DI ANTARA DESINGAN PELURU

Mereka telah terkepung dari segala arah. Keluar dari lemari itu, sama saja dengan menyerahkan tubuh mereka untuk diasingkan, disiksa, atau bahkan yang lebih mengerikan lagi diperkosa oleh manusia-manusia bejat tak bermoral. Terdengar suara sepatu mendekat. Tok! Tok! Tok! Jantung mereka berdetak tak beraturan. Tubuh mereka telah kuyup oleh keringat. Mereka berpegangan erat, menghela napas, dan berdoa sebisa mungkin agar persembunyian mereka tak terlacak. Mereka telah terbiasa dengan bau apak. Dengan rumah tua yang dihuni tikus liar, atau bahkan ruangan dengan tahi kering di sekelilingnya. Itu adalah pilihan mereka. Jauh dari orang tua, jauh dari teman, jauh dari peradaban. Mereka telah memilih untuk melawan penguasa yang bertindak semena-mena. Mencekik rakyat, membungkam suara pemberontakan. Rina memandang ke tubuh kekasihnya. Wajah lelaki yang tegang. Tetapi selalu tampak maskulin di depan matanya. Lehernya pendek, tetapi memiliki urat tegas dan dalam. Wajahnya dipenuhi garis-garis ketegasan hidup. Tanpa bercerita pun, segala kegelisahan hidupnya telah terwakili oleh parasnya yang sedemikian tegas. Lelaki yang jarang tersenyum, dalam kondisi sebahagia apa pun. Dulu Rina mengira, lelaki yang kini menjadi kekasihnya tak pernah mengenal kata bahagia, karena tak pernah tersenyum. “Ada cara lain menikmati kebahagiaan selain tersenyum. Kebahagiaan sering membuat orang lupa, bahwa dalam hidup ini, tak hanya ada bahagia. Mungkin di balik senyum bahagia kita, di luar sana banyak manusia lain yang hidupnya sangat menderita. Saat kebahagiaan menghampiriku, aku hanya mengingat anak-anak yang kelaparan, harga bahan pokok yang mencekik. Pemerintah ini telah sedemikian korup. Rasanya tak pantas kita tersenyum sementara banyak orang di luar sana sangat sengsara.” ucapan yang tak pernah Rina lupakan ketika mereka bersorak karena lolos menghindar dari kejaran aparat. Beberapa temannya telah hilang, atau memang mungkin ditangkap aparat. Operasi rahasia. Tidak ada yang tahu. Yang jelas, mereka tidak ada di rumah, dan tidak lagi pernah masuk kuliah setelah peristiwa perundingan di malam itu. Malam yang memutuskan untuk megumpulkan semua mahasiswa kota mereka belajar. Jika memungkinkan mereka akan mengumpulkan semua mahasiswa dari seluruh Indonesia demi meruntuhkan pemerintah yang telah berkuasa lebih dari tiga puluh tahun. “Rasanya mereka sudah menjauh.” bisik Arya setelah tak lagi mendengar teriakan atau sepatu yang bergesekan dengan lantai tempat mereka bersembunyi. Mereka membuka pintu pelan. Arya dengan sangat hati-hati menarik tangan Rani. Dengan gerakan sehalus mungkin, ia tak ingin meninggalkan suara yang membuat para aparat itu mengendus jejaknya. Mereka berjingkat. Menajamkan pandangan dan telinga. Bernapas dengan hati-hati, sehalus mungkin. Tak boleh setitik pun suara terdengar dari gerak mereka. Setelah dirasa cukup aman, mereka berjingkat mendekati pintu keluar. Mereka berlari sekencang-kencangnya setelah berhasil lolos dari peristiwa yang demikian menegangkan. Mereka menghamburkan diri ke ladang jagung. Jalan dengan berjongkok. Merunduk sedemikian rendah. Mereka tak mengeluh, meski rasa gatal menjalari kulit, ditambah lagi terik sang surya demikian membakar. Tepat tengah hari. Karena di kejauhan sana, sayup-sayup terdengar komandan memberi aba-aba kepada pasukannya. Mereka telah terpisah dari rombongan. Saat mendengar kabar para aparat berhasil mengendus pergerakan mereka, Rani dan Arya mengambil arah sendiri. Begitu pun dengan mahasiswa lainnya. Seandainya ada yang tertangkap, di luar sana masih ada teman seperjuangan yang meneruskan cita-cita mereka. Mereka berjalan menjauh dari area perkebunan dan persawahan. Mereka menuju hutan. tumbuhan liar dan semak belukar, di mana jejak mereka akan semakin sulit terlacak. Seandainya teman-teman mereka tertangkap, bisa jadi hanya mereka berdua harapan satu-satunya untuk meneruskan apa yang telah lama mereka cita-citakan. *** Cahaya keemasan menggantung di angkasa. Mereka menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui orang-orang sekitar pegunungan ini untuk mencari kayu bakar. Di kejauhan mereka mendengar gemericik air. Rani mengembangkan senyum di bibirnya. Sementara Arya, masih dengan wajah getir penuh kekhawatiran. Rani berlari menuju sumber suara. Sungai kecil dengan arus yang tak terlalu deras. Tanpa disuruh ia menceburkan diri ke dalamnya tanpa melepas busana. Tiga hari badan mereka tak tersentuh air bersih. Minum pun mereka menyelinap di tempat warga. Sebenarnya mereka ingin sekali menumpang mandi, tetapi karena di luar sana aparat suka datang mengejutkan, mereka memilih untuk menahan bau keringat mereka sendiri. Arya hanya duduk di pinggir. Sebenarnya ia pun ingin mandi. Tetapi, jika ia juga menceburkan diri, ia takut kelewatan. Ia takut hasrat yang tak seharusnya datang meledak di saat yang tidak tepat. Di masa perjuangan yang seharusnya jauh dari kata menyenangkan. Sekilas ia menatap Rina yang girang bukan kepalang. Bahkan tanpa malu-malu ia melepas bajunya. Rambutnya yang lurus terbasahi sempurna, membuat ia sebagai lelaki meneguk ludahnya sendiri. Ingin sekali waktu berhenti di sana. Menikmati ketakjuban atas keindahan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Rina menyipratkan air ke arahnya. Tawanya renyah, tergelak, terbahak-bahak. Giginya putih berjajar rapi dan sempurna. Dan ingin sekali Arya menahan senyum dan tawa itu selamanya. Lesung pipit di kedua sudut bibirnya membuat perempuan itu bak bidadari yang salah memilih hidup. Arya tak tahan juga. Rasa gatal sudah demikian mengganggu seluruh tubuhnya. Ia melepas bajunya dan menghamburkan diri ke dalam sungai kecil tak beriak itu. Ia menyelam. Menenggelamkan muka. Di dalam air ia tak menyangka Rani juga telah melepas seluruh pakaian yang membungkus tubuhnya. Dadanya bergermuruh. Dilanda perasaan aneh seperti masa-masa mereka berpacaran sebelum mengenal pergerakan. Saling menyenangkan di saat luang. Saling membahagiakan di saat ada kesempatan. Arya memunculkan wajahnya kembali. Air setinggi dadanya. Rani mendekat. Mengelus kepala kekasihnya penuh kelembutan. Mereka begitu dekat. Terdengar desah napas masing-masing. “Sesekali kamu perlu membahagiakan dirimu sendiri. hidup bukan cuma berjuang untuk negeri, untuk rakyat, tetapi juga untuk dirimu sendiri.” ucap Rani sembari memeluk kekeasihnya erat. Arya merasakan rasa kenyal di dadanya. Kulit mereka bersentuhan. Celananya mencadak sempit. Kemaluannya mencuat. Rani tersenyum. Maka ia menyelam, dan melepas celana lelaki itu dengan gerakan sangat pelan dan hati-hati. Rudal itu mengacung tegak sempurna. Telah lama mereka tidak bercumbu, sejak mereka terlibat pergerakan. Rani menyembulkan wajahnya tepat di hadapan Arya. Mereka berpandangan. Jika diijinkan, mereka ingin menghentikan waktu. Membiarkan detik yang saat itu mereka lalui menjadi abadi. Rani mendekatkan wajah. Mengecup bibir bagian atas kekasihnya. Cup! Kelembutan yang lama tidak ia rasakan. Tubuh Rani bergetar. Rani memagut lagi. Kali ini dengan gerakan yang lebih menggairahkan. Menghisap bibir lelaki itu, Arya membalas ciumannya. Mereka tak lagi memikirkan rakyat dan teman-temannya. Mereka berangkulan mesra, saling menyerang. Arya menggigit leher Rani, menghisapnya, membuat perempuan itu melenguh keenakan. Menggelinjang di antara kecipak air. Rani mencari-cari rudal yang pernah memuaskannya di malam-malam laknat. Malam yang ia benci sekaligus ia syukuri. Begitu tegak, mengacung sempurna meski berada di dalam air. Ada sensasi aneh ketika ia menyentuh dan menggenggam rudal itu. Membuat gelora darahnya melonjak naik. Membuat rasa gatal di kedua ujung putingnya semakin mendera. “Mari berpesta!” ucap Rani lembut di telinga Arya yang membuatnya melupakan segalanya. Lidah lelaki itu bergerilya di telinga, menggigit bagian paling bawah telinga Rani, menghisapnya, mencumbunya. Rani menggelinjang dalam pelukannya. Membuat ia menjadi perempuan paling tak berdaya di muka bumi. Arya mengajak mereka ke pinggir. Arya sempat was-was takut dilihat oleh para petani atau warga yang mencari kayu bakar. Rani memberikan sorot mata manja yang mengisyaratkan bahwa semuanya aman. Maka di pinggir sungai, perempuan itu mengangkang. Memperlihatkan sebentuk liang kenikmatan yang dulu sering dinikmati kekasihnya. Arya tak tahan. Maka ia segera menghujamkan lidahnya ke dalam liang itu. Rani berdesis. Melenguh. Melayang, merasakan kenikmatan tiada tara. Lidah itu bergerilya di liang kenikmatan itu, Arya menghisap klitoris perempuan itu dengan hisapan paling memanjakan. Tubuh Rani menggelinjang. Bergetar hebat. Lidah itu begitu sakti sehingga membuat Rani menggerakkan pinggulnya ke sana kemari. Rani sudah tak tahan. Ia mencari rudal itu. Rudal yang memberikan kenikmatan sempurna seorang lelaki dan perempuan. Arya mengarahkan ke arah liang kenikmatan itu. Menggeseknya pelan sebelum mencoba memasukkannya, membuat Rani mennggeliat dan mendesah lebih bergairah lagi. Seekor kupu-kupu hinggap di dekat mereka, menjadi saksi, percumbuan dua insan di senja hari. Pelahan tapi pasti. Rudal itu telah ditelan liang kenikmatannya. Rudal itu berkedut sebentar. Ada rasa sedikit sakit buat Rani. Sudah terlalu lama rudal itu tidak menghujam liang kenikmatannya. Arya berdiam sebentar. Memberikan ruang kepada liang kenikmatan untuk menyesuaikan diri dengan rudal yang baru saja dihujamkannya. Dengan gerakan amat perlahan, Arya menggoyang liang kenikmatan itu. Becek. Basah. Semakin lama semakin cepat. Mereka mendesah, menggelinjang bersama. Arya menyerang bibir kekasihnya. Menghisapnya kuat, dengan ludah menjulur, menyusuri rongga mulut kekasihnya. Terdengar kecipak kekasih yang bercumbu. Rerumputan mengintip malu-malu. Arya menggoyangnya semakin cepat dan semakin cepat. Rani menggelinjang ta karuan. Kedua tangannya menggenggam rumput, mencari pegangan atas kenikmatan yang sedang dirasakannya. Mereka berpacu dengan napas mereka sendiri. Rani tak tahan lagi. liang kenikmatannya berkedut panjang, mencengkeram batang rudal yang tiada henti berkecipak di dalam liang kenikmatan itu. Ia lemas. Lelah. Dengan desah napas yang semakin memburu. Arya mempercepat kecipak di liang kenikmatan kekasihnya. Ada rasa gatal di ujung rudalnya, rasa nikmat yang hendak dimuntahkan. Ia melenguh panjang, cairan itu menghujam dalam di dalam liang kenikmatan. Ia lunglai. Memeluk kekasihnya erat. Arya mengelus gerakan Rani dengan sangat lembut. Rani mengecupnya. Mereka berciuman garang. Dor!!! Terdengar bising peluru di angkasa. Mereka tergeragap. Arya mencabut rudalnya dengan tergesa, Rani sedikit tersentak karenanya. Di atas sana telah berkumpul tiga orang aparat. “Mereka ada di sini!” teriak salah seorang dari mereka. Maka demi menutupi tubuh kekasihnya, Arya memeluk tubuh Rani erat. Matahari telah terbenam di ufuk barat. Ada rasa sesal di wajah lelaki itu. mereka telah tertangkap. Ia hanya berharap di luar sana, teman-teman seperjuangannya akan melanjutkan cita-cita mereka. “Aku ingin mati dalam perjuangan. Dan yang lebih kuinginkan lagi, aku ingin mati di dalam pelukanmu.” ucap Rani sebelum akhirnya para aparat itu menyeret mereka paksa.