Credit Marketing Oficcer (CMO) Remake

Misi suhu, izinkan saya untuk ikut kembali berpartisipasi untuk ikut meramaikan cerita di sini. Saya ucapkan trimakasi buat rekan saya, sudah mengizinkan crtanya untuk bisa d tampilkan di sini.
Dan terimakasi buat para suhu yang telah bersedia membaca, mengoreksi, dan memberi saran bagi penulis yang hina ini.

Cerita ini sebelumnya sudah perna saya pos, dan sekarang saya pos ulang dengan sedikit perubahan, semoga kalian terhibur dengan cerita saya.

Pagi ini, aku duduk di teras rumahku sambil menikmati segelas kopi dan di temani sebatang rokok sampoerna. Lalu tak lama kemudian, seorang wanita cantik keluar dari dalam rumahnya hanya mengenakan handuk putih yang melilit di tubuhnya. Kulihat ia membawa baskom kecil yang berisi pakaian yang baru saja ia cuci.

Aku tersenyum, dari tadi aku menunggu dirinya, akhirnya dia keluar juga.

Namanya Mutiara aku biasa memanggilnya Kak Muti, wajahnya secantik namanya. Jujur saja di kampung dia adalah primadona.

Sudah dari dulu aku sering mencuri pandang kearahnya, bahkan aku sangat hafal jam kegiatannya sehari-hari, entah ketika ia sedang menyapu halaman, ataupun ketika ia sedang menjemur pakaian seperti saat ini, dan yang paling kusuka adalah saat ia menjemur pakaian, karena biasanya dia menjemur pakaian di pagi hari, setelah mandi pagi, dan hanya mengenakan handuk yang nyaris tak mampu menutupi tubuh sintalnya. Maklum saja, handuk yang ia kenakan berukuran kecil.

Mataku menelusuri lekuk tubuhnya, betisnya yang putih bak padi bunting tampak kencang nan indah, dan pantatnya yang berisi begitu meggoda, apa lagi ketika ia sedang membungkuk untuk mengambil pakaian, aku dapat melihat jauh paha mulusnya, dan hanya perlu sedikit lagi bagiku agar bisa melihat selangkangannya.

Pemandangan yang ada di hadapanku mau tak mau membangunkan sang Junior.

Memang dari dulu aku sangat menyukainya, dalam artian bukan sayang atau cinta, hanya sekedar suka dan mengagumi kecantikannya. Walaupun dia seorang janda beranak satu, tapi usianya hanya terpaut dua tahun di atasku, bahkan dulu dia adalah teman sepermainanku.

Waktu kanak-kanak aku sering main kerumahnya, bermain bersama dengannya atau Adik perempuannya yang bernama Elvi, bahkan tak jarang ia mengajakku dan Adik perempuannya untuk mandi bersama.

Tapi itu dulu ketika kami masi anak-anak, semenjak aku masuk SMP kami tak lagi bermain bersama, kami seperti memiliki dunia yang berbeda, bahkan untuk hanya sekedar mengobrol saja kami tak perna melakukannya, paling hanya sekedar menyapa dan tersenyum.

Tapi dalam diam aku sangat mengaguminya, selain cantik ia adalah wanita yang tangguh.

“Kak, ini udah jam berapa, nanti kamu telat loh.”

“Bentar lagi Bun, habisin rokok dulu.” Kataku beralasan, padahal aku masih ingin menikmati tubuh Kak Mutia yang sedang menjemur pakaian.

Kemudian Bunda duduk di sampingku. “Liatin apa si?” Katanya menggodaku, ya Bunda memang sangat hafal kebiasaan burukku ini, tapi anehnya ia tak perna memprotes kebiasaan burukku ini.

“Gak ngeliatin apa-apa kok Bun.” Elakku, padahal sudah jelas aku sedang memperhatikan Kak Muti yang sedang menjemur pakaian.

“Mulus ya? Teteknya masih kencang! Beda sama Bunda yang sudah tua, gak semenarik dirinya.” Seperti biasanya, Bunda selalu memandingkan dirinya dengan orang lain, padahal menurutku Bunda masih sangat cantik walaupun usianya sudah memasuki kepala empat.

Bagiku, bentuk tubuh Bunda masih sangat menggoda, walaupun ada sedikit lemak di bagian perutnya, tapi tak mengurangi keindahan tubuhnya. Andai saja Bunda tau, aku ingin sekali menikmati tubuhnya, tapi tentu saja hal itu tak akan perna kulakukan.

Kualihkan pandanganku kearahnya, kutatap matanya dengan lembut. “Siapa bilang, Bunda itu masih sangat cantik kok, seksi lagi.” Kataku sedikit menggombalinya, kulihat wajahnya bersemu merah, Bunda memang paling suka kalau aku menggombalinya.

Kemudian Bunda beranjak. “Bohong!” Katanya pelan, lalu ia masuk kedalam rumah.

Aku mengejarnya hingga masuk kedalam kamarnya, Bunda masih berdiri membelakangiku, kemudian kupeluk ia dari belakang tanganku melingkar erat di pinggangnya yang ramping, dan selangkanganku menubruk pantat besarnya yang selalu membuatku tergila-gila padanya.

Bunda tak menolak pelukanku, bahkan ia seperti menikmatinya, karena aku sempat mendengar suara nafasnya yang berat.

Kudekatkan bibirku di lehernya. “Beneran Bunda, bagi Raka, Bunda wanita yang paling sempurna, sangat cantik dan seksi.” Rayuku, lalu kutekan penisku yang berdiri diantara lipatan pantatnya. Aku tidak tau, Bunda menyadari keberadaan penisku atau tidak.

Bunda melepas pelukannya, lalu memutar tubuhnya menghadap kearahku. “Iya Bunda percaya sayang, makasi ya sudah mau muji Bunda.” Kemudian dia mengecup pipiku.

Aku tersenyum dan segera keluar meninggalkannya, kulihat Kak Muti baru saja menyelesaikan jemurannya, dan akupun bersiap berangkat bekerja dengan mengendarai motor tua honda Supra X tahun 2004 yang kubeli dari hasil keringatku sendiri.

<><><><><><><>
SATU

Namaku Raka Faiz Hendraya, usiaku saat ini 22 tahun, dan aku anak pertama dari dua bersaudara, Adik Tiriku bernama Cindy, masih duduk di bangku SMP kelas 2.

Sepuluh tahun yang lalu, Ibu kandungku meninggal dunia, dan satu tahun kemudian Ayah menikah lagi dengan seorang perumpuan bernama Melinda, yang kini kupanggil Bunda. Tapi setahun yang lalu, giliran Ayah yang di panggil sang maha kuasa.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluargaku, sudah menjadi tugasku, menggantikan posisi Ayah, menafkahi keluargaku dan menyekolahkan Adikku, hingga kejenjang yang tinggi, aku berharap Adikku tidak seperti diriku yang terpaksa berhenti kuliah karena harus bekerja, menggantikan peran Ayahku. Tapi walaupun begitu aku tak perna mengeluh, bahkan aku bangga karena bisa membantu keungan keluargaku.

Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan jasa peminjaman uang di kota Palembang sebagai CMO atau Marketing. Pekerjaanku sehari-hari mencari pelanggan yang membutuhkan dana tunai, hanya dengan menggadaikan BPKB motor ataupun mobil.

Di kota biasanya aku tinggal di rumah nenekku, dan setiap sabtu sore aku pulang kerumah, senin paginya aku baru kekota lagi, seperti yang kulakukan hari ini.

Hari senin adalah hari yang paling membosankan, bagaimana tidak, aku harus menempuh jarak sejauh 42KM untuk mencapai pusat kota palembang, belum lagi jalanan yang berlubang dan macet yang berkepanjangan, dan bukan sebuah pemandangan yang aneh melihat kendaraan yang mengalami kecelakaan. Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan, jadi tak heran kalau hari senin adalah hari yang paling kubenci.

Aku tiba di kantor tepat jam delapan pagi, sungguh beruntung hari ini aku tidak sampai terlambat, kalau tidak aku terpaksa membayar denda 10 ribu. Seperti yang sudah kami sepakati bersama.

Selesai brefing pagi, aku bersama rekan-rekanku sesama sales mulai mencari mangsa, dan kali ini aku di tandemkan dengan seorang perempuan bernama Janna. Dia adalah karyawan baru di kantorku.

Seperti biasanya, kami berkeliling menyebarkan brosur, dari rumah kerumah, gang ke gang hingga kepasar tradisional.

Kuparkirkan sepeda motorku di pasar, kuajak Janna untuk berkeliling menyebarkan brosur dan menawarkan pinjaman kepedagang maupun kepengunjung pasar yang sedang berbelanja. Sebagian dari mereka acuh tak acuh, bahkan ada yang langsung membuang brosur pemberian kami, tapi ada juga yang merespon tawaran kami dengan sangat baik.

Kudekati seorang pedagang sayuran yang sedang menunggu pembeli. “Maaf Bu mengganggu sebentar, kami dari perusahaan lesing, mau menawarkan pinjaman modal untuk Ibu, siapa tau Ibu berminat.” Kuserahkan selembar brosur kepadanya, ia menerima dan melihatnya.

“Bunganya besar gak Mas?”

“Oooo gak kok Bu, bunganya kecil kok, di jamin gak akan nguras kantong Ibu.” Bujukku sembari tersenyum semanis mungkin.

“Beneran ni…”

“Iya Bu, kalau gak percaya Ibu bisa lihat sendiri angsuran yang ada di brosur.”

“Ada potongannya gak Mas, soalnya kemarin saya perna gadain motor anak saya, tapi ada potongannya sampe 300 ribu.” Keluhan seperti ini sudah biasa kudengar dari pelanggan.

Memang biasanya setiap kali pinjaman ada potongan Admin, bisa di bilang itu pajak pinjaman. Sebagian perusahaan pegadaian biasanya menarik pajak dengan memotong uang pinjaman, tapi tidak dengan perusahaan tempatku bekerja, kami mengambil pajak pinjaman melalui angsuran yang di bayar pelanggan setiap bulannya.

“Kalau di kita gak ada pemotongan Bu, uang pinjaman yang kita kasikan ke Ibu utuh tanpa ada potongan.” Jelasku kepada dirinya.

“Kira-kira kalau motor jupiter mx berapa ya Mas?”

“Jupiter mxnya tahun berapa Bu?” Tanyaku senang, setidaknya ini awal yang baik.

“Tahun 2011 kalau gak salah Mas.”

“Bisa Bu, emang Ibu mau minjam berapa?”

“Kalau 9 juta bisa gak Mas?”

“Kalau 9 juta belum bisa Bu, paling cuman 7 juta Bu, kalau motornya masi bagus, mentok-mentoknya 7,5 juta Bu. Saya boleh lihat motornya dulu gak Bu.” Jelasku kepadanya sedikit berharap ia tidak keberatan dengan jumblah uang yang kutawarkan kepadanya.

“Motornya lagi di pake ke sekolah sama anak saya.” Jawabnya.

“Gimana kalau nanti kami kerumah Ibu.”

“Gimana ya Mas, saya harus izin dulu sama Suami, di bolehin gak minjam duitnya, kalau di izinin nanti saya baru pinjam sama Mas.”

“Oooo gitu, atau gak gini aja Bu, saya minta nomor hpnya Ibu, nanti sore atau nanti malam saya hubungi Ibu lagi, gimana?” Tawarku.

“Nanti aja deh mas, di brosur inikan sudah ada nomornya Mas, nanti biar saya aja yang menghubungi Mas.” Jelas ini sebuah penolakan secara halus darinya.

Ya beginilah nasib seorang sales, harus sangat super sabar menghadapi calon pelanggan. Ada saja cara mereka untuk menolak kita, baik itu dengan cara kasar maupun halus, dan yang lebih menjengkelkan lagi kalau kita sudah capek-capek menjelaskan, gak taunya dia hanya ingin sekedar bertanya, atau ingin membandingkan perusahan ini dengan perusahaan itu.

Tak terasa matahari kini sudah berada di atas kepala kami, itu artinya tanda kalau kami harus beristirahat sejenak, mengisi perut kami yang mulai kosong.

Aku mengajak Janna ke warteg yang ada di pasar, kami memesan semangkok bakso. Tak lama kemudian pelayan menghampiri kami sambil membawakan pesanan kami. Karena tadi pagi aku belom sempat sarapan, aku segera melahap bakso pesanan kami.

“Kak Raka udah lama kerja di sini?” Tanya Janna menggangu makan siangku.

“Lumayan, hampir satu tahun.”

“Capek gak si Kak, kalau kerja kayak gini, setiap hari harus mondar mandir cari pelanggan, belum lagi panasnya yang gak nahan.” Janna merucutkan bibirnya. Sementara aku tersenyum mendengar pertanyaan Jana.

Yang namanya kerja pasti gak ada enaknya, sebagai sales memang sudah menjadi pekerjaan kami berkeliaran di jalan dengan mengendarai sepeda motor, dan terkadang menggunakan mobil perusahaan, tentu saja capek, panas, dan tak jarang di bikin kesel oleh calon pelanggan, itu sudah menjadi makanan kami sehari-hari sebagai sales. Belum lagi tuntutan perusahaan yang terkadang sama sekali tak menghargai kerja keras kita, yang mereka mau hanyalah hasil.

Tapi saya percaya, hasil tak perna mengkhinati sebuah proses yang kita lalui. Berkeluh kesah itu wajar, asal jangan perna menyerah dan terus berusaha.

“Ya pasti capeklah, tapi jangan terlalu di pikirin juga, di nikmatin aja.” Kembali aku memasukkan pentol bakso kedalam mulutku. “Tapi ada enaknya juga kok.” Lanjutku setelah menelan makananku.

“Enaknya apa Kak?”

“Jadi sales itu bebas gak ada yang ngawasin, yang penting hasilnya. Kalau kamu lagi males kerja, kamu tinggal pulang kerumah terus istirahat, sorenya balik kekantor tinggal absen.” Jelasku, sembari memasang senyuman terbaikku.

Setelah kuperhatikan ternyata Jannah ini anaknya manis, apa lagi ketika ia sedang tersenyum.

Matanya rada sipit, seperti keturunan chinese bibirnya memang sedikit tebal tapi menggemaskan, sementara payudarahnya sendiri sepertinya tak begitu besar. Dan yang paling mengejutkan, ternyata Janna memiliki bulu-bulu halus di punggung tangannya, setauku wanita berbulu memiliki nafsu yang lebi besar.

“Berarti Kakak sering pulang ya?”

“Banget… biasanya jam segini aku pulang, atau main ketempat temen, tapi karena ada kamu, mau gak mau hari ini aku full keliling.” Jelasku, sambil melahap pentol terakhirku.

Jannah tertawa renyah. “Kok karena ada aku Kak, Hihihi… Jadi merasa bersalah.”

“Kan sudah jadi tugasku ngajarin dan nemenin kamu.”

“Hmmm… gitu, gimana kalau habis ini main kekossanku aja Kak, soalnya hari ini aku lagi males keliling Kak.”

“Yakin? Tapi nanti kamu gak akan aduhin aku ke Pak Togarkan?” Sebenarnya rada takut juga ngajak anak baru sedikit nakal, takutnya dia malah ngadu ke atasan, bisa-bisa aku langsung di pecat.

Dia kembali tertawa. “Ya gaklah Kak.!!” Katanya meyakinkanku.

“Emangnya kamu males kenapa?”

“Biasa Kak, lagi berantem sama cowokku, aku bingung kenapa ya cowok itu mudah banget marah” Katanya, sambil menekuk wajahnya.

Aku mengangkat alisku. “Siapa bilang, itu tergantung cowoknya.” Jelasku. Tentu saja aku tidak terima kalau di samakan dengan orang lain, tidak semua cowok itu kasar, tidak sedikit cowok yang memperlakukan pasangannya dengan baik.

“Hihihi… Kakak lucu!”

Aku ikut tertawa. “Dari dulu, hehehe… tapi bener loh, banyak kok cowok yang baik, tulus sayang sama pasangannya.” Lanjutku.

“Iya si Kak, tapi cowokku gak gitu.”

“Tinggalin aja, tiinggal cari cowok lain, gitu aja kok repot.” Jawabku santai.

“Gak bisa gitu juga Kak, aku gak bisa lepas gitu aja dari dia Kak, bukan karena sayang, tapi karena hal lain.” Ujarnya sambil memperlihatkan wajah sedihnya. Aku menangkap sesuatu yang ia sembunyikan.

“Ya udah gak usah di pikirin. Kalau begitu kita jalan sekarang aja yuk?” Kataku mengalihkan pembicaraannya, dan mengajaknya untuk segera meninggalkan kedai bakso.

“Yuk.” Jawabnya.

<><><><><><><><>

Kupacu sepeda motor bututku melewati mall palembang square, lalu memutar balik dan berbelok kekiri memasuki jalan dwikora II, tak lama Janna memintaku berhenti di depan sebuah bangunan yang terdiri dari beberapa kamar, yang kuyakini adalah tempat ia mengekos saat ini.

Kulihat seseorang pria berdiri di depan salah satu kamar, dia memandangiku dengan tatapan melotot.

“Kamu tunggu sebentar ya.” Ujar Janna.

Kulihat dari jauh Janna menghampiri pria tersebut, sepertinya cowok itu adalah pacarnya Janna, mereka sempat terlibat cekcok mulut, aku tak begitu mendengarkannya karena itu bukan urusanku, tapi kemudian cowok itu menampar wajah Janna.

Tentu saja aku kaget, bagiku pria yang memukul wanita itu adalah tindakan yang pengecut, tapi aku juga tak mau ikut campur, jadi kuputuskan tetap diam sambil memperhatikan mereka berdua yang sedang perang mulut, kalau memang kondisinya mendesak, baru aku akan membantu dirinya.

Setelah puas memarahi Janna, si cowok itu tiba-tiba berjalan cepat menghampiriku dengan tatapan bengis, seolah ingin menerkamku. Karena khawatir dia juga akan menyerangku, aku segera turun dari atas motorku, tak lama kemudian dia sudah berada di depanku.

Janna segera menghampiri kami, tapi segera kuberi tanda agar ia tak mendekati kami.

“Anjiing siapa kamu?” Katanya dengan penuh emosi, sebentar lagi kupikir ia pasti menyerangku.

“Sabar Bang, Saya teman kerjanya.”

“Gak usah bohong! Ku hajar nanti kau.” Dia mencengkram kerah bajuku.

Aku mundur kebelakang sembari menahan pergelangan tangannya yang sedang menarik kerah bajuku. “Tolong lepaskan!” Kataku yang mulai terbakar emosi.

“Emang kamu pikir aku takut hah…” Dia membentakku dengan mata melotot, sepertinya kesabaranku mulai habis menghadapinya.

Segera kuambil tangannya yang mencengkram kera bajuku, lalu kupelintir kebelakang, kuntendang lutut bagian belakangnya hingga ia berlutut, tidak sampai di situ, kukepalkan tanganku, dan seperkian detik tinjuku mendarat telak mengenai wajahnya, hingga bibirnya pecah.

Satu hal yang paling kebenci dari diriku, kalau sudah emosi aku suka lupa diri.

Kudorong tubuhnya hingga ia terjerembab. Dia segera bangun, kupikir ia akan minta maaf, tapi ia malah kembali menyerangku, aku yang tidak siap terpaksa menerima pukulannya di pipiku, aku terdorong kesamping. Tapi aku cepat menangkis serangan keduanya, kemudian kulayangkan lututku kearah perutnya.

Tidak puas, aku memukulkan sikuku di punggungnya saat ia membungkuk. Dan kemudian kujatuhkan ia ketanah dan aku menindihnya, kembali kukepal tinjuku, dan kupukulkan kewajahnya. Tidak hanya satu tinjuku yang masuk kewajahnya, tapi beberapa kali tinjuku melayang menghantam telak wajahnya, hingga kulihat ada darah di bibirnya, buru-buru aku melepaskan cengkramanku.

“Sudah cukup Kak, lepaskan Kak.” Janna berusaha melerai perkelahian kami.

“Aauuuww…” Dia meringis kesakitan. “Awas ya kamu, kubalas nanti.” Dia menunjukku sambil berusaha berdiri. Aku ingin membantunya berdiri, tapi ia menepis tanganku yang terjulur kearahnya.

Akhirnya aku bisa bernafas lega setelah ia pergi meninggalkan kami. Janna segera menghampiriku, dia menatapku dengan tatapan bersalah.

“Aku gak apa-apa kok.”

“Maaf ya Kak!”

“Udah santai aja, tapi aku balik dulu ya nanti sore aku jemput kamu.” Kataku, lalu aku berpamitan pergi meninggalkannya.

DUA

Sore harinya aku kembali kekossan Janna untuk menjemput dirinya dan kembali kekantor. Setibanya aku segera memarkirkan motorku di depan halaman kossannya, dan kulihat pintu kamarnya dalam keadaan tertutup rapat. Kuketuk perlahan pintu kamarnya.

Tak lama kemudian Janna membukakan pintu, dan ‘Woww…” Dia terlihat begitu seksi dengan tanktop putih dan celana pantai yang cukup pendek, memamerkan paha mulusnya kepadaku.

Aku sempat bengong sesaat melihat penampilannya yang beda dari sebelumnya.

Selama ini aku melihat Janna dalam balutan pakaian yang tertutup rapat, dan kerudung yang menutupi rambut indahnya, dan sekarang di hadapanku Janna berdiri hanya mengenakan pakaian ala kadarnya, tanpa kerudung membiarkan rambut ikalnya tergerai indah.

“Hai, kok bengong!” Ia menegurku.

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. “Habis kamu cantik si Janna, bikin deg-degkan, hehehe…!” Candaku, sedikit menggodanya.

“Apaan si, biasa aja ah.” Kulihat wajahnya sedikit bersemu merah.

Di memutar tubuhnya di depanku bak model, yang sedang memamerkan keindahan tubuhnya diatas panggung.

“Serius, kamu seksi banget pake beginiaan.” Lanjutku.

“Eeehmm… ” Dia menghelana nafas. “Dasar mesum, ayo buruan masuk, nanti di kira orang kamu penagih hutang.” Ujarnya, lalu masuk kedalam kamar kossannya dan akupun menyusulnya dari belakang.

Aku duduk di lantai sambil menonton tv, kebetulan tvnya masi menyala, sementara Janna kebelakang sepertinya sedang membuatkanku minuman.

Karena kulihat ada toples berisi coklat menatapku nganggur, buru-buru aku mengambilnya dan menjadikannya cemilan selagi menunggu Janna.

Dan tak lama kemudian dia kembali sambil membawa segelas teh hangat untukku. Saat ia ingin meletakan gelas di lantai, ia membungkuk dan memberiku pemandangan yang menggairahkan. Bagian leher tanktop yang kenakan sangat longgar, hingga aku dapat melihat payudarahnya yang menggantung bebas dan sepertinya Janna tidak mengenakan bra, karena kulihat puttingnya yang ngejiplak di tanktopnya.

“Hayo liatin apa?” Tegurnya, aku hanya tersenyum. “Jangan nakal ya, ni kamu minum dulu.” Kemudian dia duduk di sampingku.

Karena aku memang sedang haus, aku segera meminum teh hangat pemberiannya, rasanya manis sama seperti orangnya yang manis. Kembali kulirik paha mulusnya dan sungguh pemandangan indah itu sangat menggoda imanku yang memang sangat muda tergoda.

Cukup lama kami terdiam sibuk dengan pikiran kami masing-masing, aku terlalu sibuk memikirkan juniorku yang mulai tersiksa, sementara dirinya aku tak tau dia sedang memikirkan apa.

Kesentuh lengannya dengan jariku. “Lagi mikirin apa si?” Tanyaku bingung.

“Soal tadi, maaf ya…!!”

“Maksud kamu soal cowok kamu yang nyerang aku tadi? Santai aja Janna, gak masalah kok!” Jelasku, kemudian aku mengucek-ngucek rambutnya.

Dia segera menepis tanganku. “Jadi kusut ni.” Rajuknya, kemudian dia mencubit lenganku.

“Biarin.” Ledekku.

Mungkin karena rada kesal dia terus mencubitku, dan akhinya aku mencoba menghindar. Siapa yang mengira cubitannya malah mengenai selangkanganku, ia terdiam menatapku, aku tersenyum geli melihat ekspresinya yang kaget, tapi tak berusaha menjauhkan tangannya.

Beberapa detik kemudian dia hendak menarik tangannya, tapi aku dengan cepat menahannya.

Aku sudah siap kalau nanti ia marah dan menamparku, tapi ternyata tidak, dia malah merenggangkan jarinya, kemudian ia meremas kemaluanku yang sudah berdiri tegak semenjak awal melihatnya.

Kucoba memberanikan diri merangkul pundaknya, dia hanya menurut dan mendekatkan wajahnya, mungkin karena terbawa suasana, ia memejamkan matanya, membuka sedikit bibirnya, mengundang bibirku untuk mengecupnya, kepanggut lembut bibir merahnya yang merekah indah.

Lidahku dengan cepat mencari lidahnya, membelit rakus bagaikan ular. Sungguh ciuman kami begitu bergairah, sampai-sampai air liur kami menetes.

Kususupkan tanganku masuk kedalam tanktopnya, kuraih payudarahnya, dan ternyata dugaanku benar, ia tak mengenakan bra, sehingga telapak tanganku langsung menyentuh kulit payudarahnya yang halus, lalu kuremas pelan payudarahnya sambil menghisap bibirnya.

“Eehmm… Ka… Hmmpp…” Dia mengeluh nikmat.

Jemariku dengan cepat memainkan puttingnya, memilinnya membuat tubuh Janna menikung geli.

Kemudian dia melepas pagutan kami, melepas tanktopnya sehingga kini aku dapat melihat jelas payudarahnya yang menurutku berukuran 32b, dengan puttingnya yang kecoklatan.

Walaupun ukurannya tak begitu besar, tapi aku suka dengan bentuknya yang masih kencang.

“Jelek ya?” Dia menunduk malu.

Aku tak menjawab pertanyaan darinya, dan sebagai gantinya, kurebahkan dirinya, dan kupeluk ia dengan perlahan. Bibirnya yang kemerahan, mengundangku untuk kembali memanggut bibirnya dengan liar, penuh nafsu dan bergairah.

Dia dengan tangkas membalas pagutanku, menghisap bibirku dengan lembut

“Gak kok, aku suka tetek kamu.”

Dia menggigit bibirnya. “Puaskan dirimu Kak, nikmatin tetekku Kak!” Bisiknya pelan, dengan senyuman menggoda.

“Tentu sayang! Tetek kamu sangat menggairahkan, apa kamu suka?” Kembali kupilin puttingnya, memelintirnya pelan, membuatnya semakin bergairah.

Puas melumat bibirnya, ciumanku turun kelehernya yang putih yang di hiasi bulu-bulu halus. “Aahkkk… Kak! Janna suka.” Dia mendesah nikmat.

Aku menjilat dan menghisap leher jenjangnya, membuatnya semakin kegelian, mendekap kepalaky semakin erat.

Setelah membuat beberapa cupangan di lehernya, aku kembali turun menuju gunung kembarnya. Kukecup lembut daging kenyal itu, lalu lidahku menari-nari di aurolanya, mendekati puttingnya, tapi aku sengaja tak menyentuh puttingnya yang sudah mengeras.

“Kak, Please… hisap ituku?” Pintanya.

Lidahku semakin gencar bermain di sekitar puttingnya yang semakin mengeras. “Apanya yang mau di hisap?” Kataku menggodanya.

“Putting susuku Kak!”

“Putting kamu kenapa Janna?” Kugoda dirinya yang sudah terbakar birahi.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, kedua tangannya mengais apapun yang ada di dekatnya, dengan mulut mendesis nikmat.

Punggungnya sedikit terangkat, berusaha menyodorkan puttingnya kepadaku, tapi aku pura-pura menolaknya. “Hisap Kak, putting Janna gatal!” Mohonnya dengan nada memelas kepadaku.

Karena sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, aku langsung melahap puttingnya, kuhisap dan kugigit lembut puttingnya yang menggairahkan, sementara tanganku yang mengaggur kugunakan untuk meremas buah dada yang satunya lagi, kupilin puttingnya dengan jariku.

Secara bergantian aku menghisap dan meremas payudarahnya yang menggoda.

“Ooohkk… Kak, Tetekku Ahkk…”

Sluuppss…. Sluupss… Sluuppss… Sluuupss… Sluuppss… Sluupps… Sluuppss…. Sluuppss…..

“Tetek kamu enak Na! Sluupss…”

Lidaku turun menyelusuri perutnya, menari-nari di atas pusarnya. “Uughkk… Kak, Aaahkk… Aahkk…!” Dia mendesis nikmat.

Keletakan kedua tanganku di pinggiran celana pantainya, dengan perlahan aku menarik celananya hingga terlihat kain segitiga berwarna biru langit, bergaris putih. Kulihat di bagian bawahnya sudah tampak basah.

Kubuka kedua kakinya selebar mungkin, hendak menghirup aroma dari selangkangannya yang masih tertutup kain, menyembunyikan bukit kecil yang menjanjikan sejuta kenikmatan..

Dan ketika lagi asyik-asyiknya bercinta, tiba-tiba kudengar suara ringtone hpku yang berbunyi, awalnya aku ingin mengabaikannya dan terus mencumbu Janna, tapi setelah melihat nama yang tertera di layar hp, kuurungkan niatku.

“Sial”

Buru-buru aku mengambil hp dan mengangkatnya.

“Halo Pak!”

“Kamu di mana Ka? Ini sudah jam berapa?” Omelnya.

Buru-buru aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam 4 lewat. “Ini lagi di jalan!” Jawabku buru-buru.

“Kamu dengan siapa?”

“Aku bareng Janna Pak.”

“Ya udah buruan balik kantor.”

Segera aku mematikan panggilan hpku, kupandangi Janna yang masi di posisi sama, tiduran tanpa mengenakan pakaiannya, dan hanya mengenakan celana dalam yang seharusnya sudah kulepas sejak tadi sehingga aku tak perlu merasa begitu penasaran.

“Kenapa?” Tanyanya bingung.

Aku menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. “Tadi dari Pak Dito, kita di minta untuk segera kekantor.” Jawabku lemas.

Kemudian kami terdiam, tapi beberapa detik kemudian kami tertawa terbahak-bahak.

Janna segera berdiri, dan berlari kecil menuju kamar mandi, sejenak aku menikmati pantatnya dari belakang. Lalu tak lama kemudian ia keluar dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di tubuhnta, dan berganti pakaian tepat di depan mataku, karena takut aku tak tahan melihat tubuhnya, kuputuskan untuk menunggunya di luar.

Dapat kudengar tawa Janna, sesaat sebelum aku menutup pintu kamarnya.

Siaaal!!

<><><><><><><>

TIGA
Selama membuat laporan aku lebih banyak diam, kegagalanku menikmati tubuh Janna, membuat kepala atas bawahku pusing. Janna yang mengerti kegalauanku, sesekali menatapku dan tersenyum menggodaku.

Kegalauanku semakin bertambah tatkala atasanku mulai ngomel-ngomel gak jelas, seperti biasanya, masalah minimnya penjualan kami.

Harus kuakui tiga bulan terakhir ini kami terpuruk, bahkan penjualan kami kalah di bandingkan dengan penjualan cabang kami di desa-desa dan kondisi ini sangat memalukan, tidak heran kalau atasan kami menuntut hasil yang lebih baik dari kami.

Kami baru di persilakan pulang ketika azan magrib berkumandang. Di parkiran aku sudah siap mejalankan motorku pulang kerumah, tapi tiba-tiba Janna menghampiriku.

“Kak, malam ini ada acara gak?”

“Gak ada, kenapa? Mau lanjut yang tadi?” Tanyaku sumringah.

Dia mendengus kesal. “Gak, tadi tu aku khilaf.” Jawabnya, membuatku kecewa. “Tapi Kakak mau gak nemenin aku ke BKB (Benteng Kuto Besak)” Ajaknya antusias.

“Mau ngapain?”

“Cuman pengen makan mie tektek, uda lama gak makan di sana.”

“Boleh, tapi bayarin ya.” Ujarku kembali bersemangat.

“Dasar… ya udah tapi temenin kekos dulu, mulangin motorku dulu.”

“Siap Bos.”

<><><><><><><>

Dengan mengendarai sepeda motorku, kami menuju BKB hanya sekedar untuk menghabiskan malam, menikmati sepiring mie tetek.

Ia duduk manis di belakang jok motorku sambil memeluk erat pinggangku seolah tak ingin melepaskannya lagi. Kurasakan, payudarahnya menekan punggungku, mengingatkanku kejadian tadi sore. Semenjak dari kossannya, Janna tak henti-hentinya bercerita tentang dirinya, keluarga dan teman-temannya, sesekali aku menanggipinya, tapi aku lebih banyak diam.

Sesampai di parkiran, kami segera turun, tujuan awal kami duduk di pinggiran sungai musi.

Janna merentangkan kedua tangannya ia tampak begitu gembira. “Huaaaa… ” Teriaknya di sampingku, aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang kenak-kanakan.

Angin sungai musi berhembus kencang, menerpa wajah kami berdua.

“Kamu kenapa? Kayak orang kesurupan.” Kataku mengejek tingkah konyolnya.

“Biarin, Weeks…” Dia menjulurkan lidahnya.

Kubiarkan ia menikmati malamnya dengan suka cita, karena jujur saja, dari awal ketika pertama kali bertemu dan mengenal dirinya, Janna lebih banyak diam ketimbang buka suara, dan baru kali ini aku melihat Janna lebih banyak berbicara, dan sedikit bersemangat dari biasanya.

Cukup lama kami menikmati pemandangan sungai musi, memandangi kapal-kapal yang lewat di depan kami, baik itu yang berukuran kecil mupun besar, tak lama kami memutuskan untuk makan malam, karena kebetulan aku sudah sangat lapar.

Kami duduk di bangku kecil yang terbuat dari plastik, sambil menunggu pelayan mengantarkan pesanan kami, tak lama kemudian dua piring mie tetek siap untuk kami nikmati. Segera saja kami melahap hidangan yang ada di hadapan kami berdua selagi masih panas, bahkan aku sempat menambah satu piring lagi.

“Kakak doyan apa laper?” Ledeknya saat aku menerima piring kedua.

“Laper!” Jawabku singkat.

“Hahaha… Itu namanya rakus Kak.” Sepertinya ia tak perna bosan untuk menggoda diriku.

“Terserah…” Kataku sedikit kesal. “Eh, kenapa kamu malam ini kayaknya seneng banget, cerita dong.” Pintaku kepadanya.

Dia menghela nafas. “Tadi sore aku putus sama cowok aku yang tadi siang.” Ujarnya, ia tersenyum memandangku yang sedang lahap menyantap mie tetek kesukaanku.

“Oooo…”

“Kok cuman ooo?”

“La terus harus gimana dong?”

“Ucapin selamat kek, atau apalah yang bikin aku merasa benar dengan keputusanku tadi siang.”

“Kenapa? Kamu masih sayang sama dia?”

“Gaklah, uda lama muak sama tingkahnya, orangnya kasar, suka mukul, mau menang sendiri, pokoknya semua yang buruk ada di dia.” Jelasnya, dengan nada berapi-berapi, sepertinya ia memang sangat membenci mantannya itu.

“Terus?”

“Cuman aku punya satu masalah, yang gak akan selesai tanpa dia.” Kali ini wajahnya berubah jadi murung. Membuatku merasa bersalah.

“Masalah apa?”

“Aku gak bisa cerita, itu rahasia, Wekkss… ” Dia kembali meleletkan lidahnya. Aku menanggapinya dengan senyuman.

“Aku tau kok, pasti kamu sudah ehemkan sama dia, kamu udah nyerahin semuanya ke dia, jadi kamu takut kalau putus nanti gak akan ada lagi cowok yang mau sama kamu, benerkan?” Tembakku santai, dia kembali terdiam, tapi aku sangat yakin tebakanku pasti benar.

Hanya satu alasan kenapa banyak perempuan tidak mau putus dari pasangannya, padahal ia sudah tak cinta lagi, dan alasan itu pasti karena mereka sudah menyerahkan kehormatan mereka.

“Iya!”

“Gak perlu khawatir gitu, pasti ada kok cowok yang masi mau menerima kamu apa adanya, yang penting itu hatinya, bukan yang lain, jadi kamu gak perlu takut kalau nanti gak laku, kan masi ada aku..” Kataku berusaha menghibur dirinya dengan sedikit bercanda.

“Sama Kakak? Males bangeet… Tapi semoga saja di luar sana masi banyak cowok yang punya pemikiran seperti Kakak.”

Aku menghela nafas. “Bukan pasti ada, tapi banyak. Ya udah gak perlu di bahas, sekarang kita pulang yuk, uda malam!” Ajakku, dia mengangguk sembari tersenyum sangat manis.

Lalu setelah ia membayar pesanan kami, aku langsung menggandeng tangannya layaknya sepasang kekasi, aku mengajaknya berjalan sejenak berkeliling BKB, dan berhenti di parkiran motorku.

Segera kembali kupacu motorku dengan kecepatan sedang, aku memilih rute melewati KI (Kambang Iwak) dan ternyata di sana tak begitu ramai.

Lima belas menit kemudian kami tiba di depan kossannya, dia turun perlahan dari belakang jok motorku.

“Makasi ya.”

Aku tersenyum sembari mengangguk. “Aku pamit pulang dulu ya.” Kataku.

“Eh tunggu.”

“Kenapa?”

“Soal tadi siang…” Dia menatapku kembali.

“Tenang, aku akan jaga rahasia kita soal kejadian tadi siang, jadi kamu gak perlu takut.”

“Bukan gitu maksudku.”

“Terus.?”

Dia tak langsung menjawab. “Gini… Hmmm… emang kamu gak kepingin ngelanjutin yang tadi siang?” Deg… undangannya membuat jantungku nyaris berhenti.

Tak perlu menjawab, aku segera turun dari atas motorku, menggandeng tangannya, mengajaknya masuk kedalam kamarnya, tak lupa aku menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Janna yang melihat tingkahku hanya tertawa renyah, tapi itu tak berlangsung lama.

<><><><><>

Sambil berdiri aku memanggut bibirnya, tanganku bergerilya merabahi punggungnya, lalu turun menuju pantatnya. Kuremas pantatnya dengan perlahan tanpa melepas pagutan kami.

Eeehmmmpp…. Eehhmmpp… Ehhmmpp… Ehhmmpp…. Eehhmpp…. Ehhmmpp….

Kurasakan kenyalnya pantat Janna, bahkan kedua jariku menekan vaginanya dari luar celana jeans yang ia kenakan saat ini.

“Kamu nafsuiin Na!” Erangku.

Dia menghisap bibirku, mengaitkan lidahku dengan lidahnya, sungguh aku tidak menyangkah kalau ia begitu agresif sekali. “Malam ini aku milik kamu Kak!” Jawabnya dengan nada mendesah.

Kemudian tanpa melepas ciuman, dia membuka satu persatu kancing kemejanya, lalu melepasnya dan di susul dengan membuka branya, kembali aku dapat melihat puncak gunung kembar miliknya yang yang nampak indah. Segera saja, kuremas buah dadanya, kupilin puttingnya tanpa melepaskan ciumanku.

Sambil berpelukan, kutuntun ia berbaring diatas tempat tidurnya. “Aaahkkk… Kak, jilatin tetek Janna Kak!” Pintanya, sambil memegang kepalaku dan mengaarahkan wajahku kearah buah dadanya.

Segera kulahap susunya yang mungil menggemaskan, dan ternyata Janna sangat terangsang dengan permainan lidahku diatas payudarahnya, belum lagi lidahku sambil menghisap payudarahnya, ujung lidahku menekan puttingnya hingga tenggelam.

Sejenak aku menghentikan kulumanku, dan kubiarkan Janna membuka bajuku.

Setelah bajuku terbuka, kembali kuterkam tubuhnya, kuhisap secara bergantian payudarahnya, sesekali puttingnya kugigit pelan, membuat tubuh Janna tersentak hebat oleh permainan lidahku.

Masih dengan mengulum payudarahnya, aku membuka celana jeans ketat yang ia kenakan, lalu kutarik turun celana itu melewati paha mulusnya, dan berakhir di ujung kakinya, aku menarik kasar celananya hingga terlepas, menampakan tubuh Janna yang hanya terbalut kain segitiga.

Kuangkat kaki kanannya, dan aku mulai mencium dan menjilati betisnya, terus naik hingga kepangkal pahanya, lalu kulakukan hal yang sama dengan kaki kirinya.

“Celana dalamnya boleh aku buka?” Tanyaku, sedikit menggoda, menekan vaginanya dari luar celana dalamnya yang tampak membekas basah.

Dia mengangguk malu-malu. “Boleh Kak, di buka aja!” Ujarnya dengan suara mendesah.

Kuletakan kedua jariku di pinggiran celananya, kemudian dengan perlahan kutarik kebawah celana dalamnya yang berwarna coklat, lalu kulepas dan tidak langsung kulemparkan, melainkan kuhirup terlebih dahulu aroma celana dalamnya dan kujilati bagian basahnya.

Aku memang memiliki orientasi sex yang agak menyimpang, aku sangat suka sekali mencium celana dalam perempuan yang baru saja selesai di pakai, selain itu aku sangat menyukai pantat mereka, terutama bagi mereka yang memiliki pantat yang besar.

Dia meringis. “Ihkk… Kakak jorok!” Ujarnya sambil mencubit perutku.

“Biarin, Aku suka bauknya! Wekkss.”

“Janna juga suka, celana dalam Janna di ciumin sama Kakak, bikin makin terangsang.” Ujarnya kini lebih vulgar dari sebelumnya.

Setelah puas menjilati celana dalamnya, kubuka kedua kakinya, lalu kedekatkan wajahku di dekat bibir vaginanya yang di tumbuhi rambut hitam yang cukup lebat, tapi sangat menggairahkan bagiku, sehingga aku tak sabar menghirup dalam-dalam aroma vaginanya.

Kutempelkan hidungku dan aroma khas vaginanya langsung menusuk hidungku, membuat penisku bediri tegak dengan gagahnya.

“Memek kamu wangi Na!”

Kemudian kujulurkan lidahku, menyapu bibir vaginanya turun naik mengikuti garis vaginanya. Dengan ujung lidahku, aku mencari clitorinya yang bersembunyi di balik lipatan vaginanya, kemudian kujilati clitorisnya dan kuhisap dengan perlahan.

Tubuh Janna bergetar hebat, menikmati sentuhan lidahku di clitorisnya. Tidak sampai di situ saja, kutusukan jari tengahku kedalam bibir vaginanya, bergerak mengorek liangnya yang semakin becek.

“Kaaak… Aahkk… Geliii Kak! Oohk…” Pekinya.

Aku semakin intens memainkan lidahku di clitorisnya, mengitarinya dengan ujung lidahku, sementara jariku ssmakin cepat mengocok vaginanya yang semakin basah membanjir.

Sluuplss… Sluuppss… Sluuppss… Sluuppss… Sluuppsss… Sluupss… Sluupss… Sluuppsss….

Wajahnya mendongak keatas. “Aku keluar Kak! Ahkk…” Ia mengerang seiring lendirnya yang keluar semakin banyak.

Kedua pahanya dengan erat menjepit wajahku, membenamkan wajahku semakin dalam keselangkangannya, hingga hampir seluruh wajahku menempel di selangkangannya. Dan kemudian pinggulnya terangkat seiring dengan orgasme yang ia dapatkan dariku.

Aku segera menjauhkan wajahku, menarik nafas dalam-dalam. Kini wajahku tampak basah, bukan hanya karena keringat, tapi juga karena cairan cintanya, yang tadi membasahi wajahku.

Kulihat dada Janna naik turun mengikuti alunan nafasnya yang terputus-putus. “Terimakasih ya Kak!” Ujarnya lirih sambil menatapku tersenyum puas.

“Gimana enak?” Godaku.

Dengan wajah bersemu ia menjawab. “Enak banget Kak! Ayo di lanjut.” Katanya mulai berani.

Segera kubuka celanaku hingga aku telanjang bulat, mempertontonkan penisku yang panjang, besar dan sedikit berurat. Aku yakin pasti bisa membuatnya menikmati penisku.

Kutindih tubuhnya, lalu kubelai kepalanya yang masih tertutup kerudung, dan kemudian kekucup lembut keningnya, kubelai kembali payudarahnya, memainkan puttingnya hingga tubuh Janna kembali panas terbakar birahi yang kupercikan untuknya.

“Aku masukan sekarang ya?” Pintaku.

“I… iya Kak, setubuhi Janna sekarang, puaskan Janna Kak, bikin Janna ketagihan.” Ujarnya lirih, dia meraih batang kemaluanku dan mengarahkan penisku tepat di depan bibir vaginanya.

Perlahan kudorong kepala jamurku, membuka lipatan vagina Janna, menembus masuk jauh kedalam lorong yang menjanjikan sejuta kenikmatan. Walaupun sedikit sulit, tapi akhirnya penisku berhasil bersemayam kedalam vaginanya yang sempit. “Ahkkk…” Dia mendesah panjang, ketika ujung kemaluanku mentok menubruk rahimnya.

Sejenak kudiamkan penisku, menikmati sensasi jepitan dinding vaginanya yang seperti sedang mengurut-urut batang kemaluanku.

“Ughkk… Ssstt… pelan-pelan Kak, terlalu besar.” Ujarnya, terengah-engah.

Kukecup keningnya. “Tahan ya Na, nanti juga kamu pasti keenakan kok!” Jelasku.

Lalu dengan perlahan kugoyang pinggulku maju mundur, menghujami vaginanya yang terasa seret, semakin lama aku semakin cepat mengocok penisku, mengaduk vaginanya yang nikmat. “Aahkk… Kak, Oohkk… Aahkk…!” Ia merintih nikmat setiap kali kudorong kemaluanku hingga menyentuh bibir rahimnya.

“Gila Na… memek kamu hangat bangeet!” Pujiku, merasakan sensasi jepitan memek Jana.

Kurebahkan tubuhku, lalu kembali kulumat bibirnya, sambil berciuman aku menghentak pinggulnya, menikmati sensasi nikmat dari jepitan dinding vaginanya.

Tak lama kemudian, kurasakan denyutan hebat dari bibir vaginanya, otot-otot vaginanya mencengkram erat penisku seolah tak ingin melepaskannya. “Aaahkk… Aduh, Ohhk… aku mau keluar Kak.” Dia mengerang, sambil menekan pinggulku.

Tubuhnya yang bermandikan keringat terguncang hebat, tatkalah ia mendapatkan orgasme pertama dari persetubuhan kami yang panas.

Seeeerr… Seeerrrr… Seeerrr…. Seerrr….

Dengan perlahan kucabut penisku, kulihat kini penisku bermandikan cairan cintanya.

“Lanjut lagi Kak!” Pintanya.

Aku menatapnya tak yakin. “Kamu gak capek? Kalau capek kamu bisa beristirahat sejenak.” Kataku menawarkan untuk istirahat sejenak.

Dia menggeleng pelan. “Gak apa-apa Kak, ayo masukan lagi.” Jawabnya sembari menarik lenganku.

Karena aku belum mencapai klimaksku, kuminta Janna untuk menunggingiku, sehingga dari belakang aku dapat melihat pantatnya, dan lobang duburnya yang mengintip malu-malu dari lipatan pantatnya.

Kubuka kedua pipi pantatnya, kulihat lobang pantat Janna yang ternyata sudah tak perawan lagi, membuatku senang karena Janna pasti tak akan menolak kalau aku memasukan penisku kedalam sana. Lalu kedekatkan kembali wajahku, kukecup lembut kedua pipi pantatnya, lalu kujulurkan lidahku tepat di lobang pantatnya.

Tubuh Janna mengejang kembali ketika ujung lidahku menusuk kedalam lobang pantatnya. “Oohhkk… Jangan, Aahkk… aku gak tahan.” Ia merintih geli, tangannya mengais wajahku, memintaku untuk berhenti tapi aku tak mau berhenti hingga anusnya basah karena air liurku.

“Boleh ya Janna?” Tanyaku sambil mendorong, memukul lobang pantatnya dengan pennisku.

Janna kembali mendesah pelan. “Boleh, masukin aja Kak, Oohkk…” Setelah mendapat izin darinya, sesegera mungkin kudorong penisku, memaksa penisku masuk kedalam anusnya. Perlahan inci demi inci penisku masuk kedalam anusnya.

“Oughk… Kak Raka, kontolnya kegedean!” Pekik Janna.

Dengan tempo yang agak cepat aku menyodok pantatnya, sambil meremasi kedua pipi pantatnya. Ahk… rasanya sangat nikmat sekali, sama seperti vaginanya yang nikmat. “Ploookk… Plooookk… Ploookk….” Pinggulku bergoyang semakin cepat, menghujami anusnya.

Jujur saja, aku sangat menyukai anal sex, ada kepuasan tersendiri ketika merasakan jepitan anus mereka, apa lagi yang masih perawan.

Tapi walaupun aku suka anal, bukan berarti aku seorang homo seksual, aku hanya menyukai perempuan.

Kuhentakan pinggulku semakin keras dan cepat, ketika kurasakan kenikmatan puncak semakin terasa dekat, tubuhku menegang dan “Crooorr… crroott… crooot…” Aku menumpahkan spermaku kedalam anusnya.

Perlahan kucabut penisku dari anusnya, tampak terlihat anusnya memerah dan membuka lebih besar. Kumasukan kedua jari jempolku, lalu kutarik dari arah berlawanan sehingga lobang anusnya terbuka semakin lebar, memperlihatkan spermaku yang mengalir turun melewati bibir vaginanya.

Tubuhku ambruk kesamping tubuh Janna, sambil berpelukan, kurasakan nafasnya memburu nikmat. “Terimakasi Kak, baru kali ini aku benar menikmati persetubuhan, dulu aku selalu tersiksa tanpa merasakan kenikmatan dari pacarku.” Ujarnya, kukecup lembut keningnya dengan perasaan nyaman.

<><><><><><><>