Ejakulasi Dini

Ejakulasi Dini

PULANG dari rumah temanku belajar bersama, sewaktu aku masuk ke halaman rumahku, aku melihat sepeda motor Papa berada di bawah pohon mangga, sedangkan adikku sedang duduk di lantai teras bermain games dengan dua temannya di hape mereka masing-masing.

Aku langsung masuk ke rumah, karena aku sudah haus banget ingin pergi ke dapur mengambil minuman dingin di kulkas untuk melegakan tenggorokanku yang kering.

Begitu langkah kakiku sampai di depan kamar kedua orangtuaku, aku melihat dari pintu kamar yang terbuka separuh, di tempat tidur Papa sedang memijit Mama.

Keduanya hanya memakai celana dalam.

Sebelum mereka mengetahui kehadiranku secepatnya aku mengambil langkah mundur dengan jantung berdebar-debar mencari tempat yang strategis untuk mengintip, karena sebentar lagi pasti akan ada ‘pertempuran’ di atas tempat tidur antara Papa dan mamaku.

Tenggorokanku yang tadinya haus dahaga sudah tidak kurasakan lagi.

O… benar saja.

Papa sudah melepaskan celana dalamnya dan terlihat penis Papa yang sangat tegang panjang 16 sentimeter. Dari penis itulah aku dan kedua adikku dibuat di lubang vagina Mama.

Mama lalu terlentang, kemudian celana dalamnya dilepaskan oleh Papa. Sambil berbaring terlentang di kasur dengan telanjang bulat, Papa meremas payudara Mama.

Papa dan Mama bisa mengajari kami sopan santun dan aturan agama yang ketat di rumah, tetapi aku melihat Papa menjilat vagina Mama.

Ohh…

Dengkulku gemetaran seperti mau copot rasanya. Penisku bukan lagi tegang, tetapi mengkerut sampai tak lebih besar dari seekor burung emprit.

Setelah menjilat, kemudian Papa menindih Mama. Selanjutnya pantat Papa segera bergerak naik-turun-maju-mundur menyodok-nyodok. Tetapi sodokan Papa tidak berlangsung sampai 5 menit, Papa langsung mendengus, “Oouughhmmmhh…”

Papa bukan mendapat ciuman atau pujian dari Mama, melainkan ocehan yang bisa kudengar dengan jelas. “Suruh ke dokter gak mau…! Dibeliin obat gak mau minum…! Mamah jadi kesel ngentot sama Papah… ngotorin memek Mamah aja… sebentar sudah selesai, panas juga belum…!!!!”

“Maaf Mah kalo Mamah gak puas… papah bukan gak berusaha berobat… papah sudah pergi ngurut. Apa untuk sementara papah beliin alat bantu aja untuk mamah… dildo, Mah…”

“Nggak, nggak enak kalo bukan yang asli…” jawab Mama sudah mulai menampakkan secercah senyuman di wajahnya.

Aku mengharap Tris, adikku tidak cepat-cepat menyelesaikan permainannya.

“Rina pernah cerita sama Mamah…” kata Mama yang sudah memakai sarung kotak-kotak di tubuhnya dan papa juga sudah memakai kembali celana dalamnya. “Nely juga pernah cerita… mereka semua bilang sama Mamah gak enak make dildo, enak yang asli walaupun hanya ngecret sebentar… maafkan Mamah ya, Pah…”

Mama memeluk Papa dan mencium bibir Papa. Dan dari persembunyianku kulihat, mama merogoh keluar penis papa dari balik celana dalam papa kemudian mama menurunkan tubuhnya berjongkok lalu lidahnya terjulur menjilat penis papa yang sekarang panjang tak lebih dari 6 sentimeter.

“Sudah Mah…” kata Papa. “Nanti Setio pulang… kan kebiasaan kakinya gak ada suara… nanti malem aja, sepuasnys Mamah ngisep deh…”

Aku kasihan dengan kedua orangtuaku itu, sekaligus aku napsu pada Mama ingin memuaskannya dengan penisku yang tegang.

Aku berjalan masuk ke rumah pura-pura baru pulang. Tentu saja dengan perasaan yang tidak menentu karena sempat melihat kedua orangtuaku bersetubuh berakhir dengan tidak memuaskan, serta mendengar pembicaraan mereka.

“Kak…” panggil Mama yang sudah mau keluar dari kamar sambil memegang pakaiannya.

“Ya Mah…” jawabku memandang Mama jadi beda.

Aku memandang Mama seperti seorang wanita yang bernafsu besar, padahal sehari-hari Mama adalah wanita yang sederhana.

Ia membesarkan kami dengan tangannya yang tidak pernah memukul, dan dengan mulutnya yang tanpa mengeluh.

“Beli soto, atau sate gih sana… buat nambah lauk, takut kurang. Tadi Tante Nely telepon Mamah, katanya mau datang nginep di sini…”

DEG… Tante Nely… gumamku dalam hati. Wanita berumur 40 tahunan yang tadi diceritakan Mama pada papa yang berpenyakit SAMA dengan Mama, yang tidak terpuaskan oleh suami.

“Ya, Mah…” jawabku.

“Sebentar, Mamah ambil duit. Nih, pegang dulu pakaian Mamah, sekalian nanti bawa ke keranjang…” kata Mama.

DEG… jantungku berdebar-debar lagi saat kuterima pakaian dari Mama karena di dasternya yang ia berikan padaku, juga disertai BH dan celana dalamnya.

Aku ambil duit dari tangan Mama. “Aku minum kopi sebentar ya, Mah…” kataku meninggalkan kedua orangtuaku di kamar.

Papa baring saja sambil melihat ke layar hapenya, tidak bertegur sapa denganku, seperti secara naluri Papa tau bahwa tadi aku mengintipnya dan mendengar pembicarannya dengan Mama.

Aku segera menyembunyikan BH dan celana dalam Mama. Satu di kantong celana sebelah kiri, satu di kantong celana sebelah kanan. Mama tidak mungkin mencuci pakaiannya karena sudah sore, apalagi adik sepupunya mau datang menginap.

Setelah itu aku menaruh daster Mama di keranjang, aku pergi ke dapur menyeduh kopi instan dengam air panas dari termos.

“Mmmmh… bau kopinya wangi, Kak.” kata Mama sebelum ke kamar mandi, ia mampir ke tempat dudukku di depan meja makan.

“Minum, Mah…” suruhku.

“Masih panas, nanti aja… Mamah mandi dulu… tinggilin dikit buat Mamah…” kata Mama mau melangkah pergi dari sampingku.

Segera aku merangkul pinggangnya dengan sebelah tanganku, lalu menariknya kembali ke sampingku. Setelah itu kucium bongkahan payudaranya dari luar kain sarungnya.

“Mamah belum mandi… masih bauk…” kata mama.

“Kan sarungnya wangi, Mah… he.. he..”

“Alesan…!” kata Mama. “Ngomong aja pengen yang di dalem… pura-pura…”

“He.. he… kalo aku beneran mau, Mama berani kasih aku…?” tantangku.

“Sudah tetek nenek-nenek, mau…?”

“He.. he..” aku tertawa, tidak hanya sampai disitu, kujulurkan tanganku menarik ikatan sarungnya.

Untung sarungnya cepat kepegang sama Mama. “Ngawur kamu, nanti tiba-tiba Papamu keluar dari kamar…” katanya, tapi ia tidak membetulkan kain sarungnya yang kuacak, sehingga menimbulkan separuh payudaranya nyembul dari bagian atas sarung kotak-kotak itu.

Kucium saja payudara Mama yang menyembul itu. “Emmhh…” desah Mama tidak menahan ciumanku.

Malahan Mama ngeledek aku dengan mengeluarkan putingnya. “Neh…” kata Mama, tapi buru-buru ia pergi dari depanku.

Memang memek satu wanita ini pengen minta disodok, batinku. Kalau belum disodok belum nyahok!

— ♡♡♡ —​

Kuhentikan sepedaku di tepi jalan, lalu kukeluarkan BH Mama dari saku celanaku dan kucium sambil aku membayangkan puting yang tadi dikeluarkan Mama.

Puting itu besar, hitam dan di sekeliling putingnya terdapat bulatan yang melebar, juga berwarna hitam.

Kemudian sambil menunggu si abang memanggang sate, kukeluarkan celana dalam Mama dari saku celanaku yang satu lagi. Kalau ini baunya lebih menyengat hidung daripada BH-nya.

Pesing, amis, asem dan basah karena terdapat lendirnya. Beginikah bau vagina wanita? Begitu kotorkah? Mengapa laki-laki seneng, termasuk aku, he.. he..

Empat puluh lima menit aku sudah sampai di rumah. Sepeda motor Papa sudah tidak kelihatan di halaman.

Aku meletakkan bungkusan sate dan sop kambing di atas meja. Pas adikku Dwi keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, pundaknya yang telanjang mulus putih karena ia memakai handuk.

Tonjolan payudaranya hanya kelihatan samar-samar dari depan handuknya.

“Beli sate ya, Kak…?” tanya Dwi menghampiri meja makan. “Minta satu ya, Mah…” kata Dwi pada Mama yang sedang mencuci tempat cuci piring.

“Kamu beli berapa, Kak?” tanya Mama padaku.

“Tiga puluh…”

“Ya sudah, ambil satu.” kata Mama pada Dwi.

Aku menyambar handukku masuk ke kamar mandi. Tak pernah aku usik pakaian Dwi mau digantungkan seminggu juga di belakang kamar mandi.

Tetapi sekarang ketek pakaian seragamnya yang basah rasanya begitu wangi, kalah wangi parfum merek terkenal. Belum lagi BH hitamnya yang bernomor 34A dan celana dalamnya yang berlumuran lendir kental seperti ingus…

Aku kocok penisku sekuat-kuatnya. Untuk 5 menit, air maniku tumpah di lantai bentuknya bukan cairan, melainkan dalam bentuk gumpalan. Lubang penisku rasanya sampai ngilu dan perih.

Napasku ngos-ngosan seperti habis lari maraton 10K. Ini pengalaman masturbasiku yang paling nikmat sedunia.

Baru saja aku masuk ke kamar, Mama membawa balsem masuk ke kamarku. “Punggung Mamah ngilu, Kak. Tolong dikasih balsem.”

“Semuanya?”

“Nggak, hanya tempat ngilunya saja.” jawab Mama duduk di tepi tempat tidurku melepaskan kaosnya.

“Mana tempat ngilunya…?” tanyaku duduk di belakang Mama.

“Buka BH Mama dulu, ada di belakang BH.” jawab Mama.

He.. he… tawaku dalam hati sambil membuka pengait BH Mama. Selanjutnya BH hitam itu tidak kubiarkan talinya menggantung di pundak Mama, melainkan kuturunkan talinya hingga Mama menjauhkan BH-nya itu dari dadanya.

Baru sekarang aku melihat punggung Mama yang telanjang dari jarak yang sangat dekat.

Kutekan-tekan punggung Mama dengan jari. Sewaktu sudah mendapatkan tempat ngilunya, baru kuolesi dengan balsem dan kuurut di daerah yang ngilu itu saja.

“Kebanyakan balsem nanti kepanasan. Sudah…” kata Mama.

Aku meletakkan botol balsem di kasur. Sebelum Mama mengalungkan kembali tali BH ke pundaknya, kupeluk Mama dari belakang.

Mama menyandarkan punggungnya yang telanjang ke dadaku yang telanjang tanpa penolakan.

Jarinya hanya menunjuk ke pintu. “Itu, pintu terbuka.” katanya.

Setelah kututup pintu kamar, Mama sudah memakai BH-nya, tetapi tetap kupeluk Mama dari belakang, namun bukan kupeluk perutnya, melainkan kedua tanganku memegang sepasang payudaranya yang tertutup BH.

“Mau ngapain sih?” tanya mama.

“Netek…” jawabku, dengan berani kudorong naik mangkok BH-nya dan kugenggan kedua payudara Mama yang sudah kutelanjangi.

“Kaa..aakk… mmmhh…” jerit Mama pelan.

Kutimang-timang kedua payudara Mama, dan kuremas-remas. “Kak, jangan… Kak, Mama nggak mau ah… sudah keterlaluan deh ini. Kaa…akk…”

Jeritan Mama berikutnya sudah kurobohkan Mama di tempat tidur. Kucium payudaranya. “Sebentar lagi tantemu sampe dah… sudah ah, sudah…!” kata Mama, tapi kuhisap putingnya juga.

“Ahhh… Kak, ohhh…. Kaa..ak.. ah, jangan ngisep kuat-kuat… seesstt… oohhh… Kaa…akk…” rintih Mama yang tadi puting susunya lemes, kini menjadi keras dan tegang di mulutku. Demikian juga payudaranya, seperti kencang.

Segera kuloloskan tanganku masuk ke celananya. “Kak, nanti setan lewat dah… sudah, jangan…”

Tapi tanganku meraup bulu kemaluannya yang lebat itu, lalu kugaruk-garuk. “Ohh… Kak…! Kak…! Kak…!” rintih Mama. Napasnya sudah tergesa-gesa.

Mungkin separuh jiwanya sudah melayang. Seperti diketahui, tadi ia tidak terpuaskan Papa pula.

Aku yang masih sadar segera kupelosotkan tanganku ke bawah memegang vagina Mama.

“Kak… jangan disitu, Kak… nggak boleh…” kata Mama.

Tidak kudengarkan Mama, karena saat segenting itu mana kudengar lagi? Malah jari tengahku masuk ke lubang vagina Mama yang basah licin. Mama menghela napas panjang.

“Kak…” kata Mama. “Keluarkan deh kalo gitu. Bantu Mama…”

Lalu kutambah satu jariku masuk ke dalam lubang vagina Mama dan kukocok, chopp… chopp… chopp…

“Ohhhh… Kakk… ohhh… Kak… ooohhhh….” rintih Mama kini seluruh jiwanya hilang sudah.

Celananya sudah tidak digubrisnya lagi sewaktu kulepaskan, tetapi jariku bau amis, selain basah dan lengket.

Segera kubuka lebar paha mama dan kujilat vaginanya. Aku kemudian mengulik lubang vagina Mama dengan lidahku yang sudah basah kuyup dengan lendir birahinya.

“Ohhhh… oohhh… Mam..mah sud… dah mo sampe, Kak… jilat trusss, Kak…. ooohhh… enak sekali, teruss, Kak… terussss….”

Vagina Mama kujilat sampai tegang, bibir vaginanya menyembul seperti berbentuk sepasang sayap dan lubang vaginanya bolong. Kelentitnya muncul sampai keras dilipatan atas vaginanya.

Pantat Mama sudah naik dari kasur. Kedua kakinya berselonjor tegang dan kedua tangan ke belakang mencengkeram bibir bantal.

“Oooggggghhh…. ooooggghhhh…. ooogghhhh….” lenguh Mama, suaranya keluar dari tenggorokan seperti orang yang mau menjelang ajal.

Sebenarnya aku kasihan, tetapi demi kebahagiaan Mama masih kugesek terus kelentitnya sampai akhirnya, “Oooggghhhhhhoooggggggggg…..”

BUK…

Pantat Mama terjatuh di kasur, tubuhnya selonjotan lemas, matanya terpejam dan napaskan terengah-engah.

“Keluar semua, Mah…” tanyaku.

“Iya…” jawab Mama lemes.

“Lega…?”

“Plong…!”

“Punyaku dimasukin ya, mah…”

“Kalo Mamah gak mau kasih…?” ledek mama.

“Akan kupaksa…” kataku menunduk menjilat vagina Mama yang sudah kembali nornal.

Hanya aku dan Tris yang lahir dari vagina Mama, sedangkan Dwi lahir secara caesar.

Mulai kutindih Mama. Mama menuntun penisku yang tegang ke lubang vaginanya. Aku tak sabaran lagi sewaktu kepala penisku sudah berhadapan dengan lubang vaginanya. Segera kudorong penisku ke depan, bluuuussssssss…..

“Akhh…” erang Mama.

“Ohh… enak banget memek Mama…” erangku merasa tidak bersalah.

“Enak ya? Masukin yang dalem, jangan segan-segan lagi…” kata mama. “Entot Mama, Mama juga mau kok, penismu besar dan keras gitu…”

Segera kugoyang vagina Mama maju-mundur.

Kupeluk Mama dan kucium bibirnya. “Mama jadi istri Setio, ya…” kataku.

Mama tersenyum manis. “Ayo lanjutkan cepat…”

Kulanjutkan genjotanku untuk beberapa menit ke depan sampai kenikmatanku berkumpul menjadi satu di pangkal penisku, lalu segera kusalurkan kenikmatanku itu ke rahim Mama dengan menghentakkan penisku sedalam-dalamnya ke lubang vagina Mama.

Aku dan Mama sama-sama mengejang. “Nikmatnya memek Mamaaaa…” kataku. “Oooooohhh….” mama ikut merintih.

Crrootttttttt….. croottt… croottt… crootttt… croottt… ohhhh… rasanya nikmat luar biasa saat air maniku keluar di dalam vagina Mama lebih daripada aku mengocok penisku sendiri… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt…

Tubuh aku dan tubuh Mama sampai basah berkeringat semuanya. Kami hanya bisa berpelukan menikmati sisa-sisa kenikmatan kami melakukan persetubuhan incest.

©©©©©​

Pagi-pagi aku bangun, setelah pipis, sikat gigi dan cuci muka di kamar mandi, aku pergi ke dapur, Mama memberikan aku segelas jamu. “Ini diminum sebelum sarapan,” kata Mama. “Kemarin kamu keluar banyak sekali…”

“Jamu apa sih, Ma?”

“Jamu sehat lelaki, Mama campur madu sama kuning telor ayam kampung. Dihabiskan…” suruh Mama.

“Terus, kalau Setio mau… gimana dong nanti Ma?” godaku.

“Pagi-pagi Mama masih sibuk, nanti agak siangan saja…” jawab mama, lalu kuteguk jamu kuat dari mama dengan sekali teguk.

“Apa kamu sudah gak sabaran? Ayo kalo gitu…” ajak mama kemudian.

Mama masuk ke kamar mandi membawa handuk. Mama tidak mandi. Mama hanya menukar dasternya dengan handuk. Kita bertemu di kamarku.

Kita berciuman di kamar. Aku melepaskan handuk Mama. Mama sudah tidak memakai apa-apa di tubuhnya. Aku merobohkan Mama di tempat tidur.

Kita terus melumat bibir sampai napas mama tersendat-sendat karena pada saat yang sama tanganku juga meremas payudaranya, jari-jariku memijit-mijit puting susunya hingga tegang.

Kulepaskan semua pakaianku. Kucium bulu jembut Mama. Kali ini Mama tidak melarang aku mencium bulu jembutnya, malahan Mama membuka pahanya lebar-lebar menyuguhkan pemandangan indah vaginanya padaku.

Vagina Mama baunya amis dan bibir vaginanya yang tebal menonjol keluar berkerut-kerut berwarna coklat. Segera kuterkam bibir vagina Mama dengan mulutku dan kuhisap.

“Adduhhh…” erang Mama menggelinjang. Kubuka lebar-lebar bibir vaginanya dan kusodok lubangnya dengan lidahku. Kumasukkan lidahku dalam-dalam ke lubangnya ingin merasakan rahimnya dimana aku pernah mendekam di situ selama 9 bulan.

Lidahku kuputar-putar bolak-balik. “Ahhh… ahhh… ahhh… sesstt… ohhh…” desis Mama.

Dari lubang vagina Mama lidahku terus menuju ke anus mama. Kujilat-jilat anus Mama tidak memikirkan baunya lagi. “Ouughhh… Setioooo……” rintih mama. “Ohhh… ohhh…”

“Nikmat ya, Ma?”

“Iyaaaa…”

Terus kulanjutkan menjilat itilnya. Di sini Mama benar-benar tidak tahan lagi.

Vagina Mama berkontraksi bersama dengan lubang kencingnya. Mama mencakar-cakar dan menarik-narik rambutku, akhirnya ia mengejang hebat dan tubuhnya bergetar seperti kena setrum, tiba-tiba cussss… cussss… cusss… air kencing Mama yang hangat menyembur ke wajahku sekaligus membasahi kasurku.

Kami tidak peduli lagi. Jangankan kasur basah, dunia mau runtuh sekalipun kami siap sehidup semati. Sambil penisku menancap di lubang vagina Mama, kami bergelut di tempat tidur bergulingan, kadang aku di atas, kadang Mama di atas.

Kami bercinta seperti pengantin baru, bukan lagi seorang anak dengan ibunya sendiri. Genjotanku pada lubang vagina Mama silih berganti antara pelan dan cepat. Mama memacu penisku juga seperti seorang penunggang kuda.

Kami berganti posisi, sekarang Mama nungging. Aku memasukkan penisku dari belakang. Menggenjot Mama sekitar 15 menit, Mama kusuruh berbaring miring.

Aku juga berbaring miring menggenjot vagina Mama dari belakang dan ketika aku sudah merasa tidak tahan, kenikmatanku sudah berkumpul menjadi satu di pangkal penisku dan mengalir ke seluruh tubuhku, kusetubuhi Mama dengan posisi klasik. Kugenjot mama dengan cepat sampai payudaranya bergoyang-goyang berbenturan.

“Agggh… agghh… agggh…” rintih Mama. “Mamm…ma mau keluar lagi Setiooo..”

Setelah sekitar 45 menit kami berpacu birahi, air maniku menembak tak henti-hentinya mengisi relung cinta Mama. Begitu juga dengan Mama. Madu cintanya menghangatkan penisku.

Crooottttt… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt… lagi… croottt… croottt… crootttt…

“Ahh… kamu bikin Mama jadi muda lagi, sayang…” kata Mama.

“Tapi Mama harus melayani Papa juga ya, Ma…” ujarku. “Aku sayang Mama, aku juga sayang Papa…” kataku bangun dari tubuh Mama mencabut penisku.

Mama segera mengambil penisku yang masih basah berbalut air maniku bercampur dengan lendir cintanya lalu dijilatnya seperti menjilat es krim rasa vanilla lalu dikulumnya di dalam mulutnya.

“Sestthh… nikmat, Mam…” desisku. “Ohhh…” Penisku tegang perlahan-lahan di dalam mulut Mama yang hangat.

Mama membersihkan lubang vaginanya dengan celana dalamnya supaya lubang vaginanya tidak terlalu becek, lalu Mama menaiki pangkal pahaku dan penisku yang berdiri tegang dimasukkannya ke dalam lubang vaginanya, blessss…. kemudian digoyangnya maju-mundur. Gerakannya seolah-olah menarik-narik penisku dengan pantatnya. Aku memegang pantat Mama membantunya bergoyang.

Sekali-sekali aku meremas kedua payudara Mama sambil aku hujam-hujamkan penisku dari bawah ke lubang vaginanya.

Sesi kedua ini membuat aku bertahan lebih lama. Hampir satu setengah jam aku baru melepaskan kenikmatanku di rahim Mama. Kami ambruk dalam keadaan kelelahan.

Mama tidak membersihkan vaginanya lagi yang belepotan air maniku. Kami berpelukan dengan telanjang lalu tidur.

©©©©©​

Persetubuhan incest antara aku dengan Mama terus berulang seperti sudah menjadi kebutuhan mendesak kami bersama.