Counter Hape

Counter Hape

SEJAK kedua mertuaku balik ke desa ingin mewujudkan impian mereka menjadi petani sambil menghabiskan masa tua mereka di sana, rumahku menjadi sedikit lega.

Maka itu aku ingin merenovasi bagian depan rumahku dan merobahnya menjadi sebuah ruangan yang nanti akan kujadikan tempat usaha dan bisa kusewakan.

Ternyata usahaku merenovasi rumah tidak sia-sia. Belum sampai satu bulan sudah datang orang yang ingin menyewa ruangan di depan rumahku itu menjadi counter hape, karena di sekitar tempat tinggalku counter hape masih sangat jarang.

Yang menyewa tempat usahaku itu, adalah Pak Barusman. Usia Pak Barusman baru 40 tahun, sedangkan usiaku 47 tahun, sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan berusia 19 tahun.

Usaha Pak Barusman memang membuka counter hape. Beliau mempunyai 2 counter hape, satu beliau buka di mall dan satu lagi di ruko, tetapi berhubung yang di ruko harga sewanya tahun ini naik lumayan tinggi, maka ia memilih menyewa tempat usahaku.

Seminggu kemudian, counter hape Pak Barusman dibuka. Namanya “CING CING CELL”. Cing Cing Cell tidak hanya menjual pulsa hape secara fisik dan elektronik, tetapi juga menjual asesoris hape, token listrik, dan isi ulang dompet digital.

Ternyata hak operasional Cing Cing Cell bukan berada di tangan Pak Barusman, melainkan oleh istri Pak Barusman, yaitu Bu Titien yang memakai kerudung, tetapi pakaiannya pakaian biasa yang ketat-ketat.

Saking ketatnya pakaian Bu Titien, pernah sekali aku melihat belahan buah dadanya sewaktu aku pulang kerja dari kantor sore itu tanpa Bu Titien mengetahuinya karena ia sedang asyik menonton video di hapenya sambil bersandar di kursi, ujung kain kerudungnya ia sampirkan ke bahunya dan tanpa ia sadari jika kancing kedua di blousenya itu terlepas dari lubang kancingnya.

Selain Bu Titien yang menjaga counter hape Cing Cing Cell, terkadang adik Bu Titien juga ikut menjaga kalau Bu Titien lagi sibuk di luar, atau pegawai dari counter hapenya yang berada di mall yang dikirim untuk menjaga.

Jadi aku tidak ingin membantah jika aku dibilang sangat dekat dengan ketiga wanita yang berbeda usia ini.

Memang iya, karena mereka ikut memakai fasilitas di rumahku, seperti minjem pakai kamar mandi, minta air minum, minjem piring, minjem sendok, minjem gelas bahkan adik Bu Titien berani minta tolong aku untuk menjaga counter hapenya jika ia mau pergi ke kamar mandi.

Tetapi kemudian muncul pertanyaanku, kenapa Pak Barusman jarang nongol di counter hapenya, tetapi justru yang sering datang adalah seorang laki-laki paruh baya kalau yang menjaga counter hape adalah Bu Titien?

Mereka begitu akrab kalau ngobrol. Pertanyaanku kemudian terjawab.

Di counter hape Pak Barusman, selain mempunyai pintu yang menghubungkan toko dengan rumahku, counter berukuran 2 x 3 meter ini juga dibagi menjadi 2 bagian: di depan dijadikan counter, sedangkan di bagian belakang dijadikan tempat istirahat dengan meletakkan kasur busa di lantai dan dibatasi dengan kain.

Nah, hari itu entah anakku lagi mujur, atau Bu Titien yang lagi sial.

“Pih…. mmm… mmm… mmm… Fita mau ngomong, Pih…” kata anakku dengan tergagap-gagap seperti ketakutan menarik aku ke kamar.

“Silahkan, mau ngomong apa…” jawabku pada anakku. “Kamu kelihatan gelisah seperti ketakutan ada apa?” tanyaku pada Fita.

“Anu Pih… mmm… mmm… itu, mmm… mmm… Tante Titien…”

“Tante Titien ada apa?” tanyaku masih tenang, tetapi sudah timbul pertanyaan melihat kelakukan Fita yang tidak biasa seperti itu.

“Maaf ya Pih, Fita melihat tidak sengaja karena pintu yang di belakang itu terbuka… mmm… mmm… dada Tante Titien… mmmm…. mmm… te… telanjang, Pih…! Itunya diremas-remas sama Om yang suka datang itu sambil ciuman gitu…”

O… astagaaaaaaaaaaaaa….

Jangankan Fita yang masih hijau, aku yang sudah tua bangkotan saja sampai berkeringat seluruh tubuhku dari ubun-ubun sampai telapak kaki mendengar cerita Fita.

Tidak percaya tetapi nyata. Fita tidak mungkin berbohong padaku.

Lirin, begitu nama adik ipar Pak Barusman, usianya sekitar 30 tahun, sudah menikah dan mempunyai 1 orang anak laki-laki berusia 8 tahun, kalau pulang sekolah sering diantar tukang becak ke counter hape jika Lirin yang menjaga.

Seperti biasa kalau aku berada di rumah, jika Lirin melihat aku nonton televisi tidak ada pekerjaan, iapun minta tolong sama aku untuk menjaga counter hapenya.

“Pak Syukur, tolong ya…”

“Iya…” jawabku.

Lirin masuk ke kamar mandi. Mungkin sekitar 5 menitan begitu suara seorang anak laki-laki kemudian terdengar memanggil-manggil di depan counter ingin mengisi pulsa.

“Rin, itu ada yang mau ngisi pulsa, tuh…!” panggilku dari tempat aku duduk.

“Iyaaa… Paa..akk…” jawab Lirin dari kamar mandi.

Sebentar kemudian Lirin keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa, dan kali ini aku yang mujur.

Mungkin karena tergesa-gesa, Lirin memakai celana jeansnya juga tergesa-gesa, sehingga bagian bawah kaosnya terselip di bagian atas celana jeansnya, sedangkan ritsletingnya tidak ditarik ke atas.

Akibatnya aku bisa melihat bagian atas selangkangan Lirin yang mulus telanjang dari ritsletingnya yang terkuak. Selain itu air di kamar mandi juga dibiarkan mengocor ke ember.

Mendengarnya aku buru-buru angkat pantat dari tempat dudukku.

O… o… o…

Sebatang coklat berukuran sebesar dan sepanjang pisang canvendish tersandar di lubang toilet.

Waww…. dan aku juga menemukan celana dalam Lirin tergantung di kapstok.

Sewaktu aku turunkan celana dalam itu dan melihat ke daerah selangkangannya yang menutupi memek Lirin, ternyata terdapat cetakan belahan memek Lirin di celana dalam berwarna merah jambu itu dan di cetakannya itu basah karena terdapat lendir kental berwarna kekuningan.

Aku kembalikan celana dalam itu di tempatnya dan duduk kembali di depan televisi dengan gelisah. Kemudian sewaktu Lirin masuk ke rumah diikuti oleh anaknya, aku menyuruh Lirin duduk.

Lirin tidak menolak. Lirin duduk di sebelahku dengan ritsleting yang masih terkuak, sedangkan anaknya pergi ke kamar mandi.

“Rin, aku mau tanya…” kataku membuka pembicaraan.

“Iya, Pak…”

“Siapa sih laki-laki yang sering datang ke sini kalau Mbak-mu yang menjaga konter?”

Lirin tersentak sejenak seperti tersengat listrik. Mulutnya antara mau menjawab pertanyaanku dan tidak. Kemudian Lilin berkata, “Bapak jangan cerita ke orang lain lagi, ya…”

“Masa sih…? Ya, nggaklah Rin…” jawabku memberi Lirin kepastian.

“Selingkuhan Mbak-ku, Pak…”

“Kok…?”

“Iyaa…! Kan Mbak-ku nggak dapat nafkah batin dari suaminya… setahuku begitu, Pak… mmm… mmm karena barang suaminya sudah nggak bisa bangun, Pak…”

Anak Lirin keluar dari kamar mandi menenteng celananya. Pe*** kecilnya ngaceng!

Ia datang ke depan Lirin minta mamanya memakaikan kembali celananya. “He.. he..” tawaku memandang pe*** kecil anak Lirin.

E… malah Lirin memegang pe*** anaknya itu. “Kecil apa panjang ya, Pak?”

“Sering ngaceng begitu, ya?” tanyaku.

“Nggg.***k sih, Pak…” jawab Lirin memakaikan celana pada anaknya.

Anaknya pergi, aku langsung menembak Lirin. “Ngaceng karena celanamu terbuka kali….” kataku.

Seketika Lirin kelabakan. Wajahnya yang berkulit sawo matang itu pucat dan tegang. Aku memegang lengannya. “Cebok dulu sana… kamu belum cebok, kan?” kataku.

“Maaf, Paa..ak…”

Aku meraih pundak Lirin. “Nanti kelihatan anakku, Pak…”

“Kamu pengen…?”

“Hi…hikk…”

“Punya aku kecil, lho…” kataku.

“Mmm…” desah Lirin.

Aku memberanikan diri menarik tangan Lirin ke celana pendekku yang telah berbentuk tenda kecil. Lirin mau memegang batang penisku dari luar celana pendekku.

“Mmmh… besar gitu kok dibilang kecil… hi.. hi..” kata Lirin.

“Aku keluarkan, ya…”

Lirin lepas dari pelukanku pergi ke counter hapenya.

“Tidur…” kata Lirin setelah ia melihat anaknya kembali ke tempat duduk.

“Kamu gak mau begini…?” tanyaku memperagakan jari jempolku dijepit dengan jari telunjuk dan jari tengahku pada Lirin sambil kukelarkan penisku yang tegang dari celana pendekku. “…kalau nggak mau, bisa tolong dikocok…?”

“Nggak bisa, Pak…” jawab Lirin pelan. “Kalau kami berhubungan intim kan biasa-biasa saja, Pak… nggak ada variasinya… nggak kayak tetanggaku.” kata Lirin. “Tetanggaku pernah cerita padaku, katanya main dengan suaminya sambil nungging… orgame segala, katanya… apa itu orgasme sih, Pak?”

“Sulit aku menjelaskannya, kalau kamu belum merasakan…” jawabku.

“He.. he..”

Aku menjulurkan tanganku ke dada Lirin yang BH-nya berbentuk mancung dan cup BH-nya kecil. “Heee.. aku gak punya tetek, Pak… malu kalau aku buka buat Bapak…”

Melihat Lirin sudah jinak, aku angkat kaosnya saja. Lirin sudah lupa belum cebok. Kami bersama-sama melepaskan celana.

Turun ke karpet yang berada di depan televisi, aku tidak membiarkan Lirin rileks lagi. Lirin tidak menyangka sewaktu aku membuka lebar pahanya, aku menyelusupkan kepalaku ke selangkangannya yang berjembut hitam lebat sampai bulu jembutnya mengelilingi bibir memeknya itu.

“Paa..akk…!” jerit Lirin menjepit kepalaku dengan pahanya, tetapi semakin ia menjepit kuat kepalaku karena tegang, semakin lidahku menghujani jilatan ke belahan memeknya yang berbau sungguh-sungguh sedap. Lendirnya juga banyak yang keluar dari lubang memeknya yang berwarna kemerahan itu.

Apalagi aku menjilat anusnya…. ohhh…

Lirin sudah tidak mampu bertahan lebih lagi sewaktu lidahku mendapat akses masuk ke dalam lubang memeknya. Lidahku berputar-putar di dalam lubang kecil itu sekali-sekali kudorong jauh menggelitik rahimnya, membuat Lirin tidak hanya menggelinjang, tetapi menggeliat seperti cacing kepanasan, ditambah lagi jariku keluar-masuk di lubang anusnya…

“Ooooogghhhhhhh….” dengusnya panjang seperti pita suaranya tercekat.

Tubuhnya basah kuyup berkeringat, matanya mendelik seperti kerasukan setan, tubuhnya yang kurus mungil itu kaku, kemudian disusul dengan teriakannya yang kencang, “Aaaarrrggghhhhhh….. ooooooo…..oooohhhhhh…. Paaa…aaakkkkkk….!!!”

Lirin pun terdiam dengan dada naik-turun.

“Nikmat…?” tanyaku.

“Iyaaa… Pak…!” jawab Lirin tersenyum. “Itu ya yang namanya orgasme, Pak?”

“Iya…” jawabku memeluk Lirin sambil kugenggam batang penisku untuk kudorong masuk ke lobang persetubuhannya.

Tidak terlalu sulit. Dengan sekali hentak… blluuusssss… batang peniskupun terbenam sampai buah pelerku menempel di bibir memek Lirin.

“Ooougghh… Pak… hi..hi… ngilu…”

“Memekmu enak…” kataku.

“He.. he..”

Lirin sudah tidak mampu mengatakan ia tidak punya tetek lagi sewaktu kulepaskan BH-nya, kukulum teteknya yang mungil itu di dalam mulutku sambil batang penisku menggesek-gesek dinding memeknya, Lirin memeluk aku erat-erat seperti suami istri sedang bercinta saja sambil kedua kakinya melingkar di pantatku, Lirin membiarkan air maniku menembak di dalam memeknya.

“Ooougghhh… Paaa..akkk…” desah Lirin merasa nikmat ketika rahimnya disirami oleh air maniku yang kental hangat.

“Maa… laper…!” rengek anak lelaki Lirin sudah berdiri di depan karpet saat kami masih menikmati sisa-sia kenikmatan persetubuhan kami.

“Ya, sebentar ya…” jawab Lirin membiarkan tubuh telanjangku menyingkir dari tubuh telanjangnya dan Lirin tidak menutupi tubuh telanjangnya di depan anaknya saat ia pergi ke kamar mandi.

Kelengketan tubuh kami terus berlanjut, mungkin Lirin sudah ketagihan dan jatuh cinta padaku, apalagi kebutuhan sehari-harinya tidak kulupakan selain ia mendapat nafkah batin, ia juga mendapat nafkah fisik dariku.

Persis seperti suami istri-lah kami berdua, tetapi belum berbentuk ‘surat’ melainkan hanya ‘urat’ saja! He..he.. entah bagaimana Lirin dengan suaminya, aku tidak bertanya padanya.

Istriku kelihatannya juga lebih suka ngobrol dengan Lirin yang sederhana daripada Bu Titien yang pergelangan tangannya berkilauan dengan gelang emas dan jarinya kalau ada enam, semuanya dipasangi dengan cincin, termasuk pergelangan kakinya diberi kalung.

Kuku-kuku di jari kaki dan tangannya sering berganti warna, kadang putih, kadang berwarna perak, kadang hitam, apalagi kalau ia pagi-pagi baru sampai di counternya, waduh… itu bibirnya…

Kebiasaanku kalau kencing suka tidak menutup pintu kamar mandi sehingga membuat Milah, asisten Bu Titien yang masih muda berusia 22 tahun itu mengenal penisku.

“Pak…!!!” jeritnya saat ia menemukan aku sedang berdiri kencing di depan toilet.

Sebenarnya aku berdiri menyamping, tetapi sengaja aku menghadapkan penisku pada Milah yang berdiri terbengong di depan kamar mandi.

“Kamu suka..?” tanyaku.

“Nggak…!!! Besar gitu… takut…!!!” jawab Milah, padahal ukuran penisku ukuran Indonesia.

“Kamu sudah punya pacar?”

Milah menggeleng.

“Kalau gitu, kita coba, ya…”

“Nggak…! Kalau aku hamil, Bapak mau tanggung jawab?”

Langkahku maju ke depan, seketika Milah sudah dalam dekapanku dan bibirnya langsung kulumat. Jelas Milah meronta. Tetapi semakin ia meronta, celana yang dipakainya semakin mudah kulepaskan, apalagi ia tidak tau bagaimana cara melepaskan diri, penisku yang tegang sudah terselip di selangkangannya yang telanjang. Bulu jembutku menyatu dengan bulu jembutnya.

“Ugghhh… Bapak… aku gak mau, maksa…” kata Milah dengan napas tak teratur.

“Kamu cantik, aku sayang sama kamu…” kataku.

“Tapi aku takut, Pak…”

“Aku pelan-pelan… yang penting kamu jangan tegang. Mau…?”
Mungkin aku berbicaranya pelan dan tidak mendesak atau memaksanya sehingga Milah jadi mudah aku menariknya ke karpet dan melepaskan kaos dan BH-nya.

Nah, ini tetek Milah baru bulat setengah lingkaran dan kencang, tak berkedut atau bergerak kalau dipegang. BH-nya nomor 34B, kalau boleh kutebak.

Milah berbaring dalam diam saat aku menjilat memeknya yang berbentuk 2 garis vertikal yang rapat sambil ia memejamkan mata.

Kasihan juga aku melihatnya. Jika memek anakku Fita dijilat oleh laki-laki lain selain pacarnya, bagaimana perasaanku, ya?

Apalagi dari belahan memek Milah yang sudah merekah itu terlihat dari lubang memeknya, selaput daranya masih utuh.

“Oohhh…” rintih Milah sambil menggeliat erotis di depanku, sehingga membuat konsentrasiku kembali terfokus pada tubuh Milah yang mulus telanjang, akupun memasang kepala penisku di depan lubang memeknya yang menganga.

Satu kali ayunan penisku tidak membuat selaput dara Milah langsung jelas. Kepala penisku tertahan di sana. Kegeluti leher Milah sambil kuremas teteknya.
“Akkkhhh…” rintih Milah menggeliat, wajahnya terdongak, sehingga membuat napsuku kian liar saja dan dengan sekali tusuk….

Jleeebbbb…. bluuuussss….

“Ooooohhhh…” teriak Milah bersamaan dengan selaput darahnya jebol, karena batang penisku sudah terjepit di dalam lubang yang ketat itu.

Napas Milah ngos-ngosan. Ia mau menangis tidak ada air mati, mau tersenyum memeknya terasa sakit tersumpat oleh penisku yang keras.

“Kamu jangan takut hamil ya,” kataku pada Milah. “Aku akan meminang kamu jadi istriku…”

Milah memeluk aku erat-erat membiarkan aku mengentotnya sampai pejuhku melimpah keluar dari lubang memeknya bersama darah perawannya.

Lirin datang menjemputnya sambil menutup counter, semuanya berjalan seperti biasa. Milah juga tidak tampak canggung dengan Lirin.

*****​

Dua minggu kemudian aku mendapat kabar dari Lirin, bahwa Milah pindah kerja di counter hape milik orang lain yang terletak di mall yang lain karena pacar Milah kerja di counter itu sebagai tehnisi hape.

O… ternyata Milah membohongi aku bahwa ia belum punya pacar.

Aku tidak kecewa mendengarnya, tetapi aku bangga berhasil menjebol memek perawan Milah.

Semoga ia hamil oleh air maniku yang kental hangat dan pernah merendam rahimnya itu.

Fita kembali membawa kabar tak sedap padaku. “Itu… Pih, Om itu… masa ia tunjukin itu… mmm… mmm… penisnya pada Vita…?”

“Kamu cantik…”

“He.. he… tapi sudah layu gitu, Pih… jijik ngeliatnya, nggak kayak punya Papih, gagah…”

“Kok kamu tau punya Papi gagah…?” tanyaku.

“Hiks… Papi pernah peluk Tante Lirin kan… aku suka Tante Lirin, Pih… nikahi Tante Lirin aja, Pih…”

“Nanti mamimu ngamuk…”

“Ngg.***k…! Mami juga ngomong Tante Lirin itu baik kok…”

“Tapi… mamimu nggak tau Papi berhubungan intim dengan Tante Lirin kan?”

“Hi… hi… nggak, Pih… Fita nggak ngomong, mna Mami tau…”

“Kamu pintar…” kataku.

Fita memeluk aku. Payudaranya yang montok tergencet di dadaku yang bidang.

Aku membiarkan

“Pih…” panggil Fita manja memandang aku.

Bibirnya yang tipis memerah delima sedikit terbuka seolah meminta aku memasukkan lidahku ke situ. Akupun tergoda dan mencium bibir Fita.

Hanya ranjang dan bantal yang menyaksikan bagaimana tanganku merengkuh payudara putriku itu dan meremasnya sehingga membuat napas Fita seolah terhenti.

“Fit… Fita seperti kencing, Pih… sherrr… nikmat banget, Pih…” kata Fita.

“Papi gak mau bercinta sama kamu deh,” kataku menahan diri. “Nanti jadi gak enak bercinta sama Tante Lirin…”

Lewat 1,5 bulan kemudian, aku bertemu dengan Bu Titien di counter hapenya duduk sendirian sewaktu aku pulang kerja.

Bu Titien mengatakan 3 hal padaku waktu itu. Ia bilang Lirin sedang berada di kampung dengan suami dan anaknya. Kemudian ia juga bilang bahwa counter hapenya ini mau ia oper pada orang lain, disebabkan hal yang ketiga ini; ia ingin bercerai dengan Pak Barusman!

Aku tidak tau rencana Bu Titien terlaksana atau tidak. Counter hapenya masih buka sampai sekarang tetapi ditunggui oleh seorang anak laki-laki berumur sekitar 25 tahun.

Petualangan seksku dengan Lirin, Bu Titien dan Milah, aku anggap sudah selesai.

Kok gampang begitu?

Sebaliknya tidak juga kalau aku terbayang dengan Lirin. Tetapi suatu siang suatu peristiwa telah mengubah seluruh hidupku sewaktu aku bertemu dengan Bu Titien duduk sendirian di lobby sebuah hotel di sebuah tempat peristirahatan ketika aku keluar dari lift selesai mengikuti sesi seminar pemasaran.

Ia tidak didampingi siapa-siapa dan ia sudah bercerai katanya. Penampilannya juga beda.

Sejak pertemuan siang itu dan beberapa pertemuan lainnya, istriku mengizinkan aku mengambil Bu Titien sebagai istriku.(bc)

T a m a t

Gallery for Counter Hape