Eliza 2 (remake): Solusi Nikmat di Rumah
Eliza
Hari ini, di luar kebiasaanku, aku bangun agak telat, sekitar jam setengah delapan pagi. Itu pun karena sinar matahari yang terang menerpaku dari kaca jendela, yang salah satu gordennya lupa kututup tadi malam.
Mungkin karena aku kecapaian setelah kemarin aku dipaksa ‘berolahraga’ di ruang UKS sampai malam oleh enam orang itu hingga aku orgasme berkali kali.
Saat ini rumahku pasti sedang sepi, tinggal Siti dan Sulikah, dua pembantu wanita di rumahku yang berumur sekitar dua puluh tahun. Juga dua pembantu laki laki di rumahku, Suwito yang berumur dua puluh lima tahun dan Wawan yang berumur dua puluh empat tahun. Dan ada pak Arifin yang berumur empat puluh lima tahun, sopir yang setia mengantarku sejak aku masih di sekolah di sekolah dasar.
Papa dan mamaku masih berada di luar negeri. Dan aku ingat, kakakku menginap di rumah temannya, mengerjakan tugas kelompok kuliahnya yang harus menggunakan komputer. Juga aku baru ingat, Siti sedang pulang kampung, untuk mengurus KTPnya yang sudah hampir habis masa berlakunya.
Dengan malas aku bangkit menuju kamar mandi, menyalakan shower dan mandi sambil mengingat ingat kejadian gila yang menimpaku kemarin, membuatku tersenyum malu saat aku menyikat gigiku. Setelah selesai aku mengeringkan tubuhku dan mengenakan baju yang akan kupakai ke gereja nanti, tapi aku hanya mengenakan celana pendek yang santai karena aku masih harus makan pagi.
Karena bangun kesiangan, aku yang biasanya ke gereja jam delapan pagi, hari ini terpaksa harus datang ke sesi jam setengah sepuluh nanti, karena sekarang sudah jam 8 lebih. Masih ada waktu sekitar satu jam buatku sebelum pergi. Setelah itu, jadwal kegiatanku adalah les balet di sekolah balet ******* jam 5 nanti, dan aku harus berangkat setengah jam sebelumnya.
Demikian rutinitas kegiatanku tiap minggu. Kadang memang di siang hari setelah pulang gereja, aku jalan jalan ke mall, tapi hari ini rasanya aku amat lelah dan malas keluar. Aku memutuskan untuk istirahat saja sepulang gereja sampai saat ke sekolah balet nanti.
Selain itu selangkanganku masih agak ngilu setelah kemarin aku diperkosa ramai ramai oleh enam orang di ruang UKS sekitar dua jam lamanya.
Setelah merapikan penampilanku dengan menyisir rambutku supaya tak awut awutan, aku keluar ke ruang makan. Setelah mengambil nasi dan lauk yang ada, aku berniat membuat susu kesukaanku, tapi aku lihat toples gula di pinggir bufet kosong. Jadi aku ke dapur sebentar untuk mengambil gula.
Tetapi ketika aku baru masuk selangkah ke dalam dapur di rumahku ini, aku disuguhi sebuah pemandangan yang membuat jantungku berdegup kencang.
Sulikah yang menurutku memang berwajah cantik ini sedang mencuci peralatan masak, dan gilanya ia sedang pasrah disetubuhi dari belakang oleh Wawan yang menurutku tampangnya amburadul dengan ganas.
Pakaian yang dikenakan Sulikah sudah tersibak tak karuan. Tubuhnya yang mungil seukuran denganku terlihat mengejang sexy setiap penis Wawan menyodok vaginanya dalam dalam.
Mereka mendesah bersahut sahutan, tanpa menyadari keberadaanku kini yang terpaku melihat adegan itu. Tepat saat Wawan berorgasme, tiba tiba Suwito masuk dari pintu belakang, gilanya, dengan telanjang bulat, membuatku memekik kaget.
Hal ini menyebabkan Sulikah dan Wawan menoleh ke arahku dengan wajah seperti orang yang baru melihat setan, dan mereka segera saling melepaskan diri dari persetubuhan yang amat hot itu. Mereka terlihat gugup dan bingung.
“Lho…. Non Eliza… kok belum… berangkat ke gereja?”, tanya Suwito yang kelihatan panik itu dengan tergagap gagap.
“Iya, saya tadi bangunnya kesiangan. Maaf mengganggu, saya cuma mau ambil gula di dapur”, aku menjawab pertanyaan Suwito.
Mereka masih diam tertunduk saat aku mengambil gula di rak dapur, dan aku bergegas kembali ke meja makan dengan berusaha tak memikirkan hal yang baru saja terjadi. Waktu jadi terasa berjalan lambat ketika aku sarapan pagi, dan setelah selesai aku berniat kembali ke kamarku.
Aku berdiri dari kursi, tapi baru aku akan melangkah, tiba tiba Sulikah, Wawan dan Suwito muncul dan menghadapku dengan takut takut.
“Non Eliza, kami minta maaf. Tolong jangan bilang ke orang tua non atau kakak non ya.. kami tak tahu harus gimana kalau sampai kami dipecat”, kata Wawan mewakili mereka.
Aku terdiam beberapa saat. Melihat mereka semua begitu tegang, aku merasa iba.
“Kalian tenang saja. Saya memang nggak ada niat sama sekali untuk melaporkan hal tadi. Cuma saya pesan, lain kali kalian hati hati ya, jangan kelihatan kakak saya, apalagi orang tua saya. Nanti urusannya bisa panjang”, kataku sambil tersenyum.
Aku memang tak ada niatan sedikitpun untuk melaporkan hal ini pada siapapun. Mereka terlihat begitu lega dan mengucap terima kasih berulang ulang. Lalu setelah semuanya tenang kutinggalkan mereka kembali ke kamarku.
Sampai di dalam kamar, teringat apa yang mereka perbuat tadi membuat aku kembali membayangkan saat saat aku dibantai kemarin, membuat nafasku sedikit memburu karena tiba tiba saja gairahku naik.
Aku mulai melamun tentang keadaanku. Aku masih belum punya pacar. Memang ada banyak cowok di sekolahku yang mendekatiku, tapi semuanya kutolak dengan halus, karena berulang kali ortuku mewanti wanti aku supaya tidak pacaran waktu masih sekolah.
Walau begitu, aku sebenarnya tertarik pada seorang siswa seangkatanku yang bernama Andy. Tapi, kini aku sudah tidak perawan lagi, satu satunya yang sedikit aku sesali setelah diperkosa enam lelaki kemarin itu, dan membuatku murung membayangkan bagaimana pandangan Andy terhadap diriku kelak kalau dia tahu aku ini sudah tidak perawan lagi.
Jam dinding di kamarku berbunyi, menunjukkan pukul sembilan tepat. Saatnya aku berangkat nih. Aku segera bangkit dan mengganti celana pendek ini dengan rok yang pantas, lalu aku turun menuju garasi.
“Non mau saya antar ke mana?”, tanya pak Arifin seperti biasa.
Ia lupa kalau aku sudah bisa membawa mobil sendiri, tapi kali ini aku pikir ada baiknya juga kalo aku tidak menyetir sendiri. Rasa pegal pegal pada tubuhku masih belum hilang seluruhnya, padahal nanti sore masih ada balet.
“Ke gereja ******** pak”, kataku.
Ia membukakan pintu belakang mobil yang biasa dipakainya untuk mengantarku. Sepanjang perjalanan, aku hanya melamun, membayangkan apa yang kira kira terjadi sekarang. Apakah Sulikah kembali ngeseks dengan Wawan dan Suwito? Tapi aku berusaha melupakan semua itu. Kan ngaco kalau aku nanti malah sibuk memikirkan tentang mereka selagi aku mengikuti kebaktian di gereja?
II. Peristiwa Aneh
Tak terasa, aku sudah sampai di gereja. Setelah melakukan kebaktian rutin yang lamanya sekitar satu setengah jam dengan pikiran yang melayang kemana mana, aku segera pulang.
Di dalam mobil, aku yang sejak di dalam gereja tadi sudah mulai mengantuk, kini kantukku semakin menjadi, sehingga aku tertidur di kursi belakang mobil. Entah apa yang terjadi, saat aku bangun aku sudah di ranjang kamar tidurku, membuatku tersentak kaget. Aku memeriksa keadaanku, yah, bajuku masih lengkap, bra dan celana dalamku masih melekat dengan baik.
Tapi celana dalamku rasanya amat basah, kelihatannya oleh cairan cintaku sendiri. Bajuku juga kusut sekali. Sialan, siapa ya yang mempermainkan tubuhku selagi aku tidur? Dan ketika aku berdiri, kedua betisku terasa pegal seperti kemarin. Duh, padahal sore ini aku harus latihan balet.
Jam menunjukkan pukul dua siang. Berarti aku tidur sekitar tiga jam. Mengingat aku tadi diantar pulang pak Arifin, kecurigaanku mengarah kepadanya. Hmm sialan tuh orang, tega teganya cari kesempatan dalam kesempitan padaku.
Dengan sedikit kesal aku turun mencarinya. Tapi aku menghentikan langkahku dan berpikir. Bagaimana kalo pak Arifin menanyakan apa bukti kalo tadi itu perbuatan dia?
Aku sadar kalau tak ada bukti yang bisa kupakai untuk menuduh pak Arifin. Akhirnya aku memutuskan untuk mendiamkan hal ini, dan aku pun ke ruang makan karena aku sudah merasa lapar.
Di meja makan terlihat sudah ada masakan untukku, pasti Sulikah yang masak. Masakannya memang selalu lumayan enak sesuai dengan seleraku, membuatku makan sedikit lebih banyak dari biasanya. Dan seperti biasa aku selalu minum susu, tapi kali ini tanpa gula karena aku takut menjadi gemuk.
Selagi makan, aku mendapat ide. Nanti aku minta pak Arifin mengantarku ke tempat sekolah baletku. Dan pulangnya nanti aku akan pura pura tertidur. Dengan demikian orang yang tadi berbuat iseng padaku itu pasti akan tergoda untuk melakukan hal yang sama.
Aku tersenyum senang karena merasa dengan begitu aku bisa menemukan pelakunya. Selesai makan aku kembali ke kamarku dan menyetel musik kesukaanku. Lalu aku memutuskan untuk mandi busa supaya tubuhku lebih santai dan segar.
Selesai aku puas mandi memanjakan tubuhku, jam menunjukkan pukul 4 sore. Wah, setengah jam lagi harus berangkat nih. Aku pun mengeringkan tubuhku dan rambutku yang panjang ini kusisir rapi dan kubiarkan tergerai begitu saja.
Aku mengenakan kostum baletku setelah memakai bra dan celana dalam ketat yang berwarna putih serta stocking ketat model jaring berwarna hitam. Walaupun terdengar narsis, tapi aku yakin kalau aku terlihat amat sexy dan menggairahkan jika memakainya.
Lalu aku mengenakan blus terusan berwarna biru, jadi nanti di sana aku tak perlu ganti lagi di ruang ganti, tinggal melepas blus biru yang cukup ketat ini dan hanya mengganti sepatuku yang kupakai sekarang dengan sepatu balet. Setelah selesai aku segera menuju garasi, dan seperti yang aku harapkan, pak Arifin seperti biasa menunggu di samping mobil yang tadi itu.
“Pak, tolong ke sekolah balet *******”, aku meminta tolong pada pak Arifin untuk mengantarku.
Dan setelah membuka pintu mobil untukku, ia segera melajukan mobil ini ke tempat tujuan. Aku memperhatikan pandangan matanya, kalau kalau ia mencuri pandang ke arah tubuhku. Namun tak kutemukan tanda tanda itu sampai akhirnya kami sampai ke tujuan.
Aku mengangkat bahu, dan kemudian masuk ke dalam sekolah baletku seperti biasa, untuk berlatih tari balet. Kami akan show di akhir tahun nanti, dan aku adalah penari utamanya, mungkin selain wajahku yang cantik dan tubuhku yang indah, aku juga dinilai oleh guru balet kami sebagai yang paling lentur dan indah gerakannya.
Namun hari itu, aku hampir tak bisa menunjukkan performa terbaikku, selain karena pikiranku yang melayang, tubuhku juga tak mau diajak kompromi, terutama selangkanganku yang masih terasa sedikit ngilu dan betisku yang terasa pegal pegal.
Akibatnya hari itu aku lumayan bad mood, dan berlatih ala kadarnya. Untung saja, guru balet kami merasa itu sudah cukup, dan setelah jam latihan selesai, aku segera pulang.
Dan seperti yang sudah kurencanakan tadi, aku di mobil pura pura mengeluh.
“Aduh.. hari ini kenapa ya.. dari tadi ngantuk terus…”, kataku seperti sedang mengguman pada diri sendiri, namun aku yakin cukup keras untuk terdengar oleh pak Arifin.
Lalu untuk lebih meyakinkan, aku menguap berulang kali seperti tadi siang, dan pura pura bersandar tertidur. Aku benar benar penasaran, siapa pelaku misterius yang tadi siang merangsang tubuhku ketika aku tidur.
Akhirnya kami sampai di rumah. Aku membuka mata sedikit untuk memastikan, kemudian aku kembali memejamkan mata dan berusaha bersikap sewajarnya seperti orang tidur. Setelah mobil ini masuk garasi, pak Arifin memanggil Sulikah, yang segera datang, membantu mengangkatku ke atas, karena kamarku memang di lantai dua.
“Lho pak, ketiduran lagi seperti tadi siang?”, aku mendengar suara Wawan dan Suwito yang bertanya pada pak Arifin.
“Iya, rupanya kecapaian nih non Eliza setelah berlatih balet”, kata pak Arifin.
Setelah aku rasakan tubuhku terbaring di ranjang, jantungku makin berdebar, menunggu apa yang akan terjadi.
“Ya sudah, ayo kita turun”, kata Sulikah setelah menyelimutiku.
III. Maksud Hati Menangkap Basah
Mereka semua keluar dari kamarku, meninggalkanku yang semakin bingung dan penasaran. Namun naluriku berkata, aku harus tetap pura pura tertidur untuk menangkap basah pelakunya.
Dan ternyata dugaanku tepat sekali, karena beberapa menit kemudian pintu kamarku kembali terbuka dengan suara yang sangat pelan.
Namun aku bisa mendengarnya, karena aku memang tidak tidur.
Dengan jantung berdebar aku menunggu untuk mengetahui siapa yang akan akan berbuat iseng padaku ini. Aku sedikit membuka mataku dengan amat hati hati, dan segera memejamkan mataku lagi dengan jantung berdebar keras.
Ya ampun, aku melihat Wawan dan Suwito berjalan mengendap endap ke arahku yang sedang pura pura tergolek di ranjang ini.
Berarti mereka berdua inilah pelakunya!
Kurang ajar betul mereka ini, sudah untung aku tadi pagi cuek dengan kelakuan mereka terhadap Sulikah, tapi kini mereka malah ngelunjak, hendak mengisengi nona majikan mereka ini. Sementara kudengar di bawah, Sulikah dan pak Arifin sedang bercanda, terdengar dari tawa Sulikah yang renyah, membuatku menduga duga, apakah Sulikah juga ada main dengan pak Arifin.
Tapi, tak ada waktu untuk memikirkan orang lain, karena tubuhku sekarang ini sedang dijahili kedua pembantuku ini. Kurasakan mereka menyingkap selimutku, kemudian mulai meremasi payudaraku, membuatku hampir tak tahan untuk mendesah.
Aku bertahan berpura pura tidur, selain takut mereka akan berbuat yang lebih jauh padaku jika aku `terbangun’, aku berharap mereka akan menghentikan aktivitas mereka setelah membuat cairan cintaku membanjir keluar, seperti tadi siang.
Mereka terus meremasi payudaraku dan nafas mereka semakin memburu, tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Aku sendiri berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik, dengan cara membayangkan wajah orang yang sangat jelek.
Celakanya, mereka melanjutkan remasan di payudaraku dengan rabaan pada perutku, kemudian dengan nakal mereka bergantian menekan nekan vaginaku yang masih tertutup 4 lapis pakaian, celana dalam, stocking, gaun baletku serta blus biru terusan yang sampai ke lutut.
Lalu mereka mulai berusaha menarik blusku sampai ke pinggangku. Agak kesulitan juga mereka, karena blusku yang memang agak ketat, juga posisiku yang tiduran. Kemudian gaun baletku juga mereka singkapkan, sehingga pertahanan vaginaku tinggal stocking dan celana dalamku.
Dalam hati aku berkata, awas saja kalau mereka berani menyobek stockingku, gaji mereka akan kupotong! Stockingku ini mahal harganya, dan aku cuma punya sedikit.
Tiba tiba aku mengejang, menahan geli saat vaginaku kembali ditekan tekan. Kini tekanan itu lebih terasa, karena tinggal stocking dan celana dalam ketat saja yang melindungi vaginaku dari tangan jahil mereka.
“Wan, gimana nih, kali ini ribet nih pakaian si non ini. Apa jangan jangan ia tahu akan dikerjain lagi?”, aku mendengar Suwito bertanya pada Wawan,
“Aku rasa nggak mungkin To. Kalo nona kita ini tahu tadi ada yang ngerjain dia, pasti dia marah. Tenang saja To, gula yang non Eliza ambil tadi itu kan gula buat aku, yang sudah aku campurin obat tidur dosis tinggi. Tahu kan aku susah tidur, dan suka minum yang manis?”, kata Wawan pelan, dan membuatku seperti teringat sesuatu, tapi pikiranku sedang kacau karena saat ini tubuhku dalam keadaan terangsang.
“Tapi nona kita yang ayu ini lagi sial kali. Sesuai kebiasaannya, non Eliza ini kan suka minum susu. Dan gula yang dicampur di susunya tadi sore itu pasti membuat dia sekarang masih dalam pengaruh obat tidur seperti tadi siang. Dan, sekarang waktunya non Eliza untuk menyusui kita berdua nih”, kata Wawan lagi sambil tertawa kecil.
Ia mengatakan semua itu dengan gaya sok yakin sambil meremas payudaraku dengan keras, membuat aku sedikit mengerutkan mukaku menahan sakit.
Hmm, untung aku tadi minum susu tanpa gula sebelum balet. Ternyata kantukku tadi siang yang sudah kuduga tidak sewajarnya ini, gara gara gula yang bercampur obat tidur itu.
Sekarang keputusan ada di tanganku. Aku bangun untuk menghentikan kekurang ajaran mereka berdua ini, atau meneruskan aksi pura pura tidurku sampai mereka puas.
Setelah berpikir sambil menahan gairahku yang semakin naik, aku putuskan aku harus bangun, tanpa memberitahukan kalau tadi aku minum susu tanpa gula. Aku pikir jika gairahku sudah tak tertahankan dan aku mulai melenguh, gawat juga.
Maka perlahan aku menggeliat pura pura akan terbangun, berharap mereka terkejut dan memutuskan untuk kabur supaya tak ketahuan olehku.
Tapi mereka masih dengan penuh percaya diri menganggap aksi mereka aman aman saja karena aku masih dalam pengaruh obat tidur, meneruskan aktifitas mereka meraba raba dan menekan nekan daerah bibir vaginaku serta meremasi payudaraku.
Kelihatannya tak ada pilihan lain, aku harus bangun dan `memergoki’ mereka menjahiliku.
“Oh… siapa kalian… apa yang kalian lakukan di kamarku? Kalian… emmph… emmmph…”, kata kataku terputus, karena baru saja aku pura pura bangun, Wawan yang panik membekap mulutku dengan telapak tangannya yang lebar.
Sementara itu Suwito yang juga terlihat panik memandangiku dan Wawan bergantian.
“To! Goblok! Bantu aku cepat!!”, Wawan membentak dengan suara pelan pada Suwito.
“Bantu apanya Wan?”, tanya Suwito yang juga terlihat bingung.
“Cepat ambil tali jemuran di luar! Kita harus mengikat non Eliza! Lu mau kita celaka?” bentak Wawan lagi walaupun suaranya dipelankan, pasti karena ia takut kedengaran Sulikah dan pak Arifin.
Suwito cepat cepat keluar mengambil tali jemuran, kemudian segera kembali. Aku yang mulai meronta ronta menyadari bahaya ini, tak mampu berbuat banyak karena tubuhku ditindih oleh Wawan yang memang badannya besar sekali hingga aku tak berkutik.
Aku ingin menjerit untuk meminta tolong pak Arifin, tapi bekapan tangan Wawan pada mulutku ini terlalu kuat. Dan tiba tiba aku sadar, iya kalau pak Arifin nantinya menolongku? Salah salah pak Arifin malah bergabung dan ikut memperkosaku bersama mereka.
Bau keringat Wawan membuatku mual, mengendurkan rontaan kakiku dan memudahkan Suwito merentangkan kakiku lalu mengikat kedua pergelangan kakiku pada ujung ujung ranjangku.
Kemudian tangan kananku ditariknya kuat dan diikat ke ujung kanan ranjang. Aku sudah hampir tak berdaya, tangan kiriku menggapai gapai namun segera ditangkap oleh Suwito. Dan seperti tangan kananku, tangan kiriku juga ditarik dan diikat erat di ujung kepala ranjangku satunya.
Kini keadaanku sudah mirip seperti saat pertama aku ditangkap di UKS kemarin. Tubuhku terikat di atas ranjang membentuk huruf X, dan aku tinggal menunggu ditelanjangi lalu diperkosa berkali kali.
Bedanya, kini mereka cuma berdua, dan aku masih menebak nebak, ancaman apa yang akan mereka turunkan padaku.
IV. Awal Perbudakan Diriku
Dengan cekatan Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku, tapi ia langsung menyumpal mulutku dengan segumpal kain, entah kain apa.
Aduh, rasanya benar benar tak karuan, membuatku ingin muntah, tapi kutahan sekuatnya. Kini aku hanya bisa menatap Wawan penuh kemarahan namun juga ada rasa takut yang menghinggapiku ketika ia mengancamku.
“Non Eliza, jangan memaksa kami untuk melakukan hal yang tidak tidak. Kalo non Eliza berteriak hingga mengundang Sulikah dan pak Arifin ke sini, kami bisa membuat mereka berdua pingsan, lalu menculik non dan menjadikan non budak seks kami untuk selamanya. Non Eliza mengerti?” bentak Wawan, lagi lagi dengan suara pelan.
Dengan pasrah aku mengangguk. Kemudian Wawan dengan kasar melepaskan sumpalan pada mulutku, membuatku terbatuk batuk dan tadi itu hampir saja bibirku yang bawah terluka karena terhantam gigiku sendiri.
“Duh Wan, jangan kasar dong”, aku sedikit membentak karena jengkel sekali.
Bahkan seingatku sebelum ini aku tak pernah membentak para pembantuku ini.
“Kalian ini kurang ajar betul ya. Aku ini sudah berbaik hati tidak akan memperpanjang masalah kalian berbuat mesum di dalam rumah ini, tapi sekarang kalian malah berbuat mesum terhadapku. Apa sih mau kalian?”, aku setengah berteriak karena dadaku rasanya sesak sangking kesalnya.
Wawan dan Suwito saling pandang, kemudian mereka menunduk.
Aku tahu dengan keadaan terikat seperti ini, kecil sekali harapanku untuk lolos dari perkosaan oleh dua orang ini. Begitu juga untuk hari hari berikutnya, mereka pasti akan mencari kesempatan untuk memaksaku melayani nafsu bejat mereka.
Maka aku berpikir mungkin lebih baik kalau aku mencari solusi di rumah dengan membiarkan mereka memperkosaku tapi dengan beberapa syarat.
“Ya sudah, mulai hari ini kalian bisa menikmati tubuhku kalau di rumah tidak ada papa mama dan kakakku, saat aku tidak sedang datang bulan”, aku berkata dengan ketus.
Mereka saling pandang, kemudian seolah tak percaya dengan pendengaran mereka.
“Mulai hari ini?”, mereka bertanya dengan ragu.
“Iya. Mulai hari ini! Kalian ini munafik ya. Aku tau kalian pasti akan berusaha memperkosaku lagi di lain waktu. Daripada nanti kalian mengikatku, membekapku, lalu menyakitiku, lebih baik kalian melakukannya baik baik. Tapi jangan lupa ya, kalian cuma boleh menikmati aku aku sedang senggang, yaitu waktu aku tak ada PR, tugas, maupun ujian. Dan aku ingatkan, kalian jangan kasar kasar sama aku, apalagi sampai melukai aku! Sekarang lepaskan ikatanku. Sangat nggak nyaman tau!”, kataku setengah membentak.
Mereka terlihat ragu ragu.
“Wah gimana ya, kalo non kami lepaskan, apa jaminan…”, kata Wawan dengan tidak yakin.
“Aku janji kalian boleh perlakukan aku sesuka kalian. Toh aku sudah tidak perawan lagi, jadi buatku tidak ada ruginya. Asal kalian juga berjanji, tak akan ada yang main di kompleks pelacuran. Aku nggak mau terkena penyakit kelamin menular. Kalian mengerti? Sekarang cepat, buka ikatan ini. Aku mau mandi dulu!”, aku menurunkan tensi suaraku, capek juga rasanya kalau harus berbicara dengan keras.
Mereka melepaskan ikatanku, dan memandangiku dengan ragu ragu. Dengan kesal aku melucuti setiap helai pakaianku yang menutup tubuhku ini di depan mereka.
“Nih. Kalo gak percaya, perkosa saja aku sekarang!”, tantangku dengan jengkel.
Mereka meneguk ludah melihat tubuh indahku yang terpampang polos di hadapan mereka.
“Baik non, kami percaya. Sekarang bagaimana?”, tanya Wawan setelah saling pandang dengan Suwito dan sama sama mengangguk.
“Aku mau mandi dulu, gerah nih abis latihan balet. Kalian juga, mandi dulu di bawah sana. Baunya nggak enak tau! Oh iya, ajak pak Arifin sekalian, daripada nanti dia mendengar kita sedang ngeseks di sini terus ngomong yang macam macam. Terus minta Sulikah supaya berjaga, kalau kalau kakakku pulang”, kataku pada mereka.
Aku masuk ke kamar mandi, dan menyemprot tubuhku dengan air hangat, mempersiapkan diriku yang akan segera jadi obyek pesta seks ini.
Sebenarnya aku sempat ragu dengan solusi ini. Masa aku tiap hari harus melayani tiga pejantan di rumahku sendiri? Aku bukannya takut hamil karena aku bisa minum obat anti hamil. Tapi entah apa aku kuat kalau aku harus terus menjadi budak seks mereka sepanjang hidupku?
Tapi aku pikir lebih baik aku berkompromi dengan mereka. Seperti yang sudah kukatakan tadi, toh aku sudah tak perawan lagi, dan aku tak ingin tiba tiba disergap, diikat tak karuan, bajuku dirobek robek, lalu aku disakiti dan diperkosa dengan brutal tanpa belas kasihan.
Tiba tiba pintu kamar mandiku terbuka, dan masuklah Suwito, Wawan dan pak Arifin yang sudah telanjang bulat.
“Non Eliza, kita mandi sama sama saja ya”, kata Wawan.
“Aduh, masa sudah segitu tak sabar sih? Ya sudah cepat. Nanti keburu kokoku pulang”, kataku.
Mereka bersorak gembira, lalu mereka segera mengerubutiku dan berebut memandikanku. Kedua tanganku diangkat oleh Wawan yang memang jauh lebih tinggi dariku. Yang lain menyabuni tubuhku dengan penuh semangat, terutama di bagian payudara dan vaginaku.
Aku mendesah pelan setiap daerah daerah sensitif pada tubuhku tersentuh oleh mereka. Dan melihatku seperti itu, pak Arifin dan Suwito malah semakin sering menyentuh kedua puting payudaraku. Sedangkan Wawan jadi sibuk meraba raba bibir vaginaku.
“Kalian… jangan begini… di kamar mandi… ooh… nanti aja…”, aku memprotes di antara desahan dan rintihanku.
Untungnya mereka menghentikan ulah mereka itu, dan setelah selesai menyabuniku, mereka membilas tubuhku sampai bersih. Lalu dengan penuh semangat mereka segera menggiringku ke ranjang untuk segera menikmati tubuhku.
“Tunggu, aku keringkan badanku dulu. Dan kalian, mandi dulu sana! Supaya nggak bau nanti waktu ngeseks sama aku!”, kataku pada mereka.
Mereka menuruti permintaanku, mandi sebersih bersihnya dengan sabunku. Untung saja, sebab aku teringat waktu di UKS kemarin sebenarnya aku tak tahan dengan bau mereka berenam itu, tapi nafsu birahi yang menguasaiku membuatku mampu bertahan.
Dan kini mereka tak lagi berbau tak enak seperti tadi, dan aku yang sudah selesai mencuci mukaku di wastafel kamarku, dan mengeringkan tubuhku, tidur telentang di ranjangku dalam keadaan telanjang bulat.
Aku sempat melihat jam, sekarang ini pukul tujuh malam. Mereka langsung mengeringkan tubuh ala kadarnya, dan menyerbuku yang sudah tersaji polos di atas ranjangku.
Wawan mendapat jatah vaginaku, sementara Suwito dan pak Arifin masing masing mendapat jatah kedua payudaraku. Wawan menjilati bibir vaginaku yang katanya berbau wangi, sementara Suwito dan Pak Arifin menyusu pada kedua payudaraku sambil meremas remas cukup keras.
Dan aku? Tentu saja birahi yang hebat segera melandaku. Aku mengerang, mendesah dan menggeliat keenakan.
Dengan penuh nafsu Wawan terus menjilat bahkan mencucup vaginaku. Perlahan tapi pasti, cairan cinta mulai mengalir membasahi dinding liang vaginaku. Dan aku kembali menggelinjang kegelian ketika semua cairan cintaku yang keluar ini segera diseruput oleh Wawan dengan rakusnya.
Aku terus menggelinjang akibat ulah Wawan ini, dan kedua telapak tanganku kugenggamkan pada sprei ranjangku selagi aku berjuang menahan nikmat yang kurasakan sekarang ini.
Desahan nafasku semakin hebat ketika Wawan menusukkan lidahnya ke dalam vaginaku. Sedangkan pak Arifin dan Suwito semakin bernafsu menyusu ke payudaraku, akhirnya setelah lima menit aku menggeliat dan mengejang, orgasme melandaku.
Walaupun tak sedahsyat kemarin, tapi sudah cukup untuk membuat nafasku tersengal sengal, seluruh tubuhku berkeringat dan terasa semakin lelah, terutama betisku yang terasa semakin pegal, mungkin karena terlalu sering mengejang dua hari ini, reaksi saat orgasme melandaku.
IV. Pesta Seks Yang Nikmat
Kini Wawan sudah mengambil posisi di selangkanganku, membuat aku memperhatikan, penis seperti apa yang akan segera memompa vaginaku ini.
Ternyata penis Wawan tak sebesar dugaanku, paling tak sampai lima belas senti. Mungkin ‘hanya’ sekitar tiga belas atau empat belas senti saja. Dan diameternya pun mungkin hanya sedikit lebih besar dari penis pak Edy, wali kelasku yang aku duga hampir impoten itu.
Aku jadi sedikit tenang dan tidak kuatir mengalami sakit yang berlebihan seperti ketika aku dipompa Girno kemarin. Namun aku sedikit bertanya tanya, apa kenikmatan yang aku dapat hari ini akan setara dengan yang aku dapat kemarin?
“Hei, kalian diam dulu, jangan membuat non Eliza mulet mulet, aku mau memasukkan punyaku dulu”, seru Wawan yang kesulitan menusukkan penisnya karena dari tadi aku menggeliat keenakan saat putingku disedot sedot oleh mereka berdua ini.
Mereka berdua pun diam dan ikut memperhatikan proses penetrasi penis Wawan ke liang vagina nona majikan mereka ini.
‘Clep’, demikian bunyi yang terdengar saat liang vaginaku terbelah dan kepala penis Wawan mulai masuk.
Batang penis ini terasa begitu keras, dan terus menusuk dalam, tapi rasanya tak sampai menyentuh dinding rahimku.
“Ooouuuugh… heeeeghh…”, Wawan melolong keenakan sementara aku menggigit bibir merasakan sedikit sakit yang bercampur sedikit nikmat.
Kemudian Wawan mulai bergerak memompa liang vaginaku, membuat rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku. Aku menggeliat pasrah, sementara kedua rekannya yang ikut terbakar nafsu, meminta pelayanan yang lebih dariku. Suwito menaiki perutku, dan meletakkan penisnya di tengah payudaraku.
Aku dipaksa merapatkan kedua payudaraku yang mungil ini dengan kedua tanganku hingga menjepit penis itu, lalu ia mulai menggesek gesekkan penisnya yang tak terlalu panjang dan tak terlalu lebar juga diameternya itu di antara lipatan buah dadaku.
Lalu pak Arifin menyodorkan penisnya ke wajahku, yang membuatku tertegun. Nyaris sebesar punya Girno, hanya yang ini lebih berurat. Dengan ragu aku mengulum penis pak Arifin, yang tentu saja tak muat dalam mulutku yang mungil ini.
Tiba tiba telepon di kamarku berdering.
Pak Arifin melepaskan penisnya dari mulutku, mengambil telepon itu dan mendekatkan padaku. Sementara Wawan dan Suwito dengan cueknya meneruskan aktivitasnya. Wawan terus memompa vaginaku dan Suwito terus menikmati jepitan payudaraku pada penisnya.
Pak Arifin mengangkat telepon itu, dan memegangkan gagang telepon untukku, karena kedua tanganku sibuk menahan payudaraku menjepit penis si Suwito.
“Me, ini koko. Aku pulangnya masih ntar malaman lagi, soalnya tugasnya belum selesai nih”, terdengar suara yang ternyata kakakku.
Dalam keadaan sedang disetubuhi, aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya ia tak curiga yang macam macam.
“Iya ko… jadi… koko.. pulang jam berapa.. nanti”, tanyaku sedikit terputus putus karena Wawan terus menggenjotku tanpa ampun.
“Yaa, bentar lagi sih keliatannya sudah selesai, tapi setelah selesai aku dan yang lain mau pergi dulu, minum es bareng bareng. Yaa, anggap saja merayakan kecil kecilan. Sulit lho ini tugasnya! Kamu mau aku bawakan es juga me? Aku bungkuskan buat kamu ya?” tanya kakakku.
“Iya.. boleh ko… Jangan… terlalu malam… ya… hati hati.. ko”, kataku, semakin terputus putus karena si Wawan dengan kurang ajar meningkatkan kecepatannya dalam memompa vaginaku.
Bahkan saat batang penis Wawan menancap dalam, Wawan sengaja membiarkan penisnya tertanam sedikit lebih lama, membuat gairah tubuhku semakin bergolak.
Celaka, jangan sampai aku orgasme selagi telepon dengan kokoku nih. Aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai kokoku tahu di rumah ini memenya sedang ngeseks dengan sopir dan pembantu pembantunya.
“Ya, mungkin aku sampai rumah jam setengah dua belas malam. Me, kamu kenapa? Sakit ya? Kok seperti ngos ngosan gitu?” tanya kakakku.
“Nggak… ko… Cuma… ingin… ke WC… sudah dulu.. ya ko”, kataku sambil menyuruh pak Arifin meletakkan gagang telepon dengan bahasa isyarat, sementara nafasku makin memburu.
Begitu telepon tertutup, aku segera melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan tahan, dan aku langsung orgasme, kali ini lebih hebat dari yang pertama tadi.
Tubuhku sedikit terlonjak lonjak, kedua kakiku melejang lejang dan cairan cintaku keluar banyak sekali hingga membanjir membasahi penis Wawan.
Aku memandang Wawan dengan jengkel sekaligus penuh gairah, apalagi Wawan terus memompa liang vaginaku dengan kecepatan yang makin tinggi. Gairahku yang belum benar benar turun setelah tadi sempat mengalami orgasme hebat, kini kembali naik dengan cepat.
“Non, kakaknya non pulang jam berapa?”, tanya pak Arifin.
“Setengah..dua..belas.. pak”, jawabku dengan suara terputus putus di antara desahan nafasku.
Pak Arifin lalu keluar entah kemana, aku juga sudah tak perduli. Gila, stamina Wawan benar benar luar biasa, aku dibuatnya kewalahan. Sodokan demi sodokan seolah memompa gairahku meuju orgasme, dan luar biasa, aku sudah orgasme yang ketiga saat ini, dua kali akibat liang vaginaku dipompa Wawan dengan ganas.
Jam sudah menunjuk pukul setengah delapan lebih. Sudah setengah jam lebih aku digagahi Wawan, dan ia belum menunjukkan tanda tanda akan orgasme. Bahkan milik Suwito sudah berkedut, ia buru buru memasukkan penisnya ke dalam mulutku,dan aku langsung mengulum rapat dan menyedot nyedot penis itu.
“Eerrghh… huoooh…”, Suwito mengerang dan melolong, spermanya menyemprot deras ke dalam kerongkonganku.
Rasanya sedikt lebih gurih dari milik enam orang kemarin yang memperkosaku di ruang UKS itu, atau aku yang sudah mulai bisa menikmati rasa sperma yang kuminum, aku juga tak tahu pasti. Penis Suwito terus kusedot sampai mengecil dan tak ada sisa sperma yang menempel di sana sedikitpun. Setelah servis oralku selesai, Suwito melangkah gontai dan duduk sembarangan di lantai kamarku.
Kini sementara aku tinggal menghadapi Wawan satu lawan satu. Tiba tiba Wawan dengan perkasa menarikku bangun, dan ia turun dari ranjang berdiri, dengan tetap memeluk pinggangku dan penis yang masih terus menancap erat dalam vaginaku, membuat aku takut terjatuh hingga melingkarkan betisku ke pinggangnya dan merangkul lehernya erat.
Wawan menggunakan kesempatan itu untuk melumat bibirku, sementara sodokan penisnya yang begitu kokoh bagaikan sebatang besi, terasa makin dalam menancap pada liang vaginaku, membuatku semakin melayang layang, mengantarku mengalami multi orgasme di pelukan Wawan.
“Oooooh…. Waaaaan…. aaaa…duuuuh… e….naaaaak”, erangku, tanpa terkendali aku mengejang ngejang susul menyusul di pelukan Wawan.
Kepalaku menengadah, pantatku terasa kejang tersentak sentak ke depan, cairan cintaku membanjir membasahi lantai kamarku, nafasku seperti orang yang habis lari berkilo kilo.
Nikmat yang melandaku ini entahlah, mungkin setara dengan nikmat kemarin saat aku digangbang Girno, Urip dan Soleh. Namun Wawan melakukannya sendirian, dan sudah mampu memaksaku orgasme tak karuan seperti tadi.
Maka kini penilaianku pada Wawan menjadi lain.
Wajahnya memang tak karuan, penisnya juga tak terlalu besar dan tak terlalu panjang, tapi, penisnya memang luar biasa keras. Aku berpikir bisa bisa kelak aku yang mencarinya untuk ngeseks kalau aku ingin merasakan orgasme seenak ini.
Aku benar benar sudah larut dalam pesta seks ini, rasanya aku sudah berubah dari cewek yang alim dan terpelajar, menjadi cewek bispak!
Lamunanku buyar saat Wawan tiba tiba memelukku makin erat, sodokannya makin bertenaga, sementara tubuhnya terasa bergetar getar.
Oh.. apakah akhirnya ia akan orgasme?
“Heeegh.. non… Elizaaaaaaa…..”, lolong Wawan.
Wawan menjepit tubuhku dengan pelukan yang menyesakkan dadaku, namun membuatku kembali orgasme kecil, menngiringi semprotan spermanya yang amat banyak di dalam vaginaku.
Dan aku sangat kesal ketika Wawan melepaskanku begitu saja hingga aku agak terbanting, untungnya aku terbanting di ranjangku empuk.
“Wan… jangan kasar!”, kataku setengah membentak.
“Eh… maaf non… maaf”, kata Wawan.
Wawan sepertinya meminta maaf sambil lalu saja. Tapi aku tak bisa melanjutkan omelanku ketika Wawan kembali menanamkan penisnya yang masih cukup keras di dalam liang vaginaku.
Berikutnya Wawan menindih tubuhku hingga kakiku makin terkangkang lebar. Ia memagut bibirku dengan buas, membuat aku megap megap. Untungnya penisnya semakin mengecil, dan dengan posisi tubuhku yang terlipat ini penisnya dengan cepat terlepas dari vaginaku.
Cairan cintaku kurasakan menghambur keluar cukup banyak. Pasti cairan cintaku itu bercampur spermanya dan kini campuran cairan cairan itu meleleh membasahi kedua pahaku ketika aku ditariknya berdiri. Wawan memelukku dengan erat dan kembali memagut bibirku seolah aku ini kekasih yang sudah lama dirindukannya.
Saat itu aku melihat jam sudah menunjuk pukul delapan lebih sepuluh menit. Edan. Ini berarti Wawan menggenjotku selama satu jam. Benar benar lelaki yang perkasa. Tiba tiba entah sejak kapan, aku melihat Sulikah dan pak Arifin sudah ada di kamarku, kelihatannya sejak lama, cukup lama untuk melihat aku menyerah dalam pelukan Wawan.
Pak Arifin mendekat mengambil giliran. Aku masih tersengal sengal, ketika pak Arifin yang biasanya kalem ini dengan buas merenggut tubuhku dari pelukan Wawan, lalu penisnya yang berukuran raksasa itu langsung diterjangkan ke liang vaginaku yang untungnya masih basah kuyup oleh campuran sperma Wawan dan cairan cintaku tadi, sehingga masih sangat licin.
“Aaagh…aduh…oooh… heeegh…auuuh…nngggh…”, erangku berulang ulang tanpa daya ketika pak Arifin dengan bersemangat sekali memompa liang vaginaku yang langsung terasa amat sakit seperti saat Girno pertama kali memompa liang vaginaku ini.
Urat urat itu terasa begitu menggerinjal mengaduk aduk liang vaginaku. Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini membuatku teringat sisa obat perangsang di tas sekolahku. Mungkin aku bisa meredakan rasa sakit yang mendera liang vaginaku ini dengan meminum sisa air minumku itu.
“Paak… ngghh… berhenti… sebentar…”, aku memohon pada pak Arifin.
“Kenapa non…”, desis pak Arifin dengan nafas memburu, tapi ia menghentikan genjotannya pada tubuhku.
“Aku… aku haus pak… Mbak Ika… tolong ambilkan aqua yang ada di dalam tas sekolahku…”, aku meminta tolong pada Sulikah untuk mengambilkan botol aqua yang isinya tinggal separuh itu di dalam tasku, yang langsung kuteguk habis begitu Sulikah memberikan padaku.
Aku sempat melihat sekelilingku, Wawan duduk di sofa kamarku, sementara Suwito tiduran di lantai. Dan Sulikah kembali duduk di kursi meja riasku. Lalu aku mempersilakan pak Arifin untuk mulai memompa vaginaku begitu aku mulai merasa panas yang tak wajar menjalari tubuhku.
Ya, obat perangsang itu mulai bekerja. Tanpa mampu mengendalikan diri, aku melayani pak Arifin dengan penuh nafsu, sakit yang tadinya melanda vaginaku sudah lenyap sama sekali berganti kenikmatan yang luar biasa dahsyat. Lenguhan, desahan dan erangan kami berdua memenuhi kamarku, membuat siapa saja yang mendengar pasti bangkit gairahnya, termasuk Wawan dan Sulikah.
Aku melihat mereka sudah saling memagut bibir dengan serunya, membuatku tak mau kalah dan menarik leher pak Arifin untuk kemudian kupagut bibirnya dengan ganas.
Sudah lima belas menit pak Arifin memompaku. Entah aku sudah berapa kali melayang dalam orgasme, akhirnya pak Arifin melenguh panjang, menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Semprotan itu terasa begitu banyak dan kencang, rasanya mengenai bagian terdalam di liang vaginaku, mungkin menembus rahimku.
Aku tergolek lemas dalam keadaan penuh nafsu, memandang Suwito yang harusnya sudah pulih karena ia yang pertama keluar tadi.
Suwito langsung tanggap dan mendekatiku. Ia segera menusukkan penisnya ke dalam vaginaku, dan mulai memompa liang vaginaku yang sudah haus akan penis lelaki ini. Obat perangsang itu benar benar dahsyat, aku terus menggoyangkan pinggulku sambil mencumbu Suwito dengan penuh nafsu.
Wawan yang sudah bergairah tak tahan lagi dan mendekatiku. Suwito mengerti dan mendekapku erat lalu berbaring telentang hingga aku kini menindihnya.
Dan tiba tiba Wawan meludahi anusku, mendatangkan sensasi aneh dan luar biasa bagiku. Lalu jari tangannya terus mengorek ngorek anusku yang semakin lebar. Dalam kepasrahan aku tak bisa melarang kemauan Wawan, aku tahu ia akan segera membobol anusku.
Tapi aku yang sudah terangsang hebat ini tak perduli. Dengan beberapa kali dorongan, akhirnya penis Wawan yang sudah amat licin itu menembus anusku, membuatku melolong panjang karena kesakitan.
Bagaimanapun, aku belum terbiasa anusku dibobol. Kini dalam keadaan disandwich, aku disodok sodok bergantian dari atas dan bawah, hingga akhirnya tak sampai sepuluh menit menit kemudian aku sudah orgasme, bersamaan dengan menyemprotnya sperma Suwito dalam liang vaginaku.
Kemudian hampir setengah jam Wawan menyodomiku, rasanya sampai aku harus berjuang menahan reflek tubuhku yang ingin mengejan. Dalam keadaan liang anusku masih tertancap penis Wawan, tiba tiba pak Arifin yang sudah pulih itu ingin menggantikan posisi Suwito. Penisnya yang raksasa itu sudah menegang tegak, siap untuk kembali menyodok liang vaginaku dengan buas.
Suwito menyodorkan penisnya ke wajahku dan aku tak perlu disuruh, segera kubersihkan sperma yang tertinggal di penis itu dengan mengulum ngulum dan menyedot nyedot penis itu hingga bersih, sementara pemiliknya melenguh lenguh keenakan, lalu roboh di depanku.
Birahiku yang semakin tinggi membuatku antara sadar dan tidak, dengan penuh nafsu melayani sodokan dua penis sekaligus di selangkanganku. Kugerakkan tubuhku mengikuti irama sodokan itu, berulang ulang aku mencapai klimaks, sampai akhirnya pak Arifin orgasme duluan.
Kini tinggal Wawan yang menyodomi liang anusku dengan gencar, memang Wawan yang paling luar biasa di antara mereka semua.
Pak Arifin menyodorkan penisnya untuk kubersihkan, dan aku dengan semangat mulai mengulum dan menyedot nyedot penis itu sampai mengecil. Setelah puas dengan servis oralku, pak Arifin duduk di sanpingku, lalu ia melumat bibirku dengan bernafsu.
Tiba tiba Suwito sudah berada di bawahku, namun bukan untuk menikmati liang vaginaku, melainkan menyedot susuku yang tergantung karena kini aku masih dalam posisi menungging.
Sementara itu, Sulikah kulihat mulai bermasturbasi dengan mencelup celupkan jarinya ke dalam liang vaginanya sendiri. Kelihatannya Sulikah sudah terangsang hebat melihat nona majikannya ini begitu pasrah dikeroyok oleh tiga pejantan ini.
Setengah jam kemudian Suwito sudah pulih, dan ia kembali menusukkan penisnya ke vaginaku, membuat selangkanganku terasa sesak dan ngilu. Perlahan genjotan Suwito kembali membangkitkan gairahku, dan tak lama kemudian aku langsung orgasme hebat.
Seolah bekerja sama dengan Wawan, mereka menusukkan senjatanya dalam dalam bersamaan dan berlama lama menahan penis mereka di sana, membuat aku melenguh lenguh tak kuasa menahan nikmat. Aku sudah setengah sadar saat jam menunjuk pukul sepuluh lebih seperempat malam.
Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus mili liter cairan cinta yang sudah diproduksi tubuhku selama tiga jam ini. Mereka bertiga terus bergantian memuaskanku, sampai akhirnya tubuh mereka ambruk satu per satu di sekelilingku.
Kondisiku sendiri tak lebih baik, tenagaku terasa terkuras habis. Untungnya aku besok masih sekolah siang, semester depan barulah aku akan sekolah pagi. Yang jelas besok aku masih ada kesempatan bangun agak siang.
X. Akhir Pesta Seks Di Rumah
Deru nafas yang memburu bersahut sahutan di kamarku. Aku mulai sadar dari pengaruh obat perangsang tadi, dan bangkit menuju kamar mandiku dengan sempoyongan.
Kukeluarkan sperma yang bisa aku keluarkan dari vaginaku dengan bantuan jari tanganku dan siraman air shower. Aku mandi keramas menghapus sisa keringatku dan keringat mereka yang menempel di sekujur tubuhku, lalu mengeringkan tubuhku serta rambutku.
Kemudian, masih dalam keadaan telanjang bulat, aku kembali ke ranjangku yang spreinya awut awutan akibat baru jadi ajang pesta seks ini.
Wawan masih tergeletak di ranjangku. Aku memintanya turun, karena aku harus mengganti sprei ranjangku. Aku tak mau tidur dengan bau keringat, sperma dan cairan cinta di sekitarku.
Dibantu oleh Sulikah, aku memasang sprei yang baru, sementara sprei tadi dibawanya turun ke tempat cucian setelah ia pamit padaku untuk tidur. Sementara tiga begundal ini, aku masih ada urusan yang harus kubicarakan dengan mereka semua.
“Pak Arifin, Wawan dan Suwito. Sekali lagi, aku ingatkan, hal barusan ini hanya bisa terjadi jika kedua ortuku dan kakakku tidak ada di rumah, juga jika aku tidak ada PR atau tugas ataupun ujian, juga pada saat aku tidak sedang datang bulan”, aku mengulangi solusi nikmat di rumah ini berupa tawaran dan syarat yang tadi sudah kujelaskan pada mereka.
“Di luar itu, kalian jangan coba coba memaksaku. Kalo ketahuan, selain kalian dipecat, aku sendiri juga bakal bermasalah sama papa dan mama. Dan kalian juga rugi. Kalian tak mau kan itu terjadi?”, tanyaku pada mereka yang sebenarnya jawabannya sudah jelas, mereka semua mengangguk cepat.
“Dan tolong kalian jangan berlaku ngawur. Kalian juga bisa menikmatiku, tapi kalian harus janji tak akan jajan di luar. Aku tak ingin kena penyakit kelamin yang menular. Apa kalian mengerti?” kali ini pertanyaanku lebih mirip perintah.
“Akuuuur…”, mereka menjawab serempak.
Lalu dengan langkah gontai karena sama sama kehabisan tenaga, mereka bertiga keluar dari kamarku menuju ke kamar masing masing.
Sedangkan aku langsung mengenakan baju tidur satin yang nyaman seperti kemarin, lalu mengistirahatkan tubuhku yang sudah amat kepayahan ini di atas ranjangku yang empuk.
Kini tinggal aku sendiri yang menunggu kakakku pulang sambil merenungi kegilaanku tadi. Masih ada sejam lagi sebelum kakakku pulang, aku berpikir aku lebih baik tidur saja, toh kakakku bawa kunci pintu depan. Tentang es yang dijanjikan kokoku tadi, biarlah es itu ditaruhnya di kulkas.
Lagi lagi aku sadar kalau aku belum mengenakan bra, tapi pinggangku sudah seperti akan patah dan aku malas untuk bangun lagi.
Aku membayangkan, Jumat depan aku harus melayani enam begundal kemarin. Apa lokasinya tetap di ruang UKS itu? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika mereka gelap mata menyeretku ke mess yang dihuni puluhan orang itu? Aku bisa apa? Apa mereka tetap mau melepaskan diriku seperti kemarin?
Lalu, sampai kapan aku harus menjadi budak seks kedua pembantu dan sopirku ini? Apakah aku harus menyerahkan tubuhku pada mereka setiap hari? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghiasi pikiranku, mengantarku tidur yang kali ini tak begitu nyenyak.
Beberapa jam sekali aku mengalami mimpi buruk, dimana aku berada di tengah kerumunan puluhan orang yang mengepung diriku hingga aku panik dan terbangun. Oh… apakah ini tanda bahwa nanti aku benar benar harus melayani penghuni mess dimana Girno dan yang lain tinggal itu?
(BERSAMBUNG)