Blackmailed
Sistem penerbitan saya terbagi dalam 4 musim. Winter ( January-Maret), Spring (April-Juni), Summer (Juli-September), dan Fall ( Oktober-Desember) dimana tiap musim akan ada beberapa cerita baru. Setiap cerita akan dapat jatah tayang seminggu sekali selama musim tersebut. Kalau misalkan saya berhalangan, maka cerita akan di up di hari lain di minggu tersebut dan kalau tidak di up juga berarti jadwalnya di geser ke minggu depan. Jika misalkan cerita itu terlalu panjang untuk ditayangkan di satu musim, maka cerita akan dipecah menjadi 2-3 cour dimana cour selanjutnya akan diupdate di musim lain. Sebagai tambahan, di bulan terakhir satu musim, akan di up satu cerita spesial.
Terakhir, saya mohon maaf jika ceritanya berantakan dan penuh kekurangan. Saya berharap bisa mendapat banyak masukan dari suhu sekalian untuk perkembangan cerita ini.
Maya melihat cetakan mengkilap berukuran 10 x 8 sambil menunggu telepon berdering. Foto itu menunjukkan dia sedang bersandar di meja kerja. Blusnya terbuka dan branya ditarik hingga kedua tokednya terlihat tengah dimainkan oleh rekan kerjanya, Bayu.
Gambarnya sudah sampai di mejanya pagi itu. Dengan surat yang menyatakan bahwa gambar dan salinan lainnya akan didistribusikan ke seluruh perusahaan jika dia tidak mengikuti instruksi yang akan dikirimkan kepadanya pada hari itu juga. Dia segera menelepon Bayu dan Bayu datang ke kantornya. Seperti Maya, dia juga merasa ngeri saat melihat gambar itu.
“Siapa yang memotret ini,” dia berseru ketika melihatnya.
Maya menggelengkan kepalanya. “Mana kutahu, Foto itu kan diambil di ruanganmu,” balasnya.
“Kalau sampai foto ini kesebar, mampus kita.” Dia melemparkan cetakan itu kembali ke meja Maya.
“Aku ingin tahu apa yang akan dia minta?” kata Maya. “Semoga bukan uang yang dia minta.”
Bayu mengangkat bahu. “Tenanglah. aku akan coba mengatasinya.”
Selama sisa hari itu, sulit bagi Maya untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya. Si pengancam menyuruhnya untuk tetap di kantor sampai ia menelponya. Saat itu jam 8 malam ketika akhirnya telepon berdering.
“Halo, Maya.” Itu adalah suara seorang pria yang tidak dia kenali.
“Siapa kau?”
“Bagaimana fotonya, bagus bukan? aku punya beberapa gambar lainnya; mungkin kau ingin melihatnya.”
“Apa yang kau inginkan? Aku tidak punya banyak uang.”
“Bukan uang yang kuinginkan, Maya. Yang kuinginkan hanyalah kamu.”
“Aku?” Maya bertanya.
“Ya, kamu. Kamu wanita yang sangat menarik. Aku tidak ingin banyak darimu, hanya beberapa permintaan kecil. Lakukan apa yang aku minta dan semuanya akan selesai. Tapi kamu harus melakukan persis seperti yang aku minta: satu kesalahan, satu penolakan, dan semua orang akan tahu aksimu dengan Bayu.”
“Jangan!!!!.”Maya sontak menjerit.
“Tenang saja. Ikuti saja instruksiku sampai tuntas dan semuanya akan baik-baik saja.”
Maya duduk dan berpikir sejenak. “Oke, apa yang kau mau.”
“Hanya satu instruksi kecil sebelum kita mulai. Dalam perjalanan pulang malam ini, belilah sebuah ponsel baru. Juga earphone blueetoth. Beli juga nomor baru. Setelah itu, kirimkan nomor barumu padaku. Aku akan menelpon lewat nomor itu.”
“Ok. Aku paham.”
“Bagus sekali. Sekarang untuk tugas malam ini– sepertinya semua orang telah meninggalkan kantormu.”
Maya tiba-tiba melihat sekeliling. Jelas, siapa pun yang berbicara di telepon dapat melihatnya.
“Tidak, kamu tidak bisa melihatku,” kata suara itu, “tapi aku bisa melihatmu dengan sangat jelas, dan aku suka setelan biru itu.”
Maya merasa tidak nyaman mengetahui ada seseorang yang tidak terlihat sedang mengawasinya. Dia berusaha menebak siapa dan Dimana si penelpon.
“Apa yang kamu inginkan dariku?” Dia berbicara di telepon.
“Tidak banyak, hanya sedikit bersenang-senang,” kata suara itu. “Malam ini aku hanya ingin melihatkamu mengikuti instruksi. Pertama-pertama, letakkan ponselmu dan aktifkan loudspeaker.”
Maya menekan tombol speaker di telepon dan meletakkan ponselnya. “Kamu masih bisa mendengarku, tapi aku mungkin tidak bisa mendengarmu dengan baik, jadi anggukkan atau gelengkan kepalamu. Bisakah kamu mendengarku dengan jelas?”
Maya menganggukkan kepalanya.
“Bagus sekali,” kata suara itu. “Sekarang berdiri dan berjalan menuju jendela.” Maya melakukan apa yang diminta.
“Bagus sekali. Sekarang pindahkan kursi kecil di sebelah kananmu dan letakkan di belakangmu.”
Sekali lagi Maya melakukan apa yang diminta, bertanya-tanya maksud si penelon. Dia berdiri di depan kursi sambil memandangi jendela-jendela blok kantor yang hampir gelap. Di seberang halaman, beberapa lampu masih menyala.
“Baiklah, Maya. Kita akan mulai. Pertama-tama, aku ingin kamu melepas semua pakaianmu.”
Dia tidak bergerak. Dia hanya berdiri memandangi jendela yang gelap.
“Apakah kamu mendengarku? Aku bilang lepaskan semua pakaianmu!”
Dia mengangguk gugup, tapi tetap tidak bergerak.
“Jangan coba melawan. Aku punya fotonya di sini. Cukup satu klik dan seluruh masa deanmu akan hancur.”
Maya tahu si Penelpon yang sekarang memegang kendali. Dia harus mengikuti instruksinya atau menerima konsekuensinya. Dia menduga Bayu akan merasakan hal yang sama. Tangannya bergetar saat dia mengangkat tangannya dan mulai membuka kancing jasnya. Dia melepasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Dia melakukan hal yang sama dengan blusnya, lalu melepaskan roknya. Rasanya aneh berdiri di depan jendela kantornya hanya dengan mengenakan celana dalam. Dia tidak tahu siapa yang mungkin sedang menonton di luar sana.
“Bagus. Mari kita mulai ke bagian yang menarik. Meskipun dalemanmu cukup bagus, kau harus melepaskannya sekarang.”
Maya menatap ke jendela yang gelap. Dia bisa melihat bayangannya di sana, berdiri di sana hanya dengan bh dan cd. Dia memperhatikan bahwa beberapa lampu lagi telah padam di dan sekarang tidak ada tanda-tanda petugas kebersihan, namun dia tetap tahu bahwa ada orang di luar sana yang mengawasi.
Dengan enggan dia menggerakkan tangannya ke atas kaitan bra-nya. Dia membukanya, lalu melepas branya. Dia merasakan putingnya menegang saat dinginnya AC menerpa. Dia menjatuhkan bra itu ke atas tumpukan pakaiannya, lalu dia mengaitkan jari-jarinya ke bagian pinggang celana dalamnya dan perlahan menyelipkannya ke pinggulnya. Dia membungkuk untuk menurunkan cdnya hingga di sekitar pergelangan kakinya. Dia berdiri dan melihat lagi bayangannya di kaca yang gelap. Tubuh telanjangnya balas menatapnya.
“Kamu mempunyai tubuh yang indah,” kata suara itu.
Maya sedikit menggigil dan dia merasakan putingnya mengeras. Tubuhnya bereaksi; orang cabul itu berpengaruh padanya. Dia tidak bisa mempercayainya.
“Berputaslah perlahan.” Suara itu membuyarkannya dari lamunannya.
Sekali lagi dia melakukan seperti yang diinstruksikan, dan selesai menghadap ke jendela lagi.
“Sekarang duduklah di kursi.”
Maya duduk. Kursinya terasa sejuk di kulitnya yang telanjang.
“Sekarang aku ingin kamu bersandar di kursi dan membuka kedua kakimu lebar-lebar. aku ingin bisa melihat setiap detail yang ada di antara keduanya.” Maya mengeram jengkel. Dia merasa sangat dipermalukan sekarang. Tapi dia tidak punya pilihan selain menurut.
“Memek yang bagus. Aku senang melihatmu mencukurnyaa dengan rapi.”
Dia duduk di sana dengan kaki terbuka lebar menatap bayangannya.
“Sekarang untuk bagian yang menarik..,” suara itu berbicara lagi. “Aku ingin kamu membuat dirimu klimaks sampai muncrat. Gunakan jarimu untuk memainkan memekmu.”
Dia tidak percaya apa yang diminta pria itu untuk dia lakukan—bermastrubai di depan jendela. Tapi kembali Maya hanya bisa mendengus seraya melakukan perintahnya.
Tangannya bergerak ke bawah di antara kedua kakinya. Dia membuka bibir vaginanya dan merasakannya mulai lembap. Dia menyelipkan satu jarinya ke bagian dalam yang hangat dan basah dan menggerakkannya perlahan. Ibu jarinya menemukan bagian tengah klitorisnya yang keras dan menekannya dengan lembut membuat dirinya mengerang. Kemudian sambil menyelipkan jari lainnya ke dalam. Lalu jarinya dengan perlahan keluar masuk dari jepitan bibir vaginanya.
Maya merasakan tubuhnya mulai merespon aksinya. Dia merasakan kenikmatan mengalir dalam dirinya. Dia merasakan tubuhnya panas bagai dioven. Tak selang lama kemudian memeknya memuntahkan cairan kenikmatannya. Dia mengerang dan menarik napas dalam-dalam. Dia merosot kembali ke kursi sambil terengah-engah.
Beberapa saat berlalu. “Kamu melakukannya dengan sangat baik.” Suaranya kini terdengar agak tegang. “Kamu bisa berpakaian kalau kamu sudah siap. Jangan lupa apa yang aku katakan tentang perintahku sebelumnya Aku akan meneleponmu besok.” Terdengar bunyi klik tanda sambungan ponsel diputus.