Di Balik Cahaya
Prolog Aku menyembunyikan diriku, sesekali, di keheningan yang mampu melemparkanku dari kepura-puraan kehidupan. Bagaimana tidak? Aku harus berpura-pura bekerja keras hanya demi mendapatkan uang. Iya, uang. Sedang kutahu uang hanya mampu membeli kesenangan. Tanpa pernah bisa digunakan untuk membayar kebahagiaan. Aku berpura-pura pintar agar orang-orang tertunduk mengikutiku tanpa pernah kuperintahkan. Aku berpura-pura baik agar orang-orang tertipu. Dan, dari sekian banyak orang yang berhasil kutipu, ada satu orang yang paling banyak mengalami kerugian. Orang itu adalah aku. Iya, aku. Bagaimana mungkin seorang penipu justru yang mereguk kerugian sangat besar? Jelas sekali. Karena dia harus bersusah payah menyembunyikan dirinya agar jati dirinya tidak terbongkar. Untuk itu, seorang penipu tidak cukup melakukan satu dua kali tipuan. Berkali-kali hingga dia benar-benar kehilangan dirinya, lupa secara permanen terhadap jatidirinya saking seringnya bersembunyi. Dalam persembunyian ini, aku akan jujur, setidaknya kepada diriku sendiri bahwa tidak ada yang patut dipercayai, bahkan kepada diri sendiri, karena terlalu banyak kebohongan dan kepura-puraan di kehidupan ini. Dalam persembunyian ini, kutulis cerita ini untuk kalian semua; pemilik ambisi yang semakin membesar, tak pernah tertuntaskan; kepada kalian penggenggam idealisme yang sering kali bersebalikkan dengan kenyataan; untuk kalian para pendendam yang sering gagal dan diinjak-injak oleh kehidupan. Di sinilah, kemarilah, dan ikut bersembunyilah; akan kutunjukkan putihnya kehidupan yang terlihat itu sebetulnya adalah kegelapan. Di balik kegelapan ini kuceritakan tentang sesuatu yang terang tanpa sinar dan sesuatu yang gelap meski bercahaya. Bagian 1: Namaku Cahaya Panggil saja aku Cahaya. Tak perlu kusebutkan nama lengkap maupun nama asliku. Toh, siapapun bakal tahu namaku saat disebutkan dalam bahasa Arab. Kalian bisa menebaknya? Mungkin orang tuaku berharap banyak kepada diriku sebagaimana yang terukir dalam namaku. Cahaya atau sinar. Yang mampu memberi petunjuk dalam kegelapan, menunjukkan jalan, dan menjadi penerang. Meski saat ini aku sadari bahwa aku adalah kegelapan yang berharap banyak mendapat cahaya kehidupan. Ah, betapapun indah arti namaku, semua itu tak mampu mengubah kenyataan hidup ku saat ini. Biarlah doa yang disematkan oleh orang tua dalam namaku ini mewaris menjadi doaku pula yang senantiasa berharap mendapat cahaya-Nya. Aku adalah seorang gadis, bukan perawan. Umurku 22 tahun. Soal fisik dan penampilan tak perlu dijelaskan. Yang jelas diriku sering membuat perempuan-perempuan lain iri hati saat melihat penampilan ku. Sering kali aku merasa bangga dengan pandangan laki-laki yang terlihat nyata mengagumi kecantikan dan keindahan jasmani yang kumiliki, meski sesekali aku merasa risih dan takut dengan tatapan mereka yang seolah menelanjangi tubuhku dan hendak menerkam dan memangsanya. Apapun itu aku merasa bersyukur karena dianugerahi keindahan fisik yang menurut kata orang-orang sangat memesona. Dengan begitu aku bisa berbisnis dengan ini. Terus terang saat ini aku menyamar sebagai seorang mahasiswi di sebuah kampus negeri di kota yang memiliki ikon The Little Netherlands. Dalam penyamaranku ini telah berhasil mengelabuhi siapapun bahwa aku adalah seorang pramunikmat atawa pelayan kenikmatan. Iya, tepat sekali. Bisa dikata aku adalah seorang yang menjual jasa kehangatan dan kenikmatan. Sebelas dua belas dengan dokter yang menjual jasa pelayanan kesehatan atau seorang guru yang menjual jasa pengajaran. Mungkin, istilah pembanding tersebut terlalu berlebihan. Sangat timpang dan tidak etis sama sekali. Baiklah kalian boleh menyebutku sebagai penjaja seks komersial, pebisnis lendir dan selangkangan, atau pelacur sekalipun. Oh, ya, orang-orang di sekitarku sering menyebutnya sebagai lonte. Apapun itu aku tidak peduli. Toh, tidak ada satu pun yang peduli padaku saat aku tak bisa makan, tak bisa membeli pakaian dan tidak mendapat tempat tinggal serta kehidupan dunia yang layak. Tak ada seorang pun yang berbaik hati untuk menolong atau setidaknya peduli terhadap kesusahan orang lain. Dongeng tentang keberadaan orang baik di kehidupan ini hanya omong kosong belaka. Mana ada orang baik di zaman kapitalistik seperti sekarang ini dengan merebaknya sikap individualistik yang diagung-agungkan itu? Apalagi saat orang-orang tahu bahwa diriku adalah seorang pelacur, masih adakah yang peduli kepadaku dan mengulurkan tangannya untuk membantuku? Aku 100 persen yakin bahwa yang ada adalah orang-orang yang sok suci. Dan, dengan kesuciannya itu mereka mengolok-olok, mengejek, mencibir, sekaligus merendahkan orang macam diriku ini dan menyematkan stigma negatif sebagai sampah masyarakat. Hmmm, tak apalah menjadi sampah di masyarakat yang suka nyampah. Begitulah ketidak-pedulian telah menjangkiti manusia-manusia pasca-moderen. Bagaimana caraku agar tetap bisa bertahan? Aku ikut-ikutan tidak peduli kepada apapun dan siapapun, meski dalam segi tertentu aku masih memiliki sedikit rasa peduli. Mengapa bisa begitu? Aku tak tahu. Aku hanya merasa bahwa kepedulian adalah bagian dari sikap manusiawi. Entahlah, ilmu yang kudapat di kampus sesekali membuat ku berpikir filosofis seperti itu, meski hanya di permukaan alias tidak mendalam. Namun, secara praktis, ilmu yang diajarkan di kampus lebih banyak tak ada gunanya. Mungkin, karena aku tak pernah merasa mementingkannya. Bukankah kalian sudah kuberi tahu bahwa kuliahku hanya kamuflase belaka, kedok semata. Kedokku berikutnya adalah hijab. Iya, selembar kain yang menutup bagian kepala dan menyisakan wajah yang masih terbuka itu. Aku berpakaian tertutup dan berhijab seperti ini karena masyarakat di sekitarku sedang sangat gandrung dalam beragama. Mereka mengukur tingkat kesalehan seseorang dari apa yang dikenakannya. Saat menjumpai orang yang tak berpakaian seperti mereka, langsung, deh, mendapat cap buruk. Untuk itu, kalian kuberi tahu satu hal. Jangan pernah percaya dengan penampilan seseorang. Bisa jadi apa yang ditampilkan secara lahiriah berbeda sekali dengan batiniahnya. Cermat dan telitilah. Bungkus tidak serta merta mencerminkan isi. Seperti aku ini. Tubuhku dibalut oleh pakaian yang agamis tapi hal itu tidak mencerminkannya sedikit pun. Aku justru terjerembab dalam lubang gelap prostitusi. Oh, ya, aku tinggal di sebuah kos eksklusif yang berjarak belasan kilometer dari kampus. Sedangkan kota kelahiranku, tempat bapak, ibu, dan saudaraku tinggal, berjarak hampir seratus kilometer di sebelah timur laut. Tidak ada sanak famili di kota ini. Dengan begitu aku bisa merayakan kebebasanku. Kalian tahu kan apa yang aku maksudkan dengan kebebasan? Yaitu saat aturan, perintah, batasan dan kekangan yang diberikan oleh orang tua selama ini bisa dengan mudah dikecualikan. Tak perlu memusingkan lagi perkataan orang tua dengan kecerewetannya itu yang apa-apa harus ini, tidak boleh itu, harus begini dan dilarang begitu. Itulah yang namanya kebebasan. Tempat kos yang aku tinggali saat ini sangat bersih, nyaman, dan dihuni oleh orang-orang yang tak peduli satu sama lain. Tentu ini menjadi keuntungan berarti bagi diriku. Untuk menjangkau kampus, aku sengaja menggunakan sepeda motor matic hitam dengan striping berwarna merah. Bukan apa-apa. Aku bisa saja menggunakan city car, namun hal itu akan membuatku mencolok. Aku tak mau menjadi pusat perhatian karena hanya akan membuat orang-orang gampang menaruh curiga dan sangka sekaligus memancing keingin-tahuan yang menggebu. Tentu aku tak mau penyamaranku mudah terbongkar. Biarlah aku tetap terlihat seperti mahasiswi biasa dengan pesona dan daya pikat yang luar biasa. Hehehehe. Sering kali sifat narsisku muncul. Maafkan, ya… Padahal aku sering terlihat sebagai mahasiswi unyu-unyu dengan keluguan dan kepolosannya. Sama seperti mahasiswi lainnya. Aku tak memiliki sahabat. Hanya ada seorang teman yang sering kuajak bersenang-senang sewajarnya ala mahasiswi biasa. Dia bernama Dina. Makan, jalan-jalan, dan nonton bioskop adalah aktivitas yang sering kami lakukan berdua. Meski kami terlihat runtang-runtung berdua kemana-mana, aku tidak bisa menyebut Dina sebagai seorang sahabat. Meski aku banyak tahu tentang dirinya, tapi dirinya tidak banyak tahu tentang diriku. Aku tak banyak cerita kepada Dina tentangku. Bahkan sekalipun aku tidak pernah mengajak Dina ke kosku, meski aku sering berkunjung ke kosnya. Aku tidak begitu percaya kepada orang lain. Maka, aku pun tak menjalin hubungan sosial dengan siapapun secara baik. Khusus kepada Dina adalah sedikit pengecualian. Dia sering membantu ku dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Atas dasar itu, aku menjalin pertemanan dengan Dina. Iya, semacam simbiosis mutualisme antara kerbau dan burung jalak. Hmmm, tapi akhir-akhir ini aku merasa pertemananku dengan Dina semacam simbiosis komensalisme. Aku mendapat keuntungan dari Dina dan Dina tak apa-apa, juga tidak mengharap keuntungan apapun dariku. Ya, bagitulah sedikit cerita tentangku. Aku akan berusaha bercerita kepada kalian. Bukan untuk mengharap kepedulian dari kalian, apalagi belas kasihan. Aku hanya bercerita agar aku lega. Bisa berkata apa adanya. Karena aku terlampau sering berdusta. Dan, supaya aku bisa mengartikan makna kejujuran, khususnya jujur kepada diri sendiri. Agar aku bisa memaknai hidupku ini dan kembali dapat merasakan kebahagiaan sejati yang bukan sekedar kesenangan. Mungkin kalian bertanya mengapa aku bisa menjalani kehidupan hina ini? Ceritanya panjang, tapi aku akan menjawab pendek. Aku menikmatinya. Itulah kejujuran pertamaku untuk kalian. Semoga kalian menjadi tahu bahwa dunia yang bercahaya gemerlap itu, juga diisi oleh kegelapan. Namaku Cahaya dan kalian bisa menggunakan layananku kapan saja. Asal …
Bagian 2: Gabut Semua berawal dari kegabutan yang menyerang secara sistematis dan masif yang dipicu oleh kegalauan tingkat tiga dewa berjenggot. Kala itu, aku telah selesai menempuh ujian nasional tingkat SMA, sekira empat tahun yang lalu. Aku galau dengan hasil UN-ku. Apakah bagus ataukah jeblok. Jika jelek, bisa-bisa aku tidak lulus. Padahal aku sudah diancam oleh bapakku, jika tidak lulus bakal dinikahkan dengan anak Pak RW. Kebetulan Pak RW itu adalah teman sepermainan bapakku sejak kecil dan hingga saat ini tetap menjalin persahabatan. Duh, apes banget jika itu terjadi. Anak Pak RW itu tak ada ganteng-gantengnya. Mending kalau ganteng-ganteng serigala. Lha, ini ganteng-ganteng tahi ayam. Belum lagi aku akan kehilangan masa-masa paling indah di SMA. Hanya tinggal menghitung hari saja sampai hari pengumuman kelulusan. Masa-masa paling indah Masa-masa di sekolah Tiada kisah paling indah Kisah kasih di sekolah Begitu Om Chrisye bersenandung Padahal aku baru bisa menikmati masa indah itu hampir setahun terakhir ini. Gegara kecupuan dan ke-o’on-anku yang luar biasa. Aku tidak pandai bergaul. Lebih sering menyendiri. Dan, tingkat keminderanku yang setara dengan kawasan Asia Tenggara. Bunga dan Bulanlah, teman sekelas di tingkat akhir ini, yang telah membebaskanku dari perangkap sempitnya pergaulanku selama ini. Bagai katak yang terperangkap di dalam tempurung, keduanya telah membuka tempurung itu dan mengajakku turut serta menjelajah dunia. Di tingkat akhir SMA, kami bertiga dipertemukan, diakrabkan, dan bersepakat untuk bersahabat. Kami menamakan diri BBC. Bunga, Bulan, dan Cahaya. Tapi, masa kebersamaan kami bakal berakhir. Kami akan berpisah dan menempuh jalan masing-masing. Bunga dengan prestasinya sudah diterima di universitas negeri di Kota Pelajar lewat jalur penelusuran bakat dan minat. Bulan, meski dengan kemampuan akademi rata-rata atas, didukung dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, sehingga tak ada kekuatiran tidak diterima kuliah dimana saja yang dimauinya. Lha, aku? Kemampuan akademik midioker belaka. Itu pun rata-rata bawah. Plus dukungan ekonomi keluarga yang rata-rata pula. Lengkaplah sudah untuk menggambarkan diriku yang Madesu. Iya, Madesu! Masa Depan Suram. Pikiran-pikiran itu yang menghantuiku sejak ujian berakhir. Selama beberapa hari ini hanya bengong di dalam kamar dan tiduran saja. Mumpung diberi empat hari libur dari pihak sekolah usai ujian. Hingga pada hari ketiga, Bunga dan Bulan datang ke rumah. Tahu-tahu dia sudah di dalam kamarku. Sudah beberapa kali keduanya berkunjung ke rumahku. Begitu pula aku, sudah berkali-kali kerumah keduanya. Yang paling sering, ya, ke rumah Bulan. “Rumahmu seperti kuburan. Saya teriak beri salam dan panggil-panggil tidak ada yang menyahut,” kata Bulan. “Emang di sini rumah burung? Ya, jelas tidak ada yang menyahutlah,” kataku datar saja. “Hahaha. Emang Bapak-Ibumu kemana? Pintu juga dibiarkan terbuka,” tanya Bunga. “Biasalah rumah di kampung. Pintu terbuka sudah biasa. Kalau bapak ibuku pergi ke rumah saudara. Adikku juga ikut. Besok baru pulang. Aku diminta menjaga rumah.” “Pas banget. Aku dan Bunga menginap di sini ya. Sekalian menemanimu. Bagaimana?” Tanya Bulan dengan binar mata yang penuh harap. “Iya, boleh. Tapi kalian berdua harus izin ke ortu dulu ya,” kataku. “Gampang! Tinggal telpon,” kata Bulan yang diikuti oleh anggukan dari Bunga. “Sekarang kita nonton film saja. Kebetulan saya punya film bagus. Baru download kemarin,” usul Bulan sambil mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. “Mau, mau, mau! Judulnya apa, Lan?” tanya Bunga penasaran. “Blue Lagoon!” “Film tentang apa itu?” tanyaku. “Halah, ayo, tonton saja.”
Bagian 3: Gabut 2 Bulan dengan sangat cekatan menghidupkan laptopnya. Meletakkannya di bibir ranjang dan kami pun duduk lesehan di lantai menghadap ke laptop. Ranjang ku tidak terlalu tinggi. Sangat pas digunakan untuk menonton. “Pintu bioskop satu telah dibuka. Pengunjung yang memiliki tiket harap segera masuk. Film Blue Lagoon: The Awakening akan segera diputar,” kata Bulan saat layar laptop menampilkan bagian pembuka film. Tak urung disambut oleh derai tawa dariku dan Bunga. Pada lima dua puluh menit pertama film ini diputar, masih menampilkan adegan yang biasa saja. Bercerita tentang pelajar SMA yang melakukan piknik atau study tour gitulah. Sebuah insiden membuat sepasang muda-mudi terpisah dari kapal rombongan mereka. Keduanya berada di atas perahu sekoci. Tidak dapat mengakses alat komunikasi. Terombang-ambing dan terdampar di pulau terpencil tanpa penghuni. Pulau ini sangat indah. Pantai dengan pasir putih dan tentunya laguna berwarna biru yang indah. Hanya saja keduanya tak bisa menikmati keindahan itu. Bagaimana mungkin bisa? Keduanya asing di tempat itu, tanpa perbekalan dan persediaan pula, dan harus mati-matian bertahan hidup. Kematian mengintai mereka. Kami pun saling berceloteh tentang kegiatan serupa yang pernah kami ikuti. Saat itu kami melakukan kunjungan ke Bali. Menyaksikan pertunjukan Tari Kecak, menikmati sore yang jingga di pura yang eksotis di atas bukit karang di bibir pantai, belanja di pasar seni Sukawati, ngantri panjang untuk beli kaos jelek di Jokker, main banana boat di Tanjung Benoa, dan tentunya bertingkah centil di hadapan bule-bule tampan di Pantai Kuta. Celotehan kami berhenti saat layar laptop menampilkan adegan yang asing bagiku. Kebersamaan dan perasaan senasib ternyata bisa mengikat asmara. Dua manusia remaja di tempat yang romantis, hanya berdua, dan dimabuk cinta. Apalagi kalau bukan bercinta. Aku merelakan diri untuk menahan kedipan lebih lama agar tak terlewatkan adegan yang menggairahkan itu. Tiba-tiba aku merasakan keanehan di tubuhku. Tubuhku terasa menghangat dan sedikit gerah. Dadaku mengencang dan terasa gatal. Maka, sesekali aku menggesekkan tanganku ke sana. Sekali dua kali. Dengan malu-malu dan hati-hati tentunya. Aku tak mau membuat kedua temanku curiga. Namun, justru rasa gatal itu tidak berkurang, malah semakin menyebar. Sepertinya bagian putingku mengeras. Hal ini memuat ku gelisah. Untung adegan bercinta di film itu tak begitu lama. Ini bisa membuatku bernafas lega. Namun, menit demi menit berlalu membuatku berharap dapat menyaksikan adegan seperti itu lagi. Rasanya berdesir-desir. Tiba-tiba Bunga nyeletuk, “Kamu sange, ya.” “Apaan sange?” tanyaku. “Itu, lho, kepingin gituan.” “Gituan apa?” “Lihat, noh!” Aku langsung terperangah dengan adegan di layar laptop. Yang aku nantikan dengan malu-malu, datang kembali. Uhhh, kali ini terlihat lebih panas dan menggairahkan. Kedua tokoh sedang berciuman. Sangat mesra. Saling melumat bibir. Keduanya berpelukan erat. Saling menyentuh tubuh. Hangat. Keduanya bergulingan di atas pasir. Baju mereka tiba-tiba sudah terlepas. Ekspresi wajahnya menampakkan perasaan yang senang, namun tertahan. Seperti ingin meraih sesuatu. Memburu. Bibirnya terlihat mendesis. Sepertinya mendesah. Dan, aku pun sekuat tenaga menahan diri. Perasaan yang berdesiran tadi, sekarang berganti meledak-ledak. Kembali kurasakan gatal di area dadaku. Ingin rasanya mengelus, tapi sepertinya tidak cukup hanya dengan dielus. Perlu diraba, ditekan, dan bila perlu dikenyot-kenyot. Posisi dudukku tak nyaman. Tak lagi kuperhatikan kedua temanku. Aku hanya fokus menikmati gambar bergerak di laptop. Aku berganti posisi duduk. Ada getaran aneh di area pangkal pahaku. Rasanya seluruh darahku berdesakan mengaliri area itu. Hal ini menyebabkan bagian ini sangat sensitif. Rasanya menghangat dan cukup membakar. Aku berusaha menggesekkannya ke lantai dan saat tergesek dengan posisi yang tepat, rasanya ada aliran listrik bervoltase naik turun menyetrum tubuhku. Duh, rasanya tak bisa dijelaskan. Baru kali ini aku merasakannya. Aku menghela nafas panjang saat adegan itu berakhir. Nafasku tak beraturan. Kecewa rasanya. Karena aku ingin melihat adegan itu lebih lama dan lebih menampakkan bagian tubuh pasangan itu secara utuh. Terus terang aku ingin melihat bagian vital milik laki-laki. Rasa ingin tahuku membesar. Apa yang terjadi pada alat kelamin laki-laki terhadap alat kelamin perempuan saat bercinta? Apa hanya ditempelkan begitu saja atau bagaimana? Saat melihat ekspresi wajah dua tokoh film itu kok rasanya ada suatu kenikmatan. Ah, entahlah. Aku memutuskan untuk keluar kamar. Kukatakan kepada Bunga dan Bulan ingin mengambil minuman. Kutawarkan apa yang diinginkan. Kok keduanya kompak menginginkan minuman dingin yang segar ya. Hmmm, apakah mereka sekedar kehausan atau juga merasakan “kepanasan”? Aku segera keluar. Bukan untuk ke dapur guna mengambil minuman di dalam kulkas. Aku menuju ke kamar mandi. Mendadak rasanya kepingin pipis. Di dalam kamar mandi segera kuturunkan celana dalamku dan kusingkap ke atas rok panjangku. Lalu, berjongkok. Aku melenguh saat dengkulku menyentuh dadaku. Hasrat ingin pipis yang tadi kurasakan tiba-tiba menghilang. Panas dan gatal kembali menyerang saat bayangan adegan film yang baru saja kutonton hadir di dalam pikiran. Hmmm, kuarahkan tanganku ke dada. Kusapukan di atasnya. Uhhh… Entah apa yang merasukiku, kuarahkan ujung jari tanganku ke arah memiow-ku. Tubuhku bergetar saat menyentuhnya. Aku pun mengusapnya pelan. Getaran itu semakin kuat. Geli dan membuatku menggelinjang. Bagian itu semakin hangat dan lembab. Seperti ada sesuatu yang merembes dan mengalir. Tiba-tiba kesadaranku kembali. Kuhentikan perlakukan tanganku ini. Nafasku tersengal. Aku pun berdiri. Membiarkan celana dalam berwarna putih itu berkibar turun melewati betis putih mulus milikku dan berhenti sebatas mata kaki. Aku terbengong sejenak. Tak percaya terhadap apa yang baru saja kulakukan. Bisa-bisanya aku melakukan ini. Tapi, ada dorongan aneh agar aku meneruskannya. Kutelusupkan tangan kananku ke dalam kaos. Jemariku menyentuh kulit perutku. Naik. Merayap ke atas, melewati bukit dadaku yang tertutup bra dan berhenti persis di payu dara kiriku bagian atas yang tak tertutup. Kutekan bagian itu. Rasanya kencang. Lebih kencang dari biasanya. Kuelus-elus. Cup bra kuturunkan. Aku penasaran dan ingin memeriksa puting milikku. Kusenggol pelan. Uhhh, rasanya membuatku ingin mendesis. Cukup keras dan mengacung ke depan. Lalu, kupilin dengan menggunakan ujung jari telunjuk dan ibu jari. Sungguh hal ini membuatku bergetar. Tanpa kusadari tangan kiriku sudah bergerilya di atas permukaan memiow-ku. Aku agak membungkuk untuk memasukkan tanganku ke dalam rok dan kembali berdiri dengan tangan kiri tepat di atas permukaan memiow yang ditumbuhi oleh rambut halus yang tak begitu panjang dan masih jarang. Uhhhh, perpaduan rasa antara pilinan di puting dan usapan di memiow membuatku tak karuan. Geli-geli nikmat dan timbul keinginan untuk merengkuh puncak dari rasa nikmat ini. Aku mengusap, memilin, menekan, menggaruk lembut, memutar, vertikal, horizontal, hingga gerakan tak beraturan, dan melakukan gerakan kombinasi di dua bagian tubuhku itu yang semakin kurasa semakin sensitif saja. Aku tiba-tiba merasakan getaran hebat di tubuhku. Kucepit tangan kiriku dengan kedua pahaku. Kutelangkupkan tangan kananku ke payu dara kiriku dengan agak menekan. Bagian memiow-ku berdenyut-denyut. Kedutan demi kedutan kurasakan dengan perasaan erotis. Nafasku tak beraturan. Cepat. Dadaku berdegup. Aku melenguh pelan tertahan. Rasanya lega. Puas dan nikmat. Aku menikmati sisa-sisa kenikmatan ini. Dan, bertanya-tanya: apa yang baru saja kurasakan? Aku tersenyum tipis. Kusaksikan ujung jari tangan kiriku basah. Ada sesuatu yang lengket berwarna bening. Segera saja kubasuh dengan air. Begitu juga dengan memiow-ku. Nyes. Tapi, tidak serta merta mendinginkan “panasnya” area itu. Aku bergegas memakai celana dalam. Menuju ke dapur dan mengambil dua botol minuman dan beberapa camilan dari dalam kulkas. Aku kembali ke dalam kamar. Kulihat kedua temanku sudah berada di atas ranjang. Tiduran dalam keadaan telungkup. Masih dengan laptop menyala di hadapan mereka. Aku berjalan mendekat. Sepertinya Bunga dan Bulan tak sadar aku datang. Begitu sampai di dekat mereka, aku terperanjat. Kaget. Layar laptop itu menampilkan gambar gerak alat kelamin laki-laki yang menusuk, keluar masuk, ke dalam alat kelamin perempuan. Terdengar suara lenguhan, erangan, desahan, dan suara yang ditimbulkannya saat dua alat kelamin itu beradu. Aku hanya berdiri mematung menyaksikan itu. Sementara kusaksikan tangan kanan Bunga menelusup ke bagian tubuh bawahnya dan terlihat tangan Bulan mengusap bagian samping payudaranya. Seketika tubuhku berdesir-desir. Ingin rasanya mengulang perbuatan yang tadi kulakukan di kamar mandi. Aku ingin melakukannya di sini. Iya, di sini. Di hadapan layar laptop yang menampilkan adegan perkelahian alat kelamin jantan dan betina milik manusia yang dimabuk nafsu. Di belakang dua temanku yang melakukan perbuatan erotis masing-masing. Aku membayangkan betapa nikmat saat mencapai puncaknya. (*) (*)