GENDENG

SINOPSIS

Seorang janda satu anak bernama Hesti ingin keluar dari situasi sulit akibat ulah suaminya di masa lalu. Putranya, Rendi, acap diterpa mimpi buruk, didatangi makhluk menyeramkan berwujud Genderuwo. Awalnya, Ia terbiasa, namun lambat laun makin ke sini makin tak karuan, karena turut mengusik Hesti. Ia didatangi makhluk sebangsa Jin dalam mimpinya. Apakah mimpi ini yang mengganggu tidur Rendi? Sepertinya tidak. Anehnya, makhluk itu tak pernah menampakkan diri dalam kehidupan nyata. Justru makhluk tersebut diduga Hesti datang memberi peringatan. Peringatan macam apakah? Apakah ada kaitannya dengan suami Hesti?

Panas Hati, Panas Telinga

Tak ada yang aneh siang itu, sengat panas matahari mendesak Hesti pulang buru-buru dari rumah mertuanya yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya, karena mereka tinggal di dalam komplek perumahan yang sama. Hesti pulang membawa perasaan dongkol dengan sikap mertuanya yang sudah dikasihani masih saja menggerutu banyak hal. Apalagi sang suami telah wafat. Ia merasa tak perlu lagi untuk peduli atau menjaga hubungan dengan mertua yang sungguh menyebalkan itu. Hesti akui dirinya tak pandai memasak, atau kurang cekatan merawat dan mendidik Rendi (14 tahun), putra semata wayangnya, yang kadang berbuat onar di sekolah.

“Sudah syukur diperhatikan, semakin banyak saja ocehannya si Eyang”
“Maafkan aku mas Rama, sepertinya aku ndak bisa sering-sering ke rumah orang tuamu, mas”
“Cape hati aku”

“Sabar ya, Mah”

“Makanya, kamu Ren, belajar yang bener di sekolah”
“Biar jadi orang”
“Jangan kelayapan mulu sama temen-temenmu itu”

“Kan yang penting aku gak berkelahi lagi…”

“Tetep aja, kamu musti pinter, biar punya nama”
“Gak diinjek-injek orang”

“Iyyaah”, Rendi mengangguk.

Oleh mertuanya, Hesti juga dinilai tak mampu menghidupi Rendi dari pekerjaan sebagai seorang staf honorer di sebuah Museum. Penghasilannya disebut pas-pasan. Namun, Hesti tetap berupaya menahan diri dari serangan tajam kata-kata mertuanya. Setidaknya ia masih menjaga sholat lima waktu, meskipun terkadang masih bolong-bolong. Hesti bersikukuh dengan pesan sang suami agar tetap menjaga sholat 5 waktu, walaupun sejujurnya almarhum suami Hesti malah tak pernah mengerjakan sholat. Selain itu, almarhum suami Hesti juga berpesan agar senantiasa menengok kedua orang tuanya, walaupun Hesti mulai sedikit menjauh. Apabila sebelumnya ia berkunjung dalam seminggu 3x, kini bisa 1x atau bahkan sebulan hanya 3x. Hesti berharap mertuanya tak menyadari dan mau mengerti kalau sekarang kehidupannya tak mau diusik, tak perlu diberi banyak nasihat karena biarlah ia berdua dengan putranya tangguh menjalani.

Di sisi lain, Hesti sebagai seorang ibu berumur 37 tahun memiliki tanggung jawab yang amat besar mengasuh Rendi. Semenjak berusia 6 tahun, Rendi ditinggal mati bapaknya. Hesti pelan-pelan membesarkan buah hatinya kendati cukup kewalahan dan untungnya saja pihak keluarganya mau membantu, tanpa banyak berkomentar pula. Akan tetapi, Hesti kerepotan kalau sudah Rendi mengalami mimpi buruk. Anak itu mendadak seperti kesurupan. Ia mengigau dan tubuhnya bergoncang dalam keadaan tak sadar. Kalau sudah begitu, Hesti sampai-sampai harus mengambil segelas air dan membacakan komat-kamit doa sebelum diusapkan ke wajah Rendi dan menyipratkannyabke seluruh tubuh Rendi. Situasi seperti itu cukup sering sehingga Hesti harus menemui ‘orang pintar’

Menurut Ki Sabro, ‘orang pintar’ rujukan dari mertuanya, kondisi yang dialami Rendi akibat ulah ayahnya di masa lalu. Ketika ditanya ulah macam apa, jelasnya Ki Sabro mengatakan bahwa suami Hesti pernah melakukan ritual klenik yang berdampak kepada Rendi. Ki Sabro belum bisa menjelaskan secara rinci ia perlu melakukan semedi dalam beberapa hari. Sayangnya, Ki Sabro menghilang sebelum memberi tahu. Mau tak mau Hesti tetap rutin menangani kondisi Rendi yang seperti itu. Tak lama kemudian, ia didatangi mimpi buruk yang menguatkannya untuk mencoba mencari tahu perbuatan macam apa yang dilakukan suaminya di masa lalu.

“Kamu masih suka ngimpi?”

“Sesekali”
“Kalau mamah?”

“Gak sesering kamu”
“Benerin tuh maskernya..”

“Iyaa”
“Kira-kira apa yang terjadi sama kita ya, Mah?”, tanya Rendi setibanya di depan rumah warisan Ayahnya.
“Apa karena rumah kita ini berhantu?

“Enggak! Kamu jangan berpikir ngawur”
“Kamu waktu nginep di rumahnya Haris aja mimpinya ikut kebawa kan?”

“Iya sih”

“Yasudah, Kamu lekas mandi, habis itu beresin kamar kamu”
“Mama mau masak”

“Mama ngantor hari ini?”

“Iya, berangkat agak siangan”, jawab Hesti seraya menutup pintu rumah. Ia cukup senang karena akhir akhir ini Rendi lebih sering sekolah dari rumah karena pandemi yang mengintai daerah rumah mereka.

Kemudian Hesti masuk ke kamarnya. Ia melepas jaket dan berganti pakaian. Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari kantong jaketnya.

“Harus aku apakan ya pemberian ibu”, pikir Hesti baru saja menerima jimat yang terbungkus kain rapat-rapat. Benda itu diberikan oleh ibu mertuanya dan dijelaskan langsung bahwa Hesti harus menyimpan jimat itu supaya mimpi buruk yang dialami Hesti dan Rendi segera pergi. Mulanya Hesti diliputi keraguan. Demi mimpi buruk tak terulang, Kemudian Ia mantap menyimpan benda yang terbungkus kain hitam itu di balik kasur tempat tidurnya.

“Maaa! Mama!!”

“Iyaa! Kenapa?!”, Hesti terkejut mendengar teriakan Rendi. Putranya lalu tergesa masuk ke kamarnya.

“Eyang putri pingsan”

“Hah?! Eyang putri pingsan?! Perasaan baik-baik saja tadi”

“Yuk kita ke sana sekarang Maaah!”

“Hemm, iyaa”

Dengan baju berbeda, terpaksa Hesti mengenakan jaketnya yang sama. Ia harus kembali ke rumah mertuanya. Sungguh tak diinginkan, tetapi apa boleh buat mertua perempuannya jatuh pingsan entah mengapa, Hesti dan Rendi tak ada jalan lain kecuali lekas menolong.

~π~​

“Kan eyang sudah bilang, Rendi jangan buru-buru pulang, eyang putri lagi gak enak badan”

“Maafin Rendi, Eyang”
“Rendi ikut kata mama aja tadi”

“Kamu juga Hesti, ibu mertuamu ini sudah sakit-sakitan”
“Kamu kurang peka sekali”
“Asal perlumu saja kemari”

“Iya Maaf, Hesti tadi buru-buru pulang karena harus berangkat ngantor, pak”

“Kalau sudah begini, apa iya kamu masih paksakan berangkat kerja?!”
“Kalau eyang kung masih gesit, ndak perlu manggil kalian sering-sering kemari, Rendi”, ucap Jiwo (63 tahun), rambut keperakannya tersisa menyisir bagian kanan dan kiri kepala. Kening keriput terbasahi oleh peluh karena mondar mandir kepanikan menghubungi sanak saudara terdekat untuk membantu.

“Berdebatnya nanti saja, Yah.
“Sekarang kita bawa Ibu ke rumah sakit”

“Permisi! Mbah! Mbah! Ini udah kubawa orangnya!”, teriak seorang lelaki dari depan pagar rumah mertua Hesti.

“Rendi, coba lihat siapa di luar”

“Iya”, Rendi lekas keluar dari kamar neneknya. Ia menuju teras dan memandangi dari jendela sepasang laki-laki. Lelaki yang satu berkaca mata hitam memakai kopiah cokelat dan kemeja garis-garis, selang seling warna coklat dan krem. Di sebelahnya seorang lelaki dewasa berambut ikal yang tak dikenalinya juga mengenakan kaos biru donker.

“Kakeknya ada, dek?”

“Iya, Mas dari mana?”

“Saya Pardi (45 tahun), ini kakek saya (Pardi menyentuh bahu kakeknya)”
“Kakeknya adek ada di dalam?”

“Keperluannya apa?”

“Barusan banget, ada telepon dari kakek, katanya istrinya pingsan”
“Saya diminta bawa kakek saya ini ke sini”

“Ada Mas, sebentar ya”, Rendi segera menghampiri kakeknya. Ia terheran-heran mengapa neneknya pingsan justru kakeknya malah memanggil tukang pijat bukannya ambulans, dokter, atau perawat. Rendi tersenyum heran. Ketika menyampaikan siapa yang datang kepada kakeknya, Kakeknya buru-buru keluar.

“Hayo masuk-masuk!”

“Terima kasih Mbah”

“Sakit istrimu kali ini bukan main-main, Wo”, tutur seorang laki-laki tua buta. Ia berjalan pelan sembari mengenakan tongkat dan diarahkan masuk ke dalam rumah. Pardi yang menuntunnya.

“Apalagi yang harus aku lakukan, rasa-rasanya pengaruh iblis itu sudah hilang”
“Masa iya muncul kembali”

“Jangan kamu kira ia bisa hilang begitu saja”

“Lalu?”

“Apakah kau lupa pencurian pusaka itu karena ulah istrimu, dan dia sudah jelas akan menerima kutukan, termasuk keturunanmu!”

“Sudah! cukup! bualanmu tak pernah masuk akal”
“Selalu saja mengungkit hal itu”

“Kalau saja kau dengar nasihatku dulu, mungkin putramu tak akan mati karena kutukan pusaka yang dicuri istrimu”

“Hati-hati bicaramu!”
“Berhenti kau mengarang-ngarang!”
“Lebih baik sekarang, tolong kau bantu menyadarkan Ningsih”

Hesti kebingungan melihat kehadiran lelaki berkumis dan berjanggut putih yang berada di samping ayah mertuanya. Percakapan mereka sengit. Ia berusaha menyingkir dan merangkul Rendi keluar dari kamar. Keduanya sekadar mengamati dari jauh apa yang akan dilakukan oleh orang yang baru datang itu.

“Dukun ya Mah?”

“Mama enggak tahu juga, itulah eyangmu, suka percaya hal-hal yang berbau mistis”

“Mama gak percaya?”

“Bukannya enggak, tapi untuk kondisi saat ini, eyang putri sebaiknya ditangani dokter”. Rendi yang penasaran malah berusaha mendekat, Hesti tak mampu mencegah keingintahuan putranya. “Rendi! Jangan ke sana!”

Rendi berdiri mendekati kakeknya. Ia melihat tangan neneknya digenggam oleh lelaki yang ia kira sebagai tukang pijat buta. Lelaki itu duduk di sisi ranjang, menunduk seakan memikirkan sesuatu. Rendi tak paham. Ia lalu memeluk tangan kakeknya dengan ketakutan. Ia melirik sebujur badan neneknya yang mendadak menggetar kaku. Apakah separah itu penyakit neneknya. Apakah neneknya terkena guna-guna seperti apa yang ia sedikit ketahui soal dukun dan ilmu santet dari tontonan televisi.

“Ibumu, Nak!”
“Bawa pergi jauh-jauh dari sini”, lelaki buta itu melontarkan kata dari mulutnya. Rendi menduga lelaki itu bicara padanya.

“Kamu ngomong apa? Ada apa sebetulnya?”, tanya Jiwo meminta Rendi berdiri di belakang.

“Menantumu itu, Wo. Sebaiknya tidak di sini, ia bisa jadi malapetaka buatmu atau sebaliknya”

“Malapetaka apa?! Kau jangan suka ngawur bicara, segera kau sembuhkan saja saja istriku”

“Kali ini aku benar-benar serius bicara padamu, percayalah ucapanku”
“Atau malapetaka akan mengintai keluargamu lagi!”
“Bawa perempuan itu pergi dari sini!!!”, Lelaki buta itu mengencangkan suaranya seraya menunjuk ke arah Hesti.

“Ada apa Mbah?! Ada apa?!”, Pardi muncul sambil mengenggam segelas air. Ia baru saja diutus ke dapur, membuat ramuan yang telah diracik khusus oleh kakeknya.

“Gimana, eyang? Rendi harus bagaimana sama mama?”, tanya Rendi menarik-narik baju Kakeknya.

“Tenang, ada eyang kung di sini. Rendi gak perlu takut”
“Rendi mau kan tetep nemenin eyang uti?”

“Henghh…”, Rendi menengok cemas ke arah Mamanya yang tak memberi pesan apapun dari wajahnya. Ia sontak hanya mengangguk percaya kepada kakeknya.

Sebaliknya Hesti tak mengerti arti tatapan Rendi. Malahan ia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Larut pusing pikiran membuatnya bergegas pergi. Ia memilih duduk bersandar di bangku ruang tamu rumah mertuanya, menunggu jawaban dan kepulihan yang dinanti-nanti.

“Aku mohon kau dengarkan kata-kataku, Wo! tolong dengarkan!”
“Jangan kau keras kepala!”
“Kau masih sayang dengan cucumu kan?!”

“Tolong Mbah! Percayalah!”, Pardi turut membujuk Mbah Jiwo agar menuruti nasihat kakeknya.

“Arghhhh! Aku tetap tak percaya!”
“Omong kosong kau!”
“Aku tetap ingin cucu dan menantuku bertahan di sini!”

“Mbah?!!!”

“Jadi bagaimana dengan istriku? Fokus saja dengan dia!”

Pardi membantu kakeknya berdiri. Gelas berisi jamu racikan itu diletakkan di lantai. Pardi mena Laki-laki tua buta itu membetulkan kopiahnya yang miring, “bagaimana bisa aku membantu kau, Wo”
“Sementara kau saja tak percaya dengan ucapanku”
“Kau lebih penting pikir baik-baik peringatanku tadi”
“Selama kau berpendirian sama, selama itu aku juga tak bisa membantumu”

“Mbah, ayolah?!!”

“Sudah, Pardi, lebih baik kita pergi”
“Biarkan orang tua ini banyak intropeksi”

Pardi menggeleng-geleng ke arah Mbah Jiwo. Ia kecewa, sedangkan sudah bersusah payah membantu, tetapi Mbah Jiwo tak mau mendengar. Lelaki beranak dua itu bersama kakeknya terpaksa meninggalkan rumah berpagar hitam tempat Mbah Jiwo tinggal. Bagi Pardi, Mbah Jiwo adalah orang tua keduanya, berbagi nasib soal kehidupan yang kadang merisaukan batin. Mereka menyeduh kopi kala malam, bercerita dunia yang ruwet dan persoalan masyarakat sekitar yang tak henti-henti bergejolak. Pardi kali ini tak menyangka Mbah Jiwo, tak percaya pada dia dan kakeknya. Menurut kakeknya, sebelum kematian putra Mbah Jiwo dahulu, kakeknya juga sudah memberitahukan hal itu. Sayangnya Mbah Jiwo mengelak tak percaya dan hal tersebut sepertinya akan kembali terulang.

Sekarang Pardi hanya berharap, menantu Mbah Jiwo yang mau mendengarkan dan percaya. Kakeknya sempat bertemu sebelum beranjak angkat kaki.

“Cepatlah kau pergi dari sini, bawa anakmu juga”
“Mertuamu ini pembawa petaka!”

~π~​

Sore hari suasana di halaman gedung Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit umum daerah begitu ramai, Rendi jemu memandangi dari luar bersama Mama dan Kakeknya. Mereka bertiga tidak diperkenankan masuk karena situasi pandemi hanya mengizinkan pasien seorang diri saja. Lagipula neneknya Rendi belum sadarkan diri. Perempuan tua itu masih tertahan di ruang ICCU. Dokter belum bisa memberi kabar apapun. Hanya doa dan sabar yang bisa dilakukan Rendi beserta kakek dan mamanya.

“Kalian tak usah pikirkan omongan orang gendeng tadi ya”

“Siapa sih tadi, Pak? Enggak kenal, tapi gertak aku tiba-tiba”

“Ya namanya orang gendeng, hehehe”
“Maklumi saja”

“Tapi bukannya bapak yang menyuruh?”

“Hoh itu, aku menyuruh si Pardi, orang sini, anak si bapak tua tadi itu, mencari tabib, eh dia malah bawa dukun kemari”

“Bapak kayaknya kenal dekat dengan mereka ya”

“Ah, hanya kenal dalam bermasyarakat”
“Bapak juga baru tahu kalau bapaknya si Pardi itu dukun gendeng”

“Emmm begitu”

“Pesan kakek-kakek itu jadinya gak usah didengerin ya, eyang kung?”, tanya Rendi terbawa pikiran.

“Iya, jangan dipikirin yah, cucu eyang mending sekarang jajan, eyang kung beliin gimana?”

“Wah asyik ini dong! Mau banget!”

“Inih uangnya”
“Hati-hati, tahu kan Minimarketnya di mana?”

“Tahu eyang kung, itu kelihatan dari sini”, Rendi menunjuk ke arah timur.

“Mau ditemenin?”

“Enggak usah, kayak aku masih anak kecil aja”

“Hahahah”, Jiwo tertawa kompak bersama menantunya.

Sehabis Rendi berangkat menuju minimarket, Hesti mencoba bertanya perihal jimat yang diberikan ibu mertuanya. Bapak mertua Hesti mengatakan dia baru tahu dan tak paham juga maksud di balik benda pemberian istrinya ke Hesti. Ia malah menyarankan agar benda itu dibuang saja. Mengenai mimpi buruk yang kerap dialami Rendi, Bapak mertuanya menenangkan bahwa itu sekadar mimpi belaka, bukan hal yang perlu dianggap serius. Hesti tak terima. Ia berusaha keras menerangkan kalau mimpi Rendi itu bukan bunga tidur biasa, seakan terkandung pesan tersurat atau tersirat karena terjadi lebih dari satu atau 3x.

“Bapak pikir untuk masalah itu, kamu perlu menyampaikannya kepada orang yang tepat”
“Bukan tak percaya, aku ini tak begitu paham hal-hal yang berbau misteri atau makhluk halus”

“Iya baik, pak, tak apa-apa”
“Hesti mengerti”

“Yang sabar yaa…”
“Oh iya, aku pamit pulang dulu ke rumah, ada berkas administrasi ibu yang perlu dilengkapi”, Jiwo bangkit berdiri.

“Apa itu pak?”

“Dompet ibu, bapak lupa mengambilnya, di situ lengkap kartu identitas dan kartu berobatnya”
“Kamu di sini dulu ya, kalau ada apa apa, tolong hubungi bapak”

“Baik”

Sampai jumpai di bagian berikutnya…