Buah Dari Masa Depan by Nona Violet
Jekarda International Highschool, sebuah sekolah swasta yang dibangun seorang pengusaha kaya dikota itu dan mendapat suntikkan dana yang besar dari beberapa pengusaha lainnya. Sekolah yang dibangun 20tahun yang lalu itu memang dikhususkan untuk anak anak pejabat, pengusaha kaya, beberapa anak pindahan dari luar negri dan artis-artis muda. Karena fasilitas dan biayanya yang cukup lengkap dan mahal, maka memang hanya mereka lah kaum elit yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka disana. Tidak itu saja, anak-anak borjuis itu juga harus menjalani beberapa test masuk untuk dapat belajar disana. Kalau hanya kaya saja jangan harap dapat lolos masuk Jekarda International Highschool, karena sekolah itu memang dibuat untuk mendidik secara khusus anak-anak orang kaya yang juga smart agar siap mengemban tugas orang tua mereka suatu hari nanti. Disana terdapat banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler yang juga banyak, seperti menari, belajar musik, menyanyi, pecinta alam dan masih banyak lagi. Bahkan lebih tepat jika itu disebut sebuah tempat les. Karena memang satu kegiatan akan dibimbing oleh guru yang memang sudah ahli dibidangnya Satu kegiatan yang cukup populer adalah pecinta alam, setiap tiga bulan sekali klub itu pasti akan mengadakan pendakian bersama dan melakukan kegiatan sosial didaerah pendakian. Kegiatan biasanya akan ditutup dengan pesta api unggun bersama. Seperti malam itu. Ditengah canda, gelak tawa juga gitar yang mengiringi nyanyian siswa Jekarda International Highschool di depan api unggun yang besar dan menghangatkan orang disekitarnya, menyamarkan suara teriakan permintaan pertolongan dari seorang gadis muda yang merupakan salah satu siswinya. “Tolooong…lepaskan! Lepaskan aku! Bajingan!” Teriak seorang gadis, ditengah gelapnya tenda perkemahan yang hanya diterangi pantulan cahaya dari api unggun diluar sana. Sipemilik suara itu memohon agar pemuda yang mencengkeram kedua pergelangan tanganya dan menindih perutnya segera melepaskan dirinya. Tapi seolah tuli pemuda beriris Saphire itu tetap mencengkeram tangan mungil yang tenaganya tak sebanding dengannya, dan beberapa detik kemudian berhasil mengoyak pakaian sang gadis yang masih terus berusaha melepaskan diri. Lalu tanpa persetujuan gadis bernama Ruby itu, pemuda diatasnya mulai mengecup bibir berwarna peach dengan aroma buah cherry miliknya, menggigitnya dengan gemas lalu berlahan pemuda itu menenggelamkan kepalanya dileher putih tanpa cacat Ruby. Kemudian menjilati sesuka hatinya sambil meremas dadanya yang cukup besar. Tak ketinggalan beberapa kiss mark yang tipis ia buat disana, beberapa saat kemudian bibirnya kembali bergerak menuruni leher hingga kepundak Ruby. Mengecupnya berkali-kali lalu semakin turun didadanya dan melahap puting kemerahan Ruby yang langsung membuatnya menegang. “Aahh! Lepas! Brengsek! Menjijikkan!” Tangis Ruby, menjambak rambut hitam pemuda yang sedang asik bermain dengan puncak dadanya yang kecil, ia tampak menikmati mempermainkan bulatan yang merupakan salah satu titik rangsang wanita itu, memang sangat menggemaskan bagi siapapun yang menyentuhnya. Pemuda 17 tahun berambut acak yang kekinian itu kesetanan mendapati gadis yang tengah berusaha diperkosanya meronta, dan mulai menteskan bulir bening dari mata emerald-nya yang unik. Entah kenapa pemandangan itu semakin membuat miliknya dibawah sana menegang sekaligus sakit tak nyaman terhalang jeans yang dipakainya. “Aku mohon Aga! Jangan sakiti aku,” Tangis gadis itu semakin menjadi, dia ketakutan melihat pemuda bernama Aga yang merupakan teman sekolahnya menyeringai bagai binatang buas yang siap mengoyak tubuhnya. Iris biru langit yang biasanya teduh itu kini tajam menatapnya. Nafas beraroma alkohol dari deru nafas Aga semakin membuat nyali putri seorang pengusaha property itu menciut. “Kau bisa diam tidak?! Sialan!” Bentak Aga saat kaki Ruby hampir lepas dari apitan kedua pahanya. “Aku mohon, lepaskan aku…aku mohon…” Ruby terus menangis, bergerak-gerak sekuat tenaga agar terlepas cengkeraman tangan kuat Aga. Tapi semakin ia bergerak, gerakan penolakanya semakin melemah. Puting basah Ruby terasa dingin tertiup udara yang masuk dari luar tenda saat Aga melepaskannya. Ada sedikit rasa lega saat Aga menjauhkan tubuhnya dari tubuh Ruby. Tapi kenyataannya tak sesuai harapan, Ruby merasakan sesuatu yang asing baginya menyeruak, memaksa masuk ke area intimnya. Membelalak saat sesuatu dibawah sana terasa perih karena hal itu, “Aaaaaah! Saaakittt…!” Pekikan itu meluncur dari bibirnya yang tipis, kepalanya mendongak memperlihatkan bekas ciuman Aga beberapa saat yang lalu, gerakkan reflek yang tidak ia sengajai itu malah membuat Aga semakin gemas padanya dan menanamkan kepunyaannya semakin dalam. “Hiks… Ayaaaah…” Tangis keputusasaan Ruby memecah ditengah gerakkan Aga yang sedang menikmati penyatuan paksa mereka. Iya kumbang jantan itu hinggap dan menghisap sari dari bunga itu dengan paksa, lalu sang bunga pun layu setelahnya. Aga terus menggerakkan tubuhnya in, out kedalam tubuh Ruby yang sekal. Ia bergerak semakin cepat dan cepat, ia mengejar sesuatu yang didambakan sejak tadi. Tak ada penolakkan berarti dari gadis itu, ia pasrah. Percuma saja menolak sekuat tenaga, ia tak mampu, ia sudah kehilangan kesucian yang telah dijaganya selama ini. “Nnnggggghh!” Geram Aga setelah beberapa saat, hasratnya hampir tersampaikan. Ia terus menggerakkan tubuhnya dengan keras, cepat dan kuat membuat tubuh Ruby berguncang. Gadis itu menangis, memohon pada Aga untuk berhenti tapi tak dihiraukan padahal kewanitaannya terasa begitu perih. Sampai ia tak sadar kuku-kuku-nya menancap dipunggun Aga, membuat sebanyaknya sepuluh goresan dipunggung pemuda itu. “Ssssshhh! Aarrrgghh!” Satu gerakan terakhir Aga itu sangat kuat, ia rasakan sesuatu dari dalam tubuhnya mengalir mengisi rahim Ruby yang terlihat begitu shock atas apa yang dilakukan Aga. Aga yakin, gadis itu juga merasakan cairan hangat itu membasahi rahimnya. Seringai wajah Aga memancarkan kepuasan, kepuasan saat dirinya berhasil menyakiti Ruby yang masih menangis dibawahnya. Dalam hatinya sangat puas telah berhasil memberi pelajaran untuk gadis yang membuatnya gagal mewakili sekolah dalam olimpiade kimia tingkat National. Karena hanya dengan mengikuti lomba itu dia setengah berhasil membuat segalanya akan dipenuhi Ayahnya. ‘Greep!’ Sebuah tangan kekar yang lainya mencengkeram pundak kanan Aga dan secepat kilat membalikan tubuh Aga menghadiahinya bogem mentah diwajahnya yang tampan. Tubuh Aga terjatuh disamping Ruby, gadis itu beringsut menutupi tubuhnya dengan jaket tebalnya. “Cih! Dasar bodoh! Brengsek!” Cerca pria bermata Obsidian yang baru saja datang. Tapi kedatangannya terlambat, Aga sudah berhasil menodai gadis yang tadinya masih suci itu. “Sial kenapa ka-!” Aga terkejut melihat siapa yang memukulnya. Belum sempat mengucap sebuah kata, satu tinju dilayangkan lagi kewajah Aga. Membuat wajahnya yang tampan menghadap kesamping dan terdapat sedikit darah disudut bibirnya, perih. “Hn?!” Masih dengan tatapan membunuh, pemuda bernama Arslan yang baru saja datang tak menjawab Aga. “Kau menjijikan Nugraha!” Suara ‘baritone’ Arslan memenuhi tenda yang lumayan luas itu. Aga tak menyangka sahabatnya akan datang menghajarnya. “Dengarkan aku Ar-” “Cepat bereskan pakaianmu, atau mereka akan segera datang untuk membunuhmu!” Arslan memotong kalimat Aga, dan berlalu keluar dari tenda begitu saja tidak memperdulikan Ruby yang masih terisak disudut tenda. Aga bangkit sedikit sempoyongan, alkohol yang tadi diminumnya ternyata masih memberikan efek pusing yang belum juga menghilang. Sebelum dia benar – benar pergi meninggalkan Ruby, ia menoleh kearah Ruby yang masih ketakutan. “Kau! Wanita brengsek!” Tatap Aga penuh kebencian, lalu pergi meninggalkan Ruby yang menatapnya dengan putus asa.
—***—
Ruby masih tidak mengerti apa salahnya, kenapa pemuda terhormat seperti Aga tega melakukan hal hina seperti itu kepada dirinya. Seumur hidupnya tidak pernah mengganggu Aga. Sedikitpun tidak mau berurusan dengan pemuda jabrik yang orang tuanya adalah penyumbang dana terbesar sekolah dimana ia belajar. Bukan apa-apa, Ruby hanya takut dirinya akan dikeluarkan dari sekolah terbaik itu, walau dia tahu ayahnya Henri Hanggoro tidak mungkin membiarkan itu terjadi. Karena ayahnya juga orang kaya, juga rutin menyumbang untuk sekolah itu. Tak kalah seperti keluarga Nugraha ayah Aga. “Ruby?” Sapa lembut seorang gadis berambut kuncir kuda, entah sejak kapan gadis itu sudah berada didalam tenda, sebuah syal melingkar dilehernya. “Apa tubuhmu sudah pulih?” Gadis bernama Yuka itu menyentuh kening sahabat poni ratanya yang meringkuk berselimutkan selimut tebal. Memang sebelumnya Ruby izin untuk tidak mengikuti acara api unggun sebagai penutupan kegiatan kemah hari itu. Tubuhnya terasa lelah dan kemudian panas, karena siang tadi kecapaian setelah mendaki gunung bersama kelompoknya, salahkan dirinya yang mempunyai tubuh yang lumayan ringkih. “Aku baik-baik saja Yuka,” Jawab Ruby lirih, tidak melihat kearah Yuka sedikitpun, menyembunyikan tangisnya. Namun sahabat kuncir kudanya itu tidak percaya bahwa Ruby baik-baik saja, masih perlu banyak belajar untuk berbohong padanya batin Yuka. “Tubuhmu semakin panas Ruu, dan aku tau kau menangis,” Yuka membelai lembut rambut sehalus sutra milik Ruby. “Siapa yang menyakitimu?” Tanya Yuka penuh perhatian, “Ceritakanlah…” Mata emerald Ruby yang indah masih basah, lalu ia bangun dari tidurnya dengan tubuh terbungkus jaket besar sampai sebatas leher. Matanya sembab dan rambutnya berantakan. “Yuka…” Lirihnya, tampak ragu untuk berbicara apalagi menceritakan semuanya, “Aku…” Bulir mutiara yang bening itu kembali menetes diwajah putihnya, Yuka-pun menatap sahabatnya itu dengan perhatian. “A-aku…hiks Yukaaaa…” Tangis Ruby kembali memecah saat ia tiba-tiba memeluk sahabatnya sedari kecilnya. “Ruu…” Yuka membalas pelukkan Ruby, ia tau, ia sangat hafal sahabatnya ini hanya perlu menangis untuk meluapkan perasaanya. “Yuka…aku ingin pulang…” Tangis Ruby semakin menjadi. “Tenanglah Ruu…tenanglah dulu,” Yuka memeluk Ruby dengan perasaan khawatir, namun Yuka tidak mau memaksanya untuk memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena Yuka sangat hafal sifat sahabatnya yang satu ini. Dipaksa-pun Ruby saat ini tidak akan bercerita, ia akan menceritakan masalahnya jika perasaanya sudah kembali tenang. Yang bisa dilakukan Yuka saat ini hanyalah berada disamping Ruby.
—***—
Sudah seminggu sejak kejadian menjijikan itu menimpa Ruby, gadis dengan rambut sehalus sutra itu belum juga berani menampakan dirinya keluar rumah dan bersekolah lagi, hal ini menimbulkan tanda tanya kebeberapa teman sekelasnya, karena tidak biasanya Ruby libur selama ini. Surat keterangan tidak masuknya pun tidak ada, itu artinya dia membolos. Bukan kebiasaannya seperti itu. “Yuka? Sebenarnya ada apa dengan Ruby?” Suara lembut dari depan bangku Yuka membuat gadis itu menghentikan kegiatan mencatat pelajaran yang ada dipapan tulis, lalu menanggapi pertanyaan gadis bercepol dua yang tengah menatapnya serius. “Hhh… aku juga tidak tahu Risa,” Yuka menghela nafas dan menghembuskanya berlahan, menundukan pandanganya yang terlihat sedih, “Beberapa kali aku mendatanginya tapi dia tidak pernah mau menemuiku, bahkan Gary kakak sepupunya sudah membujuknya, tapi…Ruby seperti bukan Ruby yang kukenal,” Lanjut Yuka tampak sedih. “Yuka sudahlah… semoga tidak terjadi apa-apa pada Ruby ya,” Risa mengusap tangan Yuuka dengan lembut mencoba mengerti perasaan Yuka yang memang sangat menghawatirkan Ruby. Yuka tersenyum tipis, “Terima kasih Risa.”
—***—
“Ruu makanlah dulu,” Pemuda berambut cokelat panjang membawa sepiring nasi dan lauknya itu mencoba membujuk Ruby yang masih belum bosan dengan kebiasaanya seminggu ini, yaitu meringkuk ditempat tidurnya. Sudah ada kemajuan memang dibanding beberapa hari yang lalu, pintunya sudah tidak terkunci, membuat Gary sepupunya bisa masuk dan membujuknya makan. “Aku tidak lapar kakak,” Jawab Ruby lembut. “Makanlah, sedikit saja…” Gary terus membujuk adiknya, membelai lembut rambut adikknya. Namun Ruby tetap diam. “Paman Henri besok akan pulang, kau tidak mau kan menyambutnya dengan badan yang kurus seperti itu?” Perkataan Gary barusan membuat Ruby melebarkan iris indahnya. “A-Ayah pulang?” Ruby tak percaya, tapi dapat terlihat bahwa dia sangat senang. “Aku sangat menghawatirkanmu, aku memberi tahu paman Henri tentang keadaanmu, dan beliau memutuskan untuk pulang,” Jelas Gary meyakinkan. Binar manik berwarna hijau itu menyiratkan kebahagiaan mendengar Ayahnya yang sudah lama tidak pulang kini akan segera datang, “Benarkah Kakak?” Ruby meyakinkan dirinya, senyumnya tersungging diwajah pucatnya, tapi anggukan Gary sudah cukup menjelaskan semuanya. “Baiklah, aku mau makan Kakak,” Kata gadis itu dengan semangat. “Iya makanlah lalu mandi, kau bau sekali, kau tau?” Gary mengacak-acak rambut Ruby, membuatnya menggembungkan pipinya yang menggemaskan. Lalu Gary menyuapi adik sepupu yang amat sangat ia sayangi itu.
—***—
“Kau kenapa bodoh?” Pemuda berambut raven yang sedari tadi memainkan laptopnya kini memperhatikan wajah sahabatnya yang tampak kusut sedang menatap keluar jendela apartemenya, “Kau menyesal telah menodai gadis Hang-” “Aku tidak apa-apa playboy tengik!” Potong Aga menghentikan kalimat Arslan sahabatnya. “Kalau begitu, datang dan minta maaf,” Ucap Arslan dengan datar. “Tidak akan kulakukan!” “Kalau begitu nikmati saja rasa bersalahmu,” Masih dengan wajah datarnya, Arslan pemuda paling tampan disekolah itu kembali memainkan Laptopnya. “Dan bersiaplah kau dihantui jika gadis itu memutuskan bunuh diri,” Tutupnya. “Eh?” Manik saphire Aga melebar mendengar kata ‘bunuh diri’. Benar, pemuda ber-alis tebal menawan itu tidak pernah berfikir bahwa gadis yang terlihat rapuh seperti Ruby pasti hanya bisa bunuh diri karena depresi. “Kenapa? Kau takut?” Kalimat Arslan semakin membuat wajah Aga memucat. “Dan kalau sampai hal itu terjadi, tidak perduli seberapa banyak harta kekayaan ayahmu, kau-!” Menatap tajam punggung Aga yang menundukan kepalanya, “-akan membusuk dipenjara, bodoh!” ‘Jlebb!’ Seperti ada sebuah tombak yang mengarah pada dada pemuda bernama belakang Nugraha itu, Aga melebarkan iris sebiru langitnya. “Diam Brengsek!” Aga berbalik membalas tatapan tajam Arslan, kedua tanganya mengepal. “Hn?” Arslan dengan gaya stoic-nya mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa? kau tidak pernah berfikirkan, bahwa tindakan bodohmu itu bisa membuat orang lain mengakhiri hidupnya? Dasar bodoh.” Aga berdiri dari kursi malasnya yang sedari tadi ia duduki. Berniat meninggalkan Arslan yang masih berbicara tidak-tidak tentang Ruby. “Kau mau kemana?” Arslan menghentikan langkah Aga yang membuka knop pintu apartemennya, “Aku berharap kau tidak akan mengakhiri hidupmu terlebih dulu bodoh!”, Lanjut Arslan. Hal itu membuat Aga berdecih kesal lalu membanting pintu meninggalkan sahabat sok kerennya yang kembali sibuk dengan laptopnya.
—***—
Menatari pagi membiaskan sinarnya melalui celah jendela kamar bercat putih bersih dan bergaris ungu dibeberapa bagian. Diranjang kingsize yang tampak nyaman masih terbaring sosok lemah yang beberapa hari lalu setia menunggui kamar kesayanganya itu. Ketika sinar mentari mulai menyinari wajahnya yang ayu, ia mengerjap-ngerjapkan iris emeraldnya kemudian terbuka walau kedua alisnya menaut. Ruby lalu melirik jam waker dimeja lampu disampingnya, menunjukan pukul 07.05, ia hampir lupa bahwa hari ini akan menjemput ayahnya dibandara bersama Gary jam 08.00 nanti. ‘Belum terlambat’ batinya lega. Tak mau membut kakak sepupunya menunggu Ruby bergegas mandi dan bersiap-siap. Masih asik mandi menyabuni tubuhnya, Ruby mendengar suara ketukan pintu kamar mandinya, siapa pagi-pagi begini sudah mengganggunya. Rubu mendengus heran lalu menghentikan kegiatanya untuk mendengar siapa yang memanggilnya. ‘Tok..tok..tok’ “Ruu?” Suara yang tak asing baginya terdengar lagi. “Ruu?? Bisakah kau cepat sedikit?” “Iyaa Kakak!” Ruby tau siapa yang mengetuk pintunya. Sembarangan sekali kakaknya itu masuk kekamarnya dan mengetuk pintu kamar mandinya, apa dia benar-benar lupa kalau Ruby kini sudah bukan lagi adik kecilnya? Yang dulu bahkan tidak malu jika harus mandi bersama Gary. Ruby mendengus sedikit kesal, namun bagaimanapun Ruby sangat menyayangi kakaknya itu. “Cepatlah turun ada yang ingin menemuimu,” Gary menjelaskan. “Iyaaa sebentar lagi aku turun,” Jawab Ruby sambil meneruskan mandinya. “Baiklah kakak keluar dulu,” Gary meninggalkan kamar Ruby dan kembali turun kelantai satu menemani seseorang yang sudah duduk dimeja makan kediaman Hanggoro. Dalam hati Ruby bertanya, siapakah yang pagi-pagi ingin menemuinya? Ah mungkin Yuka. Inikan hari minggu dan sekolah libur, pasti Yuka ingin menemuinya lagi. Mengingat beberapa hari yang lalu ia menolak menemuinya, ah Ruby jadi merasa benar-benar jahat telah membuat Sahabatnya itu kecewa. Tapi mengapa Yuka tidak langsung masuk saja dikamarnya seperti biasa, apa dia merasa tidak enak ya setelah diusir secara halus olehnya. Setelah memakai bajunya, merapikan rambut dan menggunakan body lotion ketangan dan kakinya, Ruby memutuskan untuk segera menemui seseorang yang telah menunggunya dibawah. Rok selutut yang berwarna merah, kemeja berwarna putih membuat Ruby terlihat segar dan manis hari itu. Ruby melangkahkan kakinya keruang tamu, namun tidak ada siapapun. Kemudian berjalan keruang keluarga dan mendengar suara yang tak asing dimeja makan. Ruby berlari tak sabar ingin segera memeluk siempunya suara khas itu. “A-Ayah?” Ruby mematung didekat ayahnya yang tengah tersenyum kepadanya. “Begitu sambutan seorang anak yang sudah satu tahun tidak bertemu dengan orang tuanya?” Sindir Henri yang melihat putri kesayangannya masih belum mendekatinya. “Ayaaaahhh… hiks…” Ruby menghambur kepelukan Ayahnya, Pria setengah baya yang masih terlihat muda itu bisa dibilang sudah satu tahun tidak pulang kerumah karena mengurus perusahaanya yang sedang berkembang di luar negri. Ayah Ruby memang tinggal di luar negri setelah terpukul atas kematian istrinya 3 tahun yang lalu. Bukanya tidak mau bertanggung jawab mengurus Ruby dan mengajaknya tinggal disana. Tapi Ruby memilih menjaga rumah dan tinggal bersama sepupunya, Gary. Walau masih sedikit kecewa atas keputusan Henri meninggalkan Ruby sendirian bersama Gary, rasa rindu dihati Ruby kepada ayahnya mengalahkan kekecewaan yang masih belum sepenuhnya termaafkan itu. “Ayaaaah…Ruby rindu sekali, hiks…Ayah jahat..” Tangis Ruby pecah dipelukan ayahnya. “Maafkan Ayah, Ruu. Ayah terlalu sibuk sampai tidak sempat menengokmu,” Henri mengelus rambut halus anak semata wayangnya yang sedikit manja itu. “Sebagai gantinya Ayah akan tinggal lebih lama,” Lanjut Henri, membuat rona kebahagian terpancar dari wajah Ruby yang cantik. “Terimakasih Ayaaah,” Ucap Ruby memeluk ayahnya semakin erat seakan tidak mau jauh lagi. “Ehem.. biarkan paman Henri sarapan dulu Ruu, kau juga harus sarapan. Setelah itu kau bisa bermanja-manja lagi,” Ujar Gary yang sedikit merasa iri atas kedekatan Ruby dan ayahnya. Dari kecil memang Gary tidak pernah merasakan kasih sayang kedua orang tuanya, mereka sudah lama meninggal. Gary bayi terpaksa dikeluarkan dari rahim ibunya yang saat itu sedang koma akibat kecelakaan mobil yang ditumpanginya bersama Tria Hanggoro ayahnya. Tapi sayang nyawa ibu Gary tak terselamatkan. Lalu Gary dirawat dan dibesarkan oleh ibu dan saudara kembar ayahnya, yaitu Henry Hanggoro pamannya. Walau perlakuan kedua orang tua Ruby kepada Gary tidak beda dari anak kandungnya, tetap saja Gary ingin merasakan kasih sayang orang tuanya. Gary yang kini berumur 28 tahun sudah dipercaya Henri memegang perusahaanya di kota ini. Selanjutnya ia dan Ruby akan dijadikan pewaris atas kekayaan keluarga Hanggoro dimasa depan. Acara sarapan keluarga Hanggoro sangat terlihat akrab, beberapa pelayan yang mengurusi segala kebutuhan keluarga tersebut juga terlihat bahagia atas kehangatan tuanya. Lalu setengah jam berlalu mereka sudah menyelesaikan acara sarapan bersama dan dilanjutkan berbincang-bincang bersama diruang keluarga.