CERITA DARI KOLEGA
Menjadi pemusik dari cafe ke cafe sebenarnya pekerjaan yang ku suka. Aku suka menyanyi dari kecil. Dan kini hobi itu menjadi pekerjaan. Aku hidup dari menyanyi dan aku menikmatinya. Suaraku tak bagus-bagus amat, kata beberapa orang berkarakter. Suaraku berat, juga lantang. Itu yang membuatku sering menyanyikan lagu-lagu rock lawas. Aku merasa cocok saja.
Saat ini, aku rutin menyanyi di 3 tempat berbeda dengan 3 formasi berbeda pula. Pertama, aku bernyanyi dengan sebuah band di sebuah bar di daerah Selatan Jakarta. Aku main di sana tiap Senin dan Jumat. Lalu, aku bersama band ku yang lain memainkan musik akustik di sebuah cafe, masih di selatan Jakarta. Tiap Kamis dan Sabtu aku bermain di sana. Terakhir, aku bermain duo bersama seorang rekan wanita. Hanya hari Rabu aku bermain di sebuah cafe di sebuah hotel daerah Jakarta Pusat. Praktis aku memiliki dua hari libur dalam seminggu. Seringkali waktu libur itu juga aku menerima tawaran menyanyi di event-event tertentu, entah sendiri atau salah satu dari bandku.
Pekerjaan ini membawaku berkenalan dengan banyak orang. Dari mulai pekerja cafe, pelaku event organizer, hingga pengunjung yang seringkali kuajak berinteraksi. Dalam bernyanyi, aku memang sering mengajak penonton berpartisipasi. Bahkan ada beberapa yang akhirnya kukenal akrab. Aku akan menceritakan salah satunya di sini.
Namanya Aya, tentu bukan nama sebenarnya. Ia seorang wanita berusia 30an akhir yang memiliki 2 anak. Katanya masih memiliki suami, aku percaya saja. Aku mengajaknya bernyanyi saat bermain bersama band akustikku di hari kamis seperti biasanya. Ia ikut bernyanyi dengan sangat asyik ketika aku memainkan Crazy dari Aerosmith. Karena Ia duduk di barisan agak depan bersama teman-temannya, aku menghampirinya dan mengajaknya bernyanyi di stage. Meski awalnya menolak, karena dorongan dari teman-temannya, Ia mengikuti ajakanku. Setelah menyanyikan Crazy, kami duet untuk dua lagu. How Deep is Your Love dari ee Gees dan Cant Help Falling In Love dari Elvis Presley. Ia sangat menikmati ketiga lagu itu. Selama bernyanyi, mata kami seringkali bertemu tanpa sengaja. Wanita ini sangat mempesona di usianya sekarang. Cantik, kulit putih, rambut panjang sepunggung, juga cukup tinggi. Suaranya juga tak dapat dibilang jelek. Kami duet dengan sangat lancar. Usai bernyanyi, kami bersalaman, Ia pamit kembali ke tempatnya. Disambut teman-temannya, aku memberikan senyum paling manis. Aku cukup terpesona dengan wanita tersebut.
Ketika aku selesai bernyanyi, Aya dan teman-temannya juga beranjak meninggalkan cafe. Sebelum itu, Ia terlihat berbicara dengan manajer cafe, kami memanggilnya Bayu. Aku hanya melempar senyum, lalu kami duduk di tempat biasa untuk beristirahat. Sebelum pergi dari cafe, Aya sempat menyapa dengan senyum tanda undur diri.
Beberapa waktu kemudian setelah peristiwa di cafe tersebut. Ada seseorang menghubungiku melalu pesan WhatsApp. Ia memperkenalkan diri sebagai Aya, wanita yang kuajak bernyanyi. Lucu juga. Ia menawarkan sebuah pekerjaan pada bandku untuk mengisi acara yang Ia helat bersama rekan-rekan komunitasnya. Karena konteksnya menawari sebuah pekerjaan, kujawab formal dengan menambahkan panggilan Ibu sebelum namanya. Kami terlibat beberapa kali berbalas pesan hingga kemudian ditutup dengan menentukan jadwal bertemu muka. Katanya, ada beberapa yang harus didiskusikan perkara konsep acara dan fee kami. Aku setuju. Kami akan bertemu dua hari kemudian di pagi hari, karena hanya waktu itu yang cocok dengan jadwal kami berdua.
Hari Jumat pagi, aku bersama Ibong, keyboardist di bandku menuju sebuah restoran yang sudah ditentukan oleh Ibu Aya sebelumnya. Kalau bertemu klien atau siapapun yang berurusan dengan band kami, aku selalu hadir bersama Ibong. Ia negosiator ulung dan selalu nisa mencairkan suasana. Sampai di restoran daerah Selatan Jakarta, kami menemukan Ibu Aya telah menunggu bersama seorang wanita lain. Kami saling sapandan memperkenalkan diri. Rupanya, Ia datang dengan Ibu Neyna, Ketua Komunitasnya. Seperti biasa kami basa-basi dahulu, dan Ibong memang jago perihal ini. Suasana menjadi sangat cair. Meski nampaknya perbedaan usia cukup jauh dan kami baru saja saling kenal, candaan cukup mendominasi perbincangan. Aku rasa ini awal yang bagus.
Ternyata, mereka berdua adalah aktivis perempuan di salah satu partai politik. Dan kegiatan ini nantinya adalah salah satu program dari partai politik tersebut. Bukan murni kampanye, tapi kegiatan sosial di beberapa panti jompo dan yatim. Kegiatan akan berlangsung selama satu bulan tiap Sabtu dan Minggu pukul 08.00 – 11.00. Kami akan dikontrak untuk mengisi semuanya. Setelah negosiasi yang cenderung santai, kami menyepakati harga. Bagi kami, harga ini lumayan. Lebih besar dari pada yang biasa kami terima. Tapi kami memang membatasi tidak akan ikut berkampanye, karena kami hanya akan bermain musik. Mereka setuju. Deal.
Pertemuan hari itu selesai karena Bu Aya dan Bu Neyna ada agenda lain. Mereka berdua menyenangkan. Seperti tak ada batas dengan kami meski aku yakin status sosial mereka cukup tinggi. Gaya bercandanya juga menyenangkan. Aku makin terpesona, terutama dengan Bu Aya.
Selepas tercapai kesepakatan, aku hanya beberapa kali kontak dengan Bu Aya untuk menanyakan perihal kepastian. Percakapan kami cenderung formal dan sekadarnya. Aku tak berani macam-macam. Bisa-bisa bisa kehilangan pekerjaan.
Sabtu pagi, kami sudah bergabung dengan team Bu Aya yang ternyata cukup banyak. Hampir semuanya adalah wanita dan sepertinya gerombolan sosialita partai ini. Pakaian dan asesoris yang mereka kenakan menunjukkan hal itu. Selama acara berlangsung aku hanya beberapa kali berbincang dengan Bu Aya, juga Bu Neyna dan beberapa rekannya. Untungnya, penampilan band kami hari itu lancar dan mampu mencairkan suasana. Acara selesai, kami mendapat pujian. Lega rasanya.
Sampai penampilan kami yang ke empat, semua berjalan lancar. Hari itu kami selesai menghibur di panti sosial anak. Suasana meriah. Kami yang menyanyikan banyak lagu anak juga berhasil membuat suasana menyenangkan. Sepanjang acara, aku beberapa kali bertemu pandang dengan Bu Aya, tak ada yang bisa kulakukan selain memberikan senyuman terbaik. Selama kenal beberapa minggu ini, aku makin terpesona. Ia ternyata ramah sekali. Juga tak malu ketika harus turun melakukan kegiatan sosial. Bertemu lansia di panti jompo, juga anak-anak difabel di panti sosial hari ini. Ia makin menarik hari. Meski aku kini telah mengetahui siapa suaminya. Kemarin, Ia datang diantar Sang Suami. Salah seorang pengusaha sukses di Jakarta, dan cukup mentereng namanya. Perawakannya juga berwibawa dengan fisik yang tak kalah dengan Bu Aya. Aku hanya bisa menaruh hati, tapi jelas tak bisa berbuat apa-apa.
Acara hari itu selesai. Sebelum pamit, aku sempat berbincang dengan Bu Aya.
“Thank you ya Ji sudah bantu-bantu. Teman-teman puas semua sama penampilan kalian,” Ia memuji kami
“Sama-sama Bu Aya. Alhamdulillah kalau senang. Kami juga terima kasih sudah diajak. Siapa tau lain kali diajak lagi,” kataku berusaha melempar candaan
“Mudah-mudahan nanti-nanti banyak ya jobnya,” kami tertawa bersama
“Eh besok kamu main?” Ia tiba-tiba bertanya
“Aku besok main tapi sama lain band Bu. Di bar Putih jam 9 malam,” kataku menjelaskan
“Oh gitu. Formatnya sama kayak gini?” Ia tanya lagi
“Beda. Besok aku main full band gitu, rutin sih main di sana tiap Senin sama Jumat,” jawabku lagi
“Wah jadi penasaran kamu main full band gitu,” Ia menjawab dengan muka antusias
“Boleh kalau mau mampir, Bu, sekalian diajak yang lain,” candaku promosi
“Oke nanti kukontak kamu kalau mampir,” pungkasnya
Kami berpisah. Aku berharap Ia datang besok ketika aku main.
Tak kusangka, ketika aku berada di panggung untuk main keesokannya, kulihat Bu Aya ada di salah satu meja. Kupandang, mata kami bertemu, aku melempar senyum dan Ia membalasnya. Ah, aku meleleh rasanya. Ia juga melambaikan tangan. Aku sampai disenggol gitarisku, Mas Jajang.
Aku bermain hampir dua jam seperti biasanya. Ketika selesai, aku tak lagi melihat sosok Bu Aya.
“Aku pulang dulu ya, udah kemaleman. Keren banget penampilanmu tadi. Dan barnya juga enak. Aku baru pertama kali ke sana”
Ia memberi pesan lewat WA ke ponselku. Aku kembali dibuat meleleh.
“Terima kasih ya Bu sudah mampir. Mudah-mudahan nggak mengecewakan. Hehe”
Aku harap-harap cemas ingin segera dibalas. Gila. Aku seperti orang yang sedang kasmaran.
Aksi berbalas pesan kami berlanjut hingga beberapa kali sebelum Ia pamit kalau sudah ingin istirahat. Ah, aku rela menempuh jalur yang berat asalkan bisa lebih dekat dengan Bu Aya.
Setelah kejadian malam itu, kami tiap hari saling berbalas pesan. Meski kadang hanya sekadar menyapa. Aku sedang dalam perasaan tak peduli apa yang kulakukan. Aku tahu dia sudah bersuami, memiliki anak pula. Dan aki yakin Ia sadar akan hal itu. Kalau tidak, mungkin aksi berbalas pesan ini tak akan berlanjut. Kami hanya akan sampai pada hubungan pekerjaan. Aku yakin Ia punya maksud lain, dan aku dengan senang hati menyambutnya. Sejak awal, aku sudah dibikin terpesona. Maka tak ada kata mundur, maju terus.
“Besok jangan telat ya Ji. Kayak biasanya ya,”
Pesan dari Bu Aya masuk di ponselku Sabtu jam 22.45, selepas aku usai manggung dengan bandku.
“Siap Ibu cantik. Lokasinya nggak berubah kan?”
“Nggak dong. See you ya.”
“See you Bu Aya.”
Disapa begini saja rasanya hatiku sudah gembira. Aku jadi tak sabar untuk bertemu Bu Aya esok hari.
Aku bermain penuh semangat hari itu, entah kenapa. Apalagi ketika kulihat Bu Aya memperhatikan aksiku. Rasanya ingin kuajak bernyanyi dan kugenggam tangannya. Kami beberapa kali bertemu muka dan saling melempar senyumnya. Aku deg-degan. Konsentrasiku kadang terganggu.
“Habis main di sini ada agenda apa, Ji?”
Sebuah pesan dari Bu Aya masuk. Aku mencari-cari di mana keberadaannya. Tak ketemu.
“Rencananya balik kosan, Bu. Belum ada agenda lanjutan. Bu Aya sendiri?”
Harap-harap cemas ku menunggu balasannya.
“Rencananya mau nonton, tapi teman-teman pada nggak bisa. Jadi kayaknya langsung pulang.”
Aku bingung harus menangkap kode ini atau tidak. Kuputar ponselku, mondar-mandir sambil melihat sekeliling untuk mencari di mana Bu Aya berada.
“Saya sih nggak nolak kalau mau ditraktir nonton hehe”
Aku harus berani, sudah kuputuskan itu.
“Kita ketemu di mall A ya.”
Deg. Yes. Aku berhasil. Sepertinya sudah bisa dimulai. Mudah-mudahan saja aku tidak mengecewakan.
Acara usai. Kami berpamitan dengan panitia. Kulihat Bu Aya merapat. Aku tak tahu dia dari mana. Kami bersalaman basa-basi. Ia sama sekali tak canggung, aku yang sedikit kikuk. Tapi sadar harus bermain cantik, aku segera menyesuaikan.
Aku memacu motorku ke lokasi yang diminta Bu Aya. Aku tak tahu jam berapa Ia akan menyusul, yakin saja dulu. Aku tak ingin mengecewakan ya.
“Tunggu bentar ya, 10 menit lagi aku jalan.”
Pesannya kubaca setelah aku sampai. Itu setengah jam lalu.
“Siap Bu Aya. Saya sudah di lokasi. Perlu dibelikan tiket dulu? Bu Aya mau nonton apa?”
Aku duduk di sebuah kedai minuman sambil menunggu kedatangan Bu Aya.
“Nggak usah. Ini tiketnya sudah dibeli. Kan aku yang traktir hehe”
Shit. Aku lupa ada teknologi pesan tiket online. Bodoh sekali.
“Baiklah. Hati-hati di jalan ya Bu. Saya nunggu di kedai “Nanana”.”
Aku masih tak percaya akan nonton berdua dengan Bu Aya.
“Oke. Sabar ya, jalanan agak padat nih.”
Ah dia mulai membuat kalimat-kalimat yang melenakan.
“Saya selalu sabar menunggu kedatangan Bu Aya hehe”
Meski klise, setidaknya aku harus sepik-sepik sedikit. Harap maklum, namanya juga amateur.
Setengah jam kemudian Ia mengabarkan kalau sudah di The Premiere. Film mulai 10 menit lagi katanya. Ia menungguku di depan studio.
Gila. Baru pertama kali ini aku nonton di bioskop premium. Yang tempat duduknya seperti kasur. Bisa-bisa aku malah tidur.
Aku bergegas menyusul Bu Aya. Sampai di bioskop, kulihat Ia sedang duduk di depan studio.
“Sorry Bu sudah nungguin” kataku sambil ngos-ngosan
“Kamu habis lari marathon?” Ia malah menggodaku
“Biar kuat nonton film 2 jam,” kuladeni godaannya
Kami tertawa. Ia mengajak masuk dan menyerahkan tiket pada petugas. Bu Aya memilih kursi di baris ke dua dari atas dan agak ke tengah. Sudah ada beberapa penonton lain dengan posisi menyebar. Film yang akan ditonton ini salah satu film romance dari hollywood dengan durasi 2,5 jam. Lumayan juga.
Selama menonton kami hanya sesekali terlibat pembicaraan. Itu pun membahas film yang sedang kami tonton. Sambil sesekali kami saling melempar canda. Aku sudah bagaimana Ia tertawa. Menyejukkan. Ah aku harus menghilangkan perasaan seperti ini.
Pada sebuah adegan yang cukup menegangkan, Bu Aya tiba-tiba memegang tanganku. Sontak aku kaget. Kami lalu berpandangan. Dan tertawa. Ini tak seperti adegan-adegan yang kalian bayangkan. Kami malah saling menertawakan diri.
“Padahal harusnya adegannya ciuman ya Ji” katanya setelah kami selesai tertawa
“Berarti film-film sama cerita-cerita itu bohong ya Bu?” Balasku
Kami tertawa lagi dan melanjutkan menonton hingga usai. Tak ada kejadian-kejadian yang diharapkan selama kami menonton film. Kami justru lebih banyak bergurau.
Usai menonton, Ia mengajakku makan. Kami mulai berbicara tentang personal masing-masing. Sambil tentu dibumbui candaan. Sepertinya itu yang membuat kami dekat. Aku akhirnya tahu usianya 38 tahun. Anaknya dua laki-laki, yang pertama berusi 12 tahun dan yang kedua 9 tahun. Suaminya seorang pengusaha, Ia tak menyebutkan detilnya. Ia sendiri Ibu Rumah Tangga yang sehari-hari di rumah, merawat diri, dan berjejaring. Makanya kemudian Ia banyak aktif di kegiatan sosial, dan kini di partai politik. Ia diminta oleh rekan suaminya yang lebih dulu aktif di sana. Aku berusaha untuk tidak menginterogasi, aku ingin Ia bercerita dengan suka rela.
“Jujur Ji, selama nikah, aku baru kali ini keluar makan berdua sama cowok selain suami,” katanya di sela-sela kami makan
“Berarti ada yang bisa tak banggakan ya?” Godaku membalas perkataannya
“Makanya aku milih di sini, kayaknya sih nggak bakal ada yang kenal aku,” Ia tersenyum
“Bu Aya nggak takut?” Aku memancingnya
“Enggak sih, kan kita cuma makan,” balasnya dengan mimik jahil
“Berarti cuma makan?” Aku kembali melempar umpan
Ia malah mencubitku. Ini sentuhan kedua. Setelah Ia memegang lenganku tadi di dalam bioskop. Kami makin akrab. Candaan dan cerita-cerita ringan mewarnai perbincangan kami sore itu.
“Bu Aya langsung pulang habis ini?” Aku bertanya saat kami sudah beres makan
“Pengen ganti baju sih sebenernya dari tadi tapi jam segini pasti lagi padet mau pulang,” jawabnya
“Kan bisa beli baju di sini Bu,” aku menyarankan
“Gitu aja kali ya,” Ia membenarkan
Kami beranjak dari tempat makan dan menuju sebuah gerai baju. Aku hanya mengekor saja. Setelah menelusuri 3 gerai, akhirnya Bu Aya menentukan pilihan. Ia kemudian pamit ke toilet untuk berganti baju. Beberapa menit kemudian Ia sudah berganti dengan kaos dan sebuah jaket jins. Ia nampak lebih muda dengan pakaian begini.
“Kamu anterin aku ke apartemenku yang deket sini ya. Kita beli helm dulu,” tanpa jeda, Ia lalu menggamit tanganku untuk mengikuti
Aku jelas tak menyangka Ia mau naik motorku. Dan ke apartemennya? Kenapa Ia tak dari tadi minta diantar ke sana? Kenapa harus ada alasan jalanan padat? Aku berpikir jauh dan berharap semua yang kupikirkan akan kejadian. Doakan saja.
Kami menemukan toko helm di depan mall, Ia memintaku membeli. Bu Aya menunggu di mall. Setelah membeli helm, aku segera mengambil motor di basement. Begitu tadi kami janjian. Berikutnya, aku membawa Bu Aya di boncengan motorku yang nampak usang ini.
“Aku udah lama banget nggak naik motor Ji,” Ia mengajakku berbincang
“Panas ya Bu?” Tanyaku
“Begitulah. Makanya cepetan ya” Ia tertawa
Tak sampai 15 menit, aku sudah di parkir apartemen yang dimaksud Bu Aya. Ia memintaku menunggu di lift belakang. Kuturuti saja. Sejurus kemudian Ia datang dan mengajakku naik. Kami berhenti di lantai 25. Saya tak menghitung berapa jumlah lantai di apartemen ini. Masuk ke apartemen, Bu Aya nampak menuju kamar mandi.
“Aku mandi dulu ya Ji. Gerah banget,” katanya berpamitan
Aku hanya mengangguk dan melempar senyum. Kubuka gordin jendela apartemen dan melihat pemandangan Jakarta dari lantai 25. Menyenangkan sekaligus menyedihkan. Sejauh mata memandang didominasi gedung-gedung tinggi dan jejeran rumah. Aku masih berpikir apa yang akan terjadi dengan kami berdua setelah ini. Aku tak ingin gegabah bertindak. Siapa tahu Ia memang hanya ingin mampir mandi. Entahlah.
15 menit kemudian Bu Aya keluar dari kamar mandi dan melempar handuk padaku.
“Mandi juga sana. Kamu pasti gerah juga kan dari tadi nyanyi-nyanyi,” katanya
Memang benar. Rasanya tubuhku sudah lengket. Ditambah, harus melalui jalanan Jakarta dengan motor. Untung saja tadi ada makhluk cantik yang membonceng di belakang. Udara Jakarta terasa lebih sejuk.
Aku bergegas ke kamar mandi. Sekilas tadi kulihat Bu Aya hanya mengenakan kaos dengan ditutupi handuk dan celana kain yang aku tak tahu kapan Ia mendapatkannya. Kuduga, Ia tak memakai bra. Ini hanya dugaanku saja.
Aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mandi. Rasa penasaran membuatku ingin bergegas dan segera mengetahui apa yang akan terjadi setelah ini. Jangan tanya apa yang kuharapkan, kalian pasti sudah tahu jawabannya.
Tok. Tok. Tok.
Sedang mengeringkan badan, Bu Aya mengetok pintu kamar mandi.
“Iya Bu?” Tanyaku dari dalam
Aku masih dalam keadaan telanjang ketika engsel pintu dibuka. Aku memang tak menguncinya.
Bu Aya masuk dan menubruk tubuhku. Aku kaget dan tak menyangka apa yang Ia lakukan. Ia mencari bibirku. Ketemu. Lalu melumatnya. Oh. Kenikmatan apa yang sedang menyerangku saat ini. Bu Aya, wanita yang kukenal sebulan lalu sedang berpagutan denganku, di sebuah kamar mandi di apartemen miliknya. Ia tak bersuara. Tangannya merebut handuk yang kupakai dan melemparnya.
“Kamu lama. Aku nggak tahan,”
Ia kembali mendaratkan bibirnya di bibirku. Kini aku telah menguasai keadaan. Kubalas serangannya dengan tak kalah agresif. Sungguh, ini ciuman terbaik yang pernah kurasakan. Selain jam terbang yang rendah, semua ciuman sebelumnya kulakukan dengan sesama amatir. Tapi kali ini yang sedang bertukar liur adalah wanita berpengalaman yang aku yakin tak perlu diragukan lagi kemampuannya.
“Bawa aku ke ranjang,” perintahnya di tengah percumbuan kami
Sekuat tenaga, kugendong tubuhnya ke ranjang. Untungnya, jarak kamar mandi dengan ranjang tak jauh. Kami ambruk di ranjang berukuran king itu. Aku sudah telanjang sedangkan Ia masih berpakaian lengkap. Benar dugaanku, tak ada bra yang membungkus payudaranya. Cukup besar dan padat rasanya. Kami berpagutan lagi, melepas nafsu perlahan-lahan. Tangannya bergerilya di punggungku. Juga rambutku menjadi sasarannya. Rambut kami sama-sama panjang, dan Ia memainkannya dengan lihai.
Perlahan, kulucuti pakaian atasnya. Kaos itu kulempar entah kemana. Ia telah bertelanjang dada sekarang. Benar-benar payudara yang sempurna. Bentuknya bulat, besarnya menggiurkan, juga putingnya yang coklat menonjol. Aku tak yakin ini payudara milik seorang wanita beranak dua dan berusia hampir 40 tahun.
Segera kujelajahi payudara itu. Bu Aya mulai mendengus. Puting menjadi sasaran utamaku. Bentuknya amat menggemaskan. Lidahku lama bermain di sana hingga desahan itu mulai terdengar. Ia mulai menjambaki rambutku. Sudah tak karuan bentuknya, sesekali Ia benamkan kepalaku, lain kali Ia angkat dengan sedikit berteriak. Aku tak tahu punya kemampuan ini dari mana. Semua datang begitu saja. Ini mungkin yang dinamakan naluri.
Bu Aya berhasil kutelanjangi. Kami sama-sama tak tertutupi apa pun. Ia tersenyum. Kami masih berpelukan. Dan ciuman itu terjadi lagi. Kami mengulangi berkali-kali dengan tetap menggerayangi tubuh masing-masing. Ia mendorongku rebah. Dengan cekatan, penisku sudah dikuasai. Yang terjadi kemudian adalah permainan yang tak akan pernah kulupakan. Jilatan menelusuri tiap inci penisku yang berukuran standar itu. Ia kemudian memasukkannya ke dalam bibir seksinya. Rasanya bagai terbang ke awang-awang. Bu Aya memainkan penisku dengan mahir. Aku sampai merem melek keenakan. Tak lupa, rambutnya yang kini kumainkan.
“Stop, Bu. Please,” akhirnya aku memohon
Ia hanya tersenyum. Kugapai tubuhnya, kami berpagutan lagi.
Kami saling meraba dalam ketelanjangan. Tubuhnya benar-benar tak ada cela. Putih dan mulus tiap senti. Juga bentuk vaginya yang menggairahkan dengan rambut tipis tertata. Ia begitu pandai merawat tubuhnya. Pantas saja di usia begini pesonanya masih sangat mumpuni.
Aku memosisikan diri di atas dan siap menuju pertandingan utama. Penisku sudah tegak tak karuan, vagina Bu Aya juga kian kuyup.
“Pelan ya Ji,” pintanya
Aku mengiyakan. Aku tahu, aku amatir sekali di bidang ini. Kalau nanti mengecewakan, nampaknya ini akan jadi yang terakhir.
“Aahhhh” Bu Aya melenguh
Aku mulai mengayun pelan. Konsentrasiku adalah bagaimana cara memuaskannya terlebih dahulu. Dengan pengalaman yang dimiliki, aku yakin ini tak akan mudah.
Bu Aya menciumi wajahku. Dijilati bibir, hidung, serta bagian wajah lainnya. Aku makin melayang. Vaginanya benar-benar bikin mabuk kepayang. Sebagai pemula, ini pengalaman yang luar biasa.
Gerakanku makin cepat. Bu Aya membiarkan aku mengeksplorasi vaginanya. Aku tak yakin bisa bertahan lama. Aroma kegagalan sudah di depan mata.
“Keluarin sayaang uuuhhhh ohhhh” Bu Aya memberiku semangat
Aku makin kacau. Orgasmeku sudah di ubun-ubun. Rasanya, seperti ada tsunami yang akan menerjang tubuhku. Aku tak bisa menguasai diri.
“OOOHHHHHH”
Bu Aya memelukku erat. Ia menekan tubuhnya ke atas. Aku limbung. Orgasme ini benar-benar luar biasa. Apalagi, jepitan vagina Bu Aya tak menurun sama sekali. Penisku bagai diremas, bahkan setelah kukeluarkan maniku di vaginanya. Bu Aya, maafkan aku mengecewakanmu.
“Aku suka manimu. Kenceng banget rasanya,” Ia masih memberiku pujian di tengah kegagalanku
Nafasku masih ngos-ngosan. Bu Aya terus membelai tubuhku. Ia tahu bagaimana membuatku kembali percaya diri. Tubuh kami tak lepas sama sekali. Kelamin kami juga masih menyatu. Tak ada rasa kecewa yang ditunjukkan oleh Bu Aya. Padahal aku yakin, Ia belum apa-apa.
Tapi ada satu yang aneh. Rasanya, penisku tak mengkerut sama sekali. Aku merasa ia masih tegak di dalam sana. Aku heran. Harusnya, setelah orgasme penis pasti mengecil. Bu Aya masih membelai punggungku dan mengurutnya pelan. Posisi kami masih sama, belum beranjak.
“Aku nggak percaya punya masih tegak begitu, Ji,” Ia membisikiku
Aku juga. Tak kubalas perkataannya. Kuangkat wajahku. Kami berpandangan.
“Kita coba lagi, aku yakin sama kamu,”Ia kembali menyemangatiku
Didorongnya tubuhku, kelamin kami lepas. Benar saja, penisku masih berdiri tegak mengacung. Ia basah oleh air maniku dan cairan vagina Bu Aya. Tanpa rasa jijik, Bu Aya melahap penisku yang masih belepotan. Ia semangat sekali seperti sedang menikmati lolipop kesukaannya. Aku hanya meringis keenakan.
Tak berapa lama, saat aku merasa sudah kering kembali penisku, Bu Aya bangkit. Ia memosisikan diri di atas. Dibimbingnya penisku masuk kembali ke vaginanya yang sempit itu.
“Ooohhhhh” Bu Aya mengerang
Selanjutnya, Ia seperti sedang menari di atas penisku. Gerakan memutar, maju-mundur, juga naik-turun Ia lakukan semua. Tangannya tertahan di dadaku. Aku hanya bisa merem-melek. Penisku bagai diaduk, Ia mengikuti ke mana Bu Aya bergerak.
Bu Aya ambruk tapi pinggulnya masih tak mau berhenti goyang. Kami berciuman, liar sekali. Ia lebih liar kali ini. Aku rasakan tubuhnya basah oleh keringat. Tak ada tanda-tanda gerakannya mengendur.
“Kamu punya bakat, Ji, oohhhh uhhhh” Ia kembali memujiku
Aku hanya membalas dengan tatapan tajam. Lalu ketabok bokongnya agar gerakannya kian liar. Benar saja, Ia mengangkat tubuhnya kembali dan meningkatkan kecepatan. Kini aku yang kelabakan. Kuserang payudaranya agar aku beralih konsentrasi. Bu Aya makin liar. Kedua titik sensitifnya diserang bersamaan membuatnya makin kacau.
“Ohhhh terus sayaaang ooohh” Ia mukai meracau tak jelas
Rasanya puncakku akan datang kembali. Aku tak ingin mengecawakan Bu Aya lagi. Dengan segala kemampuan yang kumiliki, aku berusaha menahannya. Ia malah tak mau mengendurkan serangan, gerakannya justri makin cepat.
“Jangan ditahan ooohhh aku mau keluaaar oooohhh kita bareng aja Ji ooooh” Ia meracau lagi
Untung saja Ia juga mau orgasme. Aku akhirnya ikut aktif yang kian membuatnya kelojotan.
“AAAHHHHHHH IM COMIIING OHHHH”
“OOOOH BU AYAAAA OHHH”
Kami orgasme. Bersamaan.
Jangan tanya rasanya, tak ada yang menandingi ini.
Kami ambruk, nafas tak beraturan. Tubuh kami lengket, bersatu dengan baluran keringat dan air liur masing-masing. Akhirnya aku bisa membuatnya orgasme. Setidaknya, ada yang kubanggakan sedikit meski aku masih kalah.
“Kalau aku ketagihan gimana, Ji?” Katanya memecah keheningan
“Tinggal kita ulangi lagi, Bu. Aku punya PR banyak ini,” kataku menggoda
Ia memencet hidungku. Tubuhnya masih di atasku. Kelamin kami masih menyatu, meski kurasakan penisku mulai mengecil.
“Kamu perlu banyak belajar,” katanya, lalu memberiku sebuah kecupan
“Yang ngajari harus Bu Aya berarti,” aku menepuk bokongnya
Ia tersenyum. Kami berciuman lagi. Lalu guling-guling sambil bercanda.
“Aku harus pulang, udah kesorean ini,” katanya
Ia bangkit. Dengan tubuh telanjang, Ia beranjak ke kamar mandi. Kuputuskan membiarkannya. Aku tak ingin memakan waktunya lagi. Ia punya kehidupan yang lebih rumit dariku.
Kami berpisah setengah jam kemudian. Ia mengatakan ingin mengulanginya. Aku juga sama. Satu hal yang Ia garis bawahi, hubungan ini hanya saling memuaskan. Ia bersedia membantuku hingga mahir. Aku setuju. Aku tak ingin merusak rumah tangga dan reputasinya. Maka, kami akan melakukan ini serapi mungkin. Mudah-mudahan saja kami mampu.
Oh ya, namaku Aji, pria 24 tahun dengan tinggi 170cm dan berat 67kg. Aku berambut panjang se punggung dan wajah penuh dengan brewok.