Golden Palace of Indulgence
Chapter I: Examination Room
“Syifa Audina Alfarizky!” Seorang wanita berpostur sedang dengan jilbab warna pastel dan bawahan gamis serta rok panjang yang senada tampak berdiri saat namanya dipanggil. Wajahnya putih bersih, dengan tahi lalat mungil pada bagian bawah mata kirinya, menambah manis parasnya, bersama bibir tipis dan hidung mungil yang mbangir. “Doain ya” Syifa mengangguk pada orang di sebelahnya. “Iya, Mbak, moga2 bisa diterima ya” Kemudian Syifa pun berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan. Di sana ada seorang bapak2 yang duduk di sebuah meja. Di hadapannya ada berkas2 dengan nama Syifa tertera di atasnya. “Assalamualaikum” “Waalaikum salam. Syifa Audina Alfarizky?” “Iya, saya, Pak” Bapak2 itu kemudian memandang Syifa dari kepala hingga kaki seolah ingin menelanjanginya, membuat Syifa merasa tidak nyaman. Dia ingin sekali untuk bisa duduk, tapi tampaknya bapak2 yang di depannya ini belum memperkenankannya untuk duduk. Pada papan nama yang ada di meja tertera dengan jelas nama “YONO”. Ruangan itu sendiri sedikit banyak mirip dengan ruang praktik dokter kandungan atau ginekologi, dengan adanya meja praktik di sana, yang dilengkapi dengan alat untuk meletakkan kaki sehingga dokter bisa memeriksa kandungan si pasien. Syifa agak heran kenapa meja itu ada di sana. “Sekarang kamu buka pakaian” kata Pak Yono dingin. Syifa terkejut mendengar perkataan itu. “Hah?? Buka pakaian, Pak?” “Iya, kamu denger kan saya tadi ngomong apa?” “Telanjang gitu, maksudnya, Pak?” “Ya buka pakaian ya pasti telanjang, ayo cepat, saya nggak punya banyak waktu” “Pak, masa harus telanjang sih di depan Bapak” “Lho, aturannya gitu koq. Kalau nggak mau silakan pulang, yang lain masih banyak yang antre” Tampak agak ragu, akhirnya pelan2 jari2nya yang lentik dia gerakkan membuka jilbabnya. Dalam dua kali gerakan, rambutnya yang lurus sepunggung pun tergerai. Dia menatap ke Pak Yono, berharap dia berubah pikiran, tapi itu tidak terjadi. Pak Yono dengan isyarat matanya menyuruhnya meneruskan. Dengan agak gemetaran, Syifa pun membuka pelan2 kancing2 pada bajunya, hingga akhirnya tubuh bagian depannya pun terpampang di hadapan laki2 yang bukan muhrimnya ini. Air mata pun mengalir di pipinya yang ranum. “Teruskan” hardik Pak Yono. Syifa menahan tangisnya kemudian melepas bajunya, kemudian diikuti dengan rok panjangnya, sehingga kini dia berdiri hampir telanjang, hanya mengenakan celana dalam serta beha warna ungu berukuran 34C. Kulitnya yang putih alami khas wanita Indonesia pun kini terpamer di hadapan Pak Yono, pria kurus separuh baya dengan rambut kelabu yang tak ditata dengan baik. “Ayo terus, siapa suruh kamu berhenti?” “B-Baik, Pak” Tangan Syifa pun digerakkan ke belakang punggungnya, dan dilepaskanlah behanya, sehingga kini payudaranya yang indah tak lagi tertutupi, dengan pentilnya yang berwarna cokelat muda tegak menantang di tengah areola warna senada yang mungil. Pak Yono yang tadinya bersikap dingin kini tampak mulai tertarik. Syifa melanjutkan dengan membuka celana dalamnya, dan terpampanglah kini bukit vaginanya yang berambut tipis terawat. Setelah meletakkan beha dan celana dalamnya, Syifa pun menyilangkan tangan kanannya pada dada, dan tangan kirinya dipakai menutup vaginanya. “Nggak usah malu, buka itu tangan, saya sudah sering lihat cewek telanjang” Syifa mengangguk, kemudian dia melepaskan tangannya, menyingkapkan tubuh telanjangnya sepenuhnya di hadapan Pak Yono, yang kini berdiri dan mendekatinya. Bagaikan memeriksa sebuah karya seni, Pak Yono memutarinya melihatnya dari atas ke bawah seolah memindai dengan saksama. Sesekali dia memegang Syifa, tapi bukan dengan pegangan erotis, lebih seperti memeriksa fisik Syifa. “Bagus, ototnya kencang, tidak lembek, tidak ada lemak berlebih” Syifa agak tercekat saat Pak Yono meremas kedua belah pantatnya bergantian. “Bagus, pantatnya sekal” Dalam hati terbersit sedikit kebanggaan. Ya, walau dadanya tidak terlalu besar, pantatnya dari dulu merupakan kebanggaannya, karena sekal dan membulat sempurna, ditambah paha dan pinggulnya yang kencang, menunjang postur tubuh sedangnya. “Sekarang kamu duduk” Syifa hendak mengambil bajunya, tapi… “Heh, yang suruh kamu ambil baju siapa? Duduk begitu saja” Syifa pun mengangguk takut2, kemudian duduk di seberang meja Pak Yono, yang telah duduk terlebih dahulu. Sekarang Pak Yono mulai membuka berkasnya dan mengambil pulpen. “Nama lengkap?” “Syifa Audina Alfarizky” “Panggilannya?” “Syifa, Pak” “Usia?” “23 tahun” “Tempat dan tanggal lahir?” “Cilacap, 25 Agustus” Pak Yono terus menanyakan hal-hal yang Syifa tahu sebenarnya sudah ada di dalam berkas. Mungkin dia hanya mengecek apakah berkas yang ada pada Syifa benar. Hanya saja suasananya agak berbeda, karena dia melakukannya dalam keadaan telanjang bulat. Perlahan2, Syifa merasakan sesuatu yang aneh, dari yang tadinya dia merasa malu2, kini dia semakin nyaman, dan bahkan merasa rileks. Dia menegakkan tubuhnya sehingga dadanya mengacung menantang, tapi Pak Yono masih tetap dingin, hanya sesekali melirik. “Oke, semua sudah sesuai, sekarang kamu naik ke ranjang” Pak Yono menunjuk ke arah ranjang ginekologi itu, dan Syifa pun berjalan ke arahnya, kemudian naik dan meletakkan kakinya pada alat yang ada di kanan kiri ranjang itu, sehingga vaginanya kini terpampang lebar. Pak Yono kemudian mendekatinya dengan sarung tangan karet dan senter yang ditaruh di kepala, lalu mulai memeriksa vaginanya. Syifa sebenarnya merasakan malu yang luar biasa, saat Pak Yono melihat vaginanya dari dekat, namun sebuah sensasi lain pun muncul, membuatnya merasa merinding, apalagi saat Pak Yono menyentuh bibir vaginanya dan melebarkannya. Syifa agak tercekat ketika jempol Pak Yono entah sengaja atau tidak mendarat di klitorisnya. “Udah nggak perawan ya, kamu?” “I-Iya, Pak” “Sejak kapan?” “Euh.. Sejak SMA, Pak.. Uh” Sebuah rasa geli pun menyengat, karena selain memegang, Pak Yono pun juga mengelus serta memainkan klitorisnya. Namun tetap saja tak ada emosi dalam suara Pak Yono. “Gimana kejadiaannya? Ama pacar kamu?” “B-Bukan, Pak… Aah… Ama.. Ama guru SMP saya, Pak…” “Coba kamu cerita” “I-Iya, Pak, jadi dulu habis pas pelajaran olahraga saya dipanggil ke ruangannya dia… Aaah… Katanya ada yang mau dibahas… Saat itu siang… Uh… Udah nggak ada orang lagi, kejadian deh… AAAHH…” Syifa berteriak karena Pak Yono dengan pelan memasukkan kedua jarinya ke dalam vagina Syifa. Dia pun merasakan vaginanya semakin banjir, sehingga pasti becek sekali. Dia merasa malu, namun entah kenapa gairahnya pun naik, apalagi dengan urutan pada klitorisnya dengan ritme yang stabil. “Kalau cerita itu yang jelas” “I-Iya Pak… J-Jadi awalnya dia manggil saya ke ruangan… Uhh… Katanya nilai saya ada yang gak memenuhi syarat minimal… Ah… Terus katanya saya disuruh remedial, disuruh ke ruang olahraga, terus begitu masuk, pintunya langsung dikunci ama dia… AAAAHHH…” Syifa menjerit kencang karena kini Pak Yono memasukkan jempolnya ke anusnya. “Lanjutin ceritanya” Suara Pak Yono tetap dingin dan nyaris tanpa emosi. Seolah seperti orang yang meminta dibacakan koran atau buku. Sebaliknya, kali ini Syifa semakin kelojotan di atas meja itu. Dia harus bugil dengan mempertontonkan alat kelaminnya pada seorang pria dari jarak dekat saja sudah membuatnya cukup grogi, ditambah dia harus menceritakan salah satu pengalaman erotisnya yang terpenting, ditambah rangsangan metodis Pak Yono pada liang vagina dan anusnya, semuanya membuat gairah seksual Syifa terbakar. Keringat pun mulai bercucuran membasahi tubuhnya. “Iya, jadi habis pintunya ditutuuuuup…. Dia bilang saya harus lakuin gerakan2 senam lantai gitu, salah satunya kayang… Saya bilang kalau nggak bawa baju olahraga, Pak, takut nanti seragamnya kotor, tapi dia nyuruh saya buat ngelepas seragamnya” “Trus kamu ngelepas seragam?” “Iya, soalnya susah kan kalau mau gerakan senam lantai gt pakai seragam… Aaah… Jadinya saya lepas. Awalnya cuman seragam luar saja, saya masih pakai celana pendek ama kaos dalam, tapi katanya suruh lepas juga” “Terus?” Di tengah2 suasana birahi itu, Syifa agak janggal dengan Pak Yono yang tampaknya tidak terpengaruh, padahal dia sudah sedemikian hot-nya. Apa jangan2 bapak2 satu ini kelainan ya? Dalam hati tiba2 muncul keinginan Syifa untuk menggodanya lebih lanjut. Desahan yang tadinya spontan pun kini dia lakukan dengan nada lebih menggoda. “Awalnya saya nggak mau, Pak… Oooh… Soalnya kan saya nggak pakai beha atau miniset waktu itu, jadi kalau kaus dibuka susunya kelihatan dong… Oooh… Katanya, nggak papa, dia bakal ikut buka baju juga, biar saya nggak rikuh, akhirnya dia buka baju dan… Aaaah… Saya tiba2 deg2an pas itu… Uuuh…” Tangan Syifa pun mulai digerakkan untuk meraba vaginanya, tapi langsung ditepis oleh Pak Yono. “Tangannya nggak usah ikut2. Susah saya buat meriksa, ayo, lanjutin ceritanya” “I-Iya, Pak… Ya sudah saya jadi cuman pakai CD aja, awalnya risih sih, Pak, tapi setelah beberapa kali gerakan akhirnya biasa saja. Aaaaah… Oooh… Pas kayang itu, dia tiba2 nyuruh berhenti pas melengkung itu lho, Pak… Aaah… Waktu itu ruang olahraganya kan siang2, jadi panas, saya ama dia udah keringetan… Uhh… Dia bilang posisi saya salah… Lalu dia mulai ngebenerin posisinya, tangannya yang kiri ditaruh di punggung saya…. Uhh… Tapi yang kanan… Aah… Yang kanan ditaruh pas di selangkangan saya, Pak… Aaaah…” “Di memek, maksudmu?” “I-Iya, Pak, di memek” “Nah, gitu dong, jelas. Lanjut ayo, nggak selesai2 ntar kalau kamu ceritanya lama gitu” “Lalu dia kayak mbenerin, tapi tangannya sambil gesek2in memek saya, Pak… AAAHHH… Jangan, Pak!!” Syifa berteriak karena tiba2 Pak Yono mulai menggesek2 vaginanya dengan agak keras dan dalam. “Kayak gitu?” “I-Iya, Pak” “Terus?” Gesekan tangan Pak Yono kini kembali metodis seperti orang memeriksa, walau jempol masih dia taruh, satu di klitoris, satunya digesekkan ke anus. Entah apa yang dia periksa hingga perlu selama itu. Hanya saja Syifa menurut saja saat disuruh untuk terus bercerita. Sambil mendesah, tangan Syifa pun mulai meremas dadanya sendiri yang bulat. “Saya merinding, Pak… Aaah… Soalnya belum pernah… AAA… Udah pernah sih, tapi kan sendirian biasanya… Ugh… Saya mau jatuh kegelian, tapi dia nyuruh saya buat bertahan di posisi itu, kalau bisa tahan, dia bakal ngasih nilai lebih… Aaaaah… Jadi ya saya tahan, Pak. Dia bilang, apa pun yang terjadi, saya nggak boleh lepas dari posisi kayang… Jadi saya tahan, padahal tangan udah gemeteran… Tiba2 aja dia udah di depan muka saya, dan udah nggak pakai celana, jadi tititnya nggandul2 gitu… Saya kaget, ya langsung saja jatuh” Syifa menarik napas tertahan, karena sekali lagi Pak Yono menusukkan dua jarinya ke vaginanya. Tapi kali ini tanpa perlu dikomando, dia meneruskan ceritanya. “Dia bilang… Syifa, kamu udah gagal, saya gak bakal ngelulusin kamu. Saya kan takut ya, Pak, terus saya mohon ke dia, tolong Pak, saya dilulusin. Dia lalu setuju, syaratnya saya disuruh ngulang kayang, tapi celana dalamnya dilepas. Aaaaah… Ooooh… Saya diancem gitu, gak bakal lulus, ya sudah, akhirnya saya lepas aja. Kami jadi bugil, Pak, di ruangan… Kemudian mulai kan saya ngulang kayang, dibilangin, sekarang apa pun yang terjadi, kamu kudu bisa nahan biar nggak jatuh… Ssshh… Terus pas posisinya kayak tadi, si Bapak-nya nggodain, susu saya diremes2 gitu, geli… Sssh… Aaah… Tapi berusaha saya tahan. Terus saya ngerasa di bawah koq kayak ada yang mengalir, kirain keringet kali ya… Aaah… Terus dia gerak ke belakang, Pak, mulai kayak tadi, memek saya digesek2, ampe beberapa kali kayak ditekan pakai jari… Huffh… Hampir aja pinggulnya kepeleset jatuh tapi saya tahan… Aaah… Lalu dia kayak ngebuka memek saya gitu, dan saya rasain ada yang ngalir tambah banyak… Aaah… Kirain mau ditusuk pakai jari, tapi tiba2 saya ngerasa kayak benda gede kayak gagang sapu ditusukin masuk ke memek saya… Saya teriak, kan, pas saya nengok ternyata tititnya Pak Guru yang masuk…” Pak Yono tiba2 berdiri, dan Syifa takjub karena dia sudah mengeluarkan penisnya yang hitam berurat dari retsleting celananya. Belum sempat bereaksi, penis itu langsung dimasukkan ke dalam vagina Syifa yang basah merekah, disertai lolongan tertahan… “Kayak gini?” “I-Iya, Pak, terus digenjot… Aaaaahh…..” Suara deritan meja pun terdengar saat Pak Yono mulai menggenjot Syifa, dan cerita itu pun terhenti, digantikan oleh gerakan persetubuhan kedua manusia ini. Syifa berusaha menggerakkan tangannya, tapi dengan kencang Pak Yono menahannya, sehingga kini tinggal pinggulnya yang berada saja yang bergerak. Gaya persetubuhan itu benar2 metodis, ritmenya sama, tak ada lebih cepat atau lebih lambat, mirip seperti sebuah mesin, namun kombinasi dari semua faktor membuat dengan cepat birahi Syifa naik, dan kini Syifa pun merasakan seperti ada sesuatu yang hendak meledak. “Paaaak… Saya mau keluaaaaaar….” “Tahan, Saya juga” Pak Yono langsung mempercepat genjotannya, dan Syifa pun merasakan penis yang mengganjalnya mulai berkedut lalu… “OOOOOOHHHHHH….” Lenguhan keras Syifa terdengar amat kencang saat dirinya orgasme, tak lama setelah itu, dia pun juga merasakan semprotan sperma Pak Yono di dalam rahimnya. Punggungnya melenting sejenak, menonjolkan payudaranya yang mengkilat oleh keringat, sebelum akhirnya dia terjatuh ke meja, tersengal2. Pak Yono langsung menggosokan penisnya ke paha Syifa untuk membersihkannya, sebelum akhirnya dia menutup retsleting dan kembali ke tempat duduknya. “Oke, bagus, silakan turun” Syifa dengan lemas dan gemetaran pun turun, kemudian duduk di depan Pak Yono lagi. “Hasil pemeriksaan fisiknya bagus, sekarang kamu ke ruangan sebelah dan tunggu di sana” Dengan mengangguk pelan, Syifa pun menjulurkan tangan untuk mengambil pakaiannya. “Eh, eh, siapa suruh kamu ambil pakaian? Cepat kamu ke sebelah, pakaian kamu nanti biar diurus ama petugas” Syifa mengangguk saja, kemudian dia membuka pintu yang ditunjuk oleh Pak Yono. Pintu ini tersambung ke sebuah koridor kecil yang sepi, sebelum bermuara di sebuah ruangan yang besar. Dia kaget melihat di sana ada beberapa wanita juga yang menunggu, semuanya telanjang, dan tampak agak malu2. “Lho? Mbak??” Syifa terkejut saat melihat bahwa ternyata di sebuah bangku panjang, duduklah wanita yang tadi berada di sebelahnya, juga dalam keadaan telanjang. “Mari, Mbak, duduk” yang langsung diikuti oleh Syifa. Wanita itu lebih pendek dari Syifa dengan tubuh yang lebih berisi dan kulit lebih gelap, namun memiliki paras wajah yang manis dan rambut pendek agak ikal. Yang menarik perhatiannya adalah dadanya yang lebih besar daripada Syifa, dan vagina tembem dengan bulu kemaluan yang lebat. “Kamu kapan dipanggilnya?” tanya Syifa. “Nggak lama setelah Mbak masuk” “Oh, bukan sama Pak Yono?” “Bukan, Mbak, yang ngetes saya namanya Pak Hadi” “Diginiin juga gak?” tanya Syifa sambil memberi isyarat jempol yang diselipkan di antara telunjuk dan jari tengahnya. Wanita itu mengangguk pelan. “Depan belakang malahan, Mbak” “Heh?? Masa?” Dia kemudian berdiri, lalu menungging menunjukkan pantatnya pada Syifa, dengan lubang anus yang masih agak membesar dan sisa2 sperma yang masih terlihat jelas. “Soalnya saya bilang pernah anal, Mbak nggak di-anal?” Syifa menggeleng saja. Kemudian dia duduk di sebelah Syifa, agak berjengkit kesakitan saat akan duduk. “Jangan panggil saya Mbak, panggil saja saya Syifa” “Oh iya, Mba.. Eh, Syifa… Namaku Mira” Mereka pun bersalaman. “Omong2 ini kita disuruh nunggu bugil dan lengket begini, nih?” “Nggak tahu, Mbak, saya juga baru aja, belum lama sebelum Mbak Syifa datang” “Ih, panggil Syifa aja” “Oh iya, maaf, keceplosan” Mereka pun berbincang2 untuk menghilangkan kecanggungan. Dari sini Syifa mengetahui bahwa Mira berasal dari Tegal, dan usianya hanya beberapa bulan saja di bawahnya. Berbeda dengan Syifa yang masih single, Mira ini statusnya adalah janda muda, karena sudah pernah menikah pada usia 20 tahun, namun langsung ditinggal oleh suaminya yang supir truk yang tidak pulang2 sampai sekarang, sehingga otomatis pernikahannya dianggap talak. Obrolan mereka pun berhenti saat seorang wanita berseragam masuk ke dalam ruangan itu. “Syifa Audina Alfarizky, dan Mira Zaidatul Rahmah” Syifa dan Mira segera berdiri. “Kalian ikut saya ke kamar kalian, yang lain tunggu dipanggil ya” Segera Mira dan Syifa bergerak mengikuti wanita itu. Mereka kemudian menyusuri koridor amat besar dengan jendela dan ada beberapa orang, beberapa di antaranya pria, bergerak lalu lalang. Mereka berusaha menutupi dada dan kemaluan mereka saat berjalan, namun itu sia2. Saat melirik ke jendela, ternyata di sana ada beberapa orang pria yang berkumpul di semacam lapangan, dan pada posisi ini bisa melihat ketelanjangan Syifa dan Mira dengan amat jelas. Ini membuat mereka berdua menjadi amat malu dan gugup, namun ada sensasi ketegangan juga yang menjalar. Sebuah pintu pun dibuka, dan di sana adalah sebuah kamar tidur kecil dengan sebuah ranjang bertingkat, sebuah meja lengkap dengan cermin, serta sebuah lemari kain. Di atas ranjang itu ada dua set pakaian seragam, lengkap dengan beha dan CD warna putih senada. “Kalian nanti akan di sini selama seminggu untuk pelatihan, hanya boleh pakai seragam, nggak boleh ada barang pribadi” “Lho? Terus barang2 kami di mana, Bu?” tanya Syifa. “Kami simpan dulu, nanti kalau sudah selesai pelatihan, kami balikin lagi ke kalian. Sekarang cepat kalian pakai baju, habis ini saya tunggu di ruang A untuk pelatihan” “Langsung pelatihan hari ini juga?” “Ya, soalnya ada permintaan mendadak, jadi kalian bakal langsung ditempatkan, makanya kami harus cepet ngelatih kalian” “Ditempatkan di mana, ya, Bu?” “Abu Dhabi, Uni Emirat Arab” Syifa dan Mira tampak terkejut, dan mereka saling berpandangan.