masih berselemak sabun tetapi air sudah mengering. Aku menawarkan untuk kami saling melakukan body massage.
“Gimana caranya?” kata Ita.
Ita kuminta tidur telentang dan aku tengkurap diatasnya. Aku meluncur ke atas dan ke bawah. Menggosokkan batang dan jembutku ke perut dan dadanya. Setelah itu aku mengambil posisi telentang di bawah badannya dengan posisi kepala berlawanan arah. Aku kembali meluncur ke atas dan ke bawah, sehingga batang dan jembutku menyapu dan mengganjal pantat dan punggungnya.
“Iiiih, sedapnya, merangsang banget ya?” kata Ita sambil terus mendesis.
Ita kemudian kuminta mengubah posoisinya jadi tengkurap. Sehingga kami berhadapan tetapi dengan arah kepala yang berlawanan. Aku kembali menaik dan menurunkan badanku mengganjal tubuhnya. Ita tidak tinggal diam, dia juga ikut melakukan gerakan berlawanan. Batangku kadang-kadang terselip diantara kedua pahanya lalu terlepas lagi, tapi tidak sampai terpeleset masuk ke dalam lubang vaginanya.
Posisi ini membuat nafsuku tambah tinggi sehingga akhirnya aku tidak mampu menahan desakan ejakulasi. Aku tak kuasa menahan sehingga cairan putih hangat lepas dan menyapu ke badan Ita.
“Yahhh, kamu nggak kuat ya?” katanya ketika merasa batangku berkedut diantara kedua susunya.
“Enak banget sih, dan susumu itu yang buat pertahanan gua jebol,” kataku.
Kami lalu mandi berbilas dan mengeringkan badan dengan handuk. Aku digandengnya keluar kamar mandi. Kami berdua jalan dalam keadaan bugil. Aku di dorongnya hingga jatuh telentang di kasur. Aku yang merasa lemas setelah tembakan tadi, tidur telentang pasrah. Ita mengambil inisiatif dengan menindih badanku. Dia mencium bibirku dan kami lama sekali berpagutan.
Ita melepas ciumannya dari mulutku dia turun ke bawah dan menghisap pentilku. Rasa geli dan nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Ita terus meluncur ke bawah dan sekitar kemaluanku diciuminya dengan rakus. Batang dan zakarku tidak diciumnya, tetapi dia turun menciumi paha lalu kedua lututku. Aku merasakan kegelian yang amat sangat sampai aku menggelinjang. Mengetahui aku kegelian dia mengarahkan ciumannya ke atas dan batangku menjadi sasarannya kemudian. Batangku yang masih setengah sadar di lahapnya dan dihisapnya. lalu dijilatinya. Kaki ku ditekuk dan jilatannya turun ke kedua buah zakarku lalu turun lagi lidahnya mengitari lubang matahari.
Aku menggelinjang nikmat. Dia kembali mengulum batangku sampai menjadi sadar dan tegak penuh. Kuluman Ita sungguh canggih, sehingga aku kelojotan merasa nikmatnya. Untungnya tadi sudah mencapai puncak, sehingga aku mampu menahan diri agar tidak buru-buru muncrat lagi.
Ita membalikkan badanku dan aku dimintanya berganti peran menyerang dirinya. Aku segera paham dan memulai tugasku dengan mencium leher lalu kedua payudaranya. Agak sulit rasanya menghisap pentilnya karena terbenam. Kutelateni menghisap pentilnya sampai akhirnya keduanya mencuat keras.
Puas dengan menjilat dan meremas kedua susunya aku turun ke perut lalu ke memeknya. Bulu lebat dan keriting membuat aku agak sukar menemukan belahan memeknya. Dengan bantuan kedua tanganku, kusibak dan lidahku menyerbu ke belahan itu. Aku memulainya dengan menjilati sekitar bibir luar, bibir dalam lalu mengarah ke clitorisnya.
Memeknya yang tadi kering setelah kuhanduki, kini sudah basah lagi oleh cairan pelumas vaginanya. Baunya wangi seperti bau sabun. Saat lidahku menggapai clitorisnya Ita menggelinjang dan pinggulnya bergerak liar. Aku jadi sulit mengkosentrasikan jilatanku. Aku lalu menahan kedua pahanya agar tidak liar.
Serangan ujung lidahku berkosentrasi pada clitoris Ita yang sudah makin mencuat. Dia mendesah-desah dan tidak sampai lima menit dia tumbang dengan orgasmenya yang pertama. Dia minta aku berhenti mengoralnya karena katanya barangnya ngilu. Aku bangun dan duduk bersimpuh diantara kedua kakinya. Jari tengah kanan pelan-pelan kucolokkan ke vagina Ita. Kucolok-colok ke lubang basah itu dan aku seperti sebelumnya dengan para wanita, mencari benjolan G spot. Tombol G spot Ita mudah ditemukan, sehingga kini gerakan jariku berkosentrasi pada tombol itu. Gerakan halus mengusap g spot itu membuat Ita kembali mendesis. Dia lalu tidak hanya mendesis tetapi mengangkat angkat pinggulnya. Usapanku jadi meleset. Aku minta Ita menahan gerakannya agar dia merasa lebih nikmat.
“Aduh, kok enak banget sih, Jay, lua apain gua?” katanya sambil menggigit bibir bawahnya.
Dia berusaha melawan nikmat yang menjalar dari dalam vaginanya, tapi belum dua menit dia mengeluh panjang dan berusaha mengapit kedua kakinya, namun terhalang oleh tubuhku. Kedua tangannya meraih bantal lalu ditutupkan ke mukanya dan dia menjerit sekuat-kuatnya dibawah bantal. Bersamaan dengan itu, Ita ejakulasi sampai mengenai hidung dan mulutku. Kujilat cairan itu di bibirku terasa agak asin dan kental.
Orgasmenya panjang dan Ita kemudian jatuh terkulai. Badannya bagai tak bertulang.
“Aduh, badan gua lemes banget,” katanya seperti orang ngantuk.
Sementara dia lemas aku tegang. Tanpa minta izin dan mengatakan sesuatu aku segera mengarahkan batangku menuju lubang vaginanya. Dalam posisi bersetumpu kaki terlipat, batangku kutekan pelan menyeruak vaginanya. Lubang memeknya terasa sempit, meskipun banjir.
“Aduh, Jay! Pelan-pelan, Jay,” katanya.
Aku dengan sabar menekan penisku masuk kedalam gua nikmat itu. Setelah tenggelam seluruhnya aku mulai melakukan gerakan maju mundur. Sensasi menyaksikan gerakan maju mundur batangku ke dalam memeknya membuat aku sangat terangsang. Apalagi Ita mulai mendesis dan bergumam, ah uh au uh.
Aku makin bersemangat, tetapi karena posisiku sulit lama-lama jadi kurang nyaman kemudian aku mengubah posisi menindih badannya. Aku bertumpu di kedua lutut dan kedua sikuku. Pada posisi ini aku leluasa memompa badan Ita. Aku tidak perduli lagi apa dia nikmat atau tidak, tetapi aku berkonstrasi pada kenikmatan diriku. Semakin cepat kupompa, semakin dia mengerang. Belum aku sampai pada puncak Ita sudah menarik rapat badanku dan dia kembali berkedut bagian dalamnya. Ita kembali menikmati orgasme yang dahsyat.
“Aduh, aku rasanya gak kuat nglawan kamu, Jay,” katanya.
Aku diam saja dan kembali menggenjot, karena pencapaianku tadi tanggung. Aku kemudian menjelang puncak dan beberapa saat akan mencapai puncak kutarik batangku keluar dan air maniku kulepas di atas perutnya. Aku rebah disampingnya dan badanku terasa lelah. Kami tertidur entah berapa lama sampai terbangun karena merasa dingin. Aku bangun dan ke kamar mandi mengambil handuk kecil membasahinya dengan air hangat. Handuk itu kusapukan ke tumpahan maniku di perut ita, setelah aku sebelumnya membersihkan penisku dengan air dan sabun. Kami kembali tidur di bawah selimut. Bed cover yang tadi terhampar sudah kumasukkan ke dalam lemari.
Belum lima menit aku berbaring, Ita bangun.
“Jay, laper ya,” katanya.
Aku juga merasakan yang sama. Ita kemudian bangun dan ke kamar mandi. Dia kedengarannya mencuci alat vitalnya dan juga mungkin sekalian pipis.
“Kita cari makan diluar yuk, di hotel kurang enak, di dekat sini ada ayam goreng yang enak,” katanya.
Kami lalu berkemas. Ita mengenakan celana jean, kaus hitam dan dibungkus lagi dengan jaket. Sementara aku kembali mengenakan jean yang kukenakan tadi hanya mengganti T-shirt. Kami turun dan keluar hotel. Sekitar 5 menit jalan menyeberang, kami menemukan tempat ayam goreng yang dimaksud Ita. Jam sudah menunjukkan 11 malam, tetapi warung tenda ayam goreng itu ramai sekali.
Perut kenyang badan terasa hangat. Keinginan sex sudah terpenuhi, apalagi yang kurang. Sekembali kami ke Hotel Ita mengajakku duduk di coffe shop. Disitu ada live music. Ita menawarkan bir yang tentu saja tidak bisa kutolak. Nikmat sekali cairan bir itu membasahi kerongkonganku. Kata orang nikmatnya minum bir itu adalah pada tegukan yang pertama. Ternyata memang benar. Satu botol besar kuhabiskan berdua dengan Ita, namun dia hanya minum segelas.
“Gaul juga anak ini,” batinku.
Ita menawariku tambah dengan satu botol kecil bir hitam. kata dia bagus untuk stamina. Menyimak stamina, aku lalu menyetujuinya. Rasa pahit bir hitam itu menjadi nikmat karena syaraf perasaku terpengaruh hasutan ‘demi stamina’.
Situasi itu membuatku pelan-pelan kembali tersadar dan bangun seutuhnya. Penisku pelan-pelan bangun, tetapi badanku lelah sekali. Apalagi pengaruh bir tadi mengendap di otakku. Aku kembali jatuh tertidur.
Entah sudah berapa lama aku tertidur sampai aku merasa badanku dingin oleh tiupan AC. Kamar telah gelap, cahaya hanya ada dari lampu di gang di depan kamar mandi. Aku membuka sedikit mataku dan memperhatikan sekeliling. Ita ternyata sedang menyedot batangku. Dia tidak tahu kalau aku sudah terbangun. Aku berusaha menahan reaksi rangsangannya dengan menahan suara agar disangka masih tidur.Karena sedotan yang maut, barangku jadi keras sempurna. Ita lalu bangkit dan didudukinya batangku. Pelan pelan diarahkan batangku ke dalam mekinya sampai ambles sepenuhnya.
Dia mengendalikan persetubuhan dengan gerakan-maju mundur kadang kala naik turun. Sesekali batangku terlepas karena dia terlalu hot menaikkan badannya. Tapi ia segera kembali memasukkan batangku ke dalam tubuhnya. Aku tetap bertahan pura-pura tidur. Mungkin 15 menit atau mungkin lebih, Ita mulai mencapai orgasmenya. Sementara aku karena gaya gravitasi merasa mampu bertahan lama. Barangku tetap tegak sempurna, sementara Ita sudah berkedut-kedut. Setelah istirahat hampir 5 menit Ita kembali menggenjot batangku. Dia ternyata tangguh juga. Pemandangan di depanku sulit untuk diabaikan, tetek yang bergoyang adalah atraksi sangat menarik. Aku mengintip guncangan tetek besar dihadapanku.
“Kalau aku tidak berperan pura-pura tidur, pasti sudah kuremas-remas gumpalan daging besar itu. Tapi apa boleh buat, aku sudah memilih peran tidur.”
Ita kembali bersemangat memompa apalagi menjelang orgasmenya dia bergerak tidak karuan. Aku jadi spaning juga hingga mendekati titik orgasmeku. Karena aku pura-pura tidur maka aku tidak boleh bereaksi, sehingga aku pasrah saja ketika akhirnya ejakulasi lepas di dalam memeknya. Kedutan ejakulasiku menambah semangat Ita karena rupanya dia juga orgasme dan rubuh memelukku.
“Ih, kamu sadis deh, pura-pura tidur lagi, sampai aku cape menggenjot,” katanya.
“Abis enak banget sih, lagian kenapa juga gak bangunin aku dulu baru adekku,” kataku sambil tersenyum.
Ternyata sudah jam 7 pagi. Kamar kami gelap karena korden tertutup rapat. Kami lalu mandi berdua dan berkemas untuk turun menikmati breakfast. Badanku terasa segar dan ringan.
Selesai breakfast kami kembali ke kamar. Hari itu tidak ada acara, kecuali jam 7 malam nanti menghadiri resepsi perkawinan temannya. Ita mengajakku jalan-jalan ke kota. Kami makan siang di restoran Padang. Aku penggemar makanan enak, masakan Padang ini rasanya nikmat sekali, melebihi yang pernah kumakan di Jakarta. Selesai menyantap dua piring nasi, Ita menyarankan aku untuk mencoba teh telur. Kata dia bagus untuk meningkatkan vitalistas pria. Teh yang diaduk bercampur telur tampak sangat berbusa. Panasnya teh tidak lagi terlalu terasa, tetapi rasanya seperti teh susu dan gurih telur.
“Lumayanlah untuk mengisi stroom,” kataku dalam hati.
Kami kembali ke hotel untuk istirahat. Maksudnya memang istirahat, tetapi kejadiannya malah bekerja keras. Kami terlelap kembali dan bangun menjelang pukul 6 sore. Kami lalu berkemas untuk menghadiri acara perkawinan teman akrab Ita.
Tidak ada yang istimewa dalam acara pesta perkawinan itu. Aku kurang berselera, mungkin karena lelah setelah berkali-kali bertempur.
Minggu pagi kami mempersiapkan diri untuk kembali ke Jakarta Sebelumnya masih ada pertempuran seru satu ronde. Disebut seru karena panjang dan heboh. Dia tergolong wanita yang berisik jika melakukan hubungan intim. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur saja. Anehnya sejak berangkat dari Lampung sampai kembali ke Jakarta, penisku tidak sekalipun bangun mengeras, meskipun dalam keadaan terdesak kebelet pipis. Tiba di Jakarta sudah sore dan aku menunda kepulangan ke tempat kos sekitar 1 jam.
*****
Setiba aku kembali ke rumah kost aku disambut bagaikan tamu besar. Kebetulan para penghuni sedang berkumpul di kamar tengah. Aku disambut dengan bertubi-tubi ciuman. Mereka rasanya terlalu berlebihan karena ketiadaan diriku di tempat itu hanya 2 malam mereka rasakan ada sesuatu yang hilang.
Aku tertidur di kamar mungkin dari jam 5 sore. Rasanya ngantuk sekali dan lelah. Entah berapa lama tertidur sampai merasa ada orang yang masuk di kamarku. Kamar gelap gulita, karena tadi aku tidak sempat menyalakan lampu. Aku tidak bisa melihat siapa yang masuk ke kamarku.
Tiba-tiba lampu dinyalakan dan ternyata 2 cewek sudah ada di kamarku. Mereka adalah Dewi dan Ana dengan baju tidur daster dan Dewi mengenakan kaus serta celana boxer.
“Wah, pangeran kita kecapean nih,” kata Ana.
Mereka minta izin untuk menginap lagi di kamarku. Mereka takut karena tadi siang habis melayat temannya yang meninggal karena kecelakaan. Katanya wajah temannya selalu terbayang-bayang.
“Ada-ada saja cewek-cewek ini,” pikirku.
Lampu kembali dimatikan dan kamar jadi gelap gulita. Malam ini cuaca panas sekali, karena mau hujan tetapi tidak jadi. Untung aku tidur hanya mengenakan celana pendek, sehingga tidak terlalu gerah.
Ana mengipas dadanya dengan menarik-narik bajunya. Dia juga merasakan kegerahan. Dewi mengipas-kipaskan telapak tangannya. Mereka bertanya apa aku punya kipas. Aku bilang tidak ada, karena tidak pernah terlintas dipikiranku untuk melengkapi kipas di kamar. Kalau mau ada majalah atau koran, tapi dalam keadaan gelap gini aku susah mencarinya apalagi aku tidur diapit.
Entah pikiran darimana aku iseng melontarkan ide, agar kami bertiga tidur telanjang aja. Aku pikir sebenarnya wajar saja, aku sudah sering melihat Dewi telanjang, ketika dia tidur di kamarku tatkala Ana pulang kampung. Ana juga sudah pernah kulihat dia telanjang juga ketika dia diam-diam menyelinap ke kamarku, manakala Dewi menginap di rumah saudaranya di Ciledug. Mereka berdua juga pernah bahkan berkali-kali melihat aku telanjang di kamar ini. Masalahnya aku belum pernah secara bersamaan melihat mereka berdua telanjang bersamaan di depanku.
“Siapa takut?”kata Ana. Dewi pun rupanya tidak keberatan. Sambil tiduran mereka mencopoti bajunya dan aku pun memelorotkan celanaku. Posisiku yang diapit dua cewek begini tentu memacu aliran darah untuk berkumpul di penis, sehingga tegang mengacung. Tadi yang kucemaskan sejak kembali dari Lampung sekarang sudah terjawab.
Aku tidak tahu kemana mereka melempar pakaiannya, yang kurasa kulitku sudah bersinggungan dengan kulit juga baik di kanan, maupun di kiri. Dewi memelukku di sebelah kanan, dan Ana juga memelukku di sebelah kiri. Kedua tanganku yang mereka tindih jadi memeluk keduanya di kiri dan kanan. Udara gerah tidak membuat rasa makin gerah meski dipeluk. Pikiranku lebih terpusat pada rangsangan dipeluk dua makhluk perempuan telanjang.
Mulanya tangan mereka hanya mengelus-elus dadaku, tetapi Dewi mulai merayap kebawah dan menggenggam batangku yang sedang keras. Tangan Ana pun juga merayap ke bawah dan bertemulah dua tangan dari mahluk yang berbeda. Kedua tangan itu berbagi tempat mencengkeram batangku.
Aku sudah tidak memperhatikan tangan siapa ada dibagian mana. Yang kurasakan seluruh bagian kemaluanku diremas-remas.
Aku mencium mulut Ana. Ana membalas dengan sedotan dan permainan lidah yang hot. Selepas itu aku berpaling dan berganti mencium Dewi. Dia juga tidak kalah hot, karena mungkin sudah terbakar birahi. Ana yang kutinggal, dia bangkit dan mengambil posisi di antara kedua kakiku. Ana mengulum penisku. Tangan kiriku yang leluasa segera menggamit memek Dewi dan meremas-remas lalu memainkan clitorisnya. Menerima serangan di clitoris, Dewi melepaskan ciumannya . Dia mengubah posisi telentang. Aku berusaha membebaskan tangan kananku dari tindihan Dewi dan tangan kanan mendapat tugas baru menggantikan peran tangan kiri.
Dewi semakin tinggi terangsang karena clitorisnya aku putar-putar dengan jari tengahku. Dewi kemudian bangkit dan duduk bersimpuh dengan kedua lutut dilipat. Dia duduk menghadap ke wajahku dan memeknya di aturnya dekat ke mulutku. Aku tahu, Dewi ingin dioral. Dewi memang paling senang dioral. Dia pernah memujiku bahwa oralku jauh lebih enak dari yang dilakukan pacarnya. Pacarnya katanya suka menggigit karena gemas. Kalau sudah begitu rangsangan jadi sirna berganti rasa sakit katanya. Sementara aku dipujinya mengerti menyentuh tempat yang tepat dan gerakan lidahku katanya lebih halus.
Kedua tanganku memeluk paha kiri kanannya membantu posisi Dewi agar dia bisa menempatkan memeknya tepat di hadapan mulutku. Dewi duduk agak condong kebelakang. Kedua tangannya menopang kebelakang.
Sementara aku sedang memusatkan perhatian mengoral Dewi, aku tidak terasa Ana mengoralku lagi. Aku merasa tangannya mencengkeram batangku dan beberapa saat kemudian Ujung penisku dipadukan dengan gerbang memeknya. Sambil mengoral aku mengira-kira posisi Ana menyetubuhiku. Setelah dia melakukan gerakan aku baru bisa memastikan bahwa Ana bukan membelakangiku. Mungkin dia duduk bersimpuh juga. Gerakannya yang kurasakan adalah maju mundur, sehingga penisku serasa diperah.
Mereka berdua saling mendesis. Aku tidak bisa bergerak, karena menahan berat badan kedua cewek. Gerakan Ana makin terasa hot, sementara oralku ke Dewi juga semakin terfokus pada clitorisnya. Pada posisi ini sebenarnya aku ingin memasukkan jariku ke memeknya, tetapi tidak ada ruang untuk tanganku. Jadi hanya lidahku saja yang bermain di memek Dewi. Dewi tiba-tiba berhenti menggelinjang, mungkin dia sedang memusatkan diri menjelang orgasme. Benar juga sesaat kemudian dia mengeluh panjang sambil menarik kepalaku merapat ke memeknya. Bukan hanya mulut yang terbekap, hidungku juga tertutup gundukan memek Dewi yang berambut keriting. Setelah kedutan orgasmenya agak reda aku berusaha melepaskan mulut dan hidungku dari bekapan Dewi. Aku hampir kehabisan nafas.
Ana yang makin hot memompa. Sementara Dewi mengubah posisinya tidur telentang disampingku. Sepertinya dia ingin beristirahat setelah mencapai puncak kenikmatan. Ana masih terus menggenjot. Mungkin sudah 5 menit sejak Dewi tadi orgasme baru Ana mendapat Orgasme.
Sementara aku belum apa-apa. Masalahnya hari-hari sebelumnya aku sudah kenyang dengan Ita, sehingga nafsuku tidak menggebu-gebu. Aku lebih mampu menahan diri. Apalagi posisiku di bawah, maka aku makin bisa bertahan lama.
Setelah mencapai orgasme, Ana menjatuhkan diri telungkup di atasku sejenak. Setelah itu dia bergeser tidur telentang disampingku. Meski gelap, aku bisa juga melihat sosok Ana yang tadi mengadukku diatas. Tidak terlalu jelas memang, tetapi dengan bantuan ilmu kira-kira, adegan yang berlangsung di atas badanku cukup jelas terlihat.
Mungkin Dewi juga melihat Ana mengadukku. Buktinya setelah Ana turun dari badanku, aku ditariknya agar menindih badannya. Aku segera paham apa yang diinginkannya. Dia ingin disetubuhi juga. Tanpa melakukan foreplay lagi aku segera manancapkan penisku ke memek Dewi. Kenikmatan orgasme Dewi yang pertama tadi mungkin belum sirna, karena begitu kugenjot dia langsung mendesis dan agak mengerang. Aku mencari posisi yang paling bisa merangsang organ Dewi. Setelah kudapatkan posisi itu dengan membaca respon yang ditunjukkannya aku bertahan di posisi itu. Cukup 5 menit saja Dewi sudah mendapatkan orgasmenya. Dia memelukku erat-erat, sampai semua orgasmenya terlampiaskan.
Setelah reda kucabut batangku dan aku kembali ke posisi semula tidur telentang diantara mereka berdua. Belum habis aku menikmati jeda istirahat, Ana pula sekarang yang merengkuhku agar menindih dirinya. Dia mungkin terangsang menyaksikan adegan permainanku dengan Dewi.
Aku bukan ingin berlebihan dan menjagokan diriku, tetapi sesungguhnya aku masih tegang bahkan belum ada tanda-tanda mendekati ejakulasi. Inilah kalau terlalu hot bermain sebelumnya dengan Ita. Sebelum marathon bersama Ita, malam-malam sebelumnya setiap malam aku selalu berpindah-pindah kamar. Bisa dikatakan tiada hari bagiku tanpa bersetubuh. Pelayananku di rumah ini cukup banyak mulai dari Bu Rini pemilik kost, Mbak Ratih, Kristin, Ita , Nia dan kedua mereka ini. Kedua mereka ini termasuk paling jarang kutiduri. Dewi mungkin 2 minggu lalu, Ana malah mungkin sebulan yang lalu.
Kembali ke Ana, aku tanpa basa-basi lagi langsung memompa Ana. Seperti juga Dewi aku berusaha mencari posisi yang paling menyenangkan bagi Ana. Setelah mendapat posisi itu, aku tidak perlu bekerja terlalu lama, Ana sudah mencapai orgasme. Dia menghentikan genjotanku dengan menarik badanku rapat-rapat. Batangku menikmati sensasi kontraksi memek Ana dan cairan hangat menyelimutinya. Setelah orgasmenya reda aku kembali istirahat dengan badan basah berkeringat.
Aku berpikir kepada siapa nanti akan kulampiaskan orgasmeku, padahal badanku sudah lelah sekali dari tadi push-up terus. Tapi penisku tidak mau kompromi, dia tetap tegak. Sementara aku masih menerawang, tiba-tiba batangku digenggam.
“Ih, hebat banget nih, belum juga kendor dari tadi,” suara Dewi terdengar. Berarti tangan itu adalah tangan Dewi.
Dia kembali menarik badanku untuk menindihnya. Dia minta disetubuhi lagi. Aku berpikir, Dewi tadi makan apa kok jadi hot banget begini. Dengan sisa tenaga yang ada aku kembali melayaninya. Tapi tubuhku sudah tidak kuat lagi untuk push-up. Kutarik tubuh Dewi untuk berganti posisi menjadi di atasku. Dewi menurut dan mengambil posisi yang nyaman lalu dialah sekarang yang aktif. Dia segera saja mendapat orgasme. Ketika dirubuhkannya badannya ke tubuhku dan otot vaginanya berkontraksi maka aku segera membalikkan badannya dan segera kugenjot. Aku tidak memberinya masa istirahat dan langsung dalam keadaan vaginanya masih berkedut kugencot sekeras-kerasnya. Dewi menjerit tertahan-tahan. Aku begerak makin buas sampai akhirnya dia menjerit keras sekali lalu ditutupkan bantal di wajahnya untuk meredam teriakannya. Dewi kelihatannya mencapai orgasme yang sempurna.Aku puas tapi belum juga muncrat. Ana yang menonton kami sambil dia duduk bersila memeriksa penisku.
“Wuihhh, masih keras juga, hebat amat,” katanya.
Aku ditariknya sehingga terduduk dengan kaki lurus. Aku tidak bisa menduga apa yang dia mau. Ana berdiri dan duduk dipangkuanku sambil memelukku. Memeknya diturunkannya sampai menelan penisku. Dia kembali terangsang melihat Dewi dan aku bermain kasar. Apalagi Dewi selama persetubuhan berteriak kecil terputus-putus sampai akhirnya berteriak nyaring.
Ana memaju-mundurkan pinggulnya sehingga menimbulkan efek gerakan mengaduk batangku. Dia mendesis-desis menikmati hunjaman barangku yang masih keras. Makin lama, terakannya makin cepat dan liar karena iramanya jadi tidak menentu, sampai akhirnya dia memeluku keras sekali dan vaginanya berdenyut. Seperti juga Dewi aku tidak memberi kesempatan dia menikmati orgasmenya. Kudorong badannya sampai dia terlentang dan segera kugenjot dengan gerakan-gerakan kasar. Karena diberi waktu beristirahat sambil duduk, tenagaku masih lumayan yang tersisa. Aku terus menghunjam dengan gerakan cepat dan panjang.
Ana tidak lagi mendesis, dia mengeluarkan suara yang tertahan-tahan. Kedengarannya seperti mengucap huruf A ber kali-kali. Irama pengulangan teriakannya seirama dengan gerakanku. Setiap aku menghunjam dia menyebut A. Makin cepat gerakanku makin cepat pula irama teriakannya. Sampai akhirnya dia berteriak panjang tetap dengan suara A. Teriakannya keras membuatku gugup. Karena di dekat situ tidak ada bantal maka kucucup saja mulutnya. Dibekap mulutnya oleh mulutku pun dia masih berusaha berteriak. Tetapi suaranya tidak keluar, teredam oleh mulutku. Aku menciuminya dengan ulah yang ganas sampai dia lemas terkulai.
Sejak tadi perasaan yang menyelimuti diriku adalah kebanggaan sebagai laki-laki yang super. Sekarang berbalik aku cemas, karena burungku tidak juga surut, dan sulit sekali mencapai orgasme. Yang kucemaskan, seandainya batangku tegang terus sampai besok. Kalau dibawa ke dokter, rasanya malu luar biasa. Apalagi menjawab pertanyaan dokter,
“Apa keluhannya?”
Ah bagaimana nantilah, yang ada rasa badanku sudah letih luar biasa dengan keringat membasahi semua pori-pori badanku. Aku bangkit dan mencari handuk untuk mengeringkan badanku.
“Hebat amat anak ini ya, tadinya mau kita perkosa, kejadiannya malah kita yang diperkosa,” kata Dewi.
Rupanya kedua cewek ini sudah punya rencana ketika hijrah tidur ke kamarku. Pantas aja ketika kutawari tidur telanjang mereka langsung setuju.
“Rasain, punya rencana nggak terus terang, jadinya kalian yang merasa akibatnya,” kataku.
“Biarin aja, enak kok,” kata Dewi.
Kulihat ana sudah terbujur di posisinya semula malah sudah mendengkur. Aku mengambil posisiku dan langsung mencari PW (posisi uwenak). Sampai keesokan harinya ketika aku bangun mereka berdua sudah tidak ada. Aku segera memeriksa barangku. Dia masih tegang, tetapi sekarang posisinya sedang sesak kencing. Setelah kulampiaskan hasrat kencingku, pelan-pelan penisku melemas. Aku lega…
Mbak Ratih yang semakin akrab denganku kadang-kadang membuatku malu. Dia bisa tiba-tiba duduk di pangkuanku di depan cewek-cewek yang lain. Dia memang paling sering minta diservice. Selalu saja ada alasan agar bisa menyeretku ke kamarnya. Kalau sudah gitu aku tak kuasa menolak. Pada awalnya sih dia minta dipijat, tetapi akhirnya minta ditiban juga. Satu kali Mbak Ratih menarikku masuk ke kamarnya. Kami duduk di tempat tidur.
“Jay, aku punya temen, aku kasihan sekali melihat keadaannya. Umurnya seumuranku, dia pengusaha. Dia sering mengeluh kepalanya pusing sebelah. Kayaknya dia sudah berobat kemana-mana, tapi penyakitnya nggak bisa ilang,” kata Mbak Ratih.
Dia bercerita banyak mengenai temannya itu dan buntutnya dia memintaku untuk mencoba melakukan terapi.
“Aku sudah promosiin kamu lho, Jay, katanya dia mau mencoba, kamu mau ya bantu aku dan temenku itu?” pintanya.
Aku berkilah bahwa aku bukan ahli terapi, makanya kalau nanti aku terapi tidak berhasil, mbak Ratih bisa malu.
“Mbak jangan berpromosi kelewatan, mbak, nanti malah malu-maluin,” kataku.
“Udah lah, Jay, aku yakin kamu bisa lah, buktinya di rumah ini semua yang kamu terapi berhasil, kamu berbakat lho, dan kamu bisa kaya dengan hobimu ini,” kata Mbak Ratih sungguh-sungguh.
Setelah ngobrol soal temannya itu, kami keluar kamar. Hari itu adalah hari libur. Para penghuni kost banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal mungkin sekitar 2 atau 3 orang, aku kurang pasti.
Situasi agak gerah meenjelang jam 11 siang. Bu Rini menghampiri kami yang sedang duduk menonton TV. Bu Rini memanggilku. Aku beranjak mendekati dia.
“Dik, bisa minta tolong nggak beliin makanan, si Ijah tadi pagi pulang kampung, Ibu nggak bisa masak, Atun juga nggak bisa, bisanya cuma bikin indomie,” kata Bu Rini sambil setengah berbisik.
Kami memang kost di situ berikut makan, jadi wajar jika Bu Rini bingung saat ditinggal pergi pembantunya yang biasa menyiapkan makanan. Aku menawarkan option untuk masak saja di rumah, biar aku yang kerjakan.Bu Rini setengah tidak percaya memandangiku,
“Kamu bisa masak juga to?” katanya.
“Ya sedikit-sedikit, bu. Ayo kita ke dapur, ada bahan makanan apa saja, biar saya olah jadi lauk hari ini,” kataku.
Kami lalu ke dapur. Kulihat ada sawi, daun bawang, bawang putih, kecap manis, kecap asin, cabe rawit dan telur.
“Beres, bu, kita buat ifumi,” kataku.
Bu Rini setengah tidak percaya setengahnya lagi penasaran, ingin tahu apakah aku sungguh-sungguh bisa masak. Aku lalu minta Atun membeli tepung kanji ke warung dekat rumah. Bu Rini jadi ikut heboh bertanya apa saja yang perlu disiapkan. Dia kuminta menggoreng mi instant hingga seperti kerupuk dan Atun kuminta menyiangi sayur-sayuran yang ada. Bu Rini teringat bahwa di kulkasnya masih ada ayam yang belum diolah. Dia lalu kuminta mengeluarkannya segera dan setelah berkurang dinginnya aku menyayat dagingnya berbentuk kubus.
Setelah semua bahan siap dan aku mencoba-coba mengingat apa lagi yang diperlukan. Wajan kunaikkan ke atas kompor dengan api maksimal, lalu masuk minyak. Setelah agak panas masuklah bawang putih menyusul potongan ayam diceburkan. Goseng-goseng sedikit lalu kusiram dengan sedikit kecap asin cap ikan. Bau harum segera menyebar. Dari ruang tengah ada yang berteriak,
“Wah, baunya enak, masak apa, bu?”
Sayuran menyusul terjun lalu garam dan bubuk penyedap. Setelah sayuran agak layu air yang sebelumnya kucampur dengan tepung kanji kutuangkan sampai hampir menenggelamkan sayur dan bahan lain di wajan. Aduk sebentar lalu masuklah 3 butir telur ayam. Sambil aku mengaduk masakan, kuminta Atun mengiris cabe rawit bulat-bulat.
Kuah sudah siap, yang mirip cap cai, bedanya jika cap cai tidak pakai telur ini ada pelengkap telur ayam yang diaduk jadi satu di kuahnya. Mi instan yang sudah digoreng bu Rini seperti kerupuk lalu ditempatkan di wadah. Mi kering itu lalu kusiramkan. Jadilah sekarang Ifu Mi dadakan.
“Baunya dari tadi udah bikin laper,” kata Mbak Ratih.
Menyusul Juli keluar dari sarangnya dan Niar rupanya dia milih tinggal di sini dari pada nginap di rumah saudaranya.
“Wah, enak banget nih, siapa yang masak, bu?” tanya Juli.
Bu Rini lalu menunjuk aku.
“Tuh kokinya, pinter ya?” puji bu Rini.
Dalam sekejap ifu mi yang kubuat sudah ludes.
“Gila ini orang, pinter mijet, pinter masak lagi,” kata Mbak Ratih
“Ah aku nggak percaya kalau dia pinter mijet, belum aku buktikan,” kata Niar.
Aku terkesiap. Niar yang jarang kumpul dan jarang bercanda dengan kami, hari itu dia berkomentar. Niar perantau dari Medan. Orang tuanya memang masih tinggal di sana. Di Jakarta mulanya Niar sekolah sekretaris, setelah lulus dia bekerja di salah satu perusahaan operator telepon selular. Kelihatannya dia memiliki posisi yang lumayan penting, sehingga sering pulang agak malam.
Bu Rini lalu menyambung,
“Memang harus dicoba, baru tau rasanya.” Bu Rini tersenyum penuh arti melirikku.
“Aku mau dong, sekarang ya?” kata Niar.
Aku menyarankan agar menunggu beberapa saat sampai makanan selesai dicerna. Kurang enak rasanya jika pijat setelah makan. Aku minta Niar menunggu sebentar.
“Badanku pegal kali, tidur terus-terusan rasanya juga cape, tolonglah aku ya tapi jangan kuat-kuat, aku tidak biasa dipijat sebetulnya tapi mendengar promosi kalian, aku jadi penasaran,” kata Niar.
Niar nggak sabaran dia minta segera aku pijat. Setelah kurasa perutku tidak sesak lagi setelah makan siang tadi akhirnya aku turuti kemauannya. Kami masuk ke kamarnya. Kamarnya ternyata ada AC dan televisi. Dia cukup berduit untuk menyewa kamar yang lux ini. Dinginnya AC dikamar Niar membuat badanku segar.
“Apanya kak yang mau dipijat?” kataku.
Aku memanggil dia kakak, karena usia kami terpaut 5 tahun dan dia kelihatan sudah sangat dewasa. Mungkin di kantornya dia terbiasa dengan pembawaan berwibawa.
“Badanku pegal semua, macam mana caranya dipijat?” tanyanya.
Aku menerangkan biasanya yang dipijat mengenakan sarung dan tiduran. Aku menawarkan pijatan dimulai dari kaki lalu ke badan. Niar setuju dan dia lantas berganti mengenakan sarung. Dia mengenakan sarung seperti orang Jawa mengenakan kemben. Jadi payudaranya tertutup sampai ke batas lutut.
Niar mengambil posisi tengkurap. Aku memulai pijatan refleksi di kaki. Pijatan refleksiku sengaja tidak terlalu keras, agar dia merasa nyaman dulu. Aku lemaskan semua syaraf di telapak kakinya lalu naik ke betis. Setelah semua otot terasa lemas aku mulai memijat pahanya, pantatnya dan badannya. Berhubung masih terhalang sarung aku hanya menekan-nekan tidak terlalu keras. Niar tertidur. Mungkin pengaruh dari makan siang tadi dan juga nikmatnya pijatanku.
Badan Niar cukup besar dan tinggi. Tingginya mungkin sekitar 170 dengan berat badan yang seimbang. Untuk ukuran cewek Indonesia ukuran tubuh Niar termasuk besar dan tinggi. Pahanya ternyata cukup tebal dan pantatnya juga menyembul. Sekitar 30 menit dia kubiarkan tertidur lelap sambil aku pijat kakinya dengan pijatan nyaman.
“Aduh enak kali pijatan kau, Jay, sampai tidur aku,” katanya tiba-tiba.
“Itu cuma kusuk ecek-ecek, kak,” kataku menjelaskan bahwa pijatanku itu hanya pijatan sederhana saja.
“Jadi rupanya ada pula pijat yang betul-betul, macam mana pula itu, Jay?” katanya sambil tengkurap.
“Kalau kakak mau, aku bisa mendeteksi organ kakak yang mana yang kurang beres,” kataku.
“Ah, cobalah mainkan,” katanya.
Aku mulai menekan simpul-simpul syaraf di telapak kakinya.
“Aduh mak, sakit kali itu.” katanya ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan.
Aku jelaskan bahwa pencernaannya agak terganggu, dan ini bisa mengarah ke penyakit maag. Simpul lain yang aku tekan menunjukkan bahwa dia sering tidak teratur haidnya. Itu dia akui.
“Bisa tidak kau mainkan biar jadi teratur, biar aku tenang,” katanya nyerocos.
Dari kata-katanya terkandung misteri yang seharusnya dia rahasiakan, tapi nyerocos secara tidak disadari. Kata-kata ‘biar aku tenang’ aku anggap sebagai satu signal. Tapi aku cuek saja dan seolah-olah tidak mendengar perkataannya yang terakhir.
Aku jadi berniat menyelediki secara diam-diam dan langsung. Seperti sebelumnya, aku mulai memainkan simpul-simpul syaraf erotisnya. Aku mulai garap di bagian permukaan kulit yang terbuka, yaitu, di telapak kaki, di dekat mata kaki lalu di betis dan di belakang lutut. Bagian-bagian itu mendapat pijatan lebih banyak dari titik-titik syaraf lainnya.
“Aduh, enak kali pijatan kau, Jay, badanku jadi panas, bekeringat pula.” katanya.
Aku menyarankan kalau mau lebih enak lagi sebaiknya menggunakan krim agar bisa lebih licin diurut. Dia menyetujui dan memintaku mengambil krim body lotion di meja riasnya.
Aku mengulang lagi mengurut telapak kaki dan betis. Ulasan krim makin keatas menuju bagian pahanya yang tebal. Tanganku menyusur di bawah sarung sampai ke paha bagian atas. Di paha bagian dalam kusentuh titik-titik sensitifnya. Pinggulnya mulai bergerak. Ini sepertinya dia mulai terangsang.
Aku minta izin untuk mengurut punggungnya dengan krim. Dia setuju dan aku mulai mengoleskan krim dari bagian bahu turun sampai ke pinggang. Urutan punggung menimbulkan kenikmatan, karena bagian-bagian yang pegal jika diurut akan menimbulkan kenikmatan. Badannya meliuk-liuk menikmati urutanku yang sesekali juga menimbulkan rasa agak sakit. Ada bagian otot yang kaku jika diurut akan menimbulkan rasa agak sakit, tetapi hanya sebentar.
Dengan gerakan mengurut, sarungnya mulai terdorong ke bawah sampai ke batas pinggang. Niar masih menggunakan BH. Ini karena dia tidak terbiasa dipijat, jadi rasa malunya masih besar. Tanganku mulai merambah makin kebawah sampai ke bagian pantatnya yang montok.
Mulanya aku tekan dan kadang-kadang dengan gerakan memutar di pantatnya. Pijatan seperti itu biasanya akan menimbulkan rangsangan ke alat vitalnya. Dia pun berkomentar bahwa bagian itu enak sekali dipijat. Kuterangkan bahwa akibat terlalu lama duduk, maka bagian pantat ototnya agak kaku. Aku kembali minta izin untuk mengurut bagian pantat agar otot-ototnya lemas. Dia hanya menjawab,
“Mainkanlah.”
Sarungnya sudah tidak berfungsi menutupi tubuhnya, karena sudah berkumpul di pinggang. Body Niar sungguh luar biasa. Meski kulitnya tidak putih, tetapi dari ujung kaki sampai leher kulitnya mulus nyaris tanpa goresan. Karena tubuhnya tinggi, maka bentuk tubuhnya jadi sangat ideal dengan pinggang mengecil dan pantat besar. Aku belum bisa memastikan payudaranya sebesar apa. Selama ini aku lengah menelaah dada Niar.
Tanganku mulai mengurut bagian pantatnya. Mulanya mengurut dari arah atas menyusup ke celana dalam. Selanjutnya mengurut dari bawah dengan mendorong-dorong daging bongkahan pantatnya.
Diakui ada bagian yang pegal di pantatnya yang rasanya nikmat jika diurut. Dia minta bagian itu berkali-kali diurut. Dorongan urut aku atur tidak selalu searah. Meskipun selalu mengarah ke atas, tetapi titik startnya berubah-ubah sampai ada yang dekat sekali dengan kemaluannya.
Entah dia sadar atau tidak, tetapi aku sudah berkali-kali menyentuh bagian luar belahan kemaluannya. Tanganku bisa merasakan karena bagian itu ditumbuhi-bulu-bulu. Meski kemaluannya sudah terjamah tetapi dia tidak protes, malah cenderung menikmati.
Aku berani menyentuh bagian itu karena yakin Niar sesungguhnya sudah terangsang. Terapi itu cukup lama sampai Niar kadang-kadang terlepas mendesis juga. Setelah kurasa maksimal merangsang dengan pijatan dari belakang aku minta dia berbalik tidur telentang. Niar menurut saja, pasrah. Sarungnya dibiarkan berkumpul di pinggang. Baru aku sadari bahwa payudara Niar ternyata cukup besar. Dia menggunakan BH dengan cup model setengah, sehingga gumpalan payudaranya menonjol seperti mau tumpah.
Aku mulai lagi mengurut bagian kaki. Terus sampai ke paha. Paha bagian dalam mendapat terapi yang istimewa. Aku ingin membuatnya gila dengan rangsangan yang kulakukan. Bukan hanya paha yang aku urut tetapi naik menyelusup di bawah celana dalamnya sampai ke bagian atas termasuk gundukan kemaluannya. Aku merasa Niar mencukur sebagian bulu kemaluannya, karena yang terasa berbulu hanya bagian tengah membujur ke atas. Tapi aku tidak berkomentar, karena aku berlagak pemijat prof jadi berperan seolah-olah tidak hirau dengan masalah kemaluan. Niar kelojotan dengan urutan di sekitar kemaluannya.
“Aduh, sedap kali, Jay, pandai kali kau mengurutnya, bisa mati dengan sedap aku kalau kau urut terus begitu, ” katanya sambil bergelinjang dan mulai agak mengerang meski dengan suara tertahan.
Pertahanan rasa malunya sudah jebol, dia tidak perduli lagi dengan tubuhnya yang nyaris telanjang. Kepalanya berkali-kali bergeleng seperti sedang disetubuhi. Kurasa sudah cukup mengerjai bagian vitalnya. Aku berpindah ke bagian atas. Dimulai dari bahu lalu turun ke dada.
“Aduh, enak, Jay. Aku baru percaya sekarang kalau kau pandai mengusuk,” katanya.
Jariku tertahan oleh ketatnya BH sehingga tidak bisa mengurut bagian samping. Aku sarankan agar dia melonggarkan BHnya, agar kerjaku mengurut tidak terhalang. Dia patuh dan dengan meninggikan dadanya tangan kanannya meraih pengait BH dibelakang. Kaitan terlepas dan kedua payudaranya langsung kembali ke bentuk asalnya.
Buah dadanya yang tadi seolah berkumpul di tengah sehingga menimbulkan efek menyembul dan membentuk lipatan diantara kedua bongkahan, kini melebar sampai tumpah ke samping badannya. BHnya masih menutup putingnya. Tanganku jadi lebih leluasa mengurut ke samping buah dadanya. Dia sudah tidak perduli lagi buah dadanya disentuh oleh laki-laki. Niar hanya menikmati rangsangan dari pijatanku.
Aku kembali minta izin untuk memijat payudaranya. Seperti wanita-wanita sebelum ini, aku selalu berkilah bahwa pijatan payudara itu selain untuk merangsang otot mengencangkan payudara, juga untuk melancarkan peredaran darah di sekitarnya. Niar percaya dan mengangguk saja. Dia semakin tidak peduli ketika BHnya kusibak sehingga terpampanglah kedua putingnya.
Kedua putingnya tidak terlalu besar berwarna coklat tua. Aku mulai memijat bagian payudaranya sampai menyentuh kedua putingnya. Setiap kali tersentuh putingnya, dia mendesis nikmat.
Gerakan pijatku berlangsung seperti gaya profesional yang dilakukan seolah-olah tanpa nafsu. Padahal di bawah sana sudah ada pemberontakan. Aku melakukan gerakan meremas dari samping kiri dan kanan mengurut ke atas sampai jempol dan jari telunjukku bisa meraih kedua putingnya. Putting itu lalu kupelintir lirih dan ditekan dengan gerakan memutar.
Gerakan memutar dengan tekanan lembut di kedua putingnya merupakan terapi berikutnya. Aku melakukan ini sambil menjelaskan bahwa efek dari pijatan ini adalah untuk merangsang syaraf di sekitar payudara agar berkerja normal. Dengan demikian aliran darah juga akan lancar.
Sambil melakukan itu aku menekan-nekan kedua payudaranya dengan kedua telapak tanganku. Alasanku untuk mencari tahu apakah ada benjolan yang mencurigakan. yang bisa menimbulkan kanker. Niar entah percaya entah tidak, tetapi dia mendesis sambil mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Aduh, mau mati aku rasanya,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa, kak?” tanyaku pura-pura terkejut lalu berhenti memijat.
“Paten kali pijatan kau ini, aduh mak,” katanya melenguh.
Kutinggalkan bagian payudara, aku turun ke bagian perut. Bagian perut karena merupakan bagian yang rawan bagi wanita, aku tidak berani gegabah. Hanya pijatan halus dan mengurut menaikkan bagian dalam perut yang agak turun.
“Kakak ini beser ya?” kataku.
“Apa itu beser?” tanyanya.
Aku terangkan bahwa beser itu adalah sering kencing, tiap sebentar kebelet pipis melulu. Itu dia benarkan. Aku katakan bahwa itu adalah akibat kandung kencingnya tertekan jadi kapasitasnya tidak bisa menampung air seni secara maksimal. Aku berusaha memperbaiki posisinya.
“Kak, bagian bawahnya mau dipijat jugakah?” tanyaku.
“Apa sebabnya perlu dipijat?” katanya dengan logat Medan.
Di situ ada urat dan syaraf yang kalau kejepit akibatnya wanita bisa mandul. Ini aku ngarang aja. Padahal dibalik itu aku ingin megang kemaluannya. Yah berdalih lah biar kelihatannya tidak memalukan.
“Boleh-bolehlah,” katanya.
Tanganku mulai menelusur ke bagian bawah mengurut ke bawah celdam. Aku bergerak dari bagian pinggir lalu ke arah tengah. Mulanya celdamnya masih menutupi segitiga kemaluannya. Namun karena gerakan tanganku celana itu melorot juga ke bawah, sehingga terpampanglah bukit pubis dengan jembut rapi tercukur.
Urutan tanganku tidak sampai menyelusup ke belahan kemaluannya, tetapi kedua pinggirnya sudah berkali-kali tertekan kedua jariku. Niar sudah tidak sungkan-sungkan lagi melenguh dan mendesis. Tampaknya dia sudah tidak peduli lagi dengan harus menahan malu karena terangsang. Telapak tanganku menekan bagian luar kemaluannya dan melakukan pijatan dengan mengurut dari bagian pantat sampai ke atas. Jari tengahku walau tidak sampai terpeleset masuk ke belahan kemaluannya tetapi bisa merasakan ada cairan diantara belahan itu.
“Aduh, Jay, lama-lama bisa aku terkam kau, Jay,”
“Kenapa, Kak?” kataku belagak bodoh.
“Kau bikin aku gila,” katanya.
“Kakak baru gila sebentar sudah sombong. Aku dari dulu gila tak pernah sombong,” kataku mencandai dia yang sedang terombang-ambing dengan nafsunya.
Niar mungkin tidak bisa menyimak kata-kataku lagi, karena dia heboh dengan erangan dan desisannya. Aku makin dalam menggarap kemaluannya. Jari tengahku perlahan-lahan terbenamkan ke belahan kemalauannya dengan gerakan menyapu dari bawah ke atas. Gerakan ini berkali-kali sampai aku bisa merasakan clitorisnya menegang. Setelah rasanya dia hampir memuncak. Aku berhenti melakukan pijatan dan aku katakan
“Sudah selesai, kak.” Aku duduk disamping badannya yang terbujur telanjang.
“Aduh, kau menyiksaku, bisa aku bunuh kau nanti,” katanya.
“Semua sudah aku pijat, kak, apalagi kak?” kataku lugu.
Ditariknya badanku sehingga aku menindih badannya. Niar lalu mencium wajahku lalu bibirku. Aku terus terang belum siap menerima serangan, sehinggga ketika mulutku dibekap oleh mulutnya aku megap-megap. Niar buas sekali menyerangku. Dia gulingkan badanku sehingga aku ditindihnya.
“Kak, sabar, kak. Kakak tenang dulu, ” kataku membalikkan badannya.
“Ah, kau bikin aku gila,” katanya.
“Masih ada lagi terapi, kak, tapi ini terapi khusus, hanya untuk yang sangat membutuhkan,” kataku.
“Apa pula itu?” katanya tidak sabar.
“Sekarang kakak tenang dulu biar aku bantu agak rileks. Kakak lemaskan badan kakak ya,” kataku.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Niar menuruti semua perintahku. Sarungnya kulepas, BHnya kusingkirkan. Bantal kuselipkan di bawah pantatnya. Lalu kedua kakinya kutekuk. Aku merangkak diantara kedua kakinya lalu dengan bersetumpu siku aku mendekatkan mulut ke kemaluan Niar.
Sebagai penjilat yang sudah banyak mendapat penghargaan, aku memulai usapan lidahku menyapu bibir luar kemaluan Niar. Selanjutnya dengan bantuan kedua tanganku aku membelah kemaluannya sehingga tepampanglah kemaluan dengan warna merah ditengahnya dan bibir luar yang berwarna agak ungu. Lidahku mulai menyapu sekitar lubang vagina dari arah bawah sampai ke atas.
Usapan lidahku membuat Niar menggelinjang. Setelah kurasa cukup ujung lidah mulai mengarah ke puncak pertemuan bibir dalam di bagian atas. Di lipatan atas itu ada sebentuk bintil mencuat, berwarna merah mengkilat. Yang tertutup lipatan bibir dalam. Dengan bantuan kedua tanganku ku kuak lipatan yang menghalangi bintil itu sehingga terekspos bebas. Setelah kupastikan clitoris Niar kutemukan aku membekapkan mulut ke bagian atas kemaluan Niar. Lidahku langsung berputar mengitari sekitar clitoris.
Mendapat terapi lidah ini, Niar menggelinjang. Lidahku bergerak kanan-kiri dibagian atas. Pada awalnya aku menjaga agar bagian lidah ini tidak sampai menyentuh ujung clitorisnya. Kemudian secara bertahap dan pelan bagian bawah lidahku mulai menyentuh clitoris. Aku merasa gerakan ini menimbulkan dampak clitorisnya makin menegang. Aku mengubah gerakan lidah dari bawah keatas menyapu seluruh bagian clitoris.
Setiap kali lidahku menyentuh ujung clitoris, Niar menggelinjang. Bagian ujung clitoris pada awal rangsangan mungkin masih dirasa terlalu geli dan ngilu jika disentuh langsung. Oleh karena itu aku belum melakukan pemusatan jilatan di ujung clitorisnya.
Aku mengubah sapuan lidah ke bagian bawah letak clitorisnya. Ujung lidah kuusahakan mengeras sehingga bisa mendeteksi pangkal clitoris. Bagian pangkal itulah yang kemudian menjadi sasaran jilatan maut.
Niar sudah mendesis, melenguh nggak karuan, bahkan kadang-kadang berbicara, tapi aku tidak jelas mendengar dan pastinya juga tidak bisa menjawab. Aku mencoba menjilat ujung clitorisnya untuk memastikan apakah rasa geli dan ngilunya sudah berkurang. Memang rupanya rasa geli berubah jadi rasa nikmat. Niar makin liar ketika jilatan lidahku fokus ke ujung clitorisnya dengan gerakan kiri–kanan.
Niar makin gila dan tangannya mulai ikut mengatur irama gerakan lidahku sambil meremas rambutku. Sesaat kemudian tangannya tidak bergerak, Dia diam seperti sedang berkosentrasi. Tidak lama kemudian dia mengerang panjang sambil menekan kepalaku ke kemaluannya dan kedua pahanya menjepit.
Lidahku kutekan ke clitorisnya dan diam tanpa gerakan. Aku hanya merasakan denyutan pada clitorisnya seperti denyutan penis ketika mencapai orgasme. Niar memang mencapai orgasme. Setelah denyutan orgasme mereda, kulepas mulutku dari kemaluannya dan aku duduk diantara kedua pahanya dengan posisi bersimpuh.
Jari tengah tangan kanan mendapat tugas berikutnya. Dengan posisi telapak tangan menghadap keatas, jari tengah perlahan-lahan menerobos ke dalam. Tujuannya adalah mencari G-spot. Dengan rabaan halus aku segera menemukan G-spot. Bagian itu sudah seperti membengkak bentuknya kira-kira seperti bulatan uang logam 100 perak, tapi lebih kecil sedikit. Jaringan lunak itu perlahan-lahan aku usap dengan gerakan halus sekali.
Awalnya Niar tidak menampakkan reaksi, tetapi setelah 5 atau 10 kali usapan dia mulai menggelinjang dan mendesis. Sambil terus mengusap G-spotnya untuk mempercepat orgasmenya, jempol kiriku ditugaskan mengusap clitoris yang sudah kembali menegang. Niar mengerang-erang lalu berdesis lalu mengerang lagi. Dia tidak karuan bingung merasakan kehebatan rangsangan yang menerbangkan dirinya.
Dalam waktu tidak terlalu lama kedua tangan Niar meremas sprei dan menariknya sambil menggigit bibir bawahnya dia mengerang panjang sekali. Pada saat itu, lalu ku kuak belahan vaginanya selebar mungkin. Dari lubang kecingnya yang berada dibawah clitorisnya menyemprotlah cairan tapi tidak terlalu banyak. Cairan itu agak cair, tetapi lebih kental dari urine. Mungkin sekitar 5 kali, pancaran itu menyembur lalu hanya meleleh. Niar tergeletak lemah.
“Aduh gila, aku belum pernah mencapai nikmat kayak gini, pandai kali kau memainkan perempuan, Jay, ” kata Niar dengan suara lemah.
“Sini, Jay, aku ingin memeluk kau,” katanya sambil menarik tanganku dan aku dipeluknya erat sekali.
Kulemaskan badanku dan kuikuti kemauannya. Terasa kemaluannya ditekankannya ke pahaku lekat sekali lalu digerak-gerakkannya. Aku masih berpakaian lengkap pada saat itu.
“Lemas kali badanku, Jay, aku rasa ngantuk kali,” katanya.
Dia lalu meregangkan pelukannya dan aku pun bangkit. Badannya telanjang bulat telentang. Niar sudah mulai mendengkur. Kasihan dia maka kucari selimut dan kututupi tubuhnya. Niar tertidur pulas dengan air muka berseri-seri.
Aku tidak pernah menghayalkan apalagi berencana untuk mencicipi para penghuni kos ini. Tapi sejarah sudah menetapkan alur hidupku, aku hanya mengalir saja kemana arah yang sebaiknya aku tuju. Sulit rasanya mempercayai, bahwa 8 cewek penghuni kos ini semua sudah pernah aku tiduri. Bukan itu saja Ibu kosnya yang janda dan tampilan berwibawa dan sangat menjaga kesopanan ternyata paling rajin mengundangku ke kamarnya.
Aku menjadi orang yang sangat penting di rumah itu. Kemampuanku terapi pijat refleksi, bisa memasak dan menjadi tong penampung curhat banyak menjadi tumpuan penghuni kos.
Semua hobiku itu tak kusangka memberi penghasilan yang lumayan. Aku tidak lagi perlu membayar uang kos. Aku tidak tahu bagaimana duduk perkara sebenarnya, apakah ibu kos yang menolak pembayaran uang kos itu karena memang ia tidak mau dibayar, atau karena sewa kostku ada yang membayari. Setiap kali aku mau bayar, si Ibu kost selalu bilang,
“Nggak usah, dik, semua membutuhkan adik di sini,”
Aku selalu menolak jika diberi uang setelah aku memijat cewek-cewek penghuni kost ini. Aku memang hanya ingin membantu, toh aku juga mendapat kenikmatan dari mereka. Pernah satu kali, Mbak Ratih menanyakan no rekening bankku, katanya dia tidak punya tabungan di bank itu dan ada temannya mau transfer uang untuk dia melalui rekening bankku karena kebetulan bank temennya sama dengan bank tempatku menabung. Meski kemudian uang yang ditransfer itu sudah kuberikan kepada Mbak Ratih, tetapi di hari-hari berikutnya tabunganku terus bertambah. Nilai yang masuk setiap bulan bukan kecil. Menurut ukuranku yang masih kuliah, jumlah uang itu sangat besar.
Mungkin setelah aku lulus kuliah, aku nggak bakal bisa menerima gaji sebesar uang yang masuk setiap bulan ke rekeningku. Aku tak kuasa membendung masuknya uang ke rekeningku itu, aku pun tak cukup kuat punya niat untuk melakukan investigasi. Aku jadi teringat pepatah orang Batak .
“Sakit meminta tak diberi, tetapi lebih sakit memberi tapi tak diterima.”
Dari pada aku sok nggak butuh dan bisa menyakitkan hati orang, lebih baik aku nikmati saja yang terjadi pada hidupku. Manis atau pahit kalau kita enjoy, pasti nikmat-nikmat aja. Bukan hanya tabungan yang terus membengkak, rokok pun sekarang aku tidak pernah beli. Kadang-kadang ada saja yang memberiku oleh-oleh. Bentuknya bermacam-macam, ada T-shirt, ada celana jeans, sepatu. Ah, banyaklah. Yang bikin aku nggak enak hati Ibu kos memaksa agar kamarku dipasang AC.
Cewek-cewek di sini, jika di luar mereka semua punya pacar, kecuali ibu kost. Soal dia, aku kurang tahu persis. Tetapi ketika mereka di rumah ini semua merapat mendekatiku.
Kami bergaul akrab satu sama lain, semua dekat dan semua saling mengerti. Tidak ada rasa cemburu diantara mereka. Misalnya aku sedang masuk ke kamar A, yang lainnya bisa menerima. Tidak ada jadwal khusus yang diatur, kapan aku ke kamar A, kapan ke kamar B dan seterusnya. Semuanya berjalan secara alamiah, siapa yang paling membutuhkan, dialah yang menggendongku. Kalau aku periksa catatan rahasiaku, memang jadwal dateku dengan mereka tidak sama, ada yang dalam sebulan sampai 8 kali, tetapi ada yang cuma sekali. Namun itupun bisa berubah di bulan lainnya, yang bulan lalu dia mendapat jatah 8 kali, bulan berikutnya ternyata bisa cuma sekali. Aneh juga ya.
Sebelumnya aku mau bercerita bagaimana akhirnya Juli bisa kugarap. Bagi pembaca yang mengikuti cerita ini sejak awal mudah-mudahan masih mengingat siapa-siapa saja teman satu kostku.
Aku bisa menggarap Juli adalah gara-gara Kristin sahabat dekatnya. Mereka sama-sama berdarah Cina. Mereka bukan sekampung, sebab Juli adalah Cina Padang. Mungkin karena mereka satu angkatan waktu sekolah, sehingga karena itu jadi akrab.
Kristin suatu kali menarik tanganku untuk berpisah dengan teman-teman lain. Dia ingin menyampaikan sesuatu.
“Eh, ini rahasia, tapi gue harus sampaikan ke lu, karena mungkin lu bisa bantu, ” kata Kristin membuka pembicaraan.
“Gini, Jay, aku kasihan ama Juli, dia itu ternyata nafsu sexnya kuat, tapi sangat pemalu. Jadi gini, Jay, dia sering bermasturbasi karena sulit mengendalikan nafsunya.” kata Kristin.
Aku diam saja tidak memberi reaksi dan menanya apa pun. Aku memberi kesempatan kepada Kristin untuk menuntaskan ceritanya. Sebab aku menduga, Kristin sudah bersusah payah sebelum ini menyusun kata-kata untuk mengungkapkan ini kepadaku.
“Dia sampai sering nangis sendiri karena tidak tahan menahan gejolak nafsunya. Padahal dia kan belum pernah pacaran, jadi kayak nggak ada penyaluran, gitulah, Jay,” katanya.
“Lho, cowok yang suka ngantar dia itu apa bukan pacarnya?” tanyaku.
“Cowok yang mana? Itu kan supir kantornya, ngawur aja lu,” jawab Kristin.
“Jadi aku harus menolong bagaimana, masak mendadak tiba-tiba aku ajak, Jul maen yuk,” tanyaku sambil bercanda.
“Lu gila, orangnya susah diajak serius nih, becanda melulu. Udahlah, pokoknya lu harus cari jalan bagaimana caranya supaya dia juga merasa tertolong dan tidak sungkan,” kata Kristin.
Juli menurutku tidak jelek, tetapi tubuhnya yang tambun itu membuatnya kurang diminati cowok. Andai saja beratnya bisa dikurangi 20 kg saja, Juli bakal menjadi cewek idaman. Setelah pembicaraan rahasia itu, aku segera mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan pengurangan berat tubuh melalui pijat refleksi. Penelusuran itu membawaku sampai kepada hipnotherapy. Melalui cara ini juga bisa membantu menguruskan badan.
Ilmu ini kurasa penting. Aku kemudian mengikuti kursus hipnotherapy. Masalah biaya aku tidak pusing, karena tabunganku memadai. Namun aku merahasiakan bahwa aku mulai mendalami hipnotherapy. Jadi tak satu pun tahu aku mempunyai aktifitas baru mendalami hipnotis.
Setelah merasa aku mulai bisa menguasainya meskipun belum canggih benar, aku mengontak Kristin. “Bagaimana kalau aku mencoba menterapi penurunan berat badan. Ini ilmu baru yang belum pernah aku praktekkan. Tapi kalau Juli tidak keberatan dan mau jadi kelinci percobaan aku akan coba ke dia,” kataku.
“Nah, ini cocok,” kata Kristin bersemangat.
“Eh, tapi soal nafsunya itu gimana, apa bisa diterapi juga?” katanya kemudian penuh ragu.
“Ah, itu sih gak perlu diterapi, biar aku saja yang nampung,” kataku sambil senyum-senyum.
“Ah, lu emang gila, apa nggak takut gempor, emang lu payah, becanda mulu, sekali-kali serius napa?” kata Kristin.
Kristin tidak sabar ingin segera menyampaikan kabar baik itu kepada Juli. Dia bergegas ke kamar Juli. Tidak kusadari berapa lama mereka berdua berunding. Yang jelas malam itu tinggal aku sendiri yang berada di ruang tengah menonton pertandingan bola.
“Jay,” aku mendengar suaru lirih, ternyata asalnya dari Kristin.
Dia mendekat dan berkata setengah berbisik,
“Juli mau diterapi untuk kurus, kalau pun nggak berhasil nggak pa-pa. Dia siap jadi kelinci percobaan lu, ” kata Kristin.
“Eh, tapi jangan disinggung-singgung soal nafsu sexnya ya, itu dia minta dirahasiakan sekali, awas lu,” tambahnya.
“Ok, bos, siap melaksanakan tugas,” jawabku sambil berdiri.
“Sekarang bisa?” tanya Kristin lagi.
“Siap,” kataku.
Diambilnya remote TV lalu dimatikan dan aku digelandang masuk ke kamar Juli. Di kamar itu Juli sedang bengong duduk di tempat tidur.
“Apakah dia berharap juga bahwa malam ini aku memulai terapinya?” kataku bertanya dalam hati.
Aku duduk dikursi berhadapan dengan Juli. Aku katakan bahwa terapi menguruskan badan ini belum tentu berhasil. Soalnya aku belum pernah melakukannya dan disamping itu harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Juli mengangguk-angguk dan bisa memahami. Kristin yang duduk di samping Juli mendesak temannya agar menuruti apa yang kuminta, maksudnya menuruti apa yang kunasehatkan.
Juli mengaku beratnya 85 kg, tinggi 160 cm, umur 24 tahun. Idealnya dia harus menurunkan 25 sampai 30 kg. Ini bukan pekerjaan ringan pikirku. Namun kalau aku berhasil ini adalah investasi besar.
Aku meminta Juli terbuka denganku, maksudnya mengenai pola hidupnya dan pola makannya. Ini akan sangat membantu aku menemukan cara terbaik dan aman menurunkan berat badannya. Dia mengaku suka ngemil. Memang makannya tidak banyak. Porsinya sedikit, tetapi sulit menahan selera melihat jajanan.
Di samping itu, dia hobby makanan yang berlemak, bersantan dan minum manis serta kue coklat. Olahraga sama sekali tidak pernah, karena dia cepat capek dan nafasnya sesak. Dia mengaku mungkin dia punya penyakit asma.
“Okelah, coba saya chek up dulu,” kataku.
Aku memintanya tidur telentang. Juli mengenakan celana piyama. Seharusnya piyama longgar, tetapi di tubuh Juli jadi ketat, terutama di pahanya. Aku mulai menekan-nekan simpul syaraf di telapak kakinya. Ketika simpul syaraf pencernaannya aku tekan, Juli menjerit. Pantaslah, dia harus sering makan. Sebab kalau tidak perutnya akan terasa perih. Aku jelaskan soal itu, dia membenarkan.
“Tuh kan gue bilang apa, Jay ini ngerti lho, udahlah lu percaya aja ama dia gak usah banyak bantah,” kata Kristin mencecar temannya.
Juli yang dicecar begitu hanya meringis saja, sebab dia sedang menahan rasa sakit.
“Udah, gue tinggal, gue ngantuk, lu pokoknya bereslah ama Jay,” kata Kristin lalu beranjak dan meninggalkan kami berdua.
Aku mencoba menekan syaraf-syaraf yang bisa berakibat mengurangi selera makannya. Syaraf-syaraf itu jika ditekan kata Juli sakit sekali. Simpul syaraf seperti ini memang tidak bisa dilemaskan dalam satu kali terapi. Juli mau mengerti jika terapi ini harus berulang-ulang.
Aku mencoba menekan semua simpul syaraf yang memberi dampak menurunkan bobot itu. Semua titik tersebut jika ditekan sedikit saja, Juli sudah menjerit kesakitan. Hampir satu jam aku menelusuri semua syaraf langsing itu, sampai Juli badannya basah kuyup karena keringat akibat menahan sakit.
“Bagaimana, Jul, semua yang ditekan sakit, apa kamu kuat diteruskan?” tanyaku.
“Biarin deh aku tahan, yang penting aku bisa kurus, ” katanya bersemangat.
Aku lalu menyarankan agar dia berganti mengenakan daster saja, sebab semua bajunya sudah basah berkeringat. Tapi akan lebih baik kalau mengenakan sarung saja sebab selain tidak terlalu gerah, juga memudahkan aku menyentuh simpul-simpul syaraf. Kali ini aku serius, bukan mau ngerjain Juli. Kasihan juga sih.
Juli menurut dia bangkit. Aku lalu menyarankan dia agar ke kamar mandi dulu untuk pipis. Lebih baik pipis sekarang daripada nanti ditengah-tengah terapi kebelet pipis. Aku juga ingin merokok dulu di luar sebentar. Juli setuju dan aku keluar lalu mengasapi ruangan. Setelah sebatang rokok putih habis tidak lama kemudian Juli memanggilku.
Juli mengenakan sarung yang diikatkan di dadanya. Aku terperangah juga, badannya putih sekali dan semuanya serba besar. Payudaranya besar dan pantatnya juga besar. Setelah menyiapkan semua perlengkapan termasuk body lotion aku memulai terapi dengan menyuruhnya tidur telungkup. Aku kembali mengulang menekan simpul-simpul syaraf tadi. Namun sekarang dengan bantuan cream aku jadi lebih lancar mengurut bagian-bagian simpul syaraf di seputar kakinya. Menurut Juli sekarang tidak lagi merasa terlalu sakit seperti pertama tadi. Aku jelaskan bahwa jika diurut, maka penekanan simpul syaraf tidak terfokus pada satu titik, jadi yang dirasa adalah sakitnya tidak seberapa.
Dari tidak ada niat sampai muncul sifat iseng dan ingin tahu. Dua hal terakhir ini adalah kelemahanku, terutama suka iseng. Jadinya seperti biasa simpul syaraf erotis aku senggol-senggol juga. Rupanya terhadap Juli simpul itu cepat sekali menimbulkan reaksi. Dia jadi gelisah.
Kubiarkan dia tersiksa dengan kegelisahannya. Paling tidak membantu aku untuk menyingkap sarungnya agar aku bisa meraih bagian-bagian yang tersembunyi. Dia pasrah saja ketika sarungnya aku singkap keatas. Aku memerlukannya karena akan mencapai bagian paha. Luar biasa besar pahanya dan putih bersih. Sambil mengurut aku mengagumi kebesaran itu.
Urut dan penekanan simpul syaraf aku atur selang-seling. Jika dia kesakitan berikutnya aku urut bagian yang nyaman dan menggairahkan. Saat dia mulai syur aku tekan lagi bagian yang sakit. Juli kemudian mengaku bingung merasakan pijatanku.
“Sebentar enak, sebentar sakit, bisa nggak dipijet biar enak terus?” kata Juli.
“Nanti lama-lama yang sakit jadi terasa enak, tenang aja, tapi sorry nih aku terpaksa menyingkap sarung sampai begini, kamu keberatan apa enggak?”
Dia langsung menyambut cepat bahwa dia tidak keberatan yang penting bagi dia terapiku lekas berhasil.
“Ibaratnya aku harus telanjang pun aku turuti, Jay,” kata Juli.
Aku langsung menjawab,
“Ya kalau nggak keberatan telanjang aja, aku jadi lebih gampang, nggak ngraba-raba di dalam sarung,” kataku dengan nada yang kutenang-tenangkan.
“Dibuka semuanya Jay?” tanyanya minta konfirmasi.
“Kalau nggak keberatan, terserahlah,”
“Ya udah, demi kesehatan dan menghargai pertolongan kamu aku ikut saja,” katanya sambil berdiri dan meloloskan sarung, lalu BH dan celana dalamnya dengan posisi membelakangiku.
“Tapi jangan diketawain ya, badanku gemuk,”
“Dari dulu udah tau kamu gemuk, masak sekarang mau ngetawain, udahlah kamu anggap aja aku nggak ada dan yang mijet ini mesin,” kataku berusaha membangkitkan percaya dirinya.
Namun di dalam hatiku terkagum-kagum dengan gumpalan lemak yang begitu banyak di seluruh tubuhnya. Aku bertanya sendiri, apa bisa lemak-lemak itu nanti meleleh. Kalau bisa hebat juga aku.
“Aku belum pernah meniduri cewek gemuk, kira-kira rasanya bagaimana ya. Empuk kali. Ah jadi pengen nih,” kataku dalam hati.
Aku mulai menggarap lebih banyak simpul syaraf erotis dari pada syaraf yang melangsingkan. Toh dia juga sudah tersiksa kesakitan dari tadi, jadi perlu diberi terapi nikmat. Memang benar kata Kristin, nafsunya mudah sekali dibangkitkan. Belum setengah perjalanan dia sudah mengaduh-aduh keenakan dan kegatelan. Aku jadi makin tergoda dengan rintihannya.
“Aaaaaduuuuh, Jaaayyy…” Ini bukan rintihan sakit, tapi nikmat.
Bokongnya yang gempal mulai aku garap. Di situ banyak sekali syaraf-syaraf erotis berada. Lalu aku turun lagi menekan beberapa bagian di paha sebelah dalam dekat sekali dengan kemaluannya. Berhubung pahanya besar sekali aku minta dia merenggangkan kakinya. Kakinya sudah merenggang cukup jauh, tetapi tetap saja kedua belah pahanya masih rapat. Aku terpaksa menyelipkan tanganku untuk meraih titik yang perlu disentuh.
Karena begitu gempalnya aku kurang menyadari jika suatu saat tanganku sudah menyentuh bibir kemaluannya. Aku terkejut sendiri menyadari tanganku sudah mencapai bagian vital, padahal sesungguhnya aku belum mau sampai di situ.
Kuakhiri menyentuh daerah sensitif, berpindah ke pinggang lalu naik ke bahu dan tengkuk. Punggungnya ketika aku tekan terasa tebal sekali lemak di situ. Senang betul aku memainkan lemak-lemak di situ Setelah bahu kedua tanganku menyelusup ke ketiaknya dan melakukan pijatan badannya bagian samping. Bagian pinggir buah dadanya jadi teraba juga. Bagian buah dadanya melebar ke samping karena bagian depannya tertekan.
Setelah selesai bagian belakang aku minta dia berbalik. Pemandangan makin indah. Dibagian atas bergumpal susu yang besar di bawahnya perut yang berlipat kebawah lagi segitiga, tapi rambutnya cuma sedikit dan membujur ke bawah sepasang paha putih yang besar sekali.
Aku berusaha tenang dan seolah-olah tidak melihat apa-apa. Padahal sedang terkagum-kagum menyaksikan bongkahan lemak bergumpal dimana-mana dan putih bersih. Aku kembali mengurut dari ujung kaki terus naik keatas sampai ke pangkal paha. Juli merintih sampai seperti sedang menangis. Aku berusaha menyimak apakah dia benar menangis atau sekedar merintih. Ternyata dia merintih sambil menangis. Aku tanyakan kenapa menangis, apa menyesal atau karena apa. Aku sempat menghentikan pijatan untuk memastikan keadaan.
“Aduh, Jay, aku nggak tau kenapa aku begini. Aku rasanya seperti disiksa oleh keinginanku sendiri,” dia tidak meneruskan kata-katanya.
Aku mengerti apa yang dimaui sebenarnya. Dengan gaya cool aku menenangkan dia.
“Sudah, Yul, kamu tenang saja, pokoknya kita harus bisa merahasiakan semua yang terjadi di kamar ini. Aku paham apa yang ada di dalam tubuhmu, sabar sebentar ya biar aku tuntaskan terapi ini. Kamu kalau mau berteriak atau apa pun lepas aja, jangan ditahan ya, nanti dada kamu jadi sesak,” kataku.
“Aduh, Jay, terima kasih, kamu ternyata sangat pengertian. Sorry ya, Jay, jangan ketawain aku ya kalau aku bersuara atau bertingkah aneh,” katanya mengiba.
Aku jadi kasihan. Kusarankan agar dia menutup mukanya dengan bantal saja agar suaranya tidak terlalu terdengar sampai ke luar kamar. Dia segera menuruti saranku. Meski tertutup bantal rintihannya masih juga terdengar, tetapi tidak terlalu keras.
Aku memijat kedua payudaranya. Dia makin merintih. Apalagi ketika tersentuh kedua putingnya yang berwarna merah jambu. Putingnya tidak terlalu besar sehingga bentuknya sangat menggairahkan.
Perutnya yang penuh lemak agak sulit mengurutnya.Aku hanya menggosok-gosok saja. Pijatanku turun ke bawah dan mulai menggarap sekitar kemaluannya. Juli tidak hanya memberi ruang dengan merenggangkan kakinya tetapi kakinya ditekuk dan dibukanya selebar mungkin. Meski sudah begitu besar celah yang dia buka, tetapi belahan kemaluannya belum terbuka juga karena di situ juga bergumpal lemak menutupi celah itu.
Aku menggosok kemaluannya perlahan-lahan sambil menyelipkan jari tengahku menerobos masuk ke dalam belahan yang ternyata sudah sangat basah. Pijatan di kemaluan itu kulakukan tanpa minta izin lagi ke pemiliknya. Aku tekan sebentar clitorisnya. Dia menggelinjang dan suaranya terdengar agak keras mengerang di bawah bantal. Selesai sudah semua terapi pijatanku. Aku lalu berbisik di telinganya.
“Jul, pijatannya sudah selesai, boleh aku bantu biar kamu lega.”
Juli hanya menangguk lemah, lalu kembali menutup bantal ke wajahnya. Aku membuka semua pakaianku kecuali celana dalam. Terapi selanjutnya adalah mengoral vaginanya.
Tinggi juga faktor kesulitan yang kuhadapi untuk mengoral kemaluan Juli. Lemak yang berlebihan menghalangiku untuk mencapai bagian clitorisnya. Aku harus mengatur posisi agar masih bisa bernafas sambil mengoral. Juli tersengal-sengal menikmati oralku. Seluruh bagian mulutku sampai ke dagu basah kuyup oleh cairan Juli. Dia cepat sekali mencapai orgasme. Bukan rintihan atau erangan yang kudengar, tetapi suara seperti menangis. Kubiarkan saja dia mengekspresikan kenikmatannya.
Selanjutnya aku berusaha merangsang G-spotnya, Dengan gerakan hati-hati aku memasukkan jari tengahku ke dalam liang vaginanya. Terasa sekali sempit. Di dalam vagina juga banyak gumpalan lemak, sehingga agak sulit mencari mana tonjolan G-spot. Aku hanya mencoba membaca reaksinya ketika bagian dalam kujamah. Sampai aku yakin menemukan bagian yang tepat, aku bertahan di titik itu dengan elusan yang lembut.
Hanya sebentar saja dia sudah meronta-ronta ketika orgasmenya kembali datang. Vaginanya banjir seperti ngompol. Sprei di bawahnya basah kuyup. Setelah orgasmenya mereda aku menindihnya dengan sebelumnya aku melepas celana dalamku. Kami berdua telanjang bertindih-tindihan. Aku menggesek-gesekkan batang penisku di luar belahan kemaluannya. Juli menyambutnya dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya.
“Aduh, Jay, nikmat sekali, Jay. Aku belum pernah begini. Terusin aja, Jay, masukkan! Aku sudah tidak perawan lagi kok.” bisiknya.
Aku mengerahkan ujung penisku ke gerbang vaginanya. Meski licin, tetapi aku berkali-kali gagal memasukkan kepala penisku. Aku mengubah posisi dengan duduk bersimpuh dan menselaraskan letak kepala penis dengan lubangnya. Aku terpaksa menguak lebar kemaluannya untuk memastikan dimana letak mulut vagina Juli.
Setelah jelas baru aku dorong pelan-pelan. Bagian kepala sudah berhasil terbenam, tetapi untuk maju masih agak sulit. Juli merintih sakit katanya. Aku berusaha menyabarkannya agar dia menahan sebentar saja rasa sakit itu. Batang kutekan lagi sampai hampir setengah tertelan kemaluan Juli.
Dengan posisi setengah aku mulai memaju mundurkan penisku sampai Juli merasa tidak sakit lagi. Setelah dia merasa nyaman dan mendesah-desah, kutekan lagi perlahan lahan sampai seluruhnya ambles ke dalam vaginanya. Meski banyak lemak di dalamnya aku merasa vagina Juli masih sempit, maklum lubang ini belum pernah dikunjungi penis.
Juli merintih sambil berucap betapa enaknya vaginanya terasa terganjal dan hangat. Aku melakukan gerakan mengedut-kedutkan penisku beberapa kali. Juli semakin mengerang merasakan nikmatnya kekerasan penisku yang mengganjal di dalam liangnya. Setelah yakin semua batang terbenam di dalam aku kembali rebah menindih tubuh Juli. Kedua putingnya kuhisap bergantian, sambil penisku tetap menancap di dalam liang vaginanya. Aku terus melakukan gerakan mengedut sambil menciumi kedua putingnya. Juli terangsang hebat dan dia berteriak,
“Jay, aku nyampe,”
Sementara dia berogasme, bibirnya aku lumat dan kuhisap dengan gerakan yang ganas. Dia semakin bernafsu dan orgasmenya berlangsung cukup lama. Aku tidak tahu pasti orgasme jenis apa yang dia rasakan. Setelah reda dia berkomentar bahwa baru kali ini dia merasa nikmat yang luar biasa. Semua pening dan sesak di dadanya menjadi plong. Matanya terasa ngantuk dan lemes. Aku tidak memberi kesempatan dia tertidur. Segera aku pompa dengan gerakan 8 kali hunjaman dangkal dan sekali dalam.
Kosentrasiku menghitung hunjaman ini menganggu konsentrasi menikmati vaginanya. Mungkin ini menyebabkan aku jadi bisa bertahan lama. Juli tidak jadi jatuh tertidur, dia kembali mendesah, mengerang dan kepalanya digeleng-gelengkan.
“Aduh, Jay, aku lemas banget, tapi nikmat sekali. Aduh, Jay, aku nyeraaahh,” katanya.
Sementara aku terus memompanya. Efek dari pijataan ku tadi berakibat dia mudah sekali mencapai orgasme. Aku sudah tidak lagi memperhatikan sudah berapa kali dia mencapai orgasme. Padahal permainan baru berlangsung 15 menit. Aku terus memompa sampai dia tidak mampu lagi bereaksi karena kelelahan yang amat sangat. Aku berkosentrasi sampai ketika akan meledak buru-buru aku cabut dan ditumpahkan ke perut Juli. Juli hanya membuka mata sebentar lalu jatuh tertidur. Di bagian akhir, tampaknya dia sudah setengah tidur.
Seperti biasa aku segera menutup selimut ke seluruh tubuhnya dan aku kembali berpakaian. Dengan langkah berjingkat ku tinggalkan kamar Juli.
Aku mendapat pengalaman baru lagi merasakan lemak tebal.
“Juli berterima kasih sekali sama lu, katanya terapinya luar biasa. Dia juga senang karena selera makannya jadi kurang banget,”
Sedang kami berdua tiba-tiba muncul Juli.
“Jay, beratku turun sekilo, kayaknya terapimu mulai menunjukkan hasil.” katanya.
Aku mengingatkan agar dia jangan terlalu bersemangat menurunkan berat badan. Sebab jika turun terlalu drastis, kurang baik terhadap kesehatan. Aku menyarankan agar dia berusaha jalan lebih jauh dari biasanya dan kalau bisa hindari naik lift atau eskalator. Dengan begitu badannya tetap kencang meski bobotnya berkurang.
Selain terapi pijat refleksi, aku melakukan kombinasi dengan hypnotherapy. Aku menanamkan sugesti ke dalam alam bawah sadarnya untuk tidak berselera kepada makanan manis, berlemak dan coklat. Kebiasaan makannya aku ubah dengan lebih menyukai sayur dan buah-buahan. Sugesti itu terus-menerus aku tanamkan ke dalam benak Juli, sampai dia sendiri merasa perubahan selera makannya karena kesadaran akan mencapai bentuk dan berat badan yang ideal. Aku juga berterima kasih kepada Juli, tetapi di dalam hati. Berkat tantangan yang dia berikan aku bisa menguasai hypnotherapy.
Singkat cerita, 6 bulan kemudian Juli sudah mencapai berat yang ideal yaitu 55 kg. Tampilan Juli makin cantik dan hebatnya payudara dan pantatnya tetap bertahan gempal tidak ikut susut. Juli menjadi seksi sekali.
Di balik keberhasilannya menurunkan berat badan, aku yang jadi megap-megap. Setiap kali mengetahui jadwalku kosong, Juli langsung minta jatah. Padahal katanya dia sudah punya pacar. Tapi dia mengaku susah melupakanku.
“Aku kecanduan kamu, Jay,” katanya.
Keberhasilanku menurunkan berat badan Juli segera tersebar ke seluruh jaringan cewek-cewek ini. Aku di baiat sebagai terapis paling ampuh. Padahal, keberhasilan Juli menurunkan berat badan antara lain karena dia hampir setiap hari kelelahan karena nafsu sexnya yang mendorong dia selalu minta disetubuhi.
***
Setelah keberhasilanku menurunkan berat badan Juli, Mbak Ratih dan Bu Rini juga minta diturunkan kegemukannya. Kelebihan berat mereka berdua tidak terlalu parah, mungkin hanya perlu turun 5 sampai 10 kg.
Sudah tiga orang berhasil kuterapi jadi kurus dan berisi. Aku tidak menyangka kemampuanku ini kelak akan menerbangkan aku ke banyak tempat dan menjadi dambaan banyak ibu-ibu dan perawan gemuk.
Aku tidak mampu mengurus sendiri begitu banyak permintaan terapi. Bu Rini kuminta menjadi managerku. Dia lah yang mengatur waktu bahkan menentukan biaya terapinya. Kami berdua yang tadinya banyak berharap mendapat penghasilan dari MLM, sekarang sudah kami tinggalkan.
Informasi dari mulut ke mulut ternyata cepat sekali merebak. Aku akhirnya kewalahan menghadapi begitu banyaknya order yang masuk. Aku minta Bu Rini membatasi orderan. Dia bingung bagaimana caranya menyeleksi, semua butuh dan semua perlu dibantu. Aku lalu minta dia menetapkan tarif yang tinggi agar tidak banyak orang mampu mengorderku. Tapi aku minta dia juga menyeleksi atau bahkan mencari mereka yang perlu benar-benar dibantu. Terhadap mereka ini kutekankan kepada Bu Rini jangan minta bayaran apa pun.
Melalui teknik penyeleksian ini aku jadi banyak bertemu wanita-wanita tingkat atas. Aku kagum atas berlimpahnya uang mereka. Jika mereka minta diterapi, selalu menyewa kamar hotel bintang 5. Mulanya aku agak minder juga menghadapi mereka, karena penampilan yang wah dan wangi serta kelengkapan yang serba mahal.
Dengan kemampuan uang yang begitu besar, kadang-kadang permintaan mereka rada aneh. Sebagai contoh ada yang minta lubang vaginanya disempitkan atau bibir vaginanya dibuat berwarna pink atau mengecilkan puting susu. Terhadap mereka yang kurang mampu, mereka umumnya sangat menurut dan patuh pada semua nasihatku. Aku berharap bantuanku kepada mereka bisa lebih mencerahkan jalan hidupnya ke depan. Umumnya yang minta diterapi baik dari kalangan kaya, maupun dari kalangan kurang mampu adalah keluhan kegemukan.
Bedanya, kalangan berduit banyak sekali permintaannya. Kadang-kadang jika aku kesal, aku mainkan penekanan syaraf erotisnya. Mereka kelojotan minta digauli. Pada titik ini aku berlagak bodoh dan pura-pura tidak memahaminya. Aku selalalu menyudahi terapi dengan mengatakan,
“Bu atau Mbak, terapinya sudah selesai,”
“Mas, bisa nggak aku diservice sekalian? Kepalaku pusing jadinya nih,”
“Apanya yang diservice bu/mbak?”
“Aduh, tolonglah, dik, nanti aku kasih tip tambahan deh,” kata mereka.
Jika sudah mereka mengiba-iba, aku baru keluarkan jurus penuntasan. Biasanya tip yang diberikan kepadaku jauh lebih besar dari tarif resmi yang harus mereka bayar. Tips ini tentu saja 100 persen masuk ke kantongku. Aku jadi makin berduit, tetapi aku tetap berusaha hidup bersahaja. Masalahnya aku belum siap memasuki dunia glamour. Kalau mau sebetulnya aku cukup mampu membeli mobil baru, beli apartemen. Tapi jika itu kuturuti aku harus mengubah pola hidupku yang belum tentu aku mampu menjalaninya.
“Begini saja udah enjoy, uang banyak, hidup dikelilingi bidadari yang setiap saat siap dilayani dan melayani,” batinku.
***
Aku hanya ingin berbagi cerita pengalaman yang unik-unik saja yang aku temukan dari pasienku. Salah satunya adalah Ibu Dina. Dia adalah pengusaha wanita terkenal dan mungkin termasuk jajaran konglomerat. Saking menjaga rahasia, dia harus menyewa 2 kamar di hotel bintang 5 dengan kamar yang memiliki conneting door. Kalau sudah begini Bu Rini lah yang berperan mengatur terapi rahasia itu, sehingga hanya aku, bu Rini dan Bu Dina saja yang tahu soal terapi ini.
Bu Rini awalnya memiliki tubuh yang terlalu gemuk. Dia ingin tampil seperti badan gadis remaja atau katakanlah gadis 20 tahunan. Padahal usianya sudah hampir mencapai 50. Karena kekuatan uang maka meski gemuk dia tetap berpenampilan cantik dan mahal.
“Dik, aku sudah bosan kemana-mana untuk nurunin berat badanku ini, tapi selalu tidak berhasil. Kalaupun berhasil, tidak bisa lama bertahan, aku malah tambah gemuk. Gimana ya, dik, solusinya?” kata Bu Dina.
Aku jelaskan bahwa soal menunrunkan berat badan itu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada terapis, tetapi harus ada kerjasama dengan yang diterapi. Bahkan Ibu Dina harus lebih banyak berperan dari pada saya yang menerapi.
“Saya hanya memberi arah saja, bu, ibu yang harus mengikuti jalan itu. Kalau ibu tidak nurut, ya pasti tidak akan berhasil,” kataku.
“Oh, gitu toh, dik? Tapi kan saya udah makan obat, masak yo saya harus susah payah nahan selera makan segala sih. Saya kan suka ada acara dinner, makannya itu enak-enak dan mahal, rasanya sayang kalu nggak dicoba,” katanya.
“Saya tidak menjanjikan terapi saya bakal berhasil bu, tetapi saya coba, kalau cocok mungkin bisa berhasil. Biasanya saya tidak mengharuskan pasien saya mengubah 180 derajat pola makan mereka, tetapi hanya mengurangi saja porsi dari yang sebelumnya. Bagaimana bu apa mau dicoba,” tanyaku dengan nada merendah.
“Kamu ini masih muda kok bisa punya keahlian gini toh, dik? Katanya udah banyak yang berhasil, makanya aku penasaran,” katanya.
Seperti biasa, aku meminta dia mengenakan sarung dan kusarankan agar melepas BH juga. Badan Bu Dina sangat mulus, putih dan gemuk Aku mulai melakukan ritual. Semua simpul syaraf yang berhubungan dengan selera makan aku garap. Simpul-simpul itu tidak sampai 30 menit sebetulnya sudah tuntas. Selebihnya aku hanya melakukan chek up lalu memberi pijatan nyaman. Dia sudah merasa membayar mahal, jika aku hanya menggarapnya 30 menit rasanya tidak pantas.
Selama kelebihan waktu itu aku juga iseng menekan syaraf-syaraf erotisnya. Dalam hal ini kurasa keahlianku sudah sangat mahir. Baru sekitar 15 menit syaraf erotis kumainkan, Bu Dina sudah mulai merintih.
“Dik, pijetanmu kok enak banget to, dik?” katanya.
“Bu, maaf ya, bu, kelihatannya ibu jarang disambangi nih,” kataku memancing reaksinya.
“Disambangi apa toh, dik?” tanyanya dengan nada heran.
“Ah, ibu masak nggak paham? Maksud saya, disambangi ama bapak,” kataku.
“Lho, kamu kok bisa tahu rahasia sampai kesitu to? Tapi emang benar kok, dik, bapak itu kan diabet, jadi ya agak susah. Apa kamu bisa terapi diabet juga to, dik?” tanya Bu Dina.
Aku terus terang belum pernah mencoba terapi orang diabet, tetapi penyakit itu menurut pengetahuanku tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikendalikan.
“Maaf ya, bu, ini dampaknya dari kurang disambangi, jadi ibu ini termasuk suka mudah marah, emosinya rada cepat meluap,” kataku datar.
Dia membenarkan, bahkan dia malah nyerocos, dalam soal sepele saja kadang-kadang marahnya bisa meledak-ledak. Susah mengendalikan emosi marah, katanya. Dia tanya apa yang begituan bisa dikendalikan. Saya katakan ini adalah ibarat asap, apinya adalah soal disambangi tadi. Jadi ada perasaan yang terpendam bertahun-tahun dan lama-lama tidak menyadari, padahal perasaan kecewa itu tetap ada di dalam.
Ibu Dina rupanya termasuk istri yang setia dan tidak pernah punya keberanian untuk bermain mata dengan laki-laki lain. Untuk terapi ini saja dia membuat pengamanan berlapis-lapis agar jangan sampai diketahui orang. Maklumlah dia sendiri termasuk orang punya nama, suaminya juga terkenal.
Aku jadi penasaran ingin membuat Bu Dina kelojotan. Apakah dalam kondisi di puncak rangsangan dia masih mampu bertahan. Bagaimana sih kuatnya benteng pertahanannya . Aku memainkan syaraf syaraf sensual. Stimulasi terus-menerus aku garap, tanpa menyentuh bagian-bagian alat vital.
“Aduh, dik, aku kayaknya udah nggak kuat lagi nih, dik,” katanya.
Aku lalu berhenti memijat dan bertanya apa pijetnya cukup sekian aja. Bu Dina langsung membantah bahwa bukan itu yang dia maksud, katanya kepalanya mau pecah menahan rasa yang nggak karuan. Aku lalu menawarkan untuk memijat kepalanya. Padahal aku tahu itu tidak akan menyembuhkan bahkan mungkin bisa tambah menggila. Dia memberi kesempatan aku memijat kepalanya. Bukan tambah selesai, tetapi malah tambah menggila. Bu Dina tanpa dia sadari merebahkan badannya ke badanku yang sedang memijat kepalanya dari depan. Dia memelukku erat sekali sambil kepalanya di guselkan ke dadaku. Dia menarik kepalaku dan diciuminya wajahku lalu bibirku disedot dan diciuminya ganas sekali. Kepalaku lalu didorong ke arah dadanya. Aku segera paham bahwa payudaranya minta disedot. Payudara Bu Dina masih cukup montok dengan pentil yang agak besar.
Bu Dina menggeliat-geliat menikmati cumbuanku. Aku lalu mengoralnya sampai dia orgasme bahkan aku membawanya juga G Spot O. Namun Bu Dina masih ingin dilanjutkan dan dia membuka celanaku lalu mengoralku sebentar kemudian dia minta aku menyetubuhinya. Aku menggenjotnya, sampai dia mencapai O , tapi dia masih minta aku melanjutkan permainan sampai dia kembali mendapat O. Badanku merasa lelah dan aku mulai berkosentrasi untuk mencapai O. Menjelang aku O Bu Dina rupanya juga hampir nyampe. Aku sengaja melepas ledakan ejakulasiku di dalam vagina bu Dina. Dia memelukku erat sekali dan diciuminya wajahku.
“Saya puas, dik, biar aku nggak berhasil jadi kurus tapi kamu harus mau melakukan terapi lagi,” kata Bu Dina.
Bu Dina adalah pelangganku yang menjadi ketergantungan kepadaku. Dia selalu minta diterapi setiap 2 minggu sekali. Pernah juga aku dimintanya menyusul ke Singapura. Aku diperamnya disana selama 3 malam.
Berat Bu Dina berhasil juga turun hampir 15 kg dalam 6 bulan. Terapi yang aku lakukan adalah kombinasi pijatan dan hipnotis. Tidak hanya soal mengurangi selera makannya, tetapi juga emosinya sekarang lebih terkendali.
“Dik, aku sudah bisa menahan marah, sejak kamu terapi aku kok jadi penyabar ya, dik?” katanya.
Aku memujinya. Dia kupuji karena mau bekerjasama untuk memperbaiki sifatnya yang negatif. Aku juga menenamkan ke dalam benaknya bahwa marah itu adalah perbuatan sia-sia. Aku selalu memberi tantangan kepadanya untuk mengembangkan kreatifitas. Maksudnya jika timbul rasa marahnya kepada seseorang, maka dia harus mencari cara atau jalan atau kata-kata agar orang yang seharusnya dimarahi karena kesalahannya bisa menyadari dan memperbaiki diri .
“Bu Dina pasti bisa mencari cara lain dari marah,” kataku.
“Iya, dik, bahkan ada karyawanku yang harusnya aku marahin malah aku kasih uang dan kuajak bicara baik-baik, akhirnya dia sekarang jarang berbuat kesalahan, malah loyal sekali kepadaku,” katanya.
Aku membatin, sumber penyebab kemarahannya sudah cair, yakni keinginan sexnya yang selama ini bertumpuk sudah lenyap, karena aku menjadi pelanggan servicenya. Selain itu sugesti yang aku tanamkan di dalam alam bawah sadarnya membantu dia berfikir positif dan kreatif.
Ada lagi pelangganku yang minta aku melakukan terapi di motel-motel. Dia selalu minta janji ketemu di pusat-pusat perbelanjaan. Dari situ dia minta aku membawanya ke motel hanya berdua saja.
Pelangganku yang kupanggil dengan nama Bu Monik ini awalnya juga minta tubuhnya dirampingkan, tetapi kemudian berkelanjutan minta diservice lengkap. Dia juga pengusaha kaya yang nafsu sexnya tidak mampu diimbangi suaminya. Kalau kuturuti dia maunya aku melakukan terapi setiap minggu.
Tak terasa, sudah 2 tahun aku malang melintang di dunia terapi . Relasiku di kalangan atas, terutama para wanita cukup lumayan. Tidak hanya pengusaha, tetapi juga politisi selebriti dan ibu pejabat. Ada juga ibu yang mempunyai jabatan penting di kalangan TNI dan Polri.
Jujur saja, aku tidak merasa cukup mampu menjadi terapis. Aku juga sebenarnya kurang yakin bahwa titik-titik simpul syaraf yang ditekan bisa manjur menyembuhkan berbagai penyakit. Kuperhatikan simpul-simpul syaraf itu hanya membantu usaha penyembuhan. Penyembuhan sepenuhnya sebetulnya adalah pada diri orang itu. Jika dia mengubah pola hidupnya maka keberhasilannya untuk sembuh lebih besar. Namun jika dia tetap dengan pola hidupnya yang lama, maka penyakit yang dikeluhkannya akan tetap menggerogotinya. Teori ini tidak bisa diterapkan juga kepada semua orang dan semua penyakit. Akan tetapi sebagian besar memang begitu.
Kesibukanku melayani pelanggan membuatku jadi jenuh. Aku berkeinginan suatu saat bisa berkeliling Eropa untuk berlibur. Pada dasarnya aku senang berkelana. Namun menjelajah Eropa jika hanya menikmati dari balik jendela rasanya kurang puas. Maksudku di balik jendela itu adalah dari balik jendela hotel, taxi, bus, kereta api dan seterusnya. Artinya aku tidak terlibat dengan kehidupan sehari-hari di tempat yang kukunjungi. Untuk bisa begitu paling tidak aku harus bisa berkomunikasi dengan bahasa setempat.
Keinginan itulah yang mendorong aku mengambil kursus bahasa Perancis, Jerman dan Spanyol sambil memperdalam pengetahuan bahasa Inggris. Setahun kurasa cukup untuk menguasai sekedar bahasa sehari-hari bahasa-bahasa besar dunia itu.
Awalnya aku ingin berkelana sendiri ke Belanda, Prancis, Jerman dan Spanyol. Namun ketika aku bercerita sambil melakukan terapi kepada beberapa pelangganku, mereka malah mau ikut. Jadinya ada 5 orang emak-emak kaya raya yang mau ikut berkelana. Mereka malah membiayai semua kebutuhanku. Apalagi mereka akhirnya tahu bahwa aku lumayan ngerti bahasa negara-negara yang akan kami kunjungi.
Berkelana selama 2 minggu ke 4 negara pada musim panas kemudian memang terwujud. Aku jadi tour leader, dan memang aku yang mengatur kemana saja tujuan wisata kami. Aku syaratkan kepada ibu-ibu pesertaku agar tidak berbelanja oleh-oleh kecuali mau dipakai langsung. Aku tidak mau perjalananku terhambat gara-gara soal barang bawaan yang terlalu banyak. Ibu-ibu kalau tidak dibendung, nafsu belanjanya kadang-kadang lebih besar dari nafsu sexnya.
Selama kami tour, kami berenam sudah seperti remaja lagi. Tidak hanya aku harus bergantian setiap malam tidur dikamar mereka, Tetapi sering juga kami ngumpul berenam lalu melakukan orgy party. Ibu-ibu itu selalu menempati suite room, jadi kamarnya lebih lega. Terbang pun kami selalu di kelas satu.
Aku rasa soal ini kalau diceritakan bisa terlalu panjang. Namun lain kalilah kuungkap kehidupan 2 minggu kami sambil berkeliling Eropa.
END